Sertifikasi Untuk Menjegal Pelaku Usaha Pesaing

f57e usaha di bidang jasa konstruksi menurut bidang dan sub bidang pekerjaan atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian masing-masing. Sementara Kualifikasi adalah bagian untuk menetapkan penggolongan usaha di bidang jasa konstruksi menurut tingkatkedalaman kompetensi dan kemampuan usaha, atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut tingkatkedalaman kompetensi dan kemampuan profesi dan keahlian. 4. Rangkaian pekerjaan No 2 dan 3 inilah yang sebenarnya dinamakan sebagai sertifikasi. Jadi sertifikasi terdiri dari dua kegiatan yakni : a. proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau b. proses penilaian kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu. 5. Hasil sertifikasi ini yang kemudian diregistrasi oleh LPJK. Dari proses registrasi inilah sertifikat tentang kualifikasi dan kompetensi dikeluarkan. Dari paparan di atas jelas bahwa sebenarnya sertifikat itu baru dapat berlaku setelah diregistrasi oleh LPJK. Tetapi fakta yang ada saat ini menunjukan bahwa proses ini telah dimanipulasi saat ini dimana sertifikat yang diterbitkan asosiasi, tidak lagi memerlukan registrasi oleh LPJK dan dapat digunakan secara langsung. Pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi yangkemudian menjadi wakil di LPJK telah berhasil untuk merubah prosedur proses sertifikasi ini menjadi seperti saat ini. Akibat kondisi ini maka terjadilah perkembangan yang sangat buruk, sertifikat kini telah berubah menjadi komoditas.

5. ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN INDUSTRI JASA

KONSTRUKSI DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999 Berdasarkan paparan analisis permasalahan industri jasa konstruksi di atas, maka selanjutnya dapat dianalisis permasalahan tersebut dalam perspektif persaingan f58e usaha khususnya UU No. 5 Tahun 1999. Berdasarkan hal-hal yang telah dianalisis, terdapat beberapa hal yang memiliki keterkaitan erat dengan persaingan usaha :

5.1. Pelaku Usaha Mendistorsi Pengaturan Industri Jasa Konstruksi Menjadi

Bagian dari Kegiatan Usaha Tidak Sehat Dari hasil paparan Departemen Pekerjaan Umum diketahui bahwa pola yang dikembangkan dalam UU No 18 Tahun 1999 sangatlah ideal. Pola pembinaan dan Pengembangan industri jasa konstruksi sangat sesuai dengan semangat upaya menciptakan pelaku usaha yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang tinggi yang mampu bersaing di level internasional sekalipun. Dasar pemikiran pengaturan jasa konstruksi sebagaimana tertuang dalam UU No 18 tahun 1999 sepenuhnya adalah untuk memperbaiki beberapa kondisi yang sangat buruk dari jasa konstruksi selama ini. Antara lain terwujud dalam mutu yang rendah, efisiensi rendah, waktu tidak tepat, ketertiban kurang, kesederajatan tidak ada, kemitraan belum ada dan sebagainya. Semua kondisi tersebut mencerminkan bahwa pengembangan jasa konstruksi belum diarahkan kepada pengembangan profesionalisme usaha. Melalui UU No 18 tahun 1999 arah ini dicoba diluruskan dengan tujuan akhir arah pertumbuhan, tertib penyelenggaraan dan peningkatan peran masyarakat. Dalam UU No 18 Tahum 1999 upaya peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan sangat kuat sekali. Hal ini terlihat dari pengaturan yang menyatakan bahwa pengembangan usaha jasa konstruksi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat jasa konstruksi. Masyarakat sendiri kemudian diterjemahkan terdiri dari seluruh stakeholder industri jasa konstruksi, sehingga semua pengaturan menjadi transparan dan akuntabel serta mengakomodasi semua keinginan stakeholder. Tetapi sayangnya fakta di lapangan tidak seperti itu. Kekuatan lobi pelaku usaha nampaknya sangat kuat, hal inilah yang kemudian menjadi kenyataan ketika Peraturan Pemerintah pelaksana UU No 18 Tahun 1999 dibuat. Dalam PP tersebut masuklah beberapa klausul yang kemudian mendistorsi peran masyarakat sebagaimana yang diinginkan UU No 18 tahun 1999. Hal yang sangat signifikan merubah tujuan pengaturan UU No 18 Tahun 1999 adalah munculnya kewenangan penentuan kualifikasi dan klasifikasi yang dinyatakan sebagai sertifikasi, yang dimiliki oleh asosiasi pelaku usaha dan asosiasi profesi yang diakreditasi oleh LPJK. Hal ini dalam konsep UU No 18 Tahun 1999 dikembangkan