PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KENAKALAN REMAJA PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL

(1)

11iipi

REMAJA PADA SISWA KELAS VIII

SMP NEGERI 02 SLAWI KABUPATEN TEGAL

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

oleh

Atika Oktaviani Palupi 1511409011

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini dengan judul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 22 Agustus 2013

Atika Oktaviani Palupi 1511409011


(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal” ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 22 Agustus 2013. Panitia Pengujian Skripsi:

Ketua Sekretaris

Drs. Sutaryono, M. Pd Liftiah, S.Psi.,M.Si

NIP.19570825 198303 1 015 NIP.19690415 199703 2 002

Penguji utama

Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. NIP. 19781007 200501 1 003

Penguji I Penguji II

Dr. Edy Purwanto, M.Si. Dyah Indah N., S.Psi., M.Psi.


(4)

iv

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto

1. Karena sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan (Q.S Al-Insyirah : 5)

2. Succes is not destination but a journey (Anonim)

PERUNTUKAN:

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk: 1. Kedua orang tuaku (Sudarno dan Juwanti)

Terimakasih untuk doa, cinta, kasih sayang dan pengorbanannya.

2. Almamaterku


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat, serta hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya: 1. Drs. Hardjono, M. Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. Sutaryono, M.Pd. selaku ketua panitia sidang skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

3. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran serta arahan.

4. Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A. selaku penguji utama skripsi yang telah memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh peneliti.

5. Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi. dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, motivasi, dan masukan kepada penulis.

6. Semua dosen Psikologi yang telah memberikan banyak ilmu dan pelajaran hidup yang berharga bagi penulis selama menempuh pendidikan.


(6)

vi

7. Seluruh warga sekolah SMP Negeri 02 Slawi yang telah banyak membantu serta berpartisipasi dalam penelitian.

8. Bapak, Mamah, kakak-kakak tercinta dan saudara-saudaraku, yang selalu mendoakan serta mendukung penulis walaupun dalam keadaan apapun, hanya dua kata yang selalu ingin aku ucapkan ” Maaf dan Terima Kasih”.

9. Sahabat terdekat penulis, Anggi terimakasih untuk segala dukungan, semangat, motivasi yang sudah diberikan selama ini.

10.Teman-teman Psikologi 2009 (khusunya Riris, Yusri, Risandi, Anis, Wulan) terima kasih atas pengalaman dan perjuangan bersama kita selama menempuh kuliah di Psikologi ini.

11.Teman-teman ”Cherry Kost” Mbak Esti, Mbak Anna, Mbak Wulan, Fina, Pangga, Fela, Ika, Fatimah terima kasih untuk suka duka dan kebersamaan yang terjalin selama 1,5 tahun ini.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi. Semoga kebaikan dan keikhlasan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini memberikan manfaat dan kontribusi dalam bidang psikologi pada khususnya dan semua pihak pada umumnya.

Semarang, 22 Agustus2013


(7)

vii ABSTRAK

Palupi, Atika Oktaviani. 2013. Pengaruh Religiusitas Terhadap Kenakalan Remaja Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. Edy Purwanto, M.Si., Pembimbing II Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi.

Kata kunci: religiusitas, siswa SMP, kenakalan remaja

Salah satu masalah yang dihadapi pada masa remaja yaitu adanya masa transisi yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Masa ini sering disebut sebagai masa topan badai (“strum and drang)” yaitu masa yang penuh dengan gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Masa transisi inilah yang menimbulkan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang atau yang biasa disebut dengan istilah kenakalan remaja. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Untuk itu dibutuhkan keyakinan dan pengamalan yang kuat terhadap ajaran-ajaran agama guna mengurangi perilaku-perilaku kenakalan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh religusitas terhadap kenakalan remaja; dan 2) seberapa besar sumbangan efektif religiusitas terhadap kenakalan remaja.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi dengan sampel berjumlah 70 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling atau sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono 2010: 124). Data penelitian diambil menggunakan angket kenakalan remaja dan skala religiusitas. Angket kenakalan remaja terdiri dari 42 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara 0,103 – 0,860 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,964. Skala religiusitas terdiri dari 31 aitem yang memiliki koefisien validitas berkisar antara -0,169 - 0,792 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,889. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi satu prediktor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,771 dengan signifikansi sebesar 0,000 dimana p<0,05. Hal ini berarti semakin tinggi religusitas maka semakin rendah perilaku kenakalan remaja, sehingga hipotesis kerja yang diajukan diterima. Hasil uji regresi diperoleh R-Square 0,594 yang berarti religiusitas berpengaruh terhadap kenakalan remaja sebesar 59,4% dan sisanya sebesar 40,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang belum terungkap dalam penelitian ini. Kesimpulannya ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi Kabupaten Tegal.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PENGESAHAN ...iii

MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kontribusi Penelitian ... 12


(9)

ix

2.1 Remaja ... 14

2.1.1 Pengertian Remaja... 14

2.1.2 Ciri-ciri Masa Remaja ... 14

2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja ... 18

2.2 Kenakalan Remaja... 20

2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja ... 20

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 23

2.2.3 Ciri-ciri Pokok Kenakalan Remaja ... 27

2.2.4 Jenis-jenis Kenakalan Remaja ... 28

2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja ... 31

2.2.6 Jurnal Buku Sanksi ... 33

2.3 Religiusitas... 35

2.3.1 Pengertian Religiusitas ... 35

2.3.2 Karakteristik Individu Yang Memiliki Religiusitas ... 37

2.3.3 Dimensi Religiusitas... 40

2.4 Hubungan antara Religiusitas dengan Kenakalan Remaja ... 49

2.5 Kerangka Berpikir ... 52

2.6 Hipotesis ... 52

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Jenis Penelitian ... 53

3.2 Desain Penelitian ... 53

3.3 Variabel Penelitian ... 53


(10)

x

3.3.2 Definisi Operasional Variabel... 54

3.3.3 Hubungan Antar Variabel ... 57

3.4 Populasi dan Sampel ... 57

3.4.1 Populasi ... 57

3.4.2 Sampel ... 59

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 59

3.5.1 Angket ... 59

3.5.2 Skala Psikologi ... 62

3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 65

3.6.1 Validitas Instrumen Penelitian ... 65

3.6.2 Validitas ... 72

3.6.3 Reliabilitas ... 72

3.7 Pelaksanaan Uji Coba ... 73

3.8 Metode Analisis Data ... 74

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

4.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 75

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 76

4.2.1 Persiapan Penelitian ... 76

4.2.2 Penentuan Subjek Penelitian ... 76

4.2.3 Pengumpulan Data ... 77

4.2.4 Pelaksanaan Skoring... 77


(11)

xi

4.3.1 Gambaran Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02

Slawi ... 78

4.3.2 Gambaran Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 88

4.4 Pengujian Hipotesis (Analisis Data Inferensial) ... 95

4.4.1 Hasil Uji Asumsi ... 95

4.4.2 Hasil Uji Hipotesis ... 97

4.5 Pembahasan ... 101

4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 101

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 109

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB 5 PENUTUP ... 115

5.1 Simpulan ... 115

5.2 Saran ... 116

Daftar Pustaka ... 118

Lampiran ... 121


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kenakalan Remaja yang dilakukan Siswa Kelas VIII SMP Negri 02 Slawi

