Sumber: Dikumpulkan oleh penulis dari wawancara mendalam dan observasi
Berdasarkan Tabel 13 hasil penjualan tanaman obat pada kasus S relatif kecil dibandingkan pada kasus B, selain itu jenis tanaman obat yang dijual juga
cukup sedikit. Konsumen tanaman obat pada kedua kasus ini adalah toko obat cina, pengolah jamu rajangan menjadi jamu. Pada kasus S, istri memiliki kontrol
terhadap sumberdaya yang berkaitan dengan pengolahan tanaman obat. Tetapi hal tersebut juga terbatas pada proses produksi yaitu sumber daya peralatan teknologi
pengolahan tanaman obat. Berdasarkan paparan kedua kasus tersebut, nampak pada kasus B
hubungan suami istri cenderung lebih setara dibandingkan dengan kasus S. Hal ini disebabkan oleh pemilikan sumber daya pribadi yaitu tanah, pendidikan dan masih
adanya faktor nilai. Pada kasus B, tanah merupakan milik bersama dan pendidikan istri pada kasus B lebih tinggi daripada pendidikan istri pada kasus S. Pada kasus
S, tanah merupakan warisan dari keluarga suami, pendidikan istri kasus S lebih rendah dibanding pada kasus B dan didukung faktor nilai yang melatar belakangi
bahwa perempuan hanya cukup membantu saja kecuali pada kegiatan reproduksi.
5.2.2 Tipe Pengrajin Hasil Tanaman Obat
Pada rumahtangga pengrajin olahan hasil tanaman obat juga terdapat tiga sumber daya yaitu sumber daya fisik, sumber daya pasar dan sumber daya sosio
budaya. Sumber daya fisik mencakup tanah untuk budidaya, modal budidaya, modal pengolahan jahe instan, kredit, peralatanteknologi budidaya dan
peralatanteknologi pengolahan jahe instan. Sumber daya pasar mencakup pasar komoditijual beli tanaman obat. Sumber daya sosio budaya mencakup informasi
jahe instan., penyuluhan jahe instan dan pelatihan jahe instan. Di bawah ini tabel
akses dan kontrol terhadap sumber daya pada tiga kasus pengrajin olahan hasil tanaman obat yaitu kasus I, kasus Y dan kasus R.
Tabel 16. Tabel Akses dan Kontrol Terhadap Sumber Daya Pada Rumahtangga Pengrajin Olahan Hasil Tanaman Obat
Sumber Daya Kasus I
Kasus Y Kasus R
S I
S I
S I
A K
A K
A K
A K
A K
A K
Sumber Daya Fisik:
tanah √√
√ √
√√ √
√ modal budidaya
√√ √
√ √√
√ √
modal pengolahan jahe instan
√ √√
√ √
√√ √
√ √√
√ kredit
√ √√
√ √
√ √
√ √
√√ √
peralatanteknologi budidaya
√ √√
√ √√
√ √
peralatanteknologi pengolahan jahe
instan √
√√ √
√ √√
√ √
√√ √
Sumber Daya Pasar:
pasar komoditijual beli jahe instan
√ √√
√ √
√√ √
√ √√
√
Sumber Daya Sosio Budaya:
informasi jahe instan √
√√ √√
√ √√
√√ √
√√ √
penyuluhan jahe instan
√ √√
√√ √
√√ √√
√ √√
√ pelatihan jahe instan
√ √√
√√ √
√√ √√
√ √√
√ Keterangan :
S : Suami
√ : Pelaku
A: Akses I : Istri
√√ : Pelaku dominan
K: Kontrol Kasus I : Rumahtangga Iyus
Kasus Y : Rumahtangga Yoyoh Kasus R : Rumahtangga Rodiah
Sumber: Dikumpulkan oleh penulis dari wawancara mendalam dan observasi
Berdasarkan Tabel 16 terlihat pada kasus I, suami dan istri tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya lahan karena dalam rumahtangga ini tidak
berbudidaya. Istri memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya yang berhubungan dengan pengolahan jahe instan. Pada sumber daya pasar, istri
memiliki kontrol karena istri yang memasarkan hasil pengolahan jahe instan tersebut dan suami hanya membantu saja. Pada sumber daya sosio budaya, suami
tidak menjadi anggota kelompok petani apapun sedangkan istri menjadi ketua pada KPK Teratai, sehingga dalam hal ini istri memiliki kontrol.
Sedangkan pada kasus Y, suami berbudidaya tanaman obat dan palawija. Sehingga suami memiliki kontrol terhadap sumber daya ini. Seperti kasus I, istri
memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya yang berhubungan dengan pengolahan jahe instan dan pada sumber daya pasar istri memiliki kontrol. Pada
sumber daya sosio budaya suami dan istri memiliki akses dan kontrol yang sama dengan keanggotaan pada KPK yang berbeda.
Pada sumber daya pasar hasil penjualan jahe instan pada kasus I dan kasus Y lebih besar dari pada kasus R padahal harga jahe instan yang dijual sama,
perbedaannya adalah banyaknya jahe instan yang terjual. Harga bahan baku jahe instan yaitu Jahe Emprit basah Rp. 14.000,- per kg, setelah diolah menjadi bubuk
jahe instan menjadi 2 kemasan. Harga per sachet Rp. 800,- dan dalam kemasan terdapat 20 sachet. Konsumen pada ketiga kasus ini adalah mini market, penjual
jamu seduh, warung-warung kecil dan tetangga sekitar. Pada kasus R, akses dan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki istri
sama dengan akses dan kontrol yang dimiliki pada kasus I dan kasus Y. Perbedaannya adalah budidaya pada rumahtangga ini bukan budidaya tanaman
obat melainkan budidaya palawija. Pada sumber daya sosio budaya, walaupun istri memiliki kontrol namun dibandingkan kedua kasus yang lain, kasus R
cenderung kurang aktif dalam mengakses. Alasannya adalah faktor usia dan pendidikan yang rendah. Seperti yang diungkapkan Ibu Rodiah:
“ Udah tua neng, jadi pertemuan-pertemuan rutin mah enggak. Cuma kadang-kadang kalau ada ajakan dari teman ikut pelatihan ya
ikut aja…” Berdasarkan ketiga kasus diatas, maka kasus I dan kasus Y memiliki akses
dan kontrol antara suami dan istri lebih setara dibandingkan pada kasus R. Hal ini disebabkan oleh pemilikan sumber daya pribadi yaitu tanah, pendidikan dan masih
adanya faktor nilai. Pada kasus I, istri memiliki sumber daya pribadi fisik selain tanah, pendidikan istri pada kasus I lebih tinggi daripada pendidikan istri pada
kasus Y dan kasus R. Pendidikan istri pada kasus I sama tinggi dengan pendidikan suami. Pada kasus Y, tanah merupakan milik bersama antara suami dan istri.
pendidikan istri kasus Y juga lebih tinggi dibanding pada kasus R. Sedangkan pada kasus R, istri memiliki sumber daya pribadi tanah yang merupakan warisan
dari orangtua istri. Hal ini menyebabkan istri lebih dominan diband ing suami. Pada ketiga kasus faktor nilai yang melatar belakangi bahwa perempuan hanya
cukup membantu saja kecuali pada kegiatan reproduksi cenderung kurang tampak.
5.3 Akses dan Kontrol Terhadap Manfaat 5.3.1 Tipe Petani Tanaman Obat