Peran Negara dalam Produksi BSE Sejarah

commit to user 120 sekali untuk produksi dan pengajuan buku. Selain itu persentase honor sejumlah itu cukup besar dibandingkan dengan honor yang ia terima dari penerbit lain saat menulis buku teks sebelumnya. Penerbit menganggap bahwa hasil yang diterima dari penjualan hak cipta buku teks untuk BSE tidak seberapa. Hal ini karena hak cipta buku itu dibeli untuk jangka waktu 15 tahun, dan selama itu pula siapapun dapat mencetak dan mengedarkan BSE dengan harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan pemerintah.

b. Peran Negara dalam Produksi BSE Sejarah

Negara berkepentingan dalam produksi buku teks. Oleh karenanya negara mengeluarkan berbagai regulasi atau kebijakan yang turut mempengaruhi produksi buku teks. Beberapa kebijakan negara yang berkaitan langsung dengan perbukuan antara lain PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendiknas No 11 tahun 200 tentang buku teks pelajaran. Beberapa pasal dalam PP No. 19 tahun 2005 yang berkaitan dengan buku adalah sebagai berikut. a. Pasal 2 1 Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: a Standar isi b Standar proses c Standar kompetensi lulusan d Standar pendidik dan tenaga kependidikan e Standar sarana dan prasarana f Standar pengelolaan g Standar pembiayaan commit to user 121 h Standar penilaian pendidikan b. Pasal 42 1 Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 2 Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruangtempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. c. Pasal 43 3 Standar buku perpustakaan dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan satuan pendidikan. 4 Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap peserta didik. 5 Kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Permendiknas No. 11 tahun 2005 mengatur tentang buku teks pelajaran secara lebih rinci. Beberapa substansi yang strategis dalam peraturan ini adalah sebagai berikut. Pasal 1 Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Pasal 2 1 Buku teks pelajaran digunakan sebagai acuan wajib oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. commit to user 122 2 Selain buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 guru menggunakan buku panduan pendidikan dan dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran. 3 Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik, guru dapat menganjurkan peserta didik untuk membaca buku pengayaan dan buku referensi. Pasal 3 1 Buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP. Pasal 4 Pada kulit buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP, penerbit wajib mencantumkan label harga. Pasal 5 1 Buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1. Pasal 6 1 Dalam hal Menteri belum menetapkan buku teks pelajaran tertentu, rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah dapat memilih buku-buku yang ada, dengan mempertimbangkan mutu buku. Pasal 7 1 Satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling sedikit 5 tahun. 2 Buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila: a. ada perubahan standar nasional pendidikan; b. buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri. Pasal 8 1 Guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran. 2 Anjuran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan. 3 Untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtuawalinya membelinya di pasar. commit to user 123 4 Untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 sepuluh eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaan. Berdasarkan kedua kebijakan di atas nampak bahwa negara berperan dalam produksi buku teks. Isi buku teks harus sesuai dengan standar isi seperti yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Selain itu peraturan ini juga mewajibkan setiap satuan pendidikan untuk memiliki sarana berupa buku teks pelajaran. Kelayakan buku teks pelajaran tersebut dinilai oleh BSNP. Permendiknas No. 11 tahun 2005 mengatur lebih rinci mengenai buku teks, mulai dari kedudukan buku teks, penilaian