Tahun Ajaran 2012/2013 ... 58

3.2 Rancangan Angket Kenakalan Remaja ... 60

3.3 Skoring Angket Kenakalan Remaja ... 61

3.4 Penyebaran Angket Kenakalan Remaja ... 61

3.5 Skoring Skala Religiusitas ... 64

3.6 Blue Print Skala Religiusitas ... 64

3.7 Perubahan Pernyataaan Aitem Skala Religiuistas... 66

3.8 Sebaran Aitem Uji Coba Angket Kenakalan Remaja pada Siswa Setelah Uji Coba ... 68

3.9 Sebaran Baru Aitem Angket Kenakalan Remaja Penelitian... 68

3.10 Sebaran Aitem Uji Coba Skala Religiuistas Setelah Uji Coba ... 69

3.11 Sebaran Baru Aitem Skala Religiusitas Penelitian ... 71

3.12 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik ... 74

4.1 Statistik Deskriptif Kenakalan Remaja ... 79

4.2 Kriteria Kenakalan Remaja ... 80

4.3 Gambaran Kenakalan Remaja... 80

4.4 Gambaran Terlambat Masuk Sekolah ... 82

4.5 Gambaran Membolos ... 82

4.6 Gambaran Tidak Masuk Tanpa Keterangan ... 83


(13)

xiii

4.8 Gambaran Memakai Seragam Tidak Lengkap ... 84

4.9 Gambaran Tidak Mengerjakan Tugas ... 85

4.10 Gambaran Mengompas/Memalak ... 85

4.11 Gambaran Berkata Tidak Sopan ... 86

4.12 Rangkuman Deskriptif Kenakalan Remaja pada SiSWA Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 86

4.13 Perbandingan Mean Empirik Tiap Indikator Kenakalan Remaja ... 87

4.14 Statistik Deskriptif Religiusitas ... 88

4.15 Kriteria Religiusitas ... 89

4.16 Gambaran Religiusitas Siswa ... 90

4.17 Gambaran Keyakinan Siswa ... 91

4.18 Gambaran Praktek Agama Siswa ... 92

4.19 Gambaran Pengamalan Siswa ... 93

4.20 Gambaran Pengalaman Siswa ... 93

4.21 Rangkuman Deskriptif Religiusitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 94

4.22 Perbandingan Mean Empirik Tiap Aspek Religiusitas ... 95

4.23 Hasil Uji Normalitas ... 96

4.24 Hasil Uji Linieritas ... 97

4.25 Hasil Uji Korelasi Religiusitas dengan Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 98


(14)

xiv

4.27 Hasil Analisis Besarnya Pengaruh Religiusitas terhadap Kenakalan Remaja ... 99


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir ... 52 4.1 Gambaran Umum Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 81 4.2 Gambaran Umum Religiusitas pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi ... 90


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Instrumen Penelitian ... 122

2. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 139

3. Statistik Deskriptif ... 149

4. Uji Validitas Instrumen ... 152

5. Uji Reliabilitas Instrumen ... 163

6. Uji Asumsi ... 165

7. Uji Hipotesis ... 167

8. Dokumentasi Penelitian ... 169


(17)

1

1.1

Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Hall menyebut masa ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan orang-orang yang dekat, misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono 1993: 16).

Masa transisi inilah yang memungkinkan remaja dapat menimbulkan masa krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang ini bisa menyimpang dari norma hukum, norma agama dan norma yang dianut masyarakat atau dalam istilah psikologi disebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.

Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu


(18)

2

bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Beberapa riteratur dan penelitian yang terkait dengan kenakalan remaja (Santrock: 2002, Maria: 2007, Kienhuis: 2009, Joanna dalam Ruby: 2009, dan Willis dalam Sujoko 2011: 2) menjelaskan bahwa kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam, mulai dari perbuatan yang bersifat amoral maupun anti sosial. Perbutaan tersebut dapat berupa berkata jorok, mencuri, merusak, kabur dari rumah, indisipliner di sekolah, membolos, membawa senjata tajam, merokok, berkelahi dan kebut-kebutan di jalan sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan di media masa.

Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan :

1. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit.

2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. 3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar

nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.

Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun


(19)

pada masa kanak-kanaknya. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja (http://auliatj.siswa-indonesia.net diunduh pada 08 September 2012).

Beberapa penelitian tentang perilaku kenakalan yang dilakukan oleh pelajar menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang diungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus penyalahgunaan narkoba terus meningkat di kalangan remaja. Dari 2,21% (4 juta orang) pada tahun 2010 menjadi 2,8% (sekitar 5 juta orang) pada tahun 2011. Yang berikutnya adalah seks bebas. Contoh kenakalan remaja dalam pergaulan seks bebas akan bersangkutan dengan HIV/AIDS . Ketiga adalah tawuran antar pelajar yang belakangan ini semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (www.Republika.co.iddiunduh pada 08 September 2012).

Berita terbaru datang dari tawuran antara siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 24 September 2012, yang menyebabkan seorang siswa SMA 6 tewas. (detik.com diunduh 25 September 2012).

Bentuk lain dari kenakalan yang dilakukan remaja yaitu banyaknya remaja yag kerap menyimpan gambar/video porno di telepon seluler mereka. Seperti yang terjadi di Surabaya. Lembaga hotline pendidikan berbasis di Jatim mengungkapkan bahwa 90 % pelajar di Surabaya menyimpan film atau gambar porno di telepon seluler yang dimilikinya. Fakta ini terungkap dalam survei yang dilakukan pada 26 Agustus hingga 12 September 2012. Hasilnya 92% pelajar


(20)

4

putri pernah melihat gambar dan menonton film porno di telepon seluler milik mereka sedangkan untuk pelajar putra mencapai 97%. (m.merdeka.com diunduh 14 Februari 2013).

Kondisi kenakalan remaja juga terjadi di Bandung. Satpol PP dan Dinas Pendidikan kota Bandung memergoki 8 pelajar bolos di warung internet (warnet) dan game online di Jalan Solontongan dan Jalan Buabatu pada hari kamis (06/09/12). Rincian pelajar bolos terjaring razia itu masing-masing tiga pelajar dari SMK N 4 Bandung, dua pelajar dari SMA N 22 Bandung, satu pelajar dari SMK N 1 Baleendah dan dua pelajar dari SMP Muhammadiyah. (http://bandung.detik.com diunduh pada 14 Februari 2013).

