commit to user 85
militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai
.
g. Analisis Teks 7
Bab : II. Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa
Reformasi Subbab
: C. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Berbagai Daerah Sejak Reformasi
Tema Ideologi : stabilitas
Deskripsi : Subbab ini menggambarkan mengenai instabilitas keamanan dan ekonomi
yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Konflik sosial bernuansa SARA merupakan fenomena umum yang terjadi pada masa Reformasi. Konflik-konflik
sosial itu antara lain terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku.
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari tertangkapnya
seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari 1999.
Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk Parisetia beretnis Dayak dan Melayu. Entah isu apa yang beredar di
masyarakat menyebabkan penduduk Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melakukan aksi balas dendam dengan menyerang dan
merusak segala sesuatu di Desa Parisetia. Akibatnya, terjadi aksi saling balas dendam antaretnis tersebut dan menjalar ke berbagai daerah di
Kalimantan Barat. Pemerintah berusaha mendamaikan konflik tersebut dengan mengajak tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang ada
untuk membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dengan wadah tersebut segala permasalahan dicoba diselesaikan secara
damai.
commit to user 86
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat direduksi menjadi konflik sosial biasa dengan pemicu konflik yang sepele, yaitu pencurian. Bagaimana dan
mengapa konflik ini meluas di Kalimantan Barat tidak digambarkan dalam teks. Masalah-masalah ketimpangan sosial dan masalah kultural yang turut menyulut
kerusuhan tidak ditampilkan dalam teks. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum juga tidak ditampilkan dalam teks. Penyelesaian konflik pun digambarkan
dilakukan secara damai, yaitu melalui Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Pola representasi serupa juga ditampilkan dalam teks mengenai konflik
sosial di Kalimantan Tengah. Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di
Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan Dayak. Konflik itu diawali dengan terjadinya pertikaian
perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan nyawa melayang sia-sia akibat pertikaian antaretnis tersebut. Sebagian
pengungsi dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya di Madura ternyata juga menimbulkan masalah di
kemudian hari. Kondisi Pulau Madura yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian warganya menolak kedatangan para pengungsi itu.
Sampai sekarang pun pengungsi Sampit masih menjadi masalah pemerintah.
Konflik sosial di Poso agak berbeda dengan di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Tengah yang berkembang menjadi konflik etnis. Konflik di Poso
yang pemicu awalnya perkelahian biasa berkembang menjadi konflik agama. Konflik tersebut digambarkan sempat mereda, namun kembali memanas.
“Beberapa orang asing” digambarkan sebagai penyebab terjadinya ketegangan
commit to user 87
lagi di Poso. Penyelesaian konflik juga digambarkan melalui jalan damai, yaitu perundingan.
Konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula dipicu oleh
perkelahian antara Roy Luntu Bisalembah Kristen yang kebetulan sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan Islam di dekat Masjid Darussalam pada
tanggal 26 Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat perkelahian dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan
antaragama di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan rumah dan tempat ibadah hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa
melayang akibat konflik tersebut. Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang asing ke daerah konflik tersebut menyebabkan ketegangan
dan kerusuhan terjadi lagi. Beberapa dialog digelar untuk meredakan konflik tersebut, seperti pertemuan Malino yang dilakukan pada tanggal 19–20
Desember 2001.
Konflik sosial yang berkembang menjadi konflik agama juga terjadi di Maluku. Namun, jika di Poso hanya berhenti pada konflik agama, maka di
Maluku direpresentasikan bahwa konflik agama berkembang menjadi gerakan separatis. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat sebenarnya bibit separatis RMS
Republik Maluku Selatan sudah ada di Maluku jauh sebelum konflik agama terjadi.
Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara warga Batumerah, Ambon, dan
sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999. Namun, seperti konflik yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu isu apa yang beredar di
masyarakat, terjadi ketegangan antarwarga. Puncaknya terjadi kerusuhan massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah. Warga Islam yang
tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan gereja. Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya konflik yang semula
antaragama berkembang menjadi gerakan separatis. Sebagian warga Maluku pada tanggal 25 April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan
mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan RMS di beberapa tempat. Upaya menurunkan bendera tersebut menimbulkan korban. Mereka gigih
commit to user 88
mempertahankannya. Sampai sekarang konflik Maluku itu belum dapat diatasi dengan tuntas.
h. Analisis Teks 8