buku teks, hingga penggunaan buku teks pelajaran di tingkat satuan pendidikan. Peranan strategis dalam melakukan penilaian buku teks pelajaran dipegang oleh BSNP. Mekanisme penilaian buku teks pelajaran oleh BSNP dapat dilihat pada bagan berikut. Bagan 5. Mekanisme Penilaian Buku Teks Pelajaran Sumber: puskurbuk.netweblain-lain.html diunduh 10 Januari 2012 pukul 20.10 commit to user BSNP menyusun instrumen dan pedoman penilaian sebelum penilaian dilaksanakan. Penyusunan instrumen penilaian dikembangkan oleh tim ahli bidang studi, ahli bahasa, ahli psikometri, dan ahli grafika. BSNP juga menetapkan kriteria buku teks pelajaran yang baik yang akan dijadikan acuan dalam pengembangan instumen penilaian buku teks. Buku teks pelajaran yang baik menurut BSNP yaitu 1 Minimal mengacu pada sasaran yang akan dicapai peserta didik, dalam hal ini adalah standar kompetensi SK dan KD. Dengan perkataan lain, sebuah buku teks pelajaran harus memperhatikan komponen kelayakan isi. 2 Berisi informasi, pesan, dan pengetahuan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dapat dikomunikasikan kepada pembaca khususnya guru dan peserta didik secara logis, mudah diterima sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif pembaca. Untuk itu bahasa yang digunakan harus mengacu pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Artinya, sebuah buku teks pelajaran harus memperhatikan komponen kebahasaannya. 3 Berisi konsep-konsep disajikan secara menarik, interaktif dan mampu mendorong terjadinya proses berpikir kritis, kreatif, inovatif dan kedalaman berpikir, serta metakognisi dan evaluasi diri. Dengan demikian sebuah buku teks pelajaran harus memperhatikan komponen penyajian, yang berisi teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajiannya mendukung pembelajaran. 4 Secara fisik tersaji dalam wujud tampilan yang menarik dan menggambarkan ciri khas buku pelajaran, kemudahan untuk dibaca dan digunakan, serta kualitas fisik buku. Dengan perkataan lain buku teks pelajaran harus memenuhi syarat kegrafikaan. Pudji Mulyono, 2007:7-8 Instrumen yang telah disusun oleh tim ahli di BSNP kemudian melalui tahap validasi kelayakan instumen dan uji coba kelayakan instrument. Validasi kelayakan instrument dilakukan dengan melibatkan external reviewer yang melibatkan dosen pendidikan bidang studi dari universitas kependidikan atau LPTK sebagai ahli pendidikan bidang studi, dosen bidang studi dari universitas nonkependidikan sebagai ahli bidang studi, guru mata pelajaran yang buku teks pelajarannya dinilai, dan ahli grafika. Draf instrumen penilaian buku teks commit to user pelajaran pasca validasi eksternal selanjutnya diujicobakan pada panel penilai buku teks pelajaran. Panel penilai buku teks pelajaran ini terdiri dari dosen pendidikan bidang studi dari universitas kependidikan atau LPTK sebagai ahli pendidikan bidang studi, dosen bidang studi dari universitas nonkependidikan sebagai ahli bidang studi, guru mata pelajaran yang buku teks pelajarannya dinilai, dan ahli grafika. Uji coba ini terdiri dari a simulasi menilai buku teks pelajaran SMA dan SMP sesuai dengan peruntukan instrumen; b telaah terhadap kejelasan butir dan deskripsi butir dari instrumen, sehingga diperoleh catatan perbaikan sebelum instrumen akhir final diselesaikan; dan c rumusan kriteria atau ukuran kelayakan buku teks pelajaran yang baik Pudji Mulyono, 2007:8. Instrumen penilaian buku teks pelajaran tersebut kemudian disosialisasikan kepada anggota Ikatan Penerbit Indonesia IKAPI maupun penerbit lain non IKAPI, calon penulis buku teks pelajaran, dan calon editor buku teks pelajaran. Sosialisasi ini bertujuan untuk memberitahukan proses dan prosedur penilaian buku teks pelajaran, criteria penulisan buku teks pelajaran yang layak pakai, dan fokus penilaian buku teks pelajaran. Penulis maupun penerbit kemudian mendaftarkan buku yang akan dinilaikan ke BSNP. Selanjutnya BSNP melakukan pengkodean terhadap naskah buku yang masuk. Setelah pengkodean selesai, maka tahap berikutnya adalah