MOTIVASI BERPRESTASI ANAK TUNANETRA(STUDI KASUS DI SEKOLAH INKLUSI MAN MAGUWOHARJO).

(1)

MOTIVASI BERPRESTASI ANAK

(STUDI KASUS DI SEKOLAH INKLUSI MAN MAGUWOHARJO)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

guna M

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN BIMBINGAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MOTIVASI BERPRESTASI ANAK TUNANETRA

(STUDI KASUS DI SEKOLAH INKLUSI MAN MAGUWOHARJO)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Niken Tria Pratiwi NIM 12104244055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

JULI 2016

TUNANETRA

(STUDI KASUS DI SEKOLAH INKLUSI MAN MAGUWOHARJO)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN BIMBINGAN


(2)

(3)

(4)

iv


(5)

v MOTTO

“Man Jadda Wajada”

“Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.” (Pepatah Arab)

“Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki, tetapi kita selalu menyesali apa yang belum kita capai.”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

Ibu dan Bapak ku tercinta,

Pelita hidupku, yang tak pernah henti memberikan kasih sayang, do’a, dukungan serta semangat. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat ibu dan bapak

bahagia dan bangga terhadap putrimu.

Mas, Mbak dan Adikku,

Kehangatan kebersamaan dan senyum yang telah kalian berikan adalah kobaran semangat yang menggebu untukku. Mari kita terus berjuang untuk

membahagiakan Ibu dan Bapak.


(7)

vii

MOTIVASI BERPRESTASI ANAK TUNANETRA

(STUDI KASUS DI SEKOLAH INKLUSI MAN MAGUWOHARJO) Oleh

Niken Tria Paratiwi NIM 12104244055

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan motivasi berprestasi anak tunanetra yang tergabung dalam sekolah inklusi MAN Maguwoharjo. Enam pertanyaan penelitian diajukan berhubungan dengan tujuan penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang adalah siswa tunanetra di sekolah inklusi. Penelitian dilakukan di lingkungan sekolah MAN Maguwoharjo dan lingkungan kediaman subjek. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam dan observasi. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data model Miles dan Huberman, yaitu dengan langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa motivasi berprestasi yang dimiliki oleh AP dan SG memiliki perbedaan. Terdapat enam aspek motivasi berprestasi dan diperoleh hasil bahwa subjek AP memenuhi lima aspek motivasi berprestasi. Sedangkan, SG memenuhi satu sikap yang terdapat dalam aspek motivasi berprestasi. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi. Faktor tersebut meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal kedua subjek meliputi kepribadian, minat, konsep diri dan keberhasilan yang pernah dicapai. Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi berprestasi AP dan SG adalah lingkungan keluarga dan masyarakat tempat subjek hidup dan bergaul. Kata kunci : motivasi berprestasi, anak tunanetra, sekolah inklusi.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia yang telah diberikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa pencerahan kepada manusia di muka bumi ini.

Selanjutnya, penulis mengucapkan penghargaan dan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “Motivasi Berprestasi Anak Tunanetra (Studi Kasus di Sekolah Inklusi MAN Maguwoharjo)” ini dengan baik dan lancar. Penulis menyadari bahwa tanpa do’a, bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, yang telah menyetujui skripsi ini.

4. Bapak Sugiyanto, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Seluruh dosen di Program Studi Bimbingan dan Konseling yang memberi ilmu selama perkuliahan serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Identifikasi Masalah ... C. Batasan Masalah ... D. Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Motivasi Berprestasi ... 1. Pengertian Motivasi Berprestasi ... 2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi ... 3. Ciri-ciri Motivasi Berprestasi ... 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi ... B. Anak Bekebutuhan Khusus ...

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ...

i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv 1 9 10 10 10 11 13 13 16 20 23 28 28 30


(11)

xi

C. Sekolah Inklusi ... 1. Pengertian Pendidikan Inklusi... 2. Tujuan Pendidikan Inklusi... 3. Karakteristik Pendidikan Inklusi... 4. Implementasi Inklusi ... D. Tunanetra ... 1. Pengertian Tunanetra ... 2. Penyebab Ketunanetraan ... 3. Klasifikasi Ketunanetraan ... 4. Karakteristik Tunanetra ... 5. Keterbatasan Tunanetra ... E. Penelitian Terdahulu ... F. Pertanyaan Penelitian ... BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ... B. Subjek Penelitian ... C. Objek Penelitian ... D. Latar dan Waktu Penelitian ... E. Metode Pengumpulan Data ... 1. Wawancara Mendalam ... 2. Observasi (Pengamatan) ... F. Instrumen Penelitian ... G. Uji Keabsahan Data ... H. Teknik Analisis Data ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Setting Penelitian ... 2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 3. Reduksi Data (data reduction) ... 4. Penyajian Data (data display) ... 5. Penarikan Kesimpulan (verification) ...

32 32 35 35 36 41 41 43 45 47 50 51 52 53 54 55 55 56 56 57 57 60 61 64 64 65 69 84 90


(12)

xii

B. Pembahasan ... C. Keterbatasan Penelitian ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

92 101

102 104

106 109


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Instrumen Pedoman Wawancara ... Tabel 2. Instrumen Pedoman Observasi ... Tabel 3. Profil Subjek Penelitian ... Tabel 4. Profil Key Informan ... Tabel 5. Display Data Aspek Mempunyai Tanggung Jawab Pribadi atas Segala Perbuatannya ... Tabel 6. Display Data Aspek Memperhatikan Umpan Balik atas

Perbuatan atau Tugas yang Dilakukannya ... Tabel 7. Display Data Aspek Resiko Pemilihan Tugas ... Tabel 8. Display Data Aspek Tekun dan Ulet dalam Bekerja ... Tabel 9. Display Data Aspek Dalam Melakukan Tugas Penuh dengan Pertimbangan dan Perhitungan ... Tabel 10. Display Data Aspek Berusaha Melakukan Sesuatu dengan

Cara yang Kreatif ... 58 59 66 66

84

85 86 87

88


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... Lampiran 2. Pedoman Observasi ... Lampiran 3. Pedoman Wawancara Key Informan ... Lampiran 4. Hasil Wawancara ... Lampiran 5. Hasil Observasi ... Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan ... Lampiran 7. Display Data Hasil Wawancara ... Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ...

103 113 116 119 141 150 160 168


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan bangsa, terutama untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan jaman yang semakin meningkat tajam. Oleh sebab itu peningkatan mutu pendidikan selalu menjadi prioritas dalam pembangunan nasional, karena pendidikan yang bermutu mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menghadapi problematika kehidupan yang dihadapinya.

Belajar adalah key term, ‘istilah kunci’ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa adanya belajar sesungguhnya tak kan pernah ada pendidikan. Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat tergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.

Belajar merupakan bagian dari hidup manusia yang berlangsung seumur hidup, kapan saja dan dimana saja, termasuk mereka yang menyandang kelainan, yang dikelompokkan sebagai anak-anak dengan berkebutuhan khusus. Istilah anak dengan berkebutuhan khusus ditujukan


(16)

2

pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dari segi fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari ciri-ciri itu yang menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal. Hambatan-hambatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus diantaranya adalah hambatan sensori, hambatan dalam berkomunikasi, perkembangan kognitif, perkembangan emosi dan penyesuaian sosial.

Keterbatasan yang dimiliki oleh anak dengan kebutuhan khusus, bukanlah merupakan suatu halangan untuk dapat belajar dan mengikuti proses pendidikan. Anak berkebutuhan khusus berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan. Sebelum digulirkannya pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus hanya mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa (segregatif). Hal ini dapat menghambat proses saling mengenal antara anak normal dan anak berkebutuhan khusus, sehingga anak berkebutuhan khusus menjadi kelompok yang tersingkirkan. Namun saat ini telah ada konsep pendidikan inklusi, yang dapat menjadi solusi bagi anak berkebutuhan khusus untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum bersama dengan siswa normal.

Dirjen Pendidikan Luar Biasa mengungkapkan bahwa konsep pendidikan inklusi adalah memberikan sistem layanan yang mensyaratkan agar anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat maupun di sekolah reguler bersama dengan teman-teman sebaya mereka (Mohammad


(17)

3

Takdir Ilahi, 2013 : 29). Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya untuk mengoptimalkan segenap potensi dan keterampilan mereka dengan penuh kesungguhan.

Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus seharusnya dapat menciptakan lingkungan yang ramah, menyenangkan, fleksibel, dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan tenanga pendidik yang memiliki kemampuan khusus (N. Praptiningrum, 2010). Namun kenyataan di lapangan, terdapat siswa berkebutuhan khusus yang merasa tidak nyaman dan tidak memiliki teman saat berada di sekolah inklusi. Serta tenaga pendidik yang masih minim pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus, sehingga guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling/ konselor tidak dapat menciptakan situasi pembelajaran yang fleksibel terhadap siswa berkebutuhan khusus kemudian memberikan tanggung jawab anak berkebutuhan khusus kepada guru pendamping layanan khusus.

Setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Setiap siswa memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya. Adanya keberagaman individu tersebut maka


(18)

4

kemudian mengembangkan pendidikan yang diadaptasi secara individual, namun adapula yang menunjukan rasa takut dan benci kepada siswa yang mengalami kecacatan, sehingga anak berkebutuhan khusus tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan mencapai hasil akademik yang memuaskan (Purwaka Hadi, 2007 : 28).

Salah satu jenis penyandang disabilitas atau yang juga sering disebut orang berkebutuhan khusus adalah penyandang tunanetra. Menurut Frans (dalam Sari Rudiyati, 2002 : 23) tunanetra ialah suatu kondisi dari indra penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulasi visual. Anak tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa (sampai tingkatan yang signifikan) sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk untuk bersekolah, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus (Mega Iswari, 2007 : 48).

Secara fisik anak tunanetra dapat menjalani proses belajar layaknya anak normal, namun tunanetra dalam memperoleh pembelajaran memiliki keterbatasan dan tertinggal dalam mendapat kuantitas informasi yang disalurkan melalui indera penglihatan. Asep AS. Hidayat dan Ate Suwandi (2013 : 17) menjelaskan bahwa akibat dari kelainan yang dialaminya pada sebagian anak dan tidak semua anak tunanetra, menyebabkan perasaan rendah diri, ada perasaan curiga yang berlebihan terhadap oranglain yang dikarenakan adanya pengalaman yang kurang baik atau trauma pada masa


(19)

5

sebelumnya dan dikarenakan kurangnya kemampuan berorientasi dengan lingkungannya. Selain itu anak tunanetra juga merasa terabaikan, karena dipandang sebagai orang yang tak berguna dan dianggap negatif oleh masyarakat umum.

Salah satu keberhasilan siswa dalam pendidikan ditunjukkan dengan prestasi belajarnya. Perananan motivasi didalam kegiatan belajar mengajar sangat diperlukan. Motivasi dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif siswa, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Motivasi adalah kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk berperilaku, berpikir, dan merasa seperti yang mereka lakukan (King, 2010 : 64). Pada kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin keberlangsungan dari kegiatan belajar dan akan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh siswa dalam belajar dapat tercapai.

Manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan lain, seperti yang dikemukakan oleh McClelland (dalam Enok Sugiharti : 2012). McClelland menyebutkan adanya need for achievementdisingkat n-Achataumotif berprestasi pada diri individu. Motivasi berprestasi ialah keinginan untukberbuat sebaik mungkin tanpa banyak dipengaruhi oleh kebanggaan danpengaruh sosial, melainkan demi kepuasan pribadinya.H.A Murray, 1938 (dalam Winarno, 2011 : 80) mengungkapkan bahwa kebutuhan akan berprestasi merupakan keinginan


(20)

6

atau tendensi untuk mengatasi hambatan, untuk menguji kekuatan, untuk berjuang melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin.

Motivasi berprestasi akan menentukan keberhasilan siswa dalam belajar, karena dengan adanya motivasi berprestasi siswa akan tergerak untuk terus belajar, sehingga dapat mencapai hasil yang baik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan tentunya menjadi pelopor terdepan dalam membekali siswa untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi siswasecara optimal. Layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan juga memiliki tanggung jawab terhadap peningkatan motivasi berprestasi pada diri siswa. Layanan bimbingan dan konseling yang diberikan berupa pelayanan dasar, dengan memberikan bimbingan klasikal atau bimbingan kelompok yang berisi materi peningkatan motivasi berprestasi. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa guru bimbingan dan konseling di sekolah belum dipersiapkan untuk menjadi guru bimbingan dan konseling/ konselor bagi anak berkebutuhan khusus. Sehingga, pengetahuan guru bimbingan dan konseling/ konselor tentang bimbingan dan konseling terkait anak berkebutuhan khusus masih relatif sedikit. Demikian pula program layanan bimbingan dan konseling yang khusus dirancang bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah belum tersedia.

Penelitian mengenai motivasi antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal pernah dilakukan oleh Harters, 2003 (dalam Ipung Novianto, 2014)yang mengkaji antara motivasi anak normal dengan anak yang terbelakang mental terhadap penguasaan tugas. Sepanjang anak terbelakang


(21)

7

mental bersama dengan anak normal maka anak terbelakang mental akan dimanipulasi, lingkungan mereka dikuasai oleh anak yang normal. Hal ini disebabkan karena motivasi anak terbelakang untuk menguasai tugas-tugas sosial lebih rendah ketimbang dengan motivasi anak normal untuk menguasai tugas-tugas sosial.

Mega Iswari (2007 : 51) menjelaskan bahwa seorang anak yang cacat penglihatannya akan menganggu prestasi belajar secara optimal. Lebih lanjut McClelland (dalam Redydian Adhitya Nugraha, 2011) menyebutkan bahwa faktor cacat fisik yang dimiliki oleh individu dapat menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi.

Tidak semua anak berkebutuhan khusus menunjukan penarikan diri dan pesimis dalam pencapaian prestasi, meskipun harus bersaing dengan anak normal. Dibalik kekurangan Tuhan akan memberikan suatu kelebihan. Meskipun anak tunanetra mengalami kekurangan fisik, tentu akan terdapat kelebihan yang dapat dijadikan kekuatan pada dirinya. Dua orang siswa contohnya AP dan SG yang merupakan anak berkebutuhan khusus penyandang tunanetra di sekolah inklusi MAN Maguwoharjo. AP dan SG belajar bersama dengan siswa normal, namun keduanya tidak merasa rendah diri ataupun terasingkan. AP dan SG aktif di organisasi MAN Maguwoharjo, dan AP memiliki prestasi menjuarai lomba cerdas cermat dalam bidang agama (juara 4 tingkat DIY tahun 2013 dan juara 1 tingkat DIY tahun 2014), pengetahuan alam (juara 2 tingkat kota Yogyakarta tahun 2014) dan pidato bahasa jawa (juara 4 tingkat DIY tahun 2015).


(22)

8

AP merupakan seorang laki-laki yang berusia 17 tahun,siswa kelas X IPS. AP adalah anak penyandang tunanetra total. Menurut guru pendampingnya, Ibu LS saat ini AP masih dalam tahap penyesuaian dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya, karena ini adalah pertama kalinya AP berada disekolah inklusi, bergabung menjadi satu kelas dengan anak-anak normal. Sebelumnya, pada saat SD dan MTs, AP mengikuti pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Akademik AP sama dengan anak normal lainnya, ia hanya mengalami gangguan pada penglihatan. AP dapat mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan baik, tanpa pendampingan khusus. AP aktif menjadi pengurus OSIS MAN Maguwoharjo, dan dulu ketika di MTs AP pernah menjadi ketua osis. Meskipun AP mengalami gangguan dalam penglihatan namun AP dapat menguasi beberapa alat musik seperti bass, keyboard dan gitar. AP juga aktif di ekstrakurikuler musik di sekolah. AP memiliki hobi membaca buku dengan tulisan braille, dan novel-novel elektronik.

Serupa dengan AP, SG merupakan anak tunanetra. SG mengalami tunanetra low vision, tidak sepenuhnya buta. SG masih sedikit dapat melihat, dan juga menulis dengan tulisan abjad biasa. Menurut guru pendampingnya, ibu LS pada saat awal-awal kelas X dulu SG sering berontak, karena merasa minder dengan teman-temannya, ia merasa terasingkan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ditahun ke 2 SG berada di sekolah inklusi, SG sudah dapat menyesuaikan dirinya dengan baik. Saat ini SG berada di kelas XI IPS. SG juga aktif menjadi anggota OSIS MAN Maguwoharjo. Namun


(23)

9

dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah SG masih harus diperintah atau disemangati. Jika tidak ada yang mendorongnya untuk mengerjakan tugas maka SG tidak mengerjakan tugas-tugasnya.

AP dan SG merupakan dua anak penyandang tunanetra yang berada di sekolah inklusi. Keduanya berada di lingkungan sekolah umum, bergabung dengan anak-anak normal lainnya, namun dengan kekurangan fisik yang dialaminya tidak mempengaruhi penyesuaian dan semangatnya dalam berprestasi.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikanmembuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana motivasi berprestasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dan mempengaruhi motivasi berprestasi pada anak berkebutuhan khusus.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Anak berkebutuhan khusus mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal jika tidak mendapatkan layanan pendidikan khusus yang tepat.

2. Sebagian siswa berkebutuhan khusus merasa tidak nyaman dan tidak memiliki teman saat berada di sekolah inklusi.

3. Terdapat anak tunanetra yang tidak menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sendiri dan masih bergantung kepada orang lain.


(24)

10

4. Terdapat anak tunanetra yang mudah tersinggung dan masih sulit untuk mengontrol emosi, jika ada hal yang menyinggung perasaannya.

