Konsep Kemiskinan TINJAUAN PUSTAKA

24

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kemiskinan

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut absolut Tambunan, 2003. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin Badan Pusat Statistik, 1998. Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa diperkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibatnya jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah. Badan Pusat Statistik BPS mendefenisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Berdasarkan indikator internasional seperti terdefenisi miskin dalam kategori Millenium Development Goals MDGs adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar US 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp 540.000 per bulan. Menurut Nurkse 1953, ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada dimasyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada tertumbuhan perbandingan dengan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan menyebabkan ketidak merataan meningkat. Pertumbuhan ekonomi tinggi mensyaratkan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi pula. 25 Akumulasi kapital hanya akan dimiliki oleh mereka yang memiliki kekayaan yang banyak. Akibatnya didalam pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, pemilik modal lebih diuntungkan di bandingkan orang miskin. Nurkse 1953, mengemukakan bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasn informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah, daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemahnya mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada. Dari aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah dari, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan. Nurkse 1953, menjelaskan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup diatas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Sajogyo 1987, mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sayogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Menurut Tambunan 1996, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan langsung maupun tidak langsung, mulai dari tingkat dan laju 26 pertumbuhan output produktivitas, tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subtitusi, investasi, alokasi serta kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik, hingga politik, bencana alam dan peperangan. Kalau diamati sebagai faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain. Misalnya tingkat pajak yang tinggi membut tingkat upah neto rendah dan ini bisa mengurangi motivasi kerja dari pekerja yang bersangkutan hingga produktivitasnya menurun. Produktivitas menurun dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Dalam hal ini tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktivitasnya yang menurun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.

2.2 Indikator Kemiskinan