Pelarangan Buku-buku Pelajaran Sejarah

commit to user

b. Pelarangan Buku-buku Pelajaran Sejarah

Praktik pelarangan buku masih terjadi di era reformasi, termasuk pelarangan buku-buku pelajaran sejarah. Menurut Iwan Awaludin Yusuf 2010:v pelarangan buku merupakan paradoks di negara demokrasi karena memperlihatkan kesewenang-wenangandalam membatasi kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi. Padahal semua itu dijamin oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi. Kebebasan berpikir dan berpendapat bahkan telah dijamin dalam UUD 1945. Negara melalui lembaga Kejaksaan Agung masih melakukan praktik pelarangan buku dengan dalih menjaga stabilitas nasional, ketertiban umum, atau meluruskan tafsir sejarah yang keliru. Pelarangan buku di era reformasi merupakan sebuah paradoks dari semangat reformasi yang mengusung kebebasan dan demokratisasi. Beberapa buku sejarah sempat menjadi korban praktik pelarangan buku di era reformasi ini, antara lain buku-buku pelajaran sejarah yang ditulis berdasarkan kurikulum 2004. Pada bulan Maret 2007 Kejaksaan Agung secara resmi melarang penerbitan dan peredaran buku sejarah SMP dan SMA kurikulum 2004. Kejaksaan Republik Indonesia dalam situs resminya menyebutkan bahwa: Barang cetakan buku Teks Pelajaran Sejarah untuk Tingkat SMPMts dan SMAMASMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” isinya tidak sepenuhnya mencatat fakta perjalanan sejarah bangsa Indonesia, antara lain peristiwa pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G-30-S tanpa menyebutkan keterlibatan PKI… Telah dilakukan operasi penyelidikan dan telah dibahas dalam rapat Clearing House Kejaksaan Agung RI tanggal 05 Desember 2006 yang kesimpulannya merekomendasikan kepada Jaksa Agung RI agar Barang cetakan buku Teks Pelajaran Sejarah untuk Tingkat SMPMts dan SMAMASMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” dilarang. Jam Intelijen, 2007, dalam http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=22idsu=6id=1410 diunduh tanggal 1 Februari 2012 pukul 16.32 commit to user Buku-buku teks pelajaran sejarah tersebut akhirnya dilarang melalui SK 19AJA032007 tertanggal 5 Maret 2007. Dalam konferensi pers pada 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Muchtar Arifin menyampaikan alasan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah tersebut, antara lain tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan hanya menulis keterlibatan G-30-S tanpa menyebut PKI Partai Komunis Indonesia pada 1965. Menurut Muchtar, ini memutarbalikkan fakta dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila buku sejarah itu dibiarkan beredar, dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Tidak hanya peredarannya yang dilarang, tapi juga proses pengadaannya. Surat Keputusan Kejaksaan Agung itu pun mewajibkan kejaksaan, kepolisian, dan alat negara lain yang berwenang menjaga ketertiban menyita buku-buku teks sejarah tersebut Asvi Warman Adam, 2007, dalam http:www.korantempo.com korantempo20070315Opinikrn,20070315,78.id.htm diunduh tanggal 20 Desember 2011 pukul 10.40. Pelarangan buku pelajaran sejarah ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Beberapa guru sejarah di Jakarta menyayangkan keputusan tersebut dan menilai bahwa pelarangan buku itu lebih didasari pertimbangan politik dan mengesampingkan pertimbangan akademis dan pedagogis Kompas, 14 Maret 2007. Asvi Warman Adam bahkan menyebut kebijakan penarikan dan pelarangan tersebut adalah suatu kemunduran dalam dunia pendidikan dan melanggar kaidah- kaidah ilmu pengetahuan. Kemunduran itu bisa dilihat dalam usaha pengingkaran commit to user terhadap sumber-sumber baru yang digunakan para sejarawan pasca reformasi. Harusnya fakta-fakta yang diangkat oleh para peneliti sejarah, maupun saksi dan pelaku, bisa menjadi rujukan baru bagi dunia pendidikan sejarah di Indonesia. Semakin banyak informasi berarti semakin luas wawasan yang didapatkan oleh penyusun buku teks, guru dan siswa tentunya Onghokham Institute, 2007, dalam http:onghokham-institute.blogspot.com200710buku-teks-sejarah-kontroversi. html diunduh 26 April 2010 pukul 15.02. Asvi Warman Adam juga menyatakan bahwa praktik pelarangan buku ini mirip dengan apa yang sering dilakukan Orde Baru. Pengendalian sejarah melalui represi menjadi pola yang masih dipraktikkan Tri Guntur Narwaya, 2010:155-156. Komunitas Sejarah Indonesia bahkan mengeluarkan petisi pada 20 Maret 2007 yang isinya: Pertama, menolak pelarangan buku sejarah yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007. Kedua, pelarangan itu mempunyai dampak negatif terhadap usaha mencerdaskan bangsa seperti digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 karena menimbulkan kebuntuan berpikir di kalangan dunia pendidikan. Hal itu jelas membingungkan guru dan siswa serta sangat merugikan penerbit. Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, ini akan menyusahkan orang tua murid yang terpaksa membeli buku yang lain. Ketiga, pelarangan itu tidak berdasar karena buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965. Pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu-Budha dan Islam. Adalah absurd karena Kejaksaan Agung melarang buku-buku yang tidak mencantumkan G30SPKI Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, penerbit Erlangga tetapi juga melarang buku yang tetap mencantumkan G30SPKI seperti yang dikarang Tugiyono KS dkk Pengetahuan Sosial, Sejarah, penerbit Grasindo Keempat, persoalan kurikulum merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional bukan urusan Kejaksaan Agung. Kelima, kami meminta agar Jaksa Agung mencabut surat keputusannya no. 19AJA032007 tertanggal 5 Maret 2007. commit to user Keenam, penindakan terhadap buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah, seyogianya melalui proses pengadilan bukan dengan pelarangan. Andreas Harsono, 2007, dalam http:www.andreasharsono. net200703petisi-komunitas-sejarah-indonesia.html diunduh tanggal 28 April 2010 pukul 14.48 Pelarangan buku-buku pelajaran sejarah ini juga berimbas pada penarikan dan pemusnahan buku-buku tersebut di berbagai daerah, misalnya saja di Kupang, Ponorogo, dan Bogor. Pada 30 April 2007, Kejati Nusa Tenggara Timur menyita ratusan buku pelajaran SD sampai SMA di sejumlah toko buku di Kota Kupang. Buku-buku tersebut dinilai menyimpang dari fakta sejarah dan mengandung nilai- nilai ajaran Komunis, Marxisme, dan Leninisme. Pada 10 Mei 2007, Kejaksaan Negeri Ponorogo merazia buku pelajaran sejarah untuk SMP dan SMA yang dinilai mengaburkan fakta peristiwa Gerakan 30 September 1965. Buku sejarah yang diamankan adalah buku yang berisi tentang Gerakan 30 September tanpa disertai PKI. Kejari menilai ini mengaburkan fakta bahwa pelaku Gerakan 30 September adalah PKI. Selain itu pada 30 Juli 2007. Ketika itu, Kejari Kota Bogor memusnahkan dan membakar 1.340 buku pelajaran sejarah untuk SMP kurikulum 2004 di depan gedung kejaksaan. Isi buku itu dinilai mengaburkan dan memutarbalikan sejarah sebenarnya Ahmad Taufiq, 2010, dalam http:ahmadtaufiq-alfin.blogspot.com201007vis-vis-negara-dan-buku.html diunduh 1 Februari 2012 pukul 15.33. Kebijakan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah di tahun 2007 tentu saja mempengaruhi penulisan buku teks sejarah yang akan diajukan sebagai BSE. Penulis buku teks sejarah harus menuliskan G30SPKI sesuai dengan versi resmi negara karena jika tidak demikian maka buku tersebut tidak akan lolos penilaian. commit to user Jadi, meskipun sudah ada kebebasan di era Reformasi, namun untuk masalah G30S yang ditampilkan dalam buku teks harus tetap mengacu pada versi resmi negara untuk menghindari perbedaan penafsiran.

C. Pokok-pokok Temuan

1. Tema-tema Ideologi Negara dalam BSE Sejarah Berdasarkan analisis teks di atas maka tema-tema ideologi yang muncul dalam BSE Sejarah Kelas XII IPA antara lain konstitusionalisme, anti komunismesosialis komunis, stabilitas, pembangunankemajuan, demokrasikemerdekaanhak asasi manusia, anti Orde Baru, dan globalisasi ekonomiliberalisme kapitalisme. Sebagian besar tema-tema tersebut ternyata mirip dengan tema-tema ideologi yang ditemukan oleh Murti Kusuma Wirasti dalam penelitiannya tahun 2002 tentang wacana ideologi negara dalam teks pendidikan tahun 1975-2001, yaitu konstitusionalisme, anti komunisme, stabilitas, pembangunankemajuan, demokrasikemerdekaanhak asasi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tema-tema ideologi yang diusung sejak masa Orde Baru masih melekat dalam teks-teks pendidikan di era reformasi.