5. Pengetahuan guru bimbingan dan konseling/ konselor di sekolah inklusi MAN Maguwoharjo tentang bimbingan dan konseling terkait anak berkebutuhan khusus masih relatif sedikit, sehingga belum terdapat program layanan yang dirancang untuk anak berkebutuhan khusus.

C. Batasan Masalah

Permasalahan mengenai anak berkebutuhan khusus sangatlah kompleks, agar penelitian lebih fokus maka peneliti membatasi masalah pada penelitian mengenai motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi yakni subjek AP dan SG.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalahnya adalah “Bagaimana motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi MAN Maguwoharjo, yakni AP dan SG?”.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi, yakni AP dan SG.


(25)

11 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan pengembangan terhadap disiplin ilmu di bidang Bimbingan dan Konseling, khususnya mengenai teori motivasi berprestasi.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan kajian untuk penelitian mengenai anak tunanetra di sekolah inklusi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Menerapkan teori bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus serta memberikan wawasan dan pengalaman sebagai calon pendidik yang akan mengajar di sekolah.

b. Bagi Guru dan Orangtua

Sebagai informasi dalam memahami motivasi berprestasi anak berkebutuhan khusus ketika berada di sekolah inklusi. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, orangtua dan guru dapat memberikan perhatian dan motivasi lebih kepada anak berkebutuhan khusus. c. Bagi Sekolah

1) Meningkatkan pemahaman mengenai motivasi berprestasi anak berkebutuhan khusus, sehingga dapat memberikan penanganan dan pembelajaran yang sesuai bagi anak.

2) Menyusun dan menetapkan pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus di sekolah yang dapat mengakomodasi


(26)

12

kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus sesuai dengan karakter dan kemampuannya.

d. Bagi Siswa

Siswa dapat memahami motivasi berprestasi anak berkebutuhan khusus dan sebagai refleksi untuk saling menghargai serta membantu memberikan motivasi kepada anak berkebutuhan khusus dalam belajar.

e. Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus

Siswa berkebutuhan khusus dapat memahami motivasi berprestasi yang dimiliki sehingga dapat mendorong dirinya untuk terus berprestasi.

f. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.


(27)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Motivasi Berprestasi

1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Kebutuhan untuk berprestasi (need of achievement) pertama kali dibahas oleh Murray, selanjutkan dikembangkan oleh David McClelland, (Lita H. Wulandari & Fasti Rola, 2004). Murray (dalam Lita H. Wulandari & Fasti Rola, 2004) mendefinisikan keinginan untuk berprestasi (need of achievement) sebagai hasrat untuk menyelesaikan sesuatu yang sulit, hasrat untuk memiliki, menggunakan dan menyusun objek-objek fisik, makhluk hidup atau ide-ide, hasrat untuk melakukan sesuatu sendiri secara bebas dan cepat, hasrat untuk mengatasi rintangan dan mencapai standar yang tinggi, hasrat untuk bersaing dan melampaui orang lain serta hasrat untuk meningkatkan kehormatan diri dengan mendapatkan kesuksesan atas kegiatan yang dilakukannya.

McClelland, 1987 (dalam Rumiani, 2006) motivasi berprestasi diartikan sebagai motif yang mendorong individu untuk meraih sukses dan bertujuan untuk meraih hasil dengan standar tertentu. Sedangkan Keith & Nastron, 1989 (dalam Rumiani, 2006) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan, sehingga individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menunjukkan usaha yang lebih besar dan ulet.


(28)

14

Menurut Gage dan Berliner, 1988 (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 29) motivasi berprestasi merupakan cara seseorang untuk berusaha dengan baik untuk berprestasi. Lebih lanjutMurray, 1972 (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 29)mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu kemampuan yang terorganisasi dalam diri seseorang dalam mewujudkan suatu keadaaan yang lebih tinggi, sehingga perasaan ingin suksesnya dapat terwujud.

Lindgren, 1973 (dalam Muhammad Nur Wahidin, 2001 : 33) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi, yaitu adanya keinginan seseorang untuk menguasai, memanipulasi dan mempertahankan kualitas kerja yang tinggi bersaing melalui usaha-usaha yang keras untuk melebihi perbuatan yang lampau dan mengungguli orang lain.

Menurut McClelland dan Atkinson, 1948 (dalam Sri Esti Wuryani Djiwandono, 2002 : 354), motivasi yang paling penting untuk pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung berjuang untuk mencapai sukses atau memilih suatu kegiatan yang berorietasi untuk tujuan sukses dan gagal. Weiner Atkinson, 1980 (dalam Sri Esti Wuryani Djiwandono, 2002 : 355)menyatakan bahwa individu yang termotivasi untuk mencapai prestasi, ingin dan mengaharapkan sukses, jika mereka gagal, mereka akan berusaha lebih keras sampai sukses.

Motivasi berprestasi individu mengalami perubahan sesuai dengan usia individu tersebut dan sudah dapat dilihat sejak seseorang berusia lima


(29)

15

tahun. Motivasi berprestasi individu berada dalam kondisi yang tinggi pada usia 20 sampai 30 tahun. Menurut Maehr & Kleiber, Smith (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2005) kebutuhan untuk berprestasi akan menurun pada saat middle age, ketika kebanyakan individu telah berada pada puncak karir. Sedangkan Bruner (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang motivasi berprestasinya tinggi cenderung menjadi lebih pintar sewaktu mereka dewasa.

Eccles (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2005) mendefinisikan motivasi berprestasi adalah kecenderungan seseorang untuk berusaha mencapai kesuksesan, untuk mengevaluasi prestasi dengan standar keunggulan (standar of exellence) dan merasa puas akan prestasi yang diraihnya. Standar keunggulan (standar of exellence) tersebut menurut Monks dan Knoers, 1999 (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2005) berhubungan dengan :

a. Prestasi orang lain artinya bahwa anak ingin berbuat lebih baik daripada apa yang telah diperbuat orang lain.

b. Prestasi diri sendiri yang telah lampau, berarti bahwa anak ingin berbuat melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan lebih baik daripada apa yang telah dihasilkannya semula.

c. Tugas yang harus dilakukannya berarti bahwa anak ingin menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri merupakan tantangan bagi anak.


(30)

16

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud motivasi berprestasi yaitu suatu motif yang mendorong individu untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan agar mendapatkan hasil yang baik dan mencapai prestasi yang diinginkan serta kecenderungan seseorang untuk berusaha mencapai kesuksesan atas kegiatan yang dilakukannya.

2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi sebenarnya secara lebih operasional dapat diamati dari perilaku individu melalui kegiatannya sehari-hari. Setiap individu memiliki motivasi berprestasi yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya, ada individu yang memiliki motivasi untuk berprestasi tinggi ada pula individu yang memiliki motivasi untuk berprestasi rendah.Murray, 1990 (dalam Redydian Adhitya Nugraha, 2011) mengemukakan aspek-aspek motivasi berprestasi adalah sebagai berikut :

a. Mempunyai perasaan yang kuat untuk mencapai tujuan dengan hasil yang sebaik-baiknya.

b. Memiliki tanggung jawab pribadi yang besar, mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan menentukan masa depannya, sehingga apa yang dicita-citakan berhasil.

c. Mempergunakan umpan balik untuk menentukan tindakan yang lebih efektif guna mencapai prestasi, kegagalan yang dialami tidak membuatnya putus asa, melainkan sebagai pelajaran untuk berhasil.


(31)

17

d. Cenderung mengambil resiko “sedang” dalam arti tindakan-tindaknnya sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya. e. Cenderung bertindak secara kreatif dan inovatif.

f. Menyukai hal-hal baru yang penuh tantangan.

Lebih lanjut, McClelland, 1987 (dalam Redydian Adhitya Nugraha, 2011) menjelaskan terdapat enam aspek motivasi berprestasi, yaitu sebagai berikut :

a. Mempunyai tanggung jawab pribadi atas segala perbuatannya

Individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung untuk melakukan sendiri apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Mereka akan berusaha untuk menyelesaikannya dan tidak akan meninggalkan tugas tersebut walaupun semakin sulit sebelum menyelesaikannya. Individu ini juga mempunyai pandangan bahwa apapun hasil yang didapatkan adalah karena usahanya sendiri sehingga ia tidak akan menyalahkan orang lain apabila terjadi kegagalan.

b. Memperhatikan umpan balik atas perbuatan atau tugas yang dilakukannya

Individu akan memaknakan umpan balik sebagai suatu masukan yang penting, dimana ia dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya dan melakukan suatu hal tertentu sehingga informasi tersebut dapat menjadi pedoman bagi perbuatannya dikemudian hari. Hal ini membuat individu dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai


(32)

18

keterbukaan tentang umpan balik, aktif mencari umpan balik, dan senang mencari umpan balik.

c. Resiko pemilihan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan menetapkan tujuan prestasi yang realistis, sesuai degan kemampuan yang dimilikinya. Mereka lebih suka bekerja dengan tantangan moderat yang menjanjikan kesuksesan, tidak suka melakukan pekerjaan yang mudah dimana tidak ada tantangan sehingga ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya. Apabila menemui tugas yang sukar dapat dikerjakan dengan membagi tugas menjadi beberapa bagian yang tiap bagian tersebut akan lebih mudah untuk diselesaikan.

d. Tekun dan ulet dalam bekerja

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau tekun dalam mengerjakan tugas walaupun tugas tersebut menjadi semakin sulit. Mereka akan menetapkan tujuan yang realistis yang sesuai dengan kemampuan, berusaha dengan keras mencapai tujuan dan akan mengatur dirinya agar dapat mencapai tujuan tersebut secara efektif. Sekalipun menemui kesulitan, ia akan memandang kesulitan tersebut sebagai suatu tantangan dan merasa yakin dapat mengatasinya dengan kerja keras dan pantang mundur.


