C. MODIFIKASI PROSES KURING
Herman et al 1990 telah mengidentifikasi unsur -unsur aroma panili dari panili Indonesia dan panili Bourbon. Berdasarkan hasil analisis tersebut
diketahui bahwa, panili-panili Indonesia tidak ada yang memiliki unsur- unsur aroma selengkap Bourbon. Perbedaan ini disebabkan karena
perbedaan spesies, cara kuring, dan mutu polong. Setyaningsih et al 2003 melakukan modifikasi atau perbaikan dalam
teknologi proses kuring untuk meningkatkan kualitas panili kering Indonesia. Modifikasi yang dilakukan adalah penambahan perlakuan pada
buah panili sebelum proses scalding meliputi penyayatan buah scratching, perendaman buah segar dalam aktivator enzim yaitu butanol 0.3 M dan
sistein 1 mM selama dua jam, atau perendaman dalam dithioteriol 1 mM dan sistein 1 mM selama satu jam. Selain itu, scalding dilakukan pada suhu
40
o
C selama 30 menit. Pengeringan I dilakukan pada suhu 40
o
C selama 3 jam per hari. Hasil dari modifikasi ini adalah peningkatan aktivitas enzim,
kadar vanillin, dan kadar gula dibandingkan metode standar Balitro II. Secara garis besar, modifikasi proses kuring terdiri dari enam tahap yaitu
scratching, perendaman dalam aktivator, scalding, sweating, drying, dan
conditioning. Vanillin adalah senyawa aromatik dominan yang terdapat pada buah
panili dan merupakan komponen yang menentukan kelas mutu buah panili. Hidrolisis glukovanillin prekursor vanillin oleh enzim
β -glukosidase
menghasilkan vanillin dan satu molekul β
-D-glukosa. Enzim β
-glukosidase terdapat pada bagian sitoplasma atau periplasma sel mesokrap dan endokrap
buah panili. Substrat glukovanilin terdapat pada bagian jaringan plasenta di sekitar biji Setyaningsih, 2006. Glukosida vanillin teridentifikasi berada
dalam ekstrak buah segar Dignum et al, 2002. Proses drying menyebabkan dinding sel enzim pecah sehingga enzim dapat berdifusi dan berikatan
dengan substrat Purseglove, 1981. Enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air
sebagai penerima bagian glikosil sehingga meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil n-butanol terikat pada enzim
β -glukosidase melalui ikatan
hidrogen. Glukosa melalui reaksi transglikosilasi membentuk ikatan 1-butyl β
-D-glukopiranosida. Gugus hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem kopelarut satu fase. Sistem kopelarut
adalah sistem yang melarutkan pelarut organik butanol pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga enzim masih dapat mengikat
air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat Setyaningsih, 2006.
Sistein memiliki gugus SH yang membantu kestabilan struktur enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi oksidasi,
gugus SH akan diserang lebih dulu sehingga enzim dapat terlindungi. Menurut hasil penelitian Dignum et al 2001, konsentrasi glukovanillin
tetap tinggi 2000 ppm 16 hari setelah proses scalding pada suhu 80
o
C selama 20 menit. Hal ini mengindikasikan bahwa proses scalding pada suhu
tersebut menyebabkan non-spesifik glukosida tidak aktif. Pada modifikasi proses kuring, scalding dilakukan pada suhu 40
o
C selama 30 menit. Suhu 40
o
C adalah suhu optimum kerja enzim.
D. EKSTRAK PANILI