praseleksi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menilai buku teks pelajaran yang memenuhi persyaratan minimal SK-KD. Menurut BSNP 2009: 157-158 sebuah buku teks pelajaran dinyatakan lengkap dan dinyatakan lulus praseleksi apabila 1 jumlah KD sampai dengan 20, diperkenankan tidak memuat maksimal 1 KD, commit to user 2 jumlah KD 21 sampai dengan 40, diperkenankan tidak memuat maksimal 2 KD, 3 jumlah KD 41 sampai dengan 60, diperkenankan tidak memuat maksimal 3 KD. Langkah selanjutnya yang dilakukan BSNP dalam kegiatan penilaian buku teks pelajaran adalah pelatihan calon penilai buku teks pelajaran. Pada kegiatan ini dilakukan simulasi penilaian buku teks pelajaran.Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan calon penilai yang kompeten dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan BSNP. Peserta pelatihan calon penilai ini terdiri atas dosen ahli materi, dosen ahli pembelajaran dan guru mata pelajaran yang bersangkutan dengan buku yang akan dinilai. Langkah berikutnya adalah penilaian tahap I dengan tujuan untuk mendapatkan buku yang memenuhi kelayakan isi dan kelayakan penyajian yang ditetapkan BSNP. Setiap jilid buku teks pelajaran dinilai oleh dua orang penilai yaitu satu orang ahli materi dan satu orang ahli pembelajaran yang telah mengikuti pelatihan calon penilai buku teks. Pudji Mulyono 2007:11-12 mengungkapkan beberapa kriteria penilai yang ditetapkan oleh BSNP adalah sebagi berikut. 1 Ahli bidang studi berasal dari dosen bidang studi dari universitas nonkependidikan: a pendidikan minimal S2 bidang studi; b berpengalaman mengajar dua tahun terakhir dalam ilmu dasar bidang studinya; c bersedia mengikuti keseluruhan proses penilaian, termasuk pelatihan penilaian buku teks pelajaran; d bersedia menjaga kerahasiaan proses dan hasil penilaian; e bukan sebagai penulis danatau editor buku teks pelajaran yang dinilai. 2 Ahli pendidikan bidang studi berasal dari dosen pendidikan bidang studi dari universitas kependidikan atau LPTK: commit to user a pendidikan minimal S2 bidang studi atau pendidikan bidang studi; b berpengalaman mengajar lima tahun terakhir dalam pendidikan bidang studinya; c bersedia mengikuti keseluruhan proses penilaian, termasuk pelatihan penilaian buku teks pelajaran; d bersedia menjaga kerahasiaan proses dan hasil penilaian; e bukan sebagai penulis danatau editor buku teks pelajaran yang dinilai. Penilaian tahap I untuk buku teks pelajaran sejarah tahun 2007 dilakukan di Ciloto. Penilaian ini melibatkan dosen dari berbagai perguruan tinggi. Sebelum penilaian dilaksanakan, para calon penilai mendapatkan pengarahan. Pada forum ini juga terjadi diskusi mengenai substansi materi yang akan dinilai, misalnya saja mengenai peristiwa G30S yang hasilnya peristiwa G30S harus ditulis sebagai G30SPKI dengan alasan bahwa siswa SMA belum saatnya diajak melakukan analisis mengenai berbagai versi tentang G30S. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan dengan Drs. Slamet Sujud P.J., M.Hum.sebagai berikut. “Di awal itu Pak Joko Suryo sudah wanti-wanti soal masalah yang riskan dan kontroversial, misalnya masalah peristiwa ’65, kalau penyebutannya bukan G30SPKI tidak diloloskan.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum. yang terlibat dalam penilaian buku teks pelajaran sejarah tahun 2007 juga menyampaikan hal serupa. “…sebelum penilaian itu kita dikumpulkan, lalu ada diskusi mengenai substansi materi yang mau dinilai. Sempat ada perdebatan juga. Misalnya kalau di materi Hindu Budha biasanya kan Siwa disebut sebagai perusak, lalu saya menyampaikan kalau Siwa itu pelebur. Lalu mengenai teori masuknya agama Hindu, kalau di buku-buku pelajaran kan kadang ada ya yang menyebut teori Sudra, lalu saya mempertanyakannya, karena setahu saya tidak ada itu dasarnya teori Sudra. Juga masalah peristiwa ’65. Sempat rame juga itu Ndah, terutama masalah penyebutannya, apakah G30SPKI atau G30S saja. Lalu Pak Joko Suryo saat itu menyampaikan…saya lupa tepatnya, pokoknya kalau tidak G30SPKI tidak boleh. Alasannya karena belum waktunya anak SMP atau SMA untuk menganalisis berbagai versi tentang G30S. Kalau menurut saya itu sebenarnya pembodohan karena biasanya commit to user siswa disuruh cari informasi di internet tentang itu, tapi di buku tidak boleh kalau tidak G30SPKI.