(33)

19

e. Dalam melakukan tugas penuh dengan pertimbangan dan perhitungan

Sebelum melakukan suatu hal, individu cenderung membuat perencanaan secara matang dan mempersiapkan terlebih dahulu hal-hal yang diperlukan agar apa yang akan dilakukannya berhasil dengan baik sesuai rencana. Disamping itu individu juga mampu mengadakan antisipasi bencana untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya.

f. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang kreatif

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam situasi dimana ia dapat mengontrol hasilnya. Individu berusaha mencari cara untuk mengerjakan suatu hal dengan lebih baik, suka melakukan pekerjaan yang tidak biasa atau unik sifatnya serta senang bertindak kreatif dengan mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefisien dan seefektif mungkin.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek motivasi berprestasi menurut McClelland yaitu mempunyai tanggung jawab pribadi atas segala perbuatannya, memperhatikan umpan balik atas perbuatan atau tugas yang dilakukan, resiko pemilihan tugas, tekun dan ulet dalam bekerja, melakukan tugas penuh dengan pertimbangan dan perhitungan, dan berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang kreatif.


(34)

20 3. Ciri-ciri Motivasi Berprestasi

Secara umum para ahli menggolongkan ciri-ciri motivasi berprestasi menjadi dua bagian, yaitu individu dengan ciri-ciri motivasi berprestasi tinggi dan individu dengan ciri-ciri motivasi berprestasi rendah.Heckhausen, 1967 (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 33) menyatakan bahwa ciri-ciri motivasi berprestasi dapat digolongkan sebagai berikut : (1) individu dengan motivasi berprestasi tinggi memperlihatkan berbagai tanda aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah. (2) individu dengan motivasi berprestasi tinggi memperlihatkan tekanan otot yang lebih ketika berkonsentrasi pada suatu tugas dibandingkan dengan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

McClelland (dalam Desmita, 2012 : 30) menemukan ciri-ciri individu yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, antara lain :

a. Menyenangi situasi dimana ia memikul tanggung jawab pribadi atas segala perbuatannya.

b. Menyenangi adanya umpan balik (feedback) yang cepat, nyata dan efisien atas segala perbuatannya.

c. Dalam menentukan tujuan prestasinya, ia lebih memilih resiko yang moderat daripada resiko yang kecil.

d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang baru dan kratif. e. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.


(35)

21

Menurut Inkson , 1971 (dalam Muhammad Nur Wahidin, 2001 : 35) bahwa individu yang motivasi berprestasinya tinggi, akan tertarik pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya bukan pada pekerjaan yang sukar dan mudah. Lebih lanjut Haditono, 1979 (dalam Muhammad Nur Wahidin, 2001 : 35) menyatakan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri, mempunyai tanggungjawab dan mengharapkan pengetahuan yang kongkrit mengenai hasil kerjanya, mendapat nilai yang baik, aktif disekolah dan di masyarakat serta untuk teman bekerja.

Duda dan Nicholls, 1992 (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 35) menemukan bahwa individu dengan motivasi berprestasi tinggi adalah individu yang lebih berorientasi pada tugas, lebih berorientasi pada ego yaitu bertujuan untuk membangun superioritas untuk melebihi orang lain dan memiliki keyakinan bahwa keberhasilan menuntut usaha untuk mengalahkan orang lain.

McClelland, 1987 (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 36) mengungkapkan mengenai ciri-ciri individu dengan motivasi berprestasi tinggi sebagai berikut : (1) memiliki tanggung jawab secara pribadi atas hasil kinerja, karena hanya dibawah kondisi-kondisi seperti itu mereka dapat merasa puas atas suatu pelaksanaan tugas secara lebih baik. (2) kebutuhan akan umpan balik kinerja, karena secara teoritik subjek dengan motivasi berprestasi tinggi lebih suka bekerja dalam situasi ketika mereka memperoleh umpan balik tentang seberapa baik mereka melakukan


(36)

22

sesuatu. (3) inovasi dapat diartikan sebagai cara untuk melakukan hal yang berbeda daripada sebelumnya.

Martaniah, dkk. (dalam Ni Ketut Suarni, 2004 : 36) mengungkapkan beberapa ciri individu dengan motivasi berprestasi tinggi sebagai berikut : (1) mempunyai kepercayaan diri dalam menghadapi tugas yang berhubungan dengan prestasi. (2) mempunyai sikap yang lebih berorientasi kedepan dan dapat menangguhkan pemuasan untuk mendapatkan penghargaan pada waktu kemudian. (3) memilih tugas yang kesukarannya sedang. (4) tidak suka membuang-buang waktu. (5) dalam mencari pasangan lebih suka memilih orang yang mempunyai kemampuan daripada orang yang simpatik. (6) lebih tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu tugas.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi meliputi lebih memperlihatkan tanda aktivitas dan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki motivasi rendah, menyenangi situasi yang memikul tanggungjawab, menyenangi adanya umpan balik, berusaha melakukan sesuatu dengan inovatif dan kreatif, memiliki kepercayaan diri dan rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai sikap yang berorientasi kedepan, memilih tugas yang kesukaraanya sedang, tidak suka membuang waktu serta lebih tanggungjawab dalam suatu tugas.


(37)

23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Schultz & Schultz, 1994 (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2004) menyatakan bahwa motivasi berprestasi berbeda-beda pada setiap individu karena banyak faktor yang mempengaruhi. Fernald & Fernald, 1999 (dalam Lili Garliah & Fatma Kartika Sary Nasution, 2004) mengungkapkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang, yaitu :

a. Keluarga dan kebudayaan (family and cultural)

Eastwood (1983) menyatakan bahwa motivasi berprestasi seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial seperti orangtua dan teman. Sedangkan McClelland (1994) menyatakan bahwa bagaimana cara orangtua mengasuh anak mempunyai pengaruh terhadap motivasi berprestasi anak. Bernstein (1999) menyatakan bahwa kebudayaan dapat mempengaruhi kekuatan motivasi berprestasi individu. Kebudayaan pada suatu negara seperti cerita rakyat atau hikayat-hikayat sering mengandung tema-tema prestasi yang dapat meningkatkan semangat masyarakatnya.

b. Konsep diri (self concept)

Konsep diri merupakan bagaimana seseorang berfikir mengenai dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam bertingkah laku.


(38)

24 c. Jenis kelamin (sex roles)

Prestasi yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga banyak para wanita belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut berada diantara para pria, yang menurut Stein & Bailey (1999) sering disebut sebagai motivasi menghindari kesuksesan. Morgan, dkk (1986) menyatakan bahwa banyak perempuan dengan motivasi berprestasi tinggi namun tidak menampilkan karakteristik perilaku berprestasi layaknya laki-laki. Hal ini berkaitan dengan Horner (1986) yang menyatakan bahwa pada wanita terdapat kecenderungan takut akan kesuksesan yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran bahwa dirinya akan ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan. d. Pengakuan dan prestasi (recognition and achievement)

Individu akan lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras apabila diri merasa dipedulikan atau diperhatikan oleh orang lain. Menurut McClelland, 1987 (dalam Redydian Adhitya Nugraha, 2011) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sebagai berikut :

a. Faktor Internal 1) Keadaan Jasmani

Keadaan jasmani baik yang bersifat bawaan atau bukan bersifat bawaan, antara lain : bentuk wajah, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Cacat fisik yang dimiliki individu akan dapat


(39)

25

menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi.

2) Usia

Kesadaran akan usia yang semakin bertambah menjadi suatu pendorong seseorang untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dalam hal ini bahwa orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak berpengalaman dalam kehidupan dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu untuk mneghindari kegagalan dan tidak akan melakukan kegagalan yang sama.

3) Intelegensi

Intelegensi akan mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang, semakin tinggi tingkat intelegensi akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya.

4) Kepribadian

Tiap-tiap individu mempunyai sifat-sifat kepribadian yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain.

5) Minat

Individu yang mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan tidak mengharapkan kegagalan akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi.