Hal yang sama juga terjadi di Sukoharjo. Tim gabungan Pemkab Sukoharjo, Sabtu (24/11/2012), menggelar razia pelajar yang membolos sekolah. Sebanyak 41 pelajar terdiri atas seorang siswi dan 40 siswa ditangkap saat mereka nongkrong di Alun-alun Satya Negara dan tempat rekreasi yang lain. Tim gabungan juga menemukan botol minuman keras (miras) dan rokok saat pelajar itu digiring ke Kantor Satpol PP Sukoharjo untuk dibina. (http://www.wonogiripos.com diunduh pada 14 Februari 2013).

Fakta yang terjadi di lapangan juga menunjukkan hal yang sama. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap guru Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 02 Slawi pada bulan Januari 2013, didapatkan hasil bahwa:

Pertama, jenis pelanggaran yang hampir setiap hari dilakukan oleh beberapa siswa di SMP tersebut diantaranya terlambat masuk sekolah, bolos


(21)

sekolah, tidak masuk sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah, memakai seragam tidak lengkap atau tidak sesuai, mengompas dan tidak mengerjakan tugas.

Kedua, berdasarkan informasi dari guru pembimbing sebagian besar kenakalan yang dilakukan oleh siswa-siswi SMP Negeri 02 Slawi dikarenakan akibat permasalahan yang ada di dalam keluarga, seperti kebanyakan siswa-siswi berasal dari golongan keluarga yang kurang mampu, sehingga kurang terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis dalam diri siswa tersebut. Kebanyakan siswa berasal dari keluarga broken home ( tidak utuh) dan biasanya siswa tinggal bukan dengan orang tuanya melainkan dengan nenek ataupun saudaranya yang menyebabkan siswa-siswi kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.

Ketiga, Menurut pemaparan guru Bimbingan dan Konseling di SMP tersebut, kebanyakan siswa laki-laki yang sering melakukan pelanggaran dibanding dengan siswa perempuan. Bukan hanya itu saja, kenakalan yang dilakukan juga disebabkan karena lemahnya tingkat pemahaman agama dalam diri siswa tersebut, sehingga dalam berperilaku siswa kerap kali tidak dapat mengendalikan emosinya. Hal ini disebabkan karena siswa tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritas memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah.

Keempat, menurut hasil pemaparan guru Bimbingan dan konseling salah satu upaya untuk mengurangi tingkat kenakalan atau pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian siswa dengan diterapkannya suatu program yaitu program yang berupa peningkatan religiusitas seperti diadakannya sholat dhuha berjamaah dan


(22)

6

kegiatan Tadarus Alquran bersama setiap pagi sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai, sholat dhuhur berjamaah dan kegiatan peningkatan Baca Tulis Alquran (BTA) bagi siswa-siswi yang belum lancar dalam membaca Alquran. Alasan diterapkannya program ini yaitu karena mayoritas siswa SMP tersebut beragama islam/muslim. Sedangkan peningkatan religiusitas bagi siswa yang beragama non muslim dilakukan di rumah mereka masing-masing dan guru Bimbingan dan Konseling melakukan kunjungan rumah (home visit) untuk memantau kegiatan mereka.

Banyak faktor yang menyebabkan kenakalan pada remaja. Menurut Santrock (2003: 524) salah satu penyebab kenakalan pada remaja yaitu kegagalan remaja untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Menurutya beberapa anak gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan mereka telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.

Selanjutya Kartono (2007: 227) mengatakan bahwa pada umumnya kenakalan merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif; juga menampilkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan


(23)

emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Faridh (2008: 9) yang berjudul “Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja”. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan kenakalan remaja.

Jensen (dalam Sarwono 2010: 255) mengatakan bahwa kenakalan remaja disebabkan karena remaja lebih mementingkan faktor individu dibandingkan dengan faktor lingkungan (Rational choice). Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interest, dan motivasi atau kemauannya sendiri. Misalnya kenakalan remaja disebabkan karena kurangnya iman dalam diri remaja itu sendiri.

Selain faktor-faktor tersebut, kenakalan remaja juga bisa dipengaruhi oleh religiusitas remaja. Diasumsikan jika remaja memiliki religiusitas rendah maka tingkat kenakalannya tinggi artinya dalam berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan sebaliknya semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah tingkat kenakalan pada remaja artinya dalam berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya karena ia memandang agama sebagai tujuan utama hidupnya sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya sehari-hari (Andisty & Ritandiyono 2008: 173). Hal tersebut dapat dipahami karena agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Selain itu agama mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarsono (2008: 120) menurutnya anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian besar disebabkan karena


(24)

8

lalai menunaikan perintah-perintah agama. Pendapat ini diperkuat oleh Sutoyo (2009: 99), menurutnya individu melakukan suatu penyimpangan disebabkan karena fitrah iman yang ada pada setiap individu tidak bisa berkembang dengan sempurna atau imannya berkembang tetapi tidak bisa berfungsi dengan baik, sehingga menyebabkan individu melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat negatif atau menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya.

Remaja yang kadar keimanannya masih labil, akan mudah terjangkit konflik batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan berbagai hal yang menarik hati/keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan dengan norma agama (Yusuf 2009: 144).

Agama adalah unsur terpenting dalam diri seseorang. Apabila keyakinan beragama telah menjadi bagian integral dalam kepribadian seseorang, maka keyakinanya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya.

Menurut Desmita (2008: 208), dibandingkan dengan masa anak-anak keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Seifert dan Hoffnung (dalam Desmita 2008: 208), menurutnya meskipun pada awal masa kanak-kanak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka


(25)

mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.

Jalaluddin (2002: 80) mengungkapkan bahwa usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Remaja memiliki sikap kritis terhadap lingkungan yang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialaminya. Bila persoalan tersebut gagal diselesaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja berada di persimpangan jalan. Dalam situasi yang semacam ini, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar.

Penyelesaian yang mungkin dilakukan sangat tergantung dari kemampuan memilih. Bila tingkat rasa bersalah dan berdosa yang lebih dominan, biasanya remaja cenderung untuk mencari jalan “pengampunan”, sebaliknya bila perilaku menyimpang dianggap sebagai “pembenaran”, maka keterlibatan mereka pada perilaku menyimpang akan semkain besar. Tindakan ini akan mendorong mereka terbiasa dengan pekerjaan tercela itu. Seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin (2002: 75) bahwa tingkat religiusitas pada remaja akan berpegaruh terhadap perilakunya. Apabila remaja memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka remaja akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius pula, sebaliknya remaja yang memiliki tingkat religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau kenakalan-kenakalan terhadap ajaran agama yang dianutnya.


(26)

10

Asumsi ini didukung oleh penelitian terdahulu yang berjudul “Hubungan antara Religiusitas dengan Kecenderungan Perilaku Masturbasi pada Remaja di Yogyakarta”. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku masturbasi dimana religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 11,1% terhadap perilaku masturbasi (Rafellino 2007: 19).

Penelitian lain yang berjudul “Tingkah Laku Prososial Mahasiswa terhadap Pengemis ditinjau dari Tingkat Religiusitas”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan tingkah laku prososial mahasiswa terhadap pengemis dimana religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 23,62% (Rumengan 2010: 45).