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Penilai yang lain, yaitu Drs. Marsudi, M.Hum. juga mengungkapkan hal yang serupa. “Kalau untuk masalah ’65 itu In, memang awalnya ada debat. Pak Joko Suryo sebagai penanggung jawab waktu itu tidak memperbolehkan kalau tidak ada PKI. Ngomongnya waktu itu halus, tapi intinya ya itu lah pokoknya. Alasannya waktu itu kira-kira karena siswa itu belum nyampek lah kalau disuruh nganalisis peristiwa itu…” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Dalam hal ini nampak bahwa wacana mengenai peristiwa G30S yang ditulis dalam buku teks haruslah mengacu pada wacana resmi negara yang telah dikembangkan sejak masa Orde Baru meskipun berbagai wacana alternatif mengenai peristiwa ini sudah beredar luas di masyarakat sejak kejatuhan Orde Baru. Para penilai diberi jatah untuk menilai sekitar sepuluh judul buku dalam waktu satu minggu. Menilai sepuluh judul buku dalam waktu satu minggu bukanlah hal yang mudah sehingga ada penilai yang mengundurkan diri seperti yang disampaikan oleh Drs. Marsudi, M.Hum sebagai berikut. “Awalnya itu banyak yang ndak sanggup In dengan pola kerjanya. Ya namanya juga cara kerja proyek. Kita dikasih target harus menyelesaikan 10 buku. Akeh sing protes iku dulu. Lha wong sehari baca satu buku ae wes ngelu kok. Namanya baca kan perlu waktu. Biasane yang nggak sanggup iku professor-profesor sing wes tuwek-tuwek iku. Biasane akhire masalah kesehatan itu. Jadi akeh sing kenek darah tinggi. Ya walaupun disediakan dokter juga di sana. Tapi akhire akeh sing gak sanggup dan mengundurkan diri iku.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012. Banyaknya jumlah buku yang harus dinilai kadang memaksa penilai untuk lembur hingga dini hari seperti yang diungkapkan oleh Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum. dan Drs. Marsudi, M.Hum. sebagai berikut. commit to user “…waktunya cuma satu minggu, jadi kita dulu kerjanya siang malam. Kadang jenuh juga” Wawancara dengan Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum. tanggal 9 Februari 2012 “Ya emang kerjanya kadang sampe’ jam 12 malam atau jam 2 pagi. Jadi ya kadang stress. Ya manusiawi lah In. Apalagi nek wes hari-hari terakhir terus temannya sudah pada selesai terus kita belum, yo gopoh kabeh, tambah stress…” Wawancara dengan Drs. Marsudi, M.Hum. tanggal 9 Februari 2012 Kondisi kerja seperti itu secara tidak langsung mempengaruhi penilaian yang dilakukan. Kejenuhan dan stress yang dialami oleh penilai kadang mempengaruhi kecermatan penilaian seperti yang diungkapkan oleh Drs. Marsudi, M.Hum. sebagai berikut. “Ya, kalau menurut saya kalo masalah lelah itu ngaruhnya ke kecermatan In. Tapi kan itu tadi, karena yang nilai dua orang jadi ya ada pembanding. Jadi misale saya oleh nilai pas ngantuk terus gak cermat, kan ada pembandingnya. Kan kalo bedanya jauh bisa dimediasi.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Adanya dua orang penilai membuka peluang terjadinya perbedaan penilaian meskipun instrumen penilaiannya sama. Perbedaan penilaian ini terutama karena perbedaan latar belakang pengalaman dan pendidikan antara ahli bidang studi dan ahli pendidikan bidang studi. Perbedaan pemberian nilai yang terlalu mencolok di antara dua orang penilai untuk judul buku yang sama diselesaikan dengan proses mediasi. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Drs. Slamet Sujud P.J., M.Hum. sebagai berikut. “…Kalau nilainya ada yang njomplang baru dimediasi… Ya kan nilainya 1 sampai 4. Jadi misalnya di satu butir saya ngasih nilai 2 terus penilai yang stau lagi ngasih nilai 4, lha itu terus dimediasi. Kita dipertemukan, ditanyain kok bisa beda jauh gini, apa alasannya. Biasanya yang dimediasi itu kalau nilainya selisih 2. Kalau selisih 1 ndak dimediasi, dianggap wajar… Ya biasanya kita disuruh diskusi. Kenopo tho kowe ngasih nilai segini, terus dijelasin. Biasane seh akhire bisa kompromi, bisa nerima. Yang jadi perbedaan itu kan karena beda cara pandang tho Mbak antara kita yang nilai materi sama yang nilai pembelajaran… Ya…kadang kan antara orang ilmu commit to user sama pendidikan sejarah ada cara pandang sendiri-sendiri. Tapi biasanya sih bisa dimediasi, ndak sampe’ ruwet-ruwet.