Ketidakmampuan Pelaku Usaha Mengikuti Ketentuan Jasa Konstruksi

f54e

2. Ketentuan Sertifikasi Berbenturan dengan Keputusan Presiden tentang

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Peristiwa ini sempat menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam proses pengadaan barang dan jasa milik Pemerintah dan belum diketahui solusi yang ditawarkan Pemerintah. Sebagaimana diketahui berdasarkan UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan pelaksananya, setiap peserta pengadaan barang dan jasa di sektor jasa konstruksi diwajibkan memiliki sertifikasi keahlianketerampilan dan badan usaha. Tetapi sebaliknya dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengadaan BarangJasa Pemerintah, persyaratan sertifikasi tidak diwajibkan lagi. Sebenarnya penghapusan persyaratan sertifikasi mulai muncul ketika Pemerintah merevisi kebijakan pengadaan barangjasa Pemerintah sebelumnya yakni Kepres No 182000 dengan menghapuskan ketentuan persyaratan sertifikasi oleh asosiasi pelaku usaha. Pada waktu itu muncul kontra dari KADIN dan LPJKN yang menganggap bahwa ketentuan tersebut telah merusak kondisi yang dianggap kondusif untuk menjaga industri jasa konstruksi. Sementara Pemerintah yang disampaikan melalui Bappenas berketetapan bahwa munculnya sertifikasi dari asosiasi sebagai persyaratan pengadaan barang dan jasa telah menimbulkan inefisiensi berupa ekonomi biaya tinggi. Sampai sekarangpun kondisi ini tetap menimbulkan kontroversi. Di berbagai daerah, sertifikasi LPJK atau asosiasi baik untuk badan usaha maupun keahlian dan keterampilan SKASKT, sering diabaikan pelaku usaha peserta tender pengadaan barang dan Jasa Pemerintah. Dan hal tersebut tidak membawa konsekuensi apa-apa kecuali dikeluhkan oleh LPJK setempat. Departemen Pekerjaan Umum terkait dengan hal tersebut memberikan penjelasan bahwa antara UU No 18 Tahun 1999 dengan Keppres No 80 Tahun 2003 tidaklah bertentangan bahkan sinergi satu sama lain. Untuk permasalahan sertifikasi, hal yang diatur dalam UU No 18 Tahun 1999 tetap berlaku karena di dalam pasal 11 ayat 1 a Keppres 80 Tahun 2003 tersebut terdapat ketentuan bahwa salah satu persyaratan penyedia barangjasa dalam pelaksanaan pengadaan adalah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usahakegiatan sebagai penyedia barangjasa. Penjelasan terhadap ketentuan ini berbunyi sebagai berikut ”yang dimaksud dengan f55e memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usahakegiatan sebagai penyedia barangjasa antara lain peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi, kesehatan, perhubungan, perindustrian” Berdasarkan peraturan tersebut, maka pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah di sektor industri Jasa Konstruksi tetap harus memperhatikan peraturan di industri tersebut. Artinya secara tegas dinyatakan bahwa semua proses pengadaan barang dan jasa di sektor jasa konstruksi harus sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan UU No 18 Tahun 1999 termasuk pemberlakuan persyaratan sertifikasi badan usaha dan kompetensi keterampilan dan keahlian.

3. Sertifikat Menjadi Komoditas

Perkembangan aktual dari sertifikasi dalam jasa konstruksi memperlihatkan bahwa sertifikasi yang kewenangannya dimiliki oleh LPJK dan asosiasi yang telah diakreditasi telah menjadikan sertifikasi sebagai lahan bisnis baru. Tujuan awal sertifikasi sebagai alat untuk meningkatkan profesionalisme tidak tercapai. Sertifikat yang dipersyaratkan dalam pengadaan barang dan jasa kini telah menjadi sebuah komoditas tersendiri bagi pelaku usaha. Tarif resmi sertifikasi yang muncul dalam besaran tertentu dalam kisaran Rp 150.000 – 600.000 dalam implementasinya menjadi Rp 2.000.000 untuk satu buah sub bidang pekerjaan. Kondisi ini semakin membuat industri jasa konstruksi tumbuh jauh dari harapan untuk menghasilkan pelaku usaha dengan profesionalisme tinggi dan diharapkan mampu bersaing di tingkat internasional. Keberadaan pelaku usaha yang hanya punya keinginan menjadi ”pendamping” untuk mendapatkan fee menjadi semakin kuat. Terlebih pengaturan tender semakin menjadi-jadi dalam era otonomi daerah saat ini. Bahkan kini bermunculan asosiasi-asosiasi baru dengan kriteria yang tidak begitu jelas dan dapat dengan mudah diakui serta mendapatkan akreditasi dari LPJK. Bahkan dalam kerangka bisnis lanjutan juga berdiri asosiasi-asosiasi yang lebih spesifik dengan tingkat pekerjaan yang lebih mudah dipenuhi oleh pelaku usaha seperti asosiasi perawatan bangunan APBI yang sebenarnya secara teknis pekerjaannya dapat dipenuhi oleh pelaku usaha yang ada saat ini.