52
di sekolah negatif, maka anak tunanetra dapat mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri.
e. Faktor budaya dan agama
Lingkungan kultural tempat seseorang berada dan berinteraksi akan sangat menentukan pola-pola orang
tersebut dalam menyesuaikan diri. Menurut Enung Fatimah 2006: 203, salah satu unsur kebudayaan yang
memegang peranan yang cukup penting dalam proses penyesuaian diri seseorang adalah agama. Ajaran agama
merupakan sumber nilai, norma, kepercayaan dan pola- pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi
seseorang. Namun, anak tunanetra memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai
wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan dalam bersosialisasi Sutjihati Somantri, 2012: 84.
Pendapat tersebut memiliki makna bahwa pola-pola tingkah laku dari seorang anak tunanetra sangat
dipengaruhi oleh agama atau keyakinan yang dianutnya. Selain itu, lingkungan kultural juga memberikan pengaruh
terhadap penyesuaian diri anak tunanetra.
4. Hambatan Anak Tunanetra dalam Proses Penyesuaian
Diri
53
Selain faktor-faktor
yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri secara umum, kondisi ketunanetraan seorang
anak akan memberikan hambatan tersendiri dalam proses penyesuaian diri. Sebenarnya, sebagian besar anak tunanetra
bisa bersosialisasi dengan baik. Meskipun dalam perjalananya lebih sulit dibandingkan dengan cara penyesuain sosial anak-
anak awas. Hal ini disebabkan interaksi sosial antara orang- orang awas biasa didasarkan pada isyarat yang samar. Hanya
beberapa isyarat saja yang terlihat jelas. Selain itu, masyarakat sering merasa tidak nyaman ketika berinteraksi dengan orang-
orang tunanetra Erin dalam Hallahan Kaufman, 2009: 391. Selanjutnya, Quay dan Werry dalam Tin Suharmini 2009, 78
mengemukakan bahwa isolasi sosial yang mungkin terjadi karena ketidaknyamanan masyarakat dalam berinteraksi
dengan anak tunanetra dapat menyebabkan kesukaran dalam menyesuaikan diri yang cukup serius.
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa hambatan untuk penyesuaian diri yang baik bagi beberapa anak tunanetra
adalah perilaku-perilaku stereotype, yaitu gerakan-gerakan yang sama dan diulang-ulang, seperti mengoyang-goyang
tubuh, mencongkel atau menggaruk mata, gerakan-gerakan jari atau tangan yang diulang-ulang Frieda Mangunsong, 2014:
63-64. Hal ini ditegaskan Hallahan Kaufman 2009: 393,
54
yang menjadi hambatan dalam proses penyesuaian sosial bagi tunanetra adalah Perilaku stereotype atau yang sering juga
disebut dengan istilah blindisms. Wesna dalam Tin Suharmini 2009: 778 mengatakan bahwa perilaku stereotype pada anak
tunanetra merupakan manifestasi dari ketegangan karena anak tunanetra banyak mengalami masalah penyesuaian sosial dan
emosional. Dari berbagai pendapat tersebut, anak tunanetra
memiliki hambatan-hambatan khusus yang muncul sebagai dampak dari kondisi ketunanetraan yang dialaminya. Perilaku
stereotype atau blindism, isyarat-isyarat yang samar yang digunakan
orang awas
ketika berinteraksi,
dan ketidaknyamanan orang awas ketika berinteraksi dengan anak
tunanetra merupakan hambatan-hambatan khusus dalam penyesuaian diri anak tunanetra di sekolah.
D. Penelitian yang Relevan