Pembangunan Perdesaan sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan

30 versi UNDP berporos pada padigma pembangunan populasikerakyatan popular development paradigm yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen. Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial social capabilities dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan income dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh matapencaharian livelihood capabilities, memenuhi kebutuhan dasar basic needs fulfillment, mengelola aset asset management, menjangkau sumber-sumber access to resources, berpartisipasi dalam kemasyarakatan access to sosial capital, serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan cope with shocks and stresses. Suharto, 2003

2.4 Pembangunan Perdesaan sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Pembangunan perdesaan menurut rumusan Bank Dunia, merupakan suatu strategi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi lapisan masyarakat tertentu, masyarakat perdesaan yang miskin dan melibatkan secara luas manfaat dari pola pembangunan untuk kelompok termiskin diantaranya mereka yang mencari nafkah di perdesaan Alala, 1992. Khususnya dalam kaitannya dalam kaitanya dengan pembangunan masyarakat, PBB lebih menekankan pada proses dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberikan kesempatan secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa Conyers, 1987. Oleh karena pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang dicanangkan guna memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan miskin 31 maka usaha untuk memerataan pendapatan dituntut adanya perbaikan kelembagaan juora, 1985. Menurut Soekartawi 1990, aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secera keseluruhan, tetapi juga ekonomi perdesaan. Dikatakan, bahwa aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan diperdesaan dikatakan maju sebagaimana yang dikemukakan Mosher 1974. Selama ini program-program pembangunan perdesaan seperti IDT Inpres Desa Tertinggal dan PPTAD Program Pengembangan Terpadu Antar Desa lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan masyarakat umumnya belum tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan masyarakat desa sesungguhnya sangat mendesak, seperti ketertinggalan desa dari kota, tidak terakomodasinya keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam program- program pemerintah dan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masih rendah. Hernowo, 2003 Ndraha 1987, mengatakan bahwa strategi pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya. Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, Samonte sebagimana dikutip Ndraha 1987, berpendapat bahwa basis stategi pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakan dari pembangunan lainnya. Ndraha, 1987 Menurut Saharia 2003, terdapat paradigma baru dalan pembangunan perdesaan, dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan hasil memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan sekitar 75 persen dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumberdaya manusianya dan potensi sumberdaya alamnya. Dengan kata lain, paradigma 32 pembangunan tersebut akan dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan terutama diwilayah perdesaan, ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan yakni : 1. Menghubungi tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani. 2. Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program yang akan diterapkan. 3. Menumbuhkan motivasi pada diri tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani agar program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama mereka alasan-alasan dan tujuan dari pelaksanaan program tersebut. Sejalan dengan itu, Saharia 2003, mengungkapkan pula bahwa ada beberapa metode pendekatan yang telah dikembangkan untuk memposisikan masyarakat yang ada diperdesaan dalam hal ini masyarakat tani bukan hanya sebagai objek atau penonton tetapi harus secara aktif ikut serta dalam perencanaan, pengawasan dan menikmati pembangunan. Metode yang dimaksud adalah : 1. Pendekat secara partisipatif dan dialogis Pendekatan partisipatif dan dialogis dilakukan antar petani dimana mereka secara bersama-sama menganalsis masalah dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata, sehingga pengambilan keputusan dilakukan secar musyawarah dan mufakat sesuai aspirasi dan kepentingan petani dalam mengatasi permasalahan. 2. Memadukan pendekatan dari bawah dan dari atas Bottom-Up and Top- Down Approach Dalam merumuskan suatu program harus melihat bagaimana respon masyarakat terhadap program yang sedang dicanangkan. Sementara petugas lapangan dari instansi terkait hanya berperan sebagai motivator, fasilitator dan mediator dalam proses perumusan dan pelaksanaan program tersebut. 3. Pendekatan tradisi socio-Cultural Approach Perencanaan maupun pelaksanaan suatu program harus mempertimbangkan kondisi sosial-kultural masyarakat yang ada pada wilayah tersebut dan juga tetap mempertimbangkan kelembagaan masyarakat desa yang sudah ada. 33 4. Menggunakan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari LSM atau perguruan tinggi yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam penyusunan dan pelaksanaan suatu program. Saharia 2003, menjelaskan bahwa berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam upaya peningkatan pertisipasi masyarakat di wilayah perdesaan yang dikelompokkan dalm empat sektor utama dengan beberapa sub kegiatan diantaranya adalah: 1. Pengelolaan Sumberdaya Alam a. Konservasi daerah aliran sungai DAS, tanah dan air, yakni pengelolaan dan perencanaan DAS secara partisipatif b. Kehutanan: misalnya hutan sosial dan hutan komunitas; penilaian kerusakan hutan, perlidungan, perawatan dan penanaman tanaman hutan, identifikasi pemanfaaatan pohon, penggunaan dan pemasaran hasil hutan c. Perikanan, dan perikanan darat maupun laut d. Zona perlindungan satwa liar e. Penilaian bahan pangan dan bahan bakar f. Perencanaan desa: persiapan pengelolaan sumberdaya perdesaan 2. Pertanian a. Hasil panen, termasuk penelitian persipatoris petanipenelitian sistem pertanian oleh petani. b. Irigasi, termasuk rehabilitasi sistem irigasi skala kecil. c. Pasar, inventigasi pasar dan potensi merebut pasar. 