Penelitian tersebut memberikan landasan bagi peneliti bahwa religiusitas memiliki peranan penting dalam perilaku seseorang. Seseorang yang kurang membekali dirinya dengan arahan dan bimbingan keagamaan dalam kehidupannya, maka kondisi seperti ini akan menjadi salah satu pemicu berkembangnya perilaku seseorang yang semakin meningkat dan akan berdampak pada setiap pebuatannya, serta lebih memudahkan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.


(27)

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?

2. Berapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal? 3. Bagaimana gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02

Slawi, Kabupaten Tegal?

4. Bagaimana gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal?

1.3

Tujuan penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas terhadap kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.

3. Untuk mengetahui gambaran kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.

4. Untuk mengetahui gambaran religiusitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal.


(28)

12

1.4

Kontribusi Penelitian

Penelitian tentang Pengaruh Religiuistas terhadap Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dibidang ilmu psikologi khusunya psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, dan psikologi sosial yang berkaitan dengan sejauhmana pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja.

2. Secara praktis

a. Bagi guru pembimbing (konselor)

Informasi tentang pengaruh religiusitas terhadap perilaku kenakalan remaja dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan dalam pencegahan perilaku kenakalan remaja dengan meningkatkan religiusitas yang ada dalam diri siswa sehingga mereka mampu mengarahkan dan membentuk jiwa keberagamaan yang mantap dan dinamis serta dapat mencegah terjadinya perilaku kenakalan remaja.

b. Bagi sekolah

Sebagai bahan pertimbangan penyusun kebijakan penanganan pelanggaran tata tertib sekolah dan mekanisme penanganan penyimpangan perilaku secara khusus kenakalan remaja yang dapat mempengaruhi siswa-siswa lain.


(29)

c. Bagi siswa

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya peran agama (religiusitas) dalam kaitannya dengan kenakalan siswa.


(30)

14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Remaja

2.1.1 Pengertian Remaja

Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Menurut Desmita (2008: 189) istilah remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Sedangkan menurut bahasa aslinya, remaja sering dikenal dengan istilah “adolescence”. Menurut Piaget, Istilah “adolescence”yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

Monks (2006: 262) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara usia 12 tahun sampai 21 tahun. Dengan pembagian 2-15 tahun: masa remaja awal, 15–18 tahun: masa remaja pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir.

2.1.2 Ciri-Ciri Masa Remaja

Hurlock (1980: 207-209) menyebutkan ciri-ciri remaja yaitu sebagai berikut:

1. Masa remaja dianggap sebagai periode penting

Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat perkembangan fisik dan psikologis yang kedua-duanya sama-sama penting. Terutama pada awal masa remaja, perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya


(31)

perkembangan mental yang cepat pula dapat menimbulkan perlunya penyesuaian dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

2. Masa remaja dianggap sebagai periode peralihan.

Bila anak-anak beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa, anak-anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.

Osterrieth mengatakan bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa kanak-kanak dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser, pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan bukan orang dewasa. 3. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajr dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu :

a. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

b. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesatkan menimbulkan masalah baru.


(32)

16

c. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah, apa yang dianggap pada masa kanak-kanak penting setelah hampir dewasa tidak penting lagi.

d. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, mereka menginginkan untuk menuntut kebebasan tetapi mereka sering takut dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu: a. Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh

orang tua dan guru-guru sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam menghadapi masalah.

b. Karena para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri pada kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dngan menjadi sama dengan teman-temannya. Seperti yang dijelaskan oleh Erickson : “Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Apakah dia seorang anak atau apakah dia orang dewasa? Apakah nanti akan menjadi seorang suami atau ayah? Apakah mampu percaya diri


(33)

sekalipun latar belakng ras, agama atau kebangsaanya membuat beberapa orang merendahkannya? Secara keseluruhan apakah ia akan berhasil atau gagal?” 6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulakan ketakutan

Majeres menunjukkan bahwa banyak anggapan popular tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja, bersikap simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Stereotip popular juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri. 7. Masa remaja sebagai usia yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kahidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini menyebabkan meningginya emsoi yang merupakan ciri dari awal masa remaja, semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. 8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, oleh karena itu remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa.


(34)

18

2.1.3 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin 2002: 74) perkembangan jiwa beragama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu adalah sebagai berikut :

a. Pertumbuhan pikiran dan mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya.

Menurut Hurlock (1980: 222) periode remaja memang disebut sebagai periode keraguan religius. Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keraguan religius tersebut adalah tanya-jawab religius. Menurut Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) para remaja ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna. Mereka ingin mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Dalam mengatasi kegalauan batin ini para remaja cenderung untuk bergabung dalam kelompok teman sebaya untuk berbagi rasa dan pengalaman. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, para


(35)

remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Namun demikian dalam kenyataannya apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa yang mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialami para remaja. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Dalam situasi yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka lebar (Jalaluddin 2002: 82).

b. Perkembangan perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula.

Menurut Jones (dalam Hurlock 1980: 222) perubahan minat religius selama masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan. Adanya perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan penggunaan keyainan serta khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi.


(36)

20

c. Perkembangan moral

Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:

1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

3) Submissive, merasakan adanya keraguan tehadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral

masyarakat. d. Sikap dan minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.

2.2

Kenakalan Remaja

2.2.1 Pengertian Kenakalan Remaja

Secara etimologis kenakalan remaja (juvenile delinquency) dapat dijabarkan bahwa juvenile yang berarti anak sedangkan delinquency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut sebyek atau pelakunya, maka menjadi juvenile delinquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat (Sudarsono 2008: 10).


(37)

Kausar (2012: 487) mengatakan bahwa kata “Juvenil” merujuk pada anak yang berusia di bawah 18 tahun dan “delinquency” adalah istilah yang didefinisikan oleh hukum untuk perilaku kriminal yang sering menghasilkan perilaku bermasalah yang ekstrim.

Kartono (2011: 6) mengartikan juvenil delinquency sebagai suatu perlakuan jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga dapat mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Delinquency menurut Kartono (2011: 6) selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun.

Simanjuntak (dalam Sudarsono 2008: 10) memberi tinjauan secara sosiokultural tentang arti juvenile delinquency, menurutnya suatu perbuatan disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif.

Menurut Santrock (2003: 518) kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang sangat luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial misalnya bersikap berlebihan di sekolah sampai pelanggaran status seperti melarikan diri hingga tindak kriminal misalnya pencurian (Dryfoos dalam Santrock 2003: 519).


(38)

22

Sudarsono (2008: 11) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama.

Dalam arti luas, kenakalan remaja meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan diluar KUHP (pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong detik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua, sesaudara saling bermusuhan. Disamping itu dapat dikatakan kenakalan remaja jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya, misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, remaja Kristen enggan melakukan sembahyang/kebaktian (Sudarsono 2008 : 12).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan kenakalan remaja adalah semua perbuatan menyimpang atau pelanggaran yang bersifat anti sosial, anti susila, pelanggaran status, melawan hukum dan menyalahi norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat yang dilakukan oleh remaja sehingga dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya.


(39)

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Simadjuntak (1981: 289-290) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan kenakalan pada remaja menjadi dua klasifikasi, yaitu:

1. Faktor internal :

a. Cacad keturunan yang bersifat biologis-psikis.

b. Pembawaan negatif yang mengarah pada perbuatan nakal.

c. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan. Hal ini menimbulkan frustasi dan ketegangan.

d. Lemahnya kontrol diri dan persepsi sosial.

e. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan yang baik dan kreatif.

f. Tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobi yang sehat. 2. Faktor eksternal :

a. Rasa cinta dari orang tua dan lingkungan.

b. Pendidikan yang kurang mampu menanamkan bertingkah laku sesuai dengan alam sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah dan masyarakat. c. Menurunnya wibawa orang tua, guru dan pemimpin masyarakat.

d. Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang berpengaruh dalam domain efektif, konasi, konisi dari orang tua, masyarakat dan guru. e. Kurangnya pemahaman terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah

dan masyarakat.


(40)

24

g. Ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja baik dalam segi pendekatan sosiologik, psikologik maupun pedagogik.

Santrock (2003: 522) menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan kenakalan pada remaja, yaitu :

a. Identitas

Erikson (Santrock 2003: 522) mengemukakan bahwa masa remaja berada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Ia percaya bahwa perubahan biologis berupa pubertas menjadi awal dari perubahan yang terjadi bersamaan dengan harapan sosial yang dimiliki keluarga, teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erickson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan kegagalan remaja dalam memenuhi bentuk integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas. Bagi Erickson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kontrol diri yang rendah dalam merespon perbedaan


(41)

acapkali menjadi penyebabnya. Remaja terkadang terlalu emosional dalam merespon suatu kejadian dan menolak kejadian tersebut sebagai sesuatu yang terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Feldman & Weinberger pada tahun 1994 menguatkan pendapat bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam kenakalan remaja (Santrock 2003: 524). Kebanyakan remaja yang melakukan kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan dalam berbagai kompetensi yang dapat meningkatkan cara pandang terhadap dirinya sendiri.

c. Proses Keluarga

Orang tua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak terlatih untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku anti sosial daripada orang tua yang memiliki remaja yang tidak melakukan kenakalan. Pengawasan orang tua terhadap remaja terutama penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja (Patterson & Stouthamer-Loeber 1984 dalam Santrock 2003: 524).

d. Kelas sosial / komunitas

Walaupun kini kenakalan remaja tidak lagi terbatas hanya sebagai kelas masalah sosial yang lebih rendah dibandingkan dimasa sebelumnya, beberapa ciri kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya kenakalan (Jenkins & Bell dalam Santrock 2003: 525). Norma yang berlaku diantara teman-teman sebaya dan geng dari kelas sosial yang lebih rendah adalah


(42)

26

antisosial dan berlawanan dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas (McCord dalam Santrock 2003: 525).

Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena remaja yang dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.

Komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya kenakalan (Chesney-Lind 1989; Figueira & McDonough 1992 dalam Santrock 2003: 525). Masyarakat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikandan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan.

Hal lain dijelaskan oleh Sutoyo (2009: 99-100) menurutnya kenakalan remaja disebabkan karena fitrah iman yang ada pada individu tidak bisa berkembang dengan sempurna, dan atau imannya berkembang tetapi tidak berfungsi dengan baik. Sebab iman yang berkembang dengan sempurna tantu


(43)

mampu berfungsi sebagai pemberi arah, pendorong dan sekaligus pengendali bagi fitrah jasmani, rohani dan nafs; yang pada akhirnya akan melahirkan kecenderungan untuk berperilaku positif. Sedangkan menurut Sudarsono (2008: 120) mengatakan bahwa anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian besar disebabkan karena meraka lalai menunaikan perintah-perintah agama antara lain tidak mengikuti acara kebaktian, tidak mengikuti acara missa, tidak menjalankan puasa dan tidak mengerjakan sholat.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh dua faktor, yaitu :

1. Faktor internal meliputi identitas, kontrol diri, proses keluarga, fitrah iman yang belum berkembang sempurna dan agama.

2. Faktor eksternal meliputi pengawasan yang kurang dari orang tua keluarga maupun guru, kurangnya sarana penyaluran waktu senggang, pendidikan yang kurang dan komunitas/lingkungan.

2.2.3 Ciri-Ciri Pokok Kenakalan Remaja

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1989: 19) beberapa ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja yaitu :

1. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya.

2. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah.


(44)

28

3. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja dan dapat dilakukan bersama-sama dalam sekelompok remaja.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja yaitu perbuatan tersebut bersifat melanggar hukum, bertentangan dengan nilai atau norma dan dilakukan oleh seorang remaja maupun dilakukan bersama-sama oleh sekelompok remaja.

2.2.4 Jenis-Jenis Kenakalan Remaja

Jensen (dalam Sarwono 2010: 256) membagi kenakalan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, misalnya: perkelahian, menyakiti teman seperti melakukan penganiayaan dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya: perusakan, pencurian,

pemerasan, menggunakan iuran sekolah (SPP) dan lain-lain.

3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, misalnya: menikmati karya pornografi, penyalahgunaan obat dan hubungan seks bebas.

4. Kenakalan yang melawan status, misalnya: mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara datang terlambat ke sekolah, membolos, tidak memakai atribut sekolah dengan lengkap, berpakaian tidak sesuai dengan aturan sekolah, berperilaku tidak sopan dengan orang tua dan guru, mencontek, keluyuran setelah pulang sekolah dan pada malam hari tanpa tujuan yang jelas, berbohong, menggunakan kendaraan bermotor tanpa memiliki surat ijin


(45)

mengemudi (SIM), mengingkari status orang tua dengan cara kabur/minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.

Kenakalan remaja dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar sesuai kaitannya dengan norma hukum (Mulyono 1993: 22-24):

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial yang tidak diatur oleh undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, berbohong atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu diri, berpakaian tidak pantas, memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, meminum-minuman keras, menggunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak senonoh, kabur dari rumah, keluyuran atau pergi sampai larut malam, dan bergaul dengan teman yang dapat menimbulkan pengaruh negatif.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaiannya sesuai dengan undang-undang dan hukum, seperti berjudi, mencuri, menjambret, merampok, merampas dengan atau tanpa kekerasan, menggelapkan barang, penipuan dan pemalsuan, memiliki dan membawa senjata tajam yang dapat membahayakan orang lain, pengguran kandungan, percobaan atau terlibat pembunuhan dan penganiyaan.

Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan :

4. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit.