6) Citra diri

Citra diri yaitu gambaran seseorang mengenai dirinya. Seseorang yang mempunyai citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif


(40)

26

dan berani dalam menghadapi sesuatu. Sebaliknya seseorang yang memiliki citra diri negatif akan tampak ragu-ragu, kurang percaya diri dan kurang berani dalam menghadapi sesuatu meskipun sebenarnya memiliki kemampuan. Dilihat dari ciri-ciri yang ada maka individu yang mempunyai citra diri positif akan memiliki motivasi berprestasi lebih tinggi daripada individu yang memiliki citra diri negatif.

7) Keberhasilan yang pernah dicapai

Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan pada diri serta penghargaan atas usaha yang dilakukannya, dalam pandangan yang positif pada dirinya akan menimbulkan suatu harapan baru untuk mencapai prestasi yang lebih baik.

8) Tingkat Pendidikan.

Tingkat pendidikan sesorang akan berpengaruh pada kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menuntut timbal balik yang nyata, misalnya : mempunyai aspirasi yang realistik pada dirinya. Individu yang berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya dibandingkan dengan individu yang berpendidikan rendah.


(41)

27 b. Faktor Eksternal

1) Lingkungan Keluarga

Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara-cara orangtua mendidik dan mengasuh anak. Orangtua yang mendidik anaknya untuk berusaha menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan tugas-tugasnya tanpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orangtua yang selalu menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anak, akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang tinggi pada anak. Latihan yang diberikan oleh orangtua untuk percaya pada diri sendiri dapat membantu timbulnya motivasi berprestasi, sesuai dengan perkembangannya.

2) Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat yaitu tempat individu hidup dan bergaul, kegiatan masyarakat, kebudayaan, tradisi, nilai hidup dan pola hidup yang dianut masyarakat lingkungannya. Semua itu dapat mempengaruhi motivasi berprestasi individu. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan lingkungan yang mementingkan kebebasan pada anggota. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan lingkungan yang mementingkan perkembangan kebebasan pada anggota keluarganya. Orangtua umumnya mengasuh anak-anaknya sesuai dengan pola hidup yang dianut dilingkungannya.


(42)

28

Harditono, 1984 (dalam Redydian Adhitya Nugraha, 2011) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi bukanlah aspek genetik sehingga pembentukan sangat ditentukan oleh berbagai faktor dari luar yang terus berkembang sebagai suatu pengalaman yang mempengaruhi individu, faktor dari luar yang dimaksud dapat berasal dari keluarga, sekolah, dan lain-lain.

Dari beberapa faktor yang telah diuraikan maka dapat diketahui bahwa motivasi berprestasi seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam diri individu maupun pengaruh yang berasal dari luar individu. Faktor dari dalam diri antara lain : keadaan jasmani, usia, intelegensi, kepribadian, minat, tingkat pendidikan, konsep diri dan jenis kelamin. Sedangkan faktor dari luar dapat dipengaruhi dari lingkungan keluarga dan masyarakat.

B. Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Istilah anak dengan berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dari segi fisik, mental, emosi, sosial ataugabungan dari ciri-ciri itu yang menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal (Mega Iswari, 2007 : 43). Anak yang memiliki kelainan tetapi tidak memiliki hambatan dalam mencapai perkembangan, maka tidak termasuk


(43)

29

anak dengan kebutuhan khusus, sebab mereka masih dapat mengikuti pendidikan umum dan dapat berkembang secara normal tanpa hambatan serius (Mega Iswari, 2007 : 43). Lebih lanjut, Mega Iswari (2007 : 1) menjelaskan bahwa anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan layanan atau perlakuan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal sebagai akibat dari kelainan atau keluarbiasaan yang disandangnya.

Mulyono (dalam Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 137) menjelaskan anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat. Lebih lanjut Sunanto, 2009 (dalam Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 137) menjelaskan bahwa istilah anak berkebutuhan khusus bukan berarti hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan keberagaman yang berbeda.

Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi, dan perilaku yang menyimpang. Disebut berkebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan keberbedaan dengan anak normal pada umumnya (Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 138).


(44)

30

Lych, 1994 (dalam Lay Kekeh Marthan, 2007 : 36) menyatakan bahwa anak berkebutuhan pendidikan khusus adalah semua anak yang mengalami gangguan fisik, mental, emosi atau kombinasi dari gangguan-gangguan tersebut sehingga mereka membutuhkan pendidikan khusus dengan guru dan sistem atau lembaga khusus baik secara permanen maupun secara temporal.

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan maka dapat ditegaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan atau gangguan fisik, mental, emosi atau kombinasi dari gangguan tersebut yang menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan secara khusus.

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa dikemukakan klasifikasi anak dengan kebutuhan khusus sebagai berikut :

a. Kelainan fisik, meliputi : tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. b. Kelainan mental, meliputi : tunagrahita ringan, sedang dan berat. c. Kelainan perilaku meliputi : tunalaras.

d. Kelainan ganda.

Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang


(45)

31

bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanen).

a. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara adalah anak-anak yang karena mengalami kondisi tertentu menyebabkan mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus, apabila kondisi mereka sudah kembali normal maka layanan pendidikan khusus tersebut sudah tidak diperlukan lagi (Haenudin, 2013 : 51). Adapun yang termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara atara lain :

1) Anak-anak yang berada didaerah terpencil.

2) Anak-anak yang berada pada masyarakat suku minoritas/ terasing.

3) Anak-anak yang berada pada masyarakat miskin (kurang beruntung).

4) Anak-anak yang mengalami bencana alam.

5) Anak-anak yang mengalami bencana sosial atau korban perang maupun kerusuhan.

6) Anak-anak yang berada pada kelompok masyarakat yang menyandang permasalahan sosial yang meliputi : anak jalanan, anak pelacur/ prostitusi, pelacur anak, anak korban trafficking, anak warga binaan di lembaga permasyarakatan, anak korban kekerasan dan pekerja industri.


(46)

32

b. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen)

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang bersifat internal akibat langsung dari kondisi kecacatan atau bawaan sejak lahir, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan interaksi komunikasi, gangguan emosi, social dan tingkah laku. Kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.

Pada penelitian ini, kedua subjek penelitian merupakan anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan pada penglihatan atau tuananetra. Maka dari itu peneliti akan membahas lebih lanjut mengenai ketunanetraan.

C. Sekolah Inklusi

1. Pengertian Pendidikan Inklusi

Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Pendidikan inklusi didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menampung semua anak yang berkebutuhan khusus ataupun anak yang memiliki kesulitan membaca dan menulis (Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 24).


(47)

33

Pendidikan inklusi berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau terimajinalisasi (Tarmansyah, 2007 : 82).

Staub dan Peck, 1995 (dalam Tarmansyah, 2007 : 83) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun jenis kelainannya. Sementara Sapon-Shevin (dalam Tarmansyah, 2007 : 83) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

Sementara itu, O’Neil (dalam Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 27) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.


(48)

34

Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusi secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya (Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 30).

Kemunculan pendidikan inklusi bagi anak luar biasa di Indonesia terjadi ketika sistem pendidikan segregasi kurang mampu memberikan perubahan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat. Pada hakikatnya pendidikan inklusi sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan Sekolah Luar Biasa Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Selanjunya, pada akhir 1970-an, pemerintah mulai memberi perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi demi membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka (Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 30).

Perhatian pemerintah akan pentingnya pendidikan inklusi ditunjuk-kan dengan menerbitditunjuk-kan surat persetujuan tentang perlunya merancang sistem pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Keberhasilan proyek ini telah mendorong penerbitan Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat (Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 31).


(49)

35 2. Tujuan Pendidikan Inklusi

Pada dasarnya, setiap kemunculan paradigma baru dalam dunia pendidikan, pasti memiliki tujuan ideal yang hendak membangun optimisme tinggi mengenai landasan pendidikan yang berbasis keadilan dan anti-diskriminasi. Menurut Sunaryo, 2009 (dalam Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 37) tujuan akhir dari upaya pendidikan inklusi, yaitu kesejahteraan para penyandang cacat dalam memperoleh segala haknya sebagai warga negara dapat direalisasikan secara cepat dan maksimal.

Sujarwanto, 2004 (dalam Mohammad Takdir Ilahi, 2013 : 39) menjelaskan beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut tentang tujuan pendidikan inklusi, yaitu :

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. 3. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Karakter utama dalam penerapan pendidikan inklusi tidak dapat lepas dari keterbukaan tanpa batas dan lintas latar belakang yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap anak Indonesia yang membutuhkan layanan pendidikan anti-diskriminasi. Pelayanan


(50)

36

pendidikan tanpa batas dan lintas latar belakang adalah landasan fundamental dari pendidikan inklusi yang berkonsentrasi dalam memproyeksikan pendidikan untuk semua.