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum. menyampaikan hal yang tidak jauh berbeda tentang proses mediasi. “Satu buku itu dinilai dua orang, tapi kerjanya terpisah, jadi sendiri-sendiri. Setelah selesai hasilnya dikumpulkan. Kalau ada nilai yang bedanya jauh baru dipertemukan… Jadi gini Ndah, penilaian itu kan sudah ada formatnya. Nah penilaiannya itu menggunakan skala 1 sampai 4. Kalau yang satu ngasih nilai 1 lalu yang satu lagi ngasih nilai 3 kan bedanya jauh, nah itu baru dipertemukan, dimediasi istilahnya. Jadi kita diminta menjelaskan kenapa kok bisa begini lalu biasanya diselesaikan lewat diskusi dalam mediasi itu.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Begitu pula dengan Drs. Marsudi, M.Hum. yang mengungkapkan sebagai berikut. “…Kalau ngasih nilainya beda jauh dimediasi. Kan nilainya pake skala 1 sampai 4, kalau ada komponen yang dikasih nilai 1 itu berarti gak lulus. Lalu kalau ada selisih nilai minimal 2, misalnya 1 sama 3, 1 sama 4, atau 2 sama 4, itu dimediasi. Jadi kita dipertemukan... karena perbedaan cara pandang. Jadi misale bagi ahli materi dianggap uraiannya sudah bagus, lengkap, tapi belum tentu bagi ahli pembelajaran, iso ae dianggap terlalu tinggi, belum waktunya. Kalau ahli pembelajaran kan bisa nggak buku iku dipake untuk pembelajaran, sesuai opo ndak. Soalnya kalau soal substansi buku iku kan ketinggian ndak boleh, terlalu dangkal juga ndak boleh.” Wawancara tanggal 9 Februari 2012 Penilai kemudian memberikan rekomendasi apakah buku yang dinilai itu layak untuk dijadikan sebagai buku teks pelajaran. Namun rekomendasi ini belum tentu meloloskan sebuah buku karena masih ada tahap lain yang harus dilalui dalam penilaian buku teks pelajaran. Buku teks yang dinyatakan lolos pada penilaian tahap I dilanjutkan untuk penilaian tahap II. Penilaian tahap II ini dilakukan oleh dua orang guru mata pelajaran dan satu orang ahli grafika. Komponen yang dinilai pada penilaian tahap commit to user II adalah komponen kelayakan penyajian, kelayakan bahasa, dan kelayakan grafika. Penilaian tahap II tidak dibahas secara mendalam pada penelitian ini karena komponen-komponen tersebut tidak terlalu berkaitan dengan wacana ideologi dalam buku teks. Tahap selajutnya adalah penentuan status kelolosan buku teks, yaitu lulus, lulus dengan perbaikan, dan tidak lulus. Berikut adalah kriteria kelulusan buku teks seperti yang diungkapkan oleh Pudji Muldjono 2007:10-11. a L ulus. Buku teks pelajaran dinyatakan lulus penilaian berdasarkan profil hasil penilaian dari seluruh empat komponen penilaian, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1 komponen kelayakan Isi mempunyai rata- rata skor komposit minimal 2,75 pada setiap subkomponen, 2 komponen Kebahasaan, Penyajian, dan Kegrafikaan mempunyai rata- rata skor komposit lebih besar dari 2,50 pada setiap subkomponen. b Lulus dengan perbaikan. Buku teks pelajaran dinyatakan lulus dengan perbaikan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: komponen Kebahasaan, Penyajian dan Kegrafikaan mempunyai rata-rata skor komposit kurang dari atau sama dengan 2.50 dengan persentase kurang dari 30 pada setiap subkomponen. c Tidak Lulus. Buku teks pelajaran dinyatakan tidak lulus apabila subkomponen mempunyai rata-rata skor = 1 dari salah satu penilai pada semua komponen. Buku yang dinyatakan lulus biasanya juga masih diminta untuk diperbaiki. Perbaikan untuk buku yang dinyatakan lulus biasanya tidak banyak dan hanya berkaitan dengan tata tulis, gambar, dan sebagainya. Sementara buku yang dinyatakan lulus dengan perbaikan memerlukan perbaikan yang lebih banyak dan menyangkut substansi buku seperti yang diungkapkan oleh Haryana Humardani sebagai berikut. commit to user “…Nantinya kan hasilnya ada 3 macam. Ada yang lulus, lulus dengan perbaikan, lalu tidak lulus. Tapi walaupun lulus, tetep ada perbaikan, ya tapi nggak banyak. Dikit-dikit, kecil lah… Kalau yang lulus dengan perbaikan itu banyak. Kalau yang lulus itu dikit-dikit, yah kalaupun tidak diperbaiki sebenarnya nggak masalah… kalau yang lulus dengan perbaikan biasanya memang terkait dengan materi, misalnya kalau sejarah itu kronologisnya. Lebih ke situ. Kalau yang lulus tanpa perbaikan itu biasanya perbaikannya di penulisan, atau ada yang tidak konsisten, misalnya ada yang ditulis Soekarno, ada yang Sukarno. Gitu aja sih.” Wawancara tanggal 16 Februari 2012 Buku yang dinyatakan lulus dengan perbaikan masih diberi kesempatan untuk diperbaiki oleh penerbit ataupun penulis. Setelah dilakukan perbaikan maka buku tersebut diserahkan kembali untuk dinilai oleh BSNP. Buku yang awalnya dinyatakan lulus dengan perbaikan setelah melalui proses ini bisa dinyatakan lulus, namun bisa juga malah dinyatakan tidak lulus. Buku-buku yang dinyatakan lulus kemudian ditetapkan sebagai buku teks pejalaran yang memenuhi kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran dan dibeli hak ciptanya oleh pemerintah untuk dijadikan BSE. Buku-buku teks pelajaran sejarah yang memenuhi kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran ditetapkan melalui Permendiknas No. 48 tahun 2007. Negara masih melakukan kontrol terhadap wacana yang disajikan dalam buku teks. Namun intensitasnya tidak sekuat pada masa Orde Baru. Hasil penelitian Murti Kusuma Wirasti 2002:149-150 menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru negara melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap buku-buku teks yang digunakan di sekolah. Kriteria penilaiannya pun sangat ketat dan diwarnai dengan muatan politis, misalnya saja adanya kriteria penilaian aspek keamanan. Kriteria penilaian dari segi keamanan dinyatakan secara dikotomis “ya” atau “tidak” sesuai dengan iklim politik yang sedang berlangsung. Penilaian aspek ini commit to user sangat menentukan. Bila ada satu butir saja yang dianggap bertentangan dengan keamanan dan dasar negara maka buku itu langsung didiskualifikasi dari proses penilaian selanjutnya isi, bahasa, dan grafika. Lima indikator penilaian dari segi keamanan adalah 1 tidak bertentangan dengan Pancasila, 2 tidak bertentangan dengan UUD 1945, 3 tidak bertentangan dengan GBHN, 4 tidak bertentangan dengan hukum, peraturan yang berlaku, dan etika masyarakat, dan 5 tidak mempertentangkan SARA. Penilaian aspek keamanan ini dilakukan oleh tenaga dari Kejaksaan Agung, Mabes ABRITNI, dan Ijten Depdiknas. BSNP tidak menggunakan penilaian aspek keamanan dalam menilai buku- buku teks yang akan dijadikan BSE. Penilaian yang dilakukan oleh BSNP memang lebih longgar dari penilaian yang dilakukan terhadap buku-buku teks pada masa Orde Baru. Penulis buku teks pun mengaku bahwa di masa Reformasi ini penulis bisa lebih bebas daripada di masa Orde Baru meskipun masih ada hal- hal tertentu yang dibatasi. “Kalau nulis buku teks sejarah sekarang ini enak, lebih bebas daripada jamannya Orde Baru dulu. Kalau dulu kita itu takut sama penguasa, takut sama Pak Harto, jadinya penulis buku teks harus menonjolkan perannya Pak Harto. Misalnya saja soal Supersemar, Serangan Umum 1 Maret, sampai soal G30S. Uraiannya tentang peran Pak Harto bisa berlembar- lembar. Kalau sekarang tidak harus begitu. Ya memang kita tulis juga gimana Orde Baru itu berperan membangun Indonesia, tapi juga kita tulis kalau Orde Baru akhirnya terlalu mengekang, lalu juga soal KKN. Ya memang faktanya begitu. Kalau sekarang berani nulis gitu, kalau dulu mana berani. Tapi memang ada juga yang masih dibatasi, misalnya soal G30S itu. Memang ada yang sengaja tidak boleh ditampilkan. Ya untuk yang sensitif memang tetap ada batasan tertentu.” Wawancara dengan Suryandari tanggal 20 Februari 2012 commit to user

c. Konsumsi BSE Sejarah