(46)

30

5. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. 6. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar

nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-lain.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bentuk kenakalan remaja dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Kenakalan ringan/biasa, dimana kenakalan ini bersifat amoral dan anti sosial, yaitu kenakalan yang melanggar aturan-aturan yang ada di sekitar lingkungan tempat individu berada, misalnya lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Kenakalan ini tidak diatur oleh undang-undang dan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, suka keluyuran, suka berkelahi, membawa benda yang tidak ada kaitannya dengan KBM, berpakaian tidak sopan, berkata tidak sopan dan senonoh, dan meninggalkan rumah tanpa izin orang tua dimana kenakalan ini merupakan kenakalan yang melawan status.

2. Kenakalan sedang, yaitu jenis kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dimana kenakalan ini diatur oleh hukum dan dapat merugikan masyarakat, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin yang dapat menimbulkan korban fisik dan materi pada orang lain.

3. Kenakalan berat/khusus, yaitu kenakalan yang melanggar hukum dan mengarah kepada tindakan kriminal, seperti berjudi, mencuri, menjambret, penipuan, penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan, hubungan seks diluar


(47)

nikah, penggelapan barang dan terlibat pembunuhan serta penganiayaan. Kenakalan ini merupakan kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik, menimbulkan korban materi dan tidak menimbulkan korban di di pihak orang lain.

Pada penelitian ini peneliti membatasi kenakalan remaja pada jenis kenakalan ringan, yaitu perilaku pelanggaran tata tertib sekolah siswa SMP Negeri 02 Slawi, Kabupaten Tegal yang tercatat dalam Jurnal Buku Sanksi dimana perilaku tersebut meliputi terlambat masuk sekolah, membolos, tidak masuk sekolah tanpa keterangan, merokok di lingkungan sekolah, memakai seragam tidak lengkap, tidak mengerjakan tugas, mengompas/memalak dan berkata tidak sopan kepada guru.

2.2.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja

Tindakan delinkuen anak remaja banyak menimbulkan kerugian materiil dan kesengsaraan batin baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada para korbannya. Maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan tindak-tindak preventif dan penanggulangan secara kuratif (Kartono 2011: 95-97). Tindakan preventif yang dilakukan berupa :

1. Meningkatkan kesejahteraan keluarga.

2. Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.

3. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.

4. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja. 5. Membentuk badan kesejahteraan bagi anak-anak.


(48)

32

6. Mengadakan panti asuhan.

7. Mengadakan lembaga freformatif untuk memberikan latihan korektif, pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susial kepad anak-anak dan para remaja yang membutuhkan.

8. Membuat badan supervise dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen, disertai program yang korektif.

9. Mengadakan pengadilan anak.

10.Menyusun undang-undang khusus untuk anak dan remaja. 11.Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).

12.Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.

13.Menyelenggaran diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi diantara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar.

14.Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja delinkuen dan yang nondelinkuen. Misalnya berupa latihan vokasional, latihan hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi dan lain-lain. 15.Tindakan hukuman bagi anak remaja delinkuen antara lain berupa:

menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan bisa mengugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan mandiri.

Selanjutnya tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen antara lain berupa :


(49)

1. Menghilangkan sebab musabab timbulnya kejahatan remaja baik yang berupa familial, sosial ekonomis dan kultural.

2. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan memberikan orang tua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.

3. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah lingkungan sosial yang baik.

4. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib, berdisiplin. 5. Memanfaatkan waktu senggang untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan

melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.

6. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat.

7. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan.

8. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. memberikan pengobatan medis dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bentuk penanggulangan dari kenakalan remaja dilakukan secara preventif dan kuratif.

2.2.6 Jurnal Buku Sanksi

Jurnal buku sanksi merupakan buku yang digunakan oleh guru bimbingan dan konseling SMP N 02 Slawi untuk mencatat sejumlah aktivitas-aktivitas atau


(50)

34

kejadian-kejadian yang berkaitan dengan beberapa kasus atau pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswi SMP N 02 Slawi. Buku ini berisi sekumpulan catatan-catatan mengenai permasalahan-permasalahan yang dialami oleh beberapa siswa-siswa SMP N 02 Slawi. Buku ini terbagi menjadi dua, yaitu buku catatan terlambat yang digunakan untuk mencatat siswa-siswa yang datang terlambat ke sekolah dan buku catatan kasus yang digunakan untuk mencatat beberapa kasus atau permasalahan yang dialami oleh beberapa siswa di sekolah.

SMP N 02 Slawi tidak menerapkan sistem poin untuk setiap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswa di SMP tersebut. Hal ini disebabkan karena apabila sistem poin digunakan dikhawatirkan semua siswa akan mendapatkan poin atas pelanggaran yang dilakukan. Menurut pemamaran guru bimbingan dan konseling sendiri sistem poin sudah pernah diterapkan, namun dengan diterapkannya sistem poin tersebut membuat siswa malas berangkat ke sekolah karena mereka merasa terbebani dengan adanya penerapan poin tersebut dan dampaknya hampir semua siswa mendapatkan poin atas pelanggran-pelanggaran yang mereka lakukan. Karena tidak diterapkannya sistem poin di sekolah ini, maka pihak sekolah tidak bisa mengklasifikiasikan atau mengkategorisasikan jenis pelanggaran-pelanggaran atau kenakalan yang dilakukan oleh beberapa siswa SMP N 02 Slawi.

Pihak SMP N 02 Slawi memberi batasan bagi siswa-siswa yang melakukan tindak pelanggaran baik pelanggaran keterlambatan maupun pelanggaran kasus-kasus lainnya yaitu maksimal tiga kali berturut-turut dalam satu minggu. Apabila siswa telah melakukan pelanggaran dua kali dalam satu minggu, maka guru


(51)

pembimbing segera mengambil tindakan atas pelanggran tersebut dengan cara melakukan pembinaan secara langsung kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Pembinaan ini dilakukan pada saat jam istirahat berlangsung dengan cara memanggil siswa yang bersangkutan ke ruang bimbingan dan konseling untuk mendapatkan pembinaan dari guru pembimbing. Dengan adanya pembinaan ini diharapkan siswa dapat mengurangi bahkan merubah perilakunya sehingga siswa tersebut tidak melakukan pelanggaran kembali. Apabila setelah diadakan pembinaan secara langsung siswa tidak mengalami perubahan dan tetap melakukan pelanggaran, maka penanganan dialihtangankan kepada Kepala Sekolah. Namun apabila tindakan ini belum juga berhasil, pihak sekolah memutuskan untuk memanggil orang tua atau wali murid ke sekolah.

2.3

Religiusitas

2.3.1 Pengertian Religiusitas

Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya.

Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu memberi dorongan


(52)

36

terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).

Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76) mendefinisikan agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti & Ritandiyono 2008: 172) bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah masyarakat.

Selanjutnya Ancok dan Suroso (1995: 76) mengemukakan bahwa keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural, bukan hanya aktivitas yang tampak dan dapat dilihat tetapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi pada hati seseorang. Karena itu


(53)

keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi dan dimensi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama adalah sistem yang berdimensi banyak.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya.