Mohammad Takdir Ilahi (2013 : 44) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi memiliki empat karakteristik makna, antara lain :

a. Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu.

b. Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar.

c. Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

d. Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

4. Implementasi Inklusi

Inklusi merupakan suatu sistem yang holistik menyeluruh menyangkut semua komunitas masyarakat dan semua unsur yang ada didalamnya. Implementasi inklusi terjadi didalam rumah, masyarakat, sekolah, instansi, organisasi dan semua lini adanya kehidupan manusia. Menurut Befring, Edward (dalam Tarmansyah, 2007 : 89-94) ruang lingkup dalam implementasi inklusi melibatkan berbagai komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi, ada lima aspek yang mendukung implentasi inklusi, yaitu sebagai berikut :


(51)

37 a. Landasan Hukum dan Kebijakan

Ideologi suatu negara direfleksikan melalui kebijakan, oleh karena itu satu payung hukum untuk semua adalah dasar dalam pelaksanaan inklusi :

1) Undang-undang yang disusun harus mengakomodasi kebutuhan setiap orang.

2) Undang-undang yang mengatur kelompok individu tertentu akan menghasilkan segregasi, dengan demikian perlu adanya penjelasan undang-undang tersebut serta petunjuk pelaksanaannya, hal ini penting untuk menjamin pemenuhan kebutuhan semua anak, maupun orang dewasa.

3) Implementasi undang-undang harus didukung dengan penyediaan alokasi dana yang memadai.

b. Pembentukan Sikap

Sikap, pengalaman, pengetahuan merupakan suatu konsep yang saling mempengaruhi dan mendukung. Sikap berkembang dipengaruhi oleh pengalaman itu sendiri akan mempengaruhi pengetahuan yang selanjutnya akan membentuk sikap.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam suatu proses orientasi diperlukan sikap, untuk mengarahkan pembentukan sikap positif dalam implentasi inklusi maka orientasi diarahkan pada :


(52)

38

1) Pengakuan atas hak dan potensi anak

Pengakuan atas hak dan kemampuan serta potensi anak penting untuk mendorong dan mendukung anak yang kreatif, berinisiatif, bertanya, berbeda pendapat dengan orang lain dan dapat membuat keputusan sendiri. Mengakui bahwa semua anak dapat belajar, oleh karena itu dapat mengambil manfaat dari pendidikan.

2) Memahami perkembangan anak

Peningkatan pengetahuan tentang perkembangan anak, memahami karakteristik, interaksi, komunikasi dan proses belajar anak, merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipahami.

3) Pengaruh lingkungan

Mengakui bahwa kondisi lngkungan mengakibatkan hambatan belajar dan perkembangan yang dialami oleh sejumlah anak, bahkan mungkin lebih banyak dari jumlah anak-anak yang cacat. 4) Peningkatan profesional

Mengakui tentang perlunya pelatihan profesional yang berkesinambungan berdasarkan pengalaman dan penelitian, pelatihan atau penataran yang menekankan pemahaman terhadap sebab akibat dari pandangan holistik yang berkaitan dengan belajar dan interaksi sosial. Dalam hal ini perlu mempunyi suatu pandangan yang luas, bahwa inklusi tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah tetapi diseluruh lini kehidupan masyarakat.


(53)

39 5) Labelisasi

Bahwa bahasa mencerminkan sikap, kaitannya dengan lebelisasi, dalam hal ini masih ada kontrofersi dan kita tidak dapat membicarakannya. Penyebutan atau pelabelan akan mem-pengaruhi sikap individu tersendiri, hal ini cenderung akan memisahkan anak dari kelompoknya.

6) Desiminasi

Desiminasi kaitannya dengan penyadarankepada masyarakat tentang inklusi yang holistik. Bagaimana kita bersikap melalui desiminasi pengetahuan pengembangan kesadaran masyarakat. c. Kurikulum

Penyesuaian kurikulum dalam penerapan pendidikan inklusi tidak harus terlebih dahulu menekankan pada materi pelajaran, tetapi yang paling penting adalah bagaimana memberikan perhatian penuh pada kebutuhan anak didik. Penekanan tehadap materi pelajaran bukanlah tidak penting, melainkan terlebih dahulu memperhatikan kondisi psikologis anak agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.

Jika ingin memberikan materi pelajaran kepada anak berkebutuhan khusus, maka harus memperhatikan kurikulum apa yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum yang fleksibel harus menjadi prioritas utama dalam memeberikan kemudahan kepada mereka yang belum mendapatkan layanan pendidikan terbaik demi


(54)

40

menunjang karier dan masa depan. Materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama yang berkaitan dengan masalah keterampilan dan potensi pribadi mereka yang belum berkembang. d. Perubahan dalam Pendidikan

Re-orientasi di lapangan mendukung pelaksanaan pendidikan inklusi. Dalam hal ini perubahan harus diperkenalkan dalam bidang pendidikan guru dan dalam penelitian. Hal yang dimaksudkan adalah adanya perubahan pendidikan yang potensial

Beberapa prinsip dalam perubahan pendidikan yang potensial adalah sebagai berikut :

1) Perubahan harus relevan dengan apa yang dipelajari dan diajarkan di sekolah.

2) Warga sekolah, termasuk kepala sekolah, guru perlu lebih mandiri dalam penyesuaian kurikulum. Melakukan perubahan pada manajemen sekolah dan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus.

3) Pengadaan dan renovasi ruang kelas tambahan. 4) Perubahan dalam tugas-tugas dan peran guru.

5) Pendekatan lebih ditekankan pada faktor sosial dan emosional serta perubahan pada prioritas akademik.

e. Adaptasi Lingkungan

Dalam menciptakan lingkungan inklusi, ramah terhadap pembelajaran perlu penyesuaian atau adaptasi lingkungan, hal ini akan


(55)

41

meningkatkan dorongan belajar. Disamping itu bidang pendidikan khusus mempunyai bidang-bidang orientasi mobilitas, keselamatan dan kemandirian tergantung pada lingkungan yang disesuaikan tetapi fungsional.

Suatu tantangan dalam adaptasi lingkungan. Hal ini terkait dengan masalah kesadaran tentang kebutuhan anak yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang cara memenuhi kebutuhan tersebut melalui penyesuaian lingkungan, termasuk ketersediaan material. Pemeliharaan dan perawatan yang profesional oleh masyarakat. Kendala yang dominan dalam adaptasi lingkungan ini adalah masalah pendanaan atau faktor ekonomi.

D. Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra merupakan suatu kondisi adanya kerusakan mata yang terjadi pada seseorang, sehingga indera penglihatan sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Tin Suharmini, 2009 : 30). Anak tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa (sampai tingkatan yang signifikan) sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk untuk bersekolah, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus. Hilangnya kemampuan melihat tersebut mengakibatkan terhambatnya perkembangan anak, baik perkembangan intelektualnya, emosi, sosial, kepribadian dan keterampilan hidupnya.


(56)

42

Mereka dengan keadaannya itu tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama anak-anak yang awas tanpa layanan atau program khusus (Mega Iswari, 2007 : 48).

Menurut Barraga, 1983 (dalam Mega Iswari, 2007 : 52) tunanetra yaitu mereka yang mengalami kelainan penglihatan sedemikian rupa sehingga mengganggu belajarnya secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode pengajaran, sifat-sifat bahan yang diajarkan dan lingkungan belajarnya.

Pengertian dari segi pendidikan, oleh Barraga (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 11) tunanetra diartikan sebagai suatu cacat penglihatan sehingga mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal. Sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan pelajaran dan lingkungan belajar. Pendapat lain oleh Hardman (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 11) yang menyebutkan bahwa anak tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan bergantung kepada indera pendengaran, perabaan dan indera lain yang masih berfungsi.

Dari beberapa pengertian tentang tunanetra yang telah diuraikan maka dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan pada sebagian atau seluruh indera penglihatannya sehingga membutuhkan layanan pendidikan atau pembelajaran yang khusus.


(57)

43 2. Penyebab Ketunanetraan

Menurut Mark Hollins (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 12) seseorang yang dilahirkan tanpa penglihatan cahaya disebut ‘buta bawaan’ (congenital blind), sedangkan penurunan penglihatan yang terjadi setelah beberapa waktu sejak dilahirkan disebut ‘buta didapat’ (adventitiously blind). Selanjutnya Heather Mason, dkk (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 12) menyebutkan beberapa penyebab ketunanetraan adalah sebagai berikut : a. Faktor genetik atau herediter; beberapa kelainan penglihatan bisa

didapat akibat diturunkan dari orangtua misalnya buta warna, albinism, retinitis pigmentosa. Seorang wanita yang kelihatannya normal, tetapi secara genentis dia dapat membawa sifat (carriers) suatu kelainan penglihatan.

b. Perkawinan sedarah; banyak ditemukan ketunanetraan pada anak hasil perkawinan dekat, misalnya keluarga dekat (incest). Pola ini menyebabkan secara genetis rentan untuk menurunkan sifat, termasuk penyakit atau kelainan.

c. Proses kelahiran; mengalami trauma pada saat proses kelahiran, lahir premature, berat lahir kurang dari 1300 gram, kekurangan oksigen akibat lamanya proses kelahiran, anak dilahirkan dengan menggunakan alat bantu.

d. Penyakit anak-anak yang akut sehingga berkomplikasi pada organ mata, infeksi virus yang menyerang syaraf dan anatomi mata, tumor otak yang menyerang pusat syaraf organ penglihatan.


