27
kesiapan menghadapi kehidupan di masyarakat Dedy Kustawan, 2012: 10.
Pendapat-pendapat tersebut
menunjukkan bahwa
sekolah inklusif memberikan manfaat bagi anak tunanetra. Secara umum manfaat dari sekolah inklusif adalah
terwujudnya pendidikan yang terbuka, bermutu, menghargai keberagaman, dan non diskriminatif bagi anak tunanetra.
Selain itu, dengan sekolah inklusif, anak tunanetra juga memiliki kesempatan untuk dapat belajar menyesuaikan diri,
dapat mengembangkan rasa percaya diri, dan memiliki kesiapan menghadapi kehidupan di masyarakat yang heterogen
C. Penyesuaian Diri Anak Tunanetra
1. Pengertian Penyesuaian Diri Anak Tunanetra
Schneiders dalam M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S 2014: 51 mengemukakan pendapatnya bahwa penyesuaian
diri merupakan sebuah proses yang melibatkan respon mental dan perilaku seseorang dalam usaha mengatasi dorongan-
dorongan dari dalam dirinya agar diperoleh kesesuaian antara tuntutan dari dalam diri dan dari lingkungan tempat orang
tersebut berada. Pendapat tersebut menjjelaskan bahwa penyesuaian
diri merupakan
sebuah proses
untukk menyelaraskan tuntutan dari dalam diri dan tuntutan dari luar
diri seseorang yang melibatkan respon mental dan perilaku.
28
Pendapat lain menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan cara tertentu yang dilakukan oleh seseorang untuk
bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya Hendriati Agustiani, 2006: 146. Pendapat
tersebut menerangkan bahwa penyesuaian diri merupakan cara bereaksi seseorang terhadap tuntutan yang muncul dari dalam
diri dan luar diri seseorang. Dari berbagai pendapat tersebut, penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai cara bereaksi
seseorang yang melibatkan respon mental dan perilaku dalam usaha untuk mengatasi tuntutan dalam diri serta situasi
eksternal yang dihadapinya. Berdasarkan
beberapa pendapat
tersebut, dapat
ditegaskan bahwa penyesuaian diri anak tunanetra di sekolah merupakan cara bereaksi anak tunanetra yang melibatkan
respon mental dan perilaku anak tunanetra tersebut dalam usahanya untuk mengatasi tuntutan yang muncul dari dalam
diri serta situasi yang ada di sekolah. Keterbatasan- keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunanetra tentu dapat
mempengaruhi penyesuaian dirinya di sekolah. Sebenarnya,
seorang anak
yang mengalami
ketunanetraan memiliki potensi yang sama dengan anak awas untuk mengembangkan perilaku sosialnya. Menurut Tin
Suharmini 2009: 79, kelambatan perkembangan sosial pada
29
anak tunanetra disebabkan perlakuan dari lingkungan sosial yang tidak menguntungkan dan ketidakmampuan untuk
menerima serta merespon rangsang sosial yang mengakibatkan anak tunanetra tersebut mengalami kesulitan dalam belajar
keterampilan sosial. Pendapat tersebut menerangkan bahwa sebenarnya anak tunanetra memiliki potensi untuk dapat
menyesuaikan diri dengan baik di sekolah. Potensi tersebut sulit untuk diaktualisasikan bila anak tunanetra memperoleh
perlakuan-perlakuan yang negatif dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, kesulitan dalam belajar keterampilan
sosial juga dapat membuat anak tunanetra sulit menyesuaikan diri di sekolah.
Bagi anak
tunanetra, memasuki
sekolah atau
lingkungan baru merupakan saat yang kritis. Perasaan yang muncul dari dalam diri anak tunanetra bahwa dirinya berbeda
dengan orang lain tentu akan menimbulkan reaksi-reaksi tertentu, bisa positif atau negatif. Menurut Sutjihati Somantri
2012: 84-85, anak tunanetra yang mentalnya tidak siap dalam memasuki sekolah sering gagal dalam mengembangkan
kemampuan sosial. Bila kegagalan tersebut dibiarkan, anak tunanetra akan menunjukkan reaksi-reaksi yang negatif, seperti
menghindari kontak sosial, menarik diri, dan apatis. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa kegagalan anak tunanetra dalam
30
menyesuaikan diri di sekolah inklusif dapat disebabkan oleh tidak siapnya mental anak tersebut untuk menghadapi situasi
sosial yang mungkin tidak nyaman atau menguntungkan bagi anak tunanetra.
2. Bentuk Penyesuaian Diri Anak Tunanetra