2.3.2 Karakteristik Individu yang Memiliki Religiusitas

Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan tercermin dalam perilakunya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Glock dan Stark dalam dimensi religiusitas, Ancok dan Suroso menjelaskan karakteristik individu yang memiliki religiusitas berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark yang memiliki kesesuaian dengan islam, yaitu:

1. Memiliki ciri utama berupa keyakinan (aqidah) yang kuat. Aqidah ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman (iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, Nabi, hari pembalasan dan qadha dan qadhar). Seorang muslim yang religius akan merasa yakin atau percaya terhadap adanya Allah, melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, mencintai dan melaksanakan perintah Allah, serta menjauhi larangan-Nya, meyakini adanya hal-hal yang dinaggap suci dan sakral, seperti kitab suci, tempat ibadah san sebagainya.


(54)

38

2. Mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan diajarkan oleh agamanya. Seorang muslim yang beribadah dengan baik menggunakan jam-jam yang dimilikinya untuk beribadah kepada Allah dengan sholat, banyak berdzikir, berdoa, rajin berpuasa dan zakat serta ibadah-ibadah lainnya.

3. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan disesuaikan dan dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya seperti suka menolong, bekerjasama, berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, memaafkan, mematuhi norma-norma islam dalam perilaku seksual dan sebagainya.

4. Mengetahui dan memahami hal-hal yang pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi terhadap ajaran agamanya, seperti mengetahui tentang isi Al-quran, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, Sejarah Islam dan sebagainya. Dengan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan agama yang dianut, seseorang akan lebih paham tentang ajaran agama yang dipeluknya.

5. Merasakan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Allah, seperti merasakan bahwa doanya dikabulkan Allah, merasakan ketentraman karena menuhankan Allah, tersentuh atau bergetar ketika menderang asma-asma Allah (seperti suara adzan dan alunan ayat-ayat suci Al-Quran) dan perasaan syukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah.


(55)

Hawari (dalam Sutoyo 2009: 148-160) menyebutkan ciri seseorang yang memiliki religiuistas tinggi yaitu:

1. Merasa resah dan gelisah manakala tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan Allah atau melakukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya. Ia akan merasa malu ketika berbuat sesuatu yang tidak baik meskipun tak seorangpun melihatnya. Selain itu Ia juga selalu ingat kepada Allah, perasaannya tenang dan aman karena merasa dilindungi oleh Dzat yang maha perkasa lagi Bijaksana.

2. Selalu merasa bahwa segala tingkah laku dan ucapannya ada yang mengontrol. Oleh sebab itu mereka selalu berhati-hati dalam bertindak dan berucap.

3. Melakukan pengamalan agama seperti yang dicontohkan oleh para Nabi, karena hal tersebut dapat memberikan rasa tenang dan terlindungi bagi pemeluknya.

4. Memiliki jiwa yang sehat sehingga mampu membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya.

5. Selalu melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas tersebut tidak mendatangkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya. Hal ini dikarenakan ia memiliki kontrol diri yang baik sehingga timbul kesadaran bahwa apapun yang ia lakukan pasti akan mendapatkan balasan dari Allah.

6. Memiliki kesadaran bahwa ada batas-batas maksimal yang tidak mungkin dicapainya, karena ia menyadari bahwa hal tersebut sepenuhnya merupakan


(56)

40

kehendak Allah dan tidak mudah mengalami stress ketika mengalami kegagalan serta tidak pula menyombongkan diri ketika sukses, karena ia yakin bahwa kegagalan maupun kesuksesan pada dasarnya merupakan ketentuan Allah.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri seseorang yang memiliki religiusitas yaitu memiliki keyakinan yang kuat akan adanya Allah sehingga ia merasa resah dan gelisah manakala tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan Allah dan sesuatu yang dilarang Allah serta merasa segala tingkah lakunya ada yang mengontrol. Memiliki kesadaran bahwa ada batas-batas maksimal yang tidak mungkin dicapainya karena ia menyadari bahwa hal tersebut sepenuhnya merupakan takdir Allah. Mampu membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya dan selalu melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam hidupnya. 2.3.3 Dimensi Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso 1995: 77-78) membagi dimensi atau aspek religiusitas menjadi lima, kelima aspek atau dimensi tersebut yaitu : 1. Dimensi keyakinan

Yaitu dimensi yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.


(57)

2. Dimensi praktik agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :

1) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua para pemeluk mengharapkan para pemeluk melaksanakan.

2) Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.

3. Dimensi pengalaman

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esesnsi ketuhanan, yaitu dengan tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.


(58)

42

4. Dimensi pengetahuan agama

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.

5. Dimensi pengamalan atau konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

Berpandangan terhadap rumusan dimensi keberagamaan yang dikemukakan oleh Glock & Stark, Ancok & Suroso (1995: 80) membagi dimensi keberagamaan menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu yang memiliki kesesuaian dengan Islam. Walaupun tak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan


(59)

syariah dan dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak. Kelima dimensi tersebut yaitu :

1. Dimensi Keyakinan atau akidah islam

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Didalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rosul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

2. Dimensi peribadatan (praktek agama) atau syariah

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pelaksanaan sholat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di bulan puasa dan sebagainya.

3. Dimensi pengamalan atau akhlak

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkatan Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, mematuhi norma-norma islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.


(60)

44

4. Dimensi pengetahuan atau ilmu

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman), hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan sebagainya.

5. Dimensi pengalaman atau penghayatan

Dimensi ini menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan sholat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Quran, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.

Allport dan Fetzer (dalam Purnama 2011: 38) mengemukakan bahwa religiusitas terdiri dari dua aspek, yaitu: 1) aspek intrinsik; menggunakan agama sebagai alat-alat untuk mencapai sesuatu seperti untuk memperoleh kenyamanan, keamanan, status dan dukungan sosial. 2) aspek ekstrinsik; melaksanakan agama semata-mata tulus karena perintah Tuhan bukan karena kepentingan pribadi. Masing-masing aspek terdiri dari 12 indikator, yaitu:


(61)

1. Pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experiences)

Dimensi ini merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan dampak menjalankan agama (pengalaman spiritual) dalam kehidupan sehari-hari. Secara terperinci dimensi ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang yang melihat komunikasi dalam suatu esensi ketuhanan yaitu Tuhan, kenyataan terakhir dengan otoritas transedental.

2. Makna Beragama (meaning)

Meaning adalah pencarian makna dari kehidupan dan berbicara mengenai

pentingnya makna atau tujuan hidup sebagai bagian dari fungsi penting untuk mengatasi hidup atau unsur kesejahteraan psikologis. Pencarian makna juga telah didefinisikan sebagai salah satu fungsi kritis agama.

3. Nilai-nilai Beragama (values)

Values adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti

mengerjakan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi dan sebagainya. Nilai-nilai agama tersebut mengatur tata kehidupan manusia untuk mencapai ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan.

