BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat modern mulai mengkonsumsi dan menggunakan makanan atau suplemen yang berbahan baku alami tanaman obat. Kecenderungan ini
dinamakan trend back to nature atau green wave gelombang hijau. Kecenderungan ini didukung tingginya nilai manfaat dengan efek samping yang
relatif kecil, serta keterjangkauan dalam mengkonsumsi bila dibandingkan dengan obat-obatan kimia modern. Data WHO menyatakan permintaan produk herbal di
negara Eropa dalam kurun waktu 1999-2004 mencapai 66 persen dari permintaan dunia. Sedangkan penggunaan tingkat nasional salah satunya adalah jahe 200 ton
Tilaar et al, 2002. Pendapat diatas didukung Broto dikutip Allegina 2003 mengatakan bahwa di Indonesia pengenalan tumbuhan obat dari tahun ke tahun
terus meningkat. Selama tahun 1980-1984 produksi obat tradisional secara keseluruhan meningkat cukup tajam yaitu sekitar 406 persen atau sekitar 101,5
persen rata-rata tiap tahun. Kebutuhan tanaman obat sebagai bahan pembuatan berbagai jenis obat modern dan obat tradisional memang semakin meningkat.
Sudiarto et al 1991, menyatakan bahwa pada tahun 1984 dibutuhkan 574.395 ton untuk industri obat tradisional dan meningkat menjadi 1.974.546 ton pada
tahun 1988. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan RI, hutan tropis Indonesia
sebagai habitat utama flora dan fauna mencapai sekitar 144 juta hektar. Di dalam seluruh luasan hutan hujan tropis Indonesia tersebut, diperkirakan terdapat sekitar
30.000 spesies tanaman tumbuh di dalamnya dan dari spesies tanaman yang ada,
tetapi hanya 800-1.200 spesies yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisionaljamu. Menurut catatan Kloppenburg terdapat 877 jenis tanaman
obat dan menurut Heyne terdapat 1.100 jenis tanaman obat di Indonesia, sedangkan di dalam buk u Medicinal Herbs Index di Indonesia tercantum 7.557
jenis tumbuhan obat yang dikenal dan ditemukan di Indonesia, walaupun tidak seluruhnya berasal dari Indonesia Anon dikutip Rostiana et al., 1992. Kominfo
2005 menyatakan bahwa di Indonesia diketahui ada sekitar 7000 spesies tanaman obat dan jumlah tersebut adalah sekitar 90 persen dari tanaman obat yang
terdapat di Asia. Terdapat tiga kategori obat alami yang ditetapkan pemerintah Badan POM
yaitu jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah obat alami dengan bahan baku tanaman obat dalam bentuk sederhana yaitu rajangan, serbuk,
cairsari, pil, pilis atau kapsul Kominfo, 2005. Jamu sebagai produk pengolahan tanaman obat merupakan industri rumah tangga. Hal ini sesuai
dengan posisi tanaman obat sekarang yang pada awalnya posisi tanaman obat memang belum banyak mendapat perhatian pemerintah walaupun peranannya
dalam menunjang perekonomian nasional akhir-akhir ini cukup besar. Tanaman pangan, perkebunan, hortikultura menjadi perhatian utama
pemerintah baru setelah itu tanaman obat. Namun dengan adanya berbagai perubahan kebijakan di bidang ekonomi nasional maupun internasional maka
komoditas tanaman obat sebagai bahan baku untuk industri hilir menjadi lebih penting. Tilaar et al., 2002.
Perempuan sudah berperan nyata di dalam usahatani tanaman obat secara tradisional. Namun peran tersebut masih terbatas dan tersubordinasi karena
usahatani tersebut merupakan usaha keluarga. Ketika usahatani tanaman obat
berkembang dari budidaya tanaman obat menjadi pengolahan hasil tanaman obat, diduga peran perempuan semakin nyata dan meningkatkan posisi mereka
lebih baik dalam pengelolaannya. Swasono 2005 menyatakan bahwa perempuan dengan aktivitas pengembangan biofarmaka menjadi pelaku
sekaligus pendorong terbentuknya pola pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, usaha pengolahan hasil tanaman obat bagi perempuan
merupakan salah satu peluang yang dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi keluarga. Apabila peluang ini bisa dimanfaatkan dengan baik maka
pengolahan hasil tanaman obat bisa menjadi salah satu aktivitas utama yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin.
Desa Pasir Gaok dan Desa Ranca Bungur yang berada di Kecamatan Ranca Bungur dilihat dari kondisi lingkungannya memiliki curah hujan yang
tinggi. Namun, ketersediaan air menjadi permasalahan utama pada musim kemarau sehingga sejak tahun 1975 di kedua desa ini, sawah yang semula
ditanami padi kini lebih banyak ditanami palawija. Selama ini petani masih beranggapan bahwa budidaya tanaman obat memerlukan pasokan air yang baik.
Padahal budidaya tanaman obat diantaranya dapat dibudidayakan di lahan kering atau di lahan sawah yang tidak dapat ditanami padi karena pasokan air yang
kurang. Salah satu contoh, justru lahan yang mengand ung banyak air berlebihan tidak cocok ditanami jahe Tilaar et al., 2002. Berdasarkan kondisi alam tersebut,
PPL Petugas Penyuluh Lapang menyarankan untuk menanam tanaman obat. Budidaya tanaman obat tersebut melalui sistem tumpangsari atau cukup di
pekarangan saja sebelum masyarakat percaya bahwa usaha ini dapat berkembang. Usahatani budidaya tanaman obat yang sudah dimulai tahun 1995. Pada
tahun 2004 berkembang menjadi usaha pengolahan hasil tanaman obat rajangan,
sedangkan usahatani pengolahan hasil tanaman obat jahe instan berkembang pada tahun 2005. Jenis-jenis tanaman obat yang diusahakan adalah Dewa baik umbi
maupun daun, Jahe Merah, Claditicus, Sambiloto, Tapak Liman, Sambung Nyawa, dan sebagainya. Pada pengolahan hasil tanaman obat rajangan rata-rata
varietas yang dikembangkan oleh petani tanaman obat di Desa Pasir Gaok dan Desa Ranca Bungur pada pengolahan hasil tanaman obat rajangan adalah Dewa,
sedangkan pada pengolahan jahe instan, rata-rata varietas yang dikembangkan adalah Jahe Emprit. Pengolahan tanaman obat yang dilakukan oleh petani
tanaman obat di kedua desa ini pada dasarnya bisa dikerjakan oleh siapa saja baik laki- laki maupun perempuan. Misalnya pada proses penjemuran tanaman obat.
Pengolahan tanaman obat di sini tidak sama dengan pembuatan jamu tradisional yang biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan.
1.2. Perumusan Masalah