(58)

44

e. Kecelakaan; tabrakan yang mengenai organ mata, benturan, terjatuh dan trauma lain yang secara langsung atau tidak langsung mengenai oragan mata, tersetrum aliran listrik, terkena zat kimia dan terkena cahaya tajam.

f. Perlakuan kontinyu dengan obat-obatan; beberapa obat untuk penyembuhan suatu penyakit tertentu ada yang berefek negatif terhadap kesehatan mata, demikian juga penggunaan obat yang over dosis sangat berbahaya terhadap organ-organ lunak seperti mata. g. Infeksi oleh binatang juga dapat merusak organ-organ selaput mata

yang tipis, bahkan dapat mengakibatkan penyakit bergulma atau borok, infeksi pada selaput mata akhirnya berkembang ke mata bagian dalam.

h. Beberapa kondisi kota dengan suhu yang panas, menyebabkan udara mudah bergerak dan membawa bibit penyakit kering yang masuk ke mata, pada daerah kering dapat ditemukan penyakit mata jenis trachoma.

Menurut Purwaka Hadi (2007 : 13) ketunanetraan dari golongan ringan sampai berat dapat juga disebabkan oleh faktor yang lain, yaitu : a. Penyakit sistematik, misalnya : diabetes mellitus, hipertensi,

opthalmopati endokrin, penyakit infeksi.

b. Dari segi medis dan kebidanan, misalnya : kelainan genetik, infeksi pada prenatal - natal dan post natal, malnutrisi saat dalam kandungan, trauma persalinan, obat-obatan dan radiasi.


(59)

45

c. Penyakit pada waktu anak-anak, misalnya : kekurangan vitamin A, diare, panas tinggi, morbili dan radang otak.

d. Trauma fisik mengenai mata, misalnya : terkena cairan kimia, terbakar api dan tertusuk.

e. Infeksi oleh virus, bibit penyakit yang dibawa serangga, jamur yang menyerang selaput mata.

f. Degenerasi atau penurunan anatomis fisiologi yang berakibat gangguan pada organ mata dan fungsi penglihatannya, misalnya pada kasus macula degeneresis, retino blastoma, kemunduraan kekuatan lensa karena usia tua.

3. Klasifikasi Ketunanetraan

Menurut kemampuan melihat, tunanetra (visual impairment) dapat dikelompokkan pada (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 18) :

a. Buta (blind), ketunanetraan jenis ini terdiri dari :

1) Buta total (totally blind) adalah mereka yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang.

2) Memiliki sisa penglihatan (residual vision) adalah mereka yang masih bisa membedakan antara terang dan gelap.

b. Kurang Penglihatan (low vision), jenis-jenis tunanetra kurang lihat, yaitu :

1) Light perception, apabila hanya dapat membedakan terang dan gelap.


(60)

46

2) Light projection, tunanetra ini dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya.

3) Tunnel vision atau penglihatan pusat, penglihatan tunanetra adalah terpusat (20) sehingga apabila melihat objek hanya terlihat bagian tengahnya saja.

4) Periferal vision atau penglihatan samping, sehingga pengamatan terhadap benda hanya terlihat bagian tepi.

5) Penglihatan bercak, pengamatan terhadap obyek ada bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat.

Menurut WHO (dalam Lay Kekeh Marthan, 2007 : 59) masalah penglihatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta (blind) dan lemah penglihatan (low vision). Anak yang buta tidak dapat belajar dengan menggunakan penglihatan dan karena itu menggunakan indera lain sebagai penggantinya misalnya melalui pendengaran dan perabaannya (taktil). Anak yang lemah penglihatannya masih dapat belajar dengan memanfaatkan sisa penglihatannya. Anak buta belajar membaca dan menulis dengan huruf braille, sedangkan anak yang lemah penglihatannya dapat belajar membaca dan menulis dengan huruf-huruf yang dibesarkan ukurannya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan maka dapat diketahui bahwa klasifikasi ketunanetraan itu ada dua, yaitu buta (blind) dan kurang penglihatan (low vision).


(61)

47 4. Karakteristik Tunanetra

Ketunanetraan yang dihadapi oleh seseorang menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya. Kekurangan bahkan kehilangan fungsi penglihatan yang dialami tunanetra mengakibatkan mereka memiliki ciri-ciri khusus atau karakteristik tertentu yang penting untuk dipahami dalam memberikan layanan pendidikan yang sesuai bagi anak tunanetra. Karakteristik tersebut antara lain :

a. Karakteristik Kognitif

Kemampuan mengingat seorang tunanetra cenderung lebih baik daripada kemampuan berpikir konseptualnya. Menurut Suppas (dalam Mega Iswari, 2007 : 52) hambatan kognitif yang terjadi pada tunanetra dapat dikaitkan pada kenyataan sederhana sehingga mereka kurang informasi dan tertinggal dalam kuantitas informasi yang disalurkan melalui indera tersebut.

Pada dasarnya kondisi kecerdasan anak tunanetra tidak berbeda dengan anak normal umumnya. Apabila diketahui kondisi kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak normal (awas, melihat) pada umumnya hal tersebut disebabkan karena anak tunanetra mengalami hambatan persepsi, berpikir secara komprehensif dan mencari rangkaian sebab akibat (Mohammad Efendi, 2006 : 44).


(62)

48 b. Karakteristik Sosial dan Emosional

Kemampuan untuk bersosialisasi anak tunanetra sama dengan anak awas. Kelambatan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, banyak disebabkan karena sikap, perlakuan, dan reaksi-reaksi orangtua, keluarga, teman sebaya dan masyarakat pada umumnya sebagai konsekuensi dari kecacatan mata yang diderita. Cutsforth (dalam Tin Suharsimi, 2009 : 77) menekankan bahwa kekurangmampuan menyesuaikan diri pada anak tunanetra disebabkan karena perlakuan-perlakuan masyarakat kepada anak tunanetra. Kurangnya kontak sosial menyebabkan anak tunanetra lebih canggung dalam bergaul dengan lingkungan anak-anak awas.

Kelambatan dalam perkembangan sosial juga disebabkan karena ketidakmampuan anak tunanetra untuk menerima dan merespon rangsang visual. Kurangnya rangsang visual ini kadang dapat menimbulkan persepsi yang salah. Persepsi yang salah tentang lingkungan sosialnya dapat menghambat perkembangan sosialnya.

Menurut Purwaka Hadi (2007 : 24) tunanetra sering menunjukan kepribadian yang kaku, kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka sehingga memberikan kesan kekakuan pada wajah, kekakuan dalam gerak tubuh dan tingkah laku serta melakukan adatan (blindsm). Untuk tunanetra total sering merasa khawatir dan takut terhadap lingkungan, sedangkan untuk tunanetra dengan sisa penglihatan (low


(63)

49

vision) sering timbul perasaan rendah diri karena sisa penglihatannya tidak mampu diperlihatkan sebagaimana anak awas.

c. Karakteristik Perilaku

Heather Mason dkk, 1999 (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 35) menemukan bahwa diantara tingkah laku yang kurang pantas dilakukan oleh tunanetra berupa mengedip-kedipkan dan menggoyang atau memutar mata. Hal semacam itu banyak dilakukan oleh penyandang tunanetra dalam bentuk tingkah laku fisik yang lain, misalnya : mengoyang-goyangkan tubuh maju mundur atau kanan kiri silih berganti, memutar badan ke kanan dan ke kiri terus menerus, dan bertepuk-tepuk tangan. Munculnya perilaku ini disebabkan karena tunanetra tidak menerima rangsangan secara visual sehingga ia akan melakukan kegiatan yang dapat menghilangkan kebosanannya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan maka dapat diketahui bahwa karakteristik pada anak tunanetra dapat dilihat dari kognitif, sosial dan emosional serta perilaku. Karakteristik kognitif tunanetra antara lain kemampuan mengingat seorang tunanetra cenderung lebih baik dari pada kemampuan berpikir konseptualnya. Karakteristik sosial dan emosional tunanetra sering menunjukan kepribadian yang kaku, kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka, kekakuan tubuh dan tingkah laku. Sedangkan karakteristik perilaku yang sering mucul adalah mengedip-kedipkan dan menggoyang atau memutar mata.


