Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi Asosiasi Profesi Kasa Konstruksi

f52e a. bersifat nasional dalam arti : i. berbentuk organisasi yang tidak memiliki cabang, tetapi keanggotaannya bersifat nasional; atau ii. berbentuk organisasi yang memiliki cabang-cabang atau perwakilan sekurang-kurangnya di 5 lima daerah propinsi di Indonesia. b. mempunyai tujuan memperjuangkan kepentingan dan aspirasi anggotanya; c. memiliki dan menjunjung tinggi kode etik profesi; dan d. melakukan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan keahlian bagi anggota-anggotanya.

3. Pakar dan Perguruan Tinggi

Pakar didefinisikan sebagai satu orang atau lebih yang memenuhi kriteria sebagai ahli di bidang jasa konstruksi berdasarkan disiplin keilmuan dan atau pengalaman, serta mempunyai minat untuk berperan dalam pengembangan jasa konstruksi dan bukan pengusaha jasa konstruksi. Sementara yang dimaksud dengan wakil perguruan tinggi merupakan satu orang atau lebih yang berasal dari institusi pendidikan yang memenuhi kriteria : a. mempunyai jurusan disiplin ilmu yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; b. telah memenuhi persyaratan akreditasi perguruan tinggi dan telah mendapat rekomendasi dari pimpinan perguruan tinggi untuk berpartisipasi dalam Lembaga.

4. Instansi Pemerintah Terkait

Dalam implementasinya merupakan pejabat dari satu atau lebih instansi yang melakukan pembinaan dan atau bidang tugasnya berkaitan dengan jasa konstruksi yang direkomendasi oleh Menteri. Mengacu kepada sifat lembaga jasa konstruksi yang nasional, independen, mandiri dan terbuka dan bersifat nirlaba, maka terdapat ganjalan ketika salah satu komposisinya adalah asosiasi pelaku usaha yang dalam implementasinya terdiri dari para pelaku usaha itu sendiri. Independensinya dipertanyakan. Dalam hal inilah f53e terdapat peluang penyalahgunaan LPJK bagi tujuan pribadi dari para pelaku usaha yang tergabung dalam LPJK.

7.5. Sertifikasi Kompetensi dan Badan Usaha Jasa Konstruksi Dalam Praktek

Masalah yang menonjol dalam perkembangan industri jasa konstruksi selepas pemberlakuan UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah munculnya persyaratan keharusan pelaku usaha memiliki sertifikat badan usaha dan sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh LPJK. Dalam prosesnya sertifikasi dapat dilaksanakan tidak hanya oleh LPJK tetapi juga oleh asosiasi dan lembaga sertifikasi yang ditunjuk seperti lembaga pendidikan dan latihan. Beberapa fakta aktual memperlihatkan bahwa proses sertifikasi ini menjadi permasalahan karena keberadaan sertifikasi ini menjadi sesuatu yang baru yang tidak serta merta dapat diaplikasikan dalam berbagai kegiatan industri jasa konstruksi. Beberapa fakta aktual terkait dengan ini antara lain :

1. Ketidakmampuan Pelaku Usaha Mengikuti Ketentuan Jasa Konstruksi

Termasuk Sertifikasi Kompetensi dan Badan Usaha. Hal ini terjadi mengingat hampir 91 pelaku usaha di sektor industri jasa konstruksi adalah pelaku usaha kecil yang dalam prakteknya tidak dapat memenuhi ketentuan untuk mendapatkan sertifikat sesuai peraturan Pemerintah. Di Jawa Barat misalnya, beberapa pelaku usaha kecil cenderung tidak mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi badan usaha SBU. Pada Tahun 2003 di mana SBU diberlakukan melalui asas nyata bukan lagi asas percaya, diperkirakan oleh Dewan Pimpinan Provinsi DPP Asosiasi Kontraktor Konstruksi Indonesia AKSI Jawa Barat ada ribuan kontraktor kecil yang gulung tikar karena tak mampu memenuhi persyaratan SBU. Mereka tidak mampu memenuhi persyaratan tersedianya tenaga terampil dan ahli konstruksi. Di sejumlah daerah, sedikit sekali kemungkinan mendapatkan tenaga terampil dan tenaga ahli dalam jumlah yang memadai. Sumber daya manusia SDM di daerah masih sangat terbatas.