4. Keyakinan (beliefs)

Konsep belief merupakan sentral dari religiusitas. Dalam bahasa Indonesia disebut keimanan. Yakni kebenaran yang diyakini dengan nilai dan diamalkan dengan perbuatan. Keyakinan dan kecintaan kepada agama merupakan karakter dasar dan ciri khas ekspresi kesadaran bawah sadar seseorang yang mengimani ajaran agama tersebut.


(62)

46

5. Pengampunan (forgiveness)

Secara harfiah forgiveness adalah memaafkan, yakni suatu tindakan yang bertujuan unttuk memberi maaf bagi orang yang melakukan kesalahan dan berusaha keras untuk melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan dan cinta. 6. Praktek Keberagamaan Individual (private religious practices)

Menurut Fetzer (1999 dalam Purnama 2011: 44) private religious practices merupakan perilaku beragama dalam mempelajari agama meliputi ibadah, mempelajari kitab suci, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Secara mendasar dimensi ini dapat dipahami untuk mengukur tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan ritual agamanya. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap ajaran agama yang dianutnya.

7. Pengaruh Beragama (religious/spiritual coping)

Fetzer menawarkan pola religious/spiritual coping yang merupakan coping stress guna mengatasi kecemasan, kegelisahan dan stress. Hal ini dilakukan dengan cara berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress dan sebagainya. 8. Dukungan Agama (religious support)

Religious support adalah aspek hubungan sosial antar individu dengan

pemeluk agama sesamanya. Dalam islam hal semacam ini sering disebut dengan Ukhwah Islamiyah. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat.


(63)

9. Riwayat Beragama (spiritual religious/spiritual history)

Religious/spiritual history merupakan seberapa jauh individu berpartisipasi

untuk agama dalam hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya. Wilcox (dalam Purnama 2011: 46) menyatakan sebagian orang beranggapan bahwa agama sebagai suatu peninggalan masa lampau, sesuatu yang bersifat kuno. Ditegaskan ide tentang agama memang sudah lama ada, namun agama yang sejati selalu baru untuk setiap manusia yang bernafas. Dalam pandangan psikologi sufi, menurut Wilcox, spiritual history terbangun dalam dua kategori utama: spiritualitas dan materialis. Materialis mengatakan bahwa perasaan jasmaniyah menggambarkan kebenaran, ditemukan dalam sel-sel kita dan benda-benda di luar. Spiritualis mengatakan kebenaran ditemukan melalui pikiran kita (yang merupakan produk dari sel-sel kita).

10.Komitmen Beragama (commitment)

Commitment adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya,

komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya. Hidayat (dalam Purnama 2011: 47) melukiskan cara yang indah dalam menjalin komitmen agama. Menurutnya agama ibarat pakaian. Hal ini dikarenakan, pertama, untuk menjaga kesehatan. Mereka yang tinggal di daerah dingin sangat sadar akan fungsi kesehatan. Kedua, untuk menjaga aurat. Salah satu aspek yang membedakan manusia dengan binatang adalah manusia mengenal konsep aurat lalu mengenakan pakaian. Ketiga orang yang berpakaian selalu mempertimbangkan aspek estetika atau seni agar indah dipandang. Inilah tiga fungsi utama pakaian yang bisa dianalogikan dengan agama.


(64)

48

11.Pengorganisasian Agama (organizationan religiousness)

Organizational religiousness merupakan konsep yang mengukur seberapa

jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktivitas di dalamnya. Menurut Effendy (dalam Purnama 2011: 47) lembaga keagamaan memiliki implikasi-implikasi yang sifatnya personal maupun kelompok. Misalnya lembaga keagamaan yang ada di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

12.Pilihan Terhadap Agama (religious preference)

Konsep religious preference bisa diartikan sebagai pijakan untuk menentukan sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan agama yang dianutnya. Contoh dari religious preference bagi umat islam adalah menjalankan jihad. Kata jihad sering dimaknai sebagai perjuangan dan biasanya digunakan dalam al-quran sebagai kata kerja: kaum Muslim didorong untuk berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah.

Berdasarkan uraian diatas, maka dimensi religusitas yang akan dipakai dalam penelitian ini terdiri dari empat dimensi yaitu keyakinan, praktek agama, pengamalan dan pengalaman. Alasan digunakannya keempat dimensi tersebut yaitu karena dimensi pengetahuan dianggap kurang dapat menggambarkan religiusitas yang ada dalam diri individu. Seperti yang diungkapkan oleh Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso 1995: 78) bahwasanya pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu


(1)

Religiusitas -.771 1.000 Sig. (1-tailed) Kenakalan Remaja . .000 Religiusitas .000 . N Kenakalan Remaja 70 70 Religiusitas 70 70

2.

Hasil Analisis Pengaruh Religiusitas terhadap Kenakalan Remaja

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 39755.601 1 39755.601 99.404 .000a

Residual 27195.842 68 399.939 Total 66951.443 69

a. Predictors: (Constant), Religiusitas b. Dependent Variable: Kenakalan Remaja

3.

Hasil Analisis Besarnya Pengaruh Religiusitas terhadap Kenakalan Remaja

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F Change 1 .771a .594 .588 19.99847 .594 99.404 1 68 .000

4.

Persamaan Garis Regresi

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 287.929 23.552 12.225 .000 Religiusitas -2.543 .255 -.771 -9.970 .000 a. Dependent Variable: Kenakalan Remaja


(2)

169

LAMPIRAN 8:


(3)

Menjelaskan Petunjuk Pengerjaan

Mengawasi siswa mengerjakan instrumen

Membantu siswa mengisi instrumen

Mengawasi siswa mengisi instrumen


(4)

171

LAMPIRAN 9


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGELOLAAN PELAKSANAAN UKS DI SMP NEGERI MTs NEGERI DI KECAMATAN SLAWI KABUPATEN TEGAL TAHUN 2014

0 13 131

MUSIK SEBAGAI SARANA BEREKSPRESI DIRI BAGI SISWA DI TK NEGERI PEMBINA SLAWI KABUPATEN TEGAL

0 14 93

PENGARUH KENAKALAN REMAJA DAN LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN EKONOMI SISWA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA.

0 0 10

ANALISIS KENAKALAN REMAJA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 Analisis Kenakalan Remaja Dan Perhatian Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Siswa Smp Muhammadiyah 1 Surakarta (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII SMP

0 0 16

ANALISIS KENAKALAN REMAJA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 Analisis Kenakalan Remaja Dan Perhatian Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Siswa Smp Muhammadiyah 1 Surakarta (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII SMP

0 0 17

Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Fasilitas Belajar terhadap Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Slawi Kabupaten Tegal.

0 0 93

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan

0 0 50

PENGARUH BIMBINGAN SOSIAL TERHADAP KENAKALAN REMAJA PADA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 21 PONTIANAK

0 0 9

GEJALA BAHASA PROKEM DIALEK TEGAL DI LINGKUNGAN REMAJA DESA KALISAPU KECAMATAN SLAWI KABUPATEN TEGAL

0 0 13