(64)

50 5. Keterbatasan Tunanetra

a. Keterbatasan dalam segi fungsi kognitif

Lowenfeld, 1981 (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 37) mengemukakan tiga hambatan dalam perkembangan kognitif pada anak tunanetra, yaitu : 1) pada tingkat dan macam pengalaman, 2) kemampuan untuk bergerak atau dinamis, 3) kontrol pada lingkungannya. Anak yang mengalami ketunanetraan diasumsikan mengalami kesulitan asimilasi dan akomodasi pada taraf pra konsep, karena pengalaman mengenai lingkungan terbatas, kesulitan melakukan hubungan langsung dengan obyek, pengamatan dengan perabaan, kesempatan yang terbatas untuk memperluas kemampuan bahasa disebabkan oleh pengalaman dasarnya.

b. Keterbatasan gerak, orientasi dan mobilitas

Kesulitan melakukan gerak pada tunanetra mengakibatkan kesulitan tuanetra untuk melakukan mobilitas di lingkungan sekitar. Kurangnya mobilitas lingkungan berdampak pada kurangnya informasi, pesan dan pengalaman yang diperoleh.

c. Keterbatasan interaksi dengan lingkungan

Tunanetra yang tergolong buta dalam penguasaan medan kurang atau bahkan tidak mampu menguasai lingkungan jarak jauh, sehingga pada dirinya sering timbul perasaan takut, cemas dan khawatir dalam menghadapi lingkungannya. Perasaan ini akhirnya dapat menyebabkan tunanetra menjadi frustasi, kesulitan percaya diri, lebih


(65)

51

suka menyendiri atau mengasingkan diri, dan kesulitan dalam mengadakan hubungan sosial.

E. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian mengenai motivasi pada anak berkebutuhan khusus, yaitu penelitian Dita Yohanika (2012) yang berjudul “Motivasi Anak Berkebutuhan Khusus: Studi Kasus Di Sekolah Penyelenggaraan Inklusi”. Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi belajar yang dimiliki anak berkebutuhan khusus mengalami fluktuatif tergantung dengan faktor yang mempengaruhinya. Anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi dan setelahnya akan memunculkan motivasi belajar. Penelitian selanjutnya oleh Sri Noviantari (2008) yang berjudul “Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tuna Daksa”, yang meneliti tentang bagaimana motivasi berprestasi remaja penyandang tuna daksa dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dan mempengaruhi motivasi berprestasi, serta bagaimana proses perkembangan motivasi berprestasi subjek penyandang tuna daksa.

Penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti pada saat ini mengenai motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi. Alasan pemilihan permasalah ini dikarenakan belum ada penelitian terdahulu yang meneliti tentang motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi dan peneliti ingin mendeskripsikan motivasi berprestasi yang dimiliki oleh anak tunanetra di sekolah inklusi.


(66)

52 F. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tanggung jawab AP dan SG terhadap dirinya sendiri dan tugasnya?

2. Bagaimanakah sikap AP dan SG dalam menerima umpan balik atas tugas yang telah dilakukannya?

3. Bagaimanakah sikap AP dan SG dalam mengatasi hambatan dalam menyelesaikan tugas?

4. Apa tujuan prestasi AP dan SG? Dan bagaimana sikap AP dan SG untuk mencapai prestasi tersebut?

5. Bagaimanakah AP dan SG merencanakan kegiatan dan tugas yang akan mereka laksanakan?


(67)

53 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Denzin dan Lincoln, 1987 (dalam Lexy J. Moleong, 2010 : 5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Menurut Jane Richie (dalam Lexy J. Moleong, 2010 : 6) penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.

Penelitian kualitatif dalam penelitian ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial (Deddy Mulyana, 2004 : 201). Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data secara mendalam. Mendalam, artinya mengungkapkan semua variabel yang dapat menyebabkan terjadinya kasus ini dari berbagai aspek.

Alasan digunakannya pendekatan penelitian studi kasus karena penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan fenomena motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi (MAN Maguwoharjo) secara mendalam.


(68)

54

Melalui pendekatan kualitatif studi kasus diharapkan dapat mengungkap fenomena motivasi berprestasi anak tunanetra di sekolah inklusi (MAN Maguwoharjo) yang menjadi subjek penelitian.

B. Subjek Penelitian

Menurut Suharmi Arikunto (2005 : 99) subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel penelitian melekat. Pada penelitian ini dalam menentukan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

1. Anak berkebutuhan khusus yang aktif dalam organisasi dan memiliki prestasi.

2. Anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusi. 3. Bersedia menjadi subjek penelitian.

Pada tahun ajaran 2015/2016 terdapat delapan siswa berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan di MAN Maguwoharjo, tujuh siswa penyandang tunanetra dan satu siswa penyandang tunadaksa. Enam siswa anak berkebutuhan khusus berada di kelas XII, satu siswa lainnya di kelas XI dan satu siswa lagi berada di kelas X. Berdasarkan ciri-ciri yang telah ditetapkan oleh peneliti, maka didapatkan dua anak berkebutuhan khusus yang aktif dalam organisasi, yaitu AP siswa kelas X dan SG siswa kelas XI. AP juga memiliki prestasi, yaitu menjadi juara 1 LCC Agama tingkat provinsi


(69)

55

tahun 2014, juara 2 LCC MIPA tingkat kota tahun 2014 dan juara 4 LCC agama se-DIY tahun 2013.

Selain kedua subjek yang telah ditetapkan, peneliti menambahan 4 orang sebagai key informan. Keempat orang tersebut adalah TG, NRL, TF dan ER. Mereka semua adalah teman sekelas dan seasrama/ sekontrakan subjek AP dan SG.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian pada penelitian ini adalah motivasi berprestasi anak tunanetra.

D. Latar dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai “Motivasi Berprestasi Anak Tunanetra di Sekolah Inklusi” ini dilaksanakan di MAN Maguwoharjo yang beralamatkan di Jl. Raya Tajem, Kec. Depok, Sleman, Yogyakarta dan di kediaman subjek penelitian, AP dan SG. Dipilihnya sekolah MAN Maguwoharjo sebagai latar penelitian ini dikarenakan MAN Maguwoharjo merupakan salah satu sekolah inklusi dimana terdapat anak berkebutuhan khusus yang sesuai dengan ciri-ciri purposive sampling sehingga pantas untuk diungkap motivasi berprestasinya. Waktu penelitian dimulai sejak bulan November 2015 sampai Juni 2016, dari pengajuan judul sampai selesai kesimpulan. Pengambilan data dalam penelitian ini dimulai sejak proposal penelitian ini disahkan, yaitu bulan April 2016 sampai Juni 2016.


(1)

166 dengan pertimbangan dan perhitungan menyelesaikan

tugas perencanaan. Sebelum melakukan

sesuatu ia akan membuat

perencanaan terlebih dahulu. AP memiliki jadwal kegiatan sehari-hari.

terlebih dahulu ketika akan melakukan

sesuatu.

b. Mempersiapkan hal-hal yang diperlukan agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik sesuai rencana

Dalam

mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk sekolah,

malamnya AP mempersiapkan perlengkapan terlebih dahulu. AP menyiapkan buku, kertas, alat rekaman dan alat tulis braille.

Dalam

mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk sekolah, SG selalu membawa perlengkapan didalam tasnya. SG tidak pernah menjadwal ulang. Semua buku SG bawa meskipun pada hari itu tidak ada jadwal pelajarannya. c. Mempertimbangk

an resiko yang ada

AP tidak

mempertimbangk an dan tidak memiliki

antisipasi jika terjadi sesuatu

pada yang

direncanakannya.

SG tidak

mempertimbangk an dan tidak memiliki

antisipasi jika terjadi sesuatu

pada yang

direncanakannya. 6. Berusaha

melakukan sesuatu

dengan cara yang kreatif

a. Berusaha mencari cara untuk mengerjakan suatu hal dengan lebih baik

AP mempuyai cara tersendiri dalam

menghafalkan materi pelajaran. AP

Dalam mengerjakan suatu tugas SG tidak memiliki cara untuk menyelesaikanny


(2)

167

menyambungkan materi dengan nama-nama sekitar yang mirip agar mudah dalam

menghafalnya.

a dengan baik. SG mengatakan yang paling terpenting tugas itu selesai.

b. Mempunyai banyak ide yang kreatif

AP tidak terlalu memiliki banyak ide kreatif.

Didalam

organisasi, SG sering

memberikan masukan atau ide- ide yang kreatif dalam suatu kegiatan.

c. Suka melakukan pekerjaan yang tidak biasa atau unik

Untuk anak penyandang tuna netra AP suka melakukan hal-hal yang tidak

biasa. AP

mencoba

memasak menu-menu baru. AP

juga suka

bermain dialam bebas, seperti naik gunung dan renang.

SG melakukan pekerjaan yang biasa dan tidak terlalu

membebani pikirnanya.

d. Senang bertindak kreatif untuk menyelesaikan tugas

Dalam

menghafalkan suatu materi AP memiliki cara yang kreatif.

Tidak ada hal kreatif yang dilakukan oleh

SG dalam

menyelesaikan tugasnya.


(3)

168 Lampiran 8.


(4)

(5)

(6)