f84e yang kini telah menjadi sebuah prosedur baru dalam upaya mendapatkan pengurus
LPJK yang memiliki kompetensi tinggi dalam pengaturan jasa konstruksi. Keterlibatan KPPU terutama diharapkan mampu memberikan pengetahuan
yang cukup kepada para calon pengurus LPJK Nasional dan LPJK Daerah yang ada di 32 propinsi. Hal ini mengingat LPJK dan pelaku usaha di jasa konstruksi sangat
rawan melakukan pelanggaran UU No 5 Tahun 1999, yang disebabkan oleh budaya yang selama ini mewarnai industri jasa konstruksi Indonesia. Melalui proses seperti
ini diharapkan akan mendorong perkembangan industri jasa konstruksi Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia, sekaligus selaras dengan UU No 5
Tahun 1999.
6. KESIMPULAN
Dari berbagai analisis tersebut di atas, maka evaluasi terhadap kebijakan dalam industri jasa konstruksi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Arah Pengembangan Jasa Konstruksi Jauh dari Upaya Peningkatan
Profesionalisme
Sebagaimana diungkap di atas, tujuan utama UU No 18 Tahun 1999 adalah untuk meningkatkan profesionalisme pelaku usaha di industri jasa konstruksi dan
meningkatkan peran masyarakat jasa konstruksi di dalamnya. Tetapi dalam praktek hal ini kemudian menjadi jauh dari harapan, karena ada kooptasi peran masyarakat
jasa konstruksi oleh pelaku usaha yang sangat dominan dalam mengatur industri jasa konstruksi terutama oleh wakil asosiasi pelaku usaha di LPJK. Hal yang kemudian
berkembang justru tidak sehat, karena pelaku usaha yang justru dominan dalam pengaturan industri jasa konstruksi ini sehingga penyalahgunaan kewenangan LPJK
untuk diri mereka sendiri sangat jelas kelihatan. Berbagai pengaturan tender pengadaan barang dan jasa konstruksi menjadi
hal yang sulit untuk diluruskan. Upaya untuk membenahimenertibkan profesionalisme pelaku usaha susah untuk dicapai. Penataan profesionalisme pelaku
usaha jasa konstruksi akhirnya hancur oleh perilaku beberapa pelaku usaha yang dominan dalam pengaturan jasa konstruksi melalui LPJK.
f85e
2. Sertifikasi Menjadi Penghambat Pelaku Usaha Lain Masuk ke Pasar
Penyalahgunaan kewenangan LPJK oleh pelaku usaha yang dominan, dapat dilihat dari penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan sertifikasi. Akreditasi
kepada asosiasi telah menyebabkan tumbuh suburnya asosiasi baru bermotifkan ”penjualan” sertifikat serta untuk menyingkirkan pelaku usaha dari proses tender
dalam jenis pekerjaan tertentu. Pelaku usaha pesaing didiskriminasi untuk masuk ke dalam pasar karena tidak
diizinkan mendapat sertifikat dari asosiasi yang telah diakreditasi. Dalam perkembangan terakhir, sering sub bidang yang selama ini menjadi bagian pekerjaan
besar lainnya dibuat menjadi sebuah sub bidang yang hanya dikelola oleh asosiasi tertentu yang sangat spesifik. Dalam prakteknya kemudian hanya satu asosiasi
tertentu saja yang diakeditasi. Efeknya selain banyak pelaku usaha yang tersingkir, sertifikasipun telah berubah menjadi komoditas yang cukup mahal.
3. Keterlibatan Pelaku Usaha Sebagai Unsur LPJK berdampak negatif
Akar permasalahan dari kisruh di jasa konstruksi berasal dari hadirnya unsur pelaku usaha dalam LPJK. Kehadiran pelaku usaha ini menjadi sangat dominan
karena kemampuan lobi dan finansial mereka. Bahkan boleh jadi asosiasi pelaku usahalah yang saat ini menjalan roda LPJK diberbagai daerah. Akibatnya dapat
ditebak, karena pengusaha mengatur sendiri usaha mereka maka pengembangan jasa konstruksipun menjadi sepenuhnya tergantung kepada mereka.
Hal inilah yang terjadi saat ini. LPJK identik dengan wakil asosiasi pelaku usaha dan wakil asosiasi adalah pelaku usaha sehingga dapat disimpulkan pada
akhirnya LPJK adalah kumpulan pelaku usaha.
4. Konstruksi Kelembagaan Akar Permasalahan Jasa Konstruksi Indonesia
Berbagai permasalahan yang timbul ternyata hakikatnya merupakan sebuah efek dari konstruksi kelembagaan dalam industri jasa konstruksi. Beberapa
permasalahan yang timbul antara lain :
a. Legalitas Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Kontroversi berakhir sampai di lembaga peradilan, dengan menetapkan LPJK sebagai satu-satunya lembaga jasa konstruksi yang sah.