3. Program untuk persamaan a. Wanita; penilaian partisipatif tentang masalah serta bagaimana mencari solusi dari masalah yang dihadapi. b. Kredit; identifikasi kebutuhan kredit dan dari mana saja sumber kredit yang dapat dimanfaatkan sebagai modal kerja bagi masyarakat perdesaan yang kebanyakan bermata pencaharian di sektor pertanian sebagai petani. Modal kerja ini tentunya diharapkan dengan bunga yang relatif kecil dan angsurannya disesuaikan dengan saat diamana petani memungut hasil husahanya waktu panen. c. Seleksi; pencarian dan pemilahan masyarakat miskin untuk suatu program, dan pemilihan masyarakat yang cukup mampu. 34 d. Pendapatan; identifikasi peluang untuk penghasilan non-pertanian, hal ini dilakukan agar masyarakat desa mengetahui potensi apa yang sebaiknya mereka kembangka selain bertani. 4. Kesehatan dan Gizi a. Penilaian dan pemantauan kesehatan: identifikasi pentakit utama, biaya penanganan kesehatan, dan perencanaan proyek kesehatan. b. Ketersediaan bahan pangan dan peningkatan gizi. c. Sanitasi dan air; perencanaan dan lokasinya. Dari keempat faktor utama yang telah dikemukakan, tentunya akan lebih efektif apabila banyak melibatkan masyarakat pada wilayah tersebut dan terprogram sesuai dengan potensi masyarakat yang ada. Partisipasi masyarakat perdesaan menurut paradigma baru pembangunan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan perdesaan. Namun sayangnya, partsipasi masyarakat dipandang masih rendah. Rendahnya partisipasi masyarakat perdesaan dalam pembangunan, sebagaimana sering dipersoalkan, pada dasarnya bersumber pada sistem kelembagaan sosial, terutama pada masyarakat yang memiliki sistem kelembagaan lokal dengan kontrol sosial yang ketat. Dalam situasi seperti itu pada umumnya masyarakat memperlihatkan pertisipasi internal yang tinggi. Partisipasi ini menunjuk pada wujud kesetiaaan terhadap norma yang berlaku dalam sistem sosial. Keadaan ini sudah tentu dapat menyebabkan rendahnya parsipasi eksternal, apabila program-program tertentu menurut pandangan mereka tidak selaras dengan sistem norma dan kelembagaan yang ada Soekartawi dan Mustafa, 2002. Menurut Hasibuan 1995, ada beberapa sebab yang tampaknya menjadi penghambat ke arah kemajuan desa. Pertama, kondisi geografis yang sedemikian luas, sehingga sulit dalam jangkauan operasional. Kedua, sebaran dan jumlah penduduk yang berkombinasi dengan kondisi pertama tadi. Ketiga, orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi, sehingga prioritas terletak pada segi-segi yang mendukung efisiensi. Keempat, potensi desa belum dikelola secara optimal, oleh karena kendala pertama, kedua dan ketiga tadi. Kelima, kondisi sosio-budaya yang masih membelenggu para perencana ekonomi, sebagai akibat adanya ”structural-lagged” masa lalu. Keenam, belum jernihnya pandangan tentang desa, sehingga ada sikap pandangan yang serba inferior terhadap perdesaan dan serba superior terhadap 35 perkotaan. Ketujuh, pembangunan perdesaan lebih cenderung pada pendekatan penyiapan prasarana dan sarana fisik daripada sarana non fisik. Kedelapan, partisipasi mesyarakat sulit berkembang karena sistim pemerintahan yang relatif serba sentralistik, baik pusat maupun daerah terhadap desa. Kesembilan, faktor SDM yang sangat lambat berkembang kualitasnya, dan terjadi brain-drain tenaga-tenaga yang relatif berkualitas, karena kesenjangan insentif. Bintaro 1989, mengemukakan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat teknologi penduduk desa masih tergolong rendah dan belum berkembang. Dengan corak kehidupan yang sifatnya agraris, kehidupan mereka sederhana, jumlah penduduk tidak besar dan letaknya relatif jauh dari kota. Wilayah ini pada umumnya terdiri dari permukiman penduduk dan persawahan, jaringan jalan begitu padat dan sarana transportasi masih sangat langkah. Keterpencilan dan keterbelakangan daerah perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor geografis, transportasi dan komunikasi di samping faktor-faktor lain seperti terbatasnya tenaga penggerak pembangunan. Akibatnya terpencilnya suatu tempat menyebabkan pertumbuhahannya dalam banyak hal menjadi penghambat. Dalam hubungannya dengan kota, maka desa berfungsi dan berpotensi sebagai desa yang merupakan daerah pendukung dan berfungsi sebagai daerah pemasok bahan makanan seperti padi, jagung, ketela, kedelai dan buah-buahan. Selain itu desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan baku dan tenaga kerja yang tidak kecil artinya. Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan perdesaan. Menurut Haerun sebagaimana dikutib oleh Hernowo 2003, ada dua sisi pandang untuk menelaah perdesaan, yaitu : 1 Pembangunan perdesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. 2 Sisi lain memandang bahwa pembangunan perdesaan sebagai suatu integrasi antar potensi yang dimiliki oleh masyrkat desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pembangunan perdesaan. Adapun sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat perdesaan yang kukuh dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan. Sasaran pembangunan perdesaan tersebut diupayakan secara nyata bertahap dengan langkah : 36 1. Peningkatan kualitas tenaga kerja perdesaan 2. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa 3. Penguatan lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat desa, 4. Pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa, 5. Pengembangan sarana dan prasaranan perdesaan 6. Pemantapan keterpaduan pembangunan desa berwawanan lingkungan. Kebijakan pembangunan perdesaan harus dilaksanakan melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dari pernyataan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan untuk memcapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan pada daerah mana yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan dimasing-masing daerah.

2.5 Pendekatan Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan.