Analisis Teks 6 Analisis Teks untuk Menemukan Tema-tema Ideologi dalam BSE Sejarah Kelas XII IPA

commit to user 77 Tenggara dan lemahnya sistem ekonomi Indonesia. Soeharto kembali dipojokkan dalam teks seperti yang nampak dalam teks berikut. … sejak 1997 Indonesia terkena imbas krisis moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu mengatasi krisis, bahkan kurs rupiah pada 1 Agustus 1997 dari Rp2.575; menjadi Rp5.000; per dolar Amerika. Ketika nilai tukar makin memburuk, krisis lain menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan Soeharto makin menurun. Pada April 1998, 7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah sampai Rp10.000 perdolar. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia. Secara umum teks pada subbab ini merepresentasikan reformasi sebagai proses yang konstitusional dan mengkonstruksikan kegagalan Orde Baru dalam menjanga stabilitas politik dan ekonomi. Kebijakan Orde Baru yang represif terhadap oposisi dan penggunaan DPRMPR sebagai alat negara untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru memicu ketidakpuasan rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela selama Orde Baru juga dikonstruksikan sebagai faktor yang turut mendorong keruntuhan rezim ini. Soeharto dan Orde Baru lebih banyak dipojokkan di dalam teks.

f. Analisis Teks 6

Bab : II. Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Reformasi Subbab : B. Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998 Tema Ideologi : konstitusionalisme dan stabilitas commit to user 78 Deskripsi : Representasi yang dibangun pada subbab ini adalah instabilitas politik dan ekonomi pada awal reformasi. Instabilitas ini menggiring pada suksesi dari presiden Soeharto pada wakil presiden B.J. Habibie. Sejak 13 Mei 1998 rakyat meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Tanggal 14 Mei 1998 terjadi kerusuhan di Jakarta dan di Surakarta....Tanggal 18 Mei para mahasiswa menduduki gedung MPRDPR dan pada saat itu ketua DPRMPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang merosot sampai Rp15.000 per dollar. Dari realita di atas, akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie, yang membuka peluang suksesi kepemimpinan nasional kepada B.J. Habibie. Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Teks ini juga memaparkan berbagai faktor politik yang mendorong terjadinya reformasi. Representasi yang dibangun adalah buruknya kondisi politik masa Orde Baru, misalnya KKN dan kekuasaan yang otoriter, sehingga melahirkan tuntutan reformasi seperti yang nampak dalam teks berikut. Faktor politik meliputi hal-hal berikut. a Adanya KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam kehidupan pemerintahan. b Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme serta merajalelanya korupsi. c Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup. d Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. e Mahasiswa menginginkan perubahan. commit to user 79 Tuntutan reformasi di segala bidang ini belum dapat dipenuhi oleh presiden B.J. Habibie. Hal ini disebabkan adanya beberapa hambatan seperti yang nampak dalam teks berikut. Hambatan pelaksanaan reformasi politik 1 Hambatan kultural : mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke B.J. Habibie tidak diiringi pergantian rezim yang berarti sebagian besar anggota kabinet, gubernur, birokrasi sipil, komposisi anggota DPRMPR masih peninggalan rezim Orba. 2 Hambatan legitimasi : pemerintah B.J. Habibie karena belum merupakan hasil pemilu. 3 Hambatan struktural : berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut- larut yang berdampak bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. 4 Munculnya berbagai tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan disintegrasi bangsa. 5 Adanya kesan kurang kuat dalam menegakkan hukum terhadap praktik penyimpangan politik-ekonomi rezim lama seperti praktik KKN. 6 Terkotak-kotaknya elite politik, maka dibutuhkan kesadaran untuk bersamasama menciptakan kondisi politik yang mantap agar transformasi politik berjalan lancar. Pemerintahan B.J. Habibie direpresentasikan sebagai pemerintahan yang kurang kuat. Suksesi kepemimpinan tidak diiringi dengan pergantian rezim sehingga tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Selain itu B.J. Habibie direpresentasikan tidak memiliki legitimasi politik yang kuat karena ia bukan presiden hasil pemilu. Secara umum, teks ini memonjolkan ketidakmampuan pemerintahan B.J. Habibie dalam mengatasi masalah instabilitas politik dan ekonomi. commit to user 80 Perubahan politik yang besar terjadi pada Pemilu 1999. Pemilu ini direpresentasikan sebagai wujud demokratisasi pada masa Reformasi seperti yang nampak dalam teks berikut. Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Dari seratus lebih partai politik yang terdaftar, hanya 48 partai politik yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum. Lima besar hasil Pemilu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI Perjuangan, Partai Golongan Karya Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan Partai Amanat Nasional PAN dan sekaligus merupakan lima penyusunan keanggotaan MPR yang menempatkan Amin Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI. Pemilu 1999 merubah komposisi DPRMPR yang pada masa Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Meskipun Partai Golkar termasuk dalam lima besar, namun Partai Golkar bukan lagi kekuatan terbesar dalam DPRMPR. MPR yang terbentuk pasca Pemilu 1999 kemudian menolak pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Alasan yang dikemukakan adalah tidak akuratnya data yang disampaikan oleh Presiden Habibie. …Sidang Umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang disampaikan pada tanggal 16 Oktober 1999. Faktor penting yang menyebabkan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie adalah patut diduga bahwa presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan manipulatif. Teks ini memojokkan presiden B.J. Habibie dengan merepresentasikannya melakukan kebohongan publik. Indikator pertumbuhan ekonomi yang disampaikan diduga tidak akurat dan manipulatif. Namun teks ini commit to user 81 mengekskomunikasi alasan-alasan lain di balik penolakan laporan pertanggungjawaban presiden seperti kuatnya sentimen anti-Habibie karena ia dituding sebagai biang keladi lepasnya Timor Timur dari NKRI. Lepasnya Timor Timur ini juga mendorong perlawanan dan gerakan dari daerah-daerah lain, misalnya Aceh dan Papua, yang ingin melepaskan diri sehingga menimbulkan ancaman disintegrasi. Pemerintahan selanjutnya yang dipegang oleh Presiden Abdurrahman Wahid Gus Dur cenderung direpresentasikan secara negatif. Kebebasan dan demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur dianggap memperburuk keadaan. Gus Dur juga direpresentasikan sebagai presiden yang tidak tegas dan belum mampu membawa Indonesia keluar dari krisis. Teks ini memojokkan Gus Dur seperti yang nampak dalam teks berikut. …Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjasa dalam membuka kran kebebasan berpendapat dalam rangka demokrasi di Indonesia. Rakyat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat hingga akhirnya terjadi kebingungan dan kebimbangan mengenai benar dan tidaknya suatu hal. Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan pernyataan terhadap suatu masalah. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid secara umum belum mampu melepaskan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang dialaminya. Fakta yang ada justru menunjukkan makin banyak terjadi pengangguran, naiknya harga-harga, dan bertambahnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan. Disintegrasi bangsa juga makin meluas meskipun telah diusahakan penyelesaian, misalnya pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Pertentangan DPR dengan lembaga kepresidenan juga makin transparan… Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan Gus Dur juga kurang baik. Gus Dur direpresentasikan sebagai sosok yang tidak mengindahkan DPR dan berbuat seenaknya sendiri, bahkan melakukan tindakan yang commit to user 82 inkonstitusional, sementara DPR direpresentasikan sebagai pihak yang konstitusional dan berusaha mengingatkan pemerintah agar kembali pada GBHN seperti yang nampak dalam teks berikut. …Banyak sekali teguran DPR yang tidak pernah diindahkan Presiden Abdurrahman Wahid. Puncak pertentangan itu muncul dalam masalah yang dikenal sebagai Bruneigate dan Buloggate. Kasus Buloggate menyebabkan lembaga DPR mengeluarkan teguran keras kepada presiden dalam bentuk memorandum I sampai II. Intinya agar presiden kembali bekerja sesuai GBHN yang telah diamanatkan. Presiden Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan peringatan DPR tersebut. DPR akhirnya bertindak meminta MPR menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kinerja presiden. Presiden berusaha menyelesaikan masalah laporan pertanggungjawaban dengan kompromi politik. Namun, upaya itu tidak mendapat sambutan positif lima dari enam partai politik pemenang Pemilu 1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN, dan Partai Bulan Bintang. Partai Kebangkitan Bangsa sebagai basis politik K.H. Abdurrahman Wahid jelas mendukung langkah-langkahnya. Sikap MPR untuk menggelar sidang istimewa makin tegas setelah presiden secara sepihak melantik pemangku sementara jabatan Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Pol Chaerudin Ismail menggantikan Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan karena berseberangan pendapat dengan presiden. Padahal sesuai aturan yang berlaku pengangkatan jabatan setingkat Kapolri meskipun itu hak prerogatif presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR. Presiden sendiri dalam menanggapi rencana sidang istimewa berusaha mencari kompromi politik yang sama-sama menguntungkan. Namun, jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak didapatkan, presiden akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. MPR berencana menggelar sidang istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001. Presiden direncanakan akan memberikan laporan pertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli 2003. Namun, presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal. Secara umum teks ini merepresentasikan instabilitas politik pada masa pemerintahan Gus Dur. Teks ini lebih banyak menyudutkan Gus Dur dan menganggapnya inkonstitusional. Masalah Bruneigate dan Buloggate yang dianggap sebagai puncak pertentangan antara Gus Dur dan DPR tidak dijelaskan commit to user 83 secara lengkap sehingga konteks permasalahannya tidak dapat dipahami dengan jelas. Yang ditonjolkan adalah adanya peristiwa dan kasus-kasus yang merepresentasikan hubungan yang tidak harmonis antara presiden sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif. Gus Dur juga dianggap seenaknya sendiri dengan menonaktifkan Kapolri karena bertentangan dengan presiden. Tindakan inkonstitusional lainnya adalah dengan melakukan kompromi politik dan jika kompromi itu gagal maka presiden merencanakan menyatakan negara dalam keadaan bahaya, terlebih lagi pernyataan presiden bahwa Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal. Keputusan Gus Dur untuk mengeluarkan Dekrit Presiden juga direpresentasikan sebagai tindakan yang dilakukan karena kepanikan Gus Dur menghadapi perkembangan politik yang terjadi. Gus Dur semakin dipojokkan dalam teks seperti yang nampak dalam teks berikut. …Melihat perkembangan politik yang tidak menguntungkan tersebut, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menengarai adanya persekongkolan untuk menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh karena itu, presiden segera bertindak meskipun tidak mendapat dukungan penuh dari kabinetnya untuk mengeluarkan Dekret Presiden pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 1.10 WIB dini hari. Dekret Presiden 23 Juli 2001 pada intinya berisi hal sebagai berikut: 1. membekukan MPR dan DPR RI; 2. mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun; 3. menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur orde baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. commit to user 84 Dekrit yang dikeluarkan oleh Gus Dur direpresentasikan sebagai tindakan yang inkonstitusional dan tidak mendapatkan legitimasi. Sementara MPR direpresentasikan sebagai pihak yang ingin mengembalikan pemerintahan agar sesuai dengan haluan negara. Gus Dur kemudian diberhentikan sebagai presiden dalam Sidang Istimewa MPR. …MPR pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 8.00 WIB, akhirnya bersikap bahwa dekret tidak sah dan presiden jelas-jelas telah melanggar haluan negara yang diembannya. Pernyataan MPR didukung oleh fatwa Mahkamah Agung yang langsung dibacakan pada Sidang Istimewa MPR itu. Sidang Istimewa MPR terus berjalan meskipun PKB dan PDKB menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab atas hasil apapun dari Sidang Istimewa MPR. Fraksi- fraksi MPR yang ada akhirnya setuju memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan menetapkan Megawati Soekarnoputi sebagai Presiden RI… Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri stabilitas keamanan belum tercapai. Salah satu indikasinya adalah Gerakan Aceh Merdeka GAM yang direpresentasikan melakukan tindakan kriminal seperti perampokan, penculikan, dan pembunuhan sehingga pihak pemerintah “terpaksa” mengambil langkah tegas dengan melakukan operasi militer. …Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka GAM tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap. Namun demikian, operasi commit to user 85 militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai .

g. Analisis Teks 7