LPJK Berpotensi Menjadi Kartel Industri Jasa Konstruksi

f64e Bahkan diopinikan agar para peserta tender harus mendapatkan pelatihan tentang proses pengadaan baranbg di Pemerintah. Untukmembahas hal tersebut bahkan LPJKD Jawa Timur mengadakan lokakarya nasional yang digelar tanggal 22-23 November 2005 dengan tujuan meningkatkan gerakan kesadaran di antara para pengembang. Tema lokakarya sendiri berjudul Underpriced bid, ditinjau dari Profesionalisme dan Pembinaan Jasa Konstruksi Sasaran dari lokakarya inilah yang kemudian patut dipertanyakan, karena terdapat indikasi ke arah kartel terutama menyangkut harga. Secara terperinci sasaran lokakarya tersebut adalah : a. memberi arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi yang sehat, profesional dan bertanggung jawab, khususnya dalam aspek estimasi dan kemampuan penawaran, dan menghasilkan konstruksi yang berkualitas b. mencari akar masalah, menyamakan persepsi tentang standar acuan evaluasi penawaran, validitas Harga Patokan Setempat HPS, dan penegakan fungsi pengawasan pekerjaan konstruksi. c. merumuskan rekomendasi-rekomendasi untuk penyempurnaan bagi ketentuan-ketentuan pengadaan jasa konstruksi. Jadi semuanya akan kami bedah tuntas melalui lokakarya itu Tujuan kedua patut dipertanyakan karena solusi under price bid adalah adanya harga patokan setempat yang dapat menjadi batas bawah dari penawaran pengadaan jasa konstruksi. Mempermasalahkan under price bid sendiri patut dipertanyakan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa mencapai 30-50 bahkan lebih yangmerupakan ekonomi biaya tinggi. Dalam hal ini patut dipertanyakan bukankah under price bid justru positif karena mengikis inefisiensi yang selama ini terjadi. Terlebih berdasarkan data di Bappenas tender di Jawa Timur patut dijadikan contoh bagi pengadaan barang dan jasa nasional, karena keberhasilan mereduksi biaya 30-40. Dalam hal inilah maka keberadaan LPJK patut dicurigai telah berubah menjadi kartel. f65e

5.4. Akar Permasalahan Utama Dari Jasa Konstruksi Terletak Pada Konstruksi

Kelembagaan Industri Jasa Konstruksi Dalam beberapa analisis terdahulu, diungkapkan bahwa salah satu sumber permasalahan yang sangat krusial terletak pada tidak berfungsinya lembaga jasa konstruksi sebagaimana mestinya, yang secara faktual diperankan LPJK. Permasalahan yang terjadi sangat kompleks, karena menyangkut beberapa aspek lembaga yang tidak dapat diwujudkan sebagaimana yang seharusnya diinginkan. Secara terperinci berikut adalah beberapa permasalahan krusial terkait dengan fungsi dan tugas dari lembaga pengembangan jasa konstruksi Indonesia :

1. Legalitas Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi

Permasalahan muncul saat berbagai pihak menuding bahwa kehadiran LPJK merupakan upaya untuk memonopoli jasa konstruksi Indonesia. Kasus ini sampai di pengadilan dan kasasi di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian memerintahkan Departemen Hukum dan HAM untuk melihat latar belakang munculnya kata-kata ”suatu lembaga” apakah merujuk pada satu- satunya lembaga atau lebih dari satu, dari berbagai dokumen proses penyusunan UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Secara tegas kemudian Departemen Hukum dan HAM menyatakan bahwa yang dimaksud suatu lembaga adalah satu-satunya lembaga jasa konstruksi yang beroperasi di Indonesia. Sejak itu permasalahan yang terkait dengan legalitas LPJK berakhir.

2. Konstruksi Kelembagaan Yang Belum Jelas

Permasalahan kedua yang sangat krusial adalah terkait dengan konstruksi kelembagaan dari lembaga pengembangan jasa konstruksi yang ada saat ini. Secara faktual peran lembaga pengembangan jasa konstruksi saat ini terasa sangat sentral dalam pengembangan Industri jasa konstruksi. Tetapi secara faktual juga tidak terlihat jelas ke arah mana pengembangan lembaga ini seharusnya. Secara terperinci berikut adalah beberapa permasalahan kelembagaan industri jasa konstruksi yang ada saat ini :

a. Status Kelembagaan

Status kelembagaan LPJK sejak awal banyak dipermasalahkan. Kontroversi sebagai satu-satunya lembaga sempat menyita waktu para f66e pelaksana LPJK, yang kemudian diakhiri dengan sebuah putusan dari Mahkamah Agung yang ditindaklanjuti Departemen Hukum dan HAM dengan menetapkan LPJK sebagai satu-satunya lembaga jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam UU No 18 Tahun 1999. Permasalahan yang menjadi akar dari problem jasa konstruksi secara keseluruhan adalah lemahnya status kelembagaan LPJK saat ini. Konstruksi kelembagaan LPJK yang menempatkan partisipasi masyarakat jasa konstruksi sebagai elemen utamanya. Akibatnya konstruksi kelembagaan LPJK tidak jauh berbeda dengan kelembagaan organisasi massa. Di mana pengurus LPJK dipilih oleh masyarakat jasa konstruksi, kemudian bertanggung jawab kepada musyawarah nasional jasa konstruksi. Di sisi lain, kelemahan konstruksi kelembagaan tersebut juga terlihat dari dibuatnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sehingga jauh dari kesan bahwa LPJK adalah lembaga pengatur sebuah sektor sebagaimana di sektor lainnya atau lembaga jasa konstruksi serupa di luar negeri. Keberadaan LPJK menjadi lebih mirip dengan organisasi massa, lengkap dengan atributnya seperti ADART dan musyawarah nasionalnya. Akibat dari kondisi ini, maka status LPJK menjadi tidak jelas apakah dia organisasi massa atau lembaga pengatur. Barangkali ungkapan yang paling tepat adalah dengan menyatakan bahwa LPJK adalah lembaga pengatur jasa konstruksi yang dibangun sebagaimana organisasi massa.

b. Hubungan Kelembagaan

Terkait dengan aspek kelembagaan, sampai saat ini tidak begitu jelas posisi LPJK dalam hubungan kelembagaan. Sebagaimana diketahui terdapat empat perwakilan yang terdiri dari wakil asosiasi perusahaan jasa konstruksi, asosiasi profesi jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi dan instansi Pemerintah yang terkait. Seharusnya keempat unsur ini selalu terpenuhi dalam setiap LPJK baik di pusat maupun di daerah. Hal ini untuk menjaga agar tercapai keseimbangan dalam pengaturan sehingga distorsi akibat munculnya konflik kepentingan dapat diminimalkan.