commit to user 74
industri. Mental pejabat yang korup juga dikonstruksikan memperparah dampak negatif industrialisasi di Indonesia.
Dengan penargetan dan pencapaian hasil teknologi yang dimaksudkan, Indonesia tumbuh menjadi kawasan industri di berbagai
tempat. Lahan-lahan pertanian banyak berubah menjadi kawasan industri, baik oleh pemodal asing PMA maupun pemodal dalam negeri PMDN.
Mental pejabat Orde Baru yang korup menambah parah dampak industrialisasi di Indonesia. Banyak industri yang tidak mempunyai atau
tidak lolos dalam penyampaian analisis dampak lingkungan AMDAL, tetapi karena mampu menyuap pejabat berwenang yang mengeluarkan izin
pendirian kawasan industri, akhirnya mampu membangun industri tersebut.
e. Analisis Teks 5
Bab : II. Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa
Reformasi Subbab
: A. Kondisi Ekonomi dan Politik Sebelum Reformasi Tema Ideologi
: stabilitas, konstitusionalisme, dan anti Orde Baru Deskripsi
: Reformasi direpresentasikan sebagai sebuah perubahan yang konstitusional
menuju Indonesia yang lebih baik. Representasi ini mirip dengan representasi mengenai Orde Baru pada masa awal berdirinya. Kondisi politik dan ekonomi
digambarkan sedang mengalami krisis sehingga suksesi kekuasaan tak terhindarkan untuk menyelamatkan negara, namun suksesi itu tetap dilakukan
secara konstitusional. Reformasi merupakan perubahan yang radikal dan menyeluruh untuk
perbaikan. Perubahan yang mendasar atas paradigma baru atau kerangka
commit to user 75
berpikir baru yang dijiwai oleh suatu pandangan keterbukaan dan transparansi merupakan tuntutan dalam era reformasi.
Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional
dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika terjadi krisis ekonomi, politik, hukum dan krisis kepercayan, maka seluruh rakyat mendukung adanya
reformasi dan menghendaki adanya pergantian pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan Indonesia di segala bidang ke arah yang lebih
baik.
Perkembangan politik menjelang reformasi dikonstruksikan sebagai akibat dari kebijakan Orde Baru yang represif dan manipulatif dalam melanggengkan
kekuasaan. Orde Baru memanfaatkan DPR sebagai alat negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan bagi pihak penguasa.
Di tengah-tengah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara terjadilah ganjalan dalam kehidupan berpolitik menjelang Pemilu 1997
disebabkan adanya peristiwa 27 Juli 1996, yaitu adanya kerusuhan dan perusakan gedung DPP PDI yang membawa korban jiwa dan harta.
Tekanan pemerintah Orba terhadap oposisi sangat besar dengan adanya tiga kekuatan politik yakni PPP, GOLKAR, PDI, dan dilarang
mendirikan partai politik lain. Hal ini berkaitan dengan diberlakukan paket UU Politik, yaitu:
1. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, 2. UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR,
DPR, DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 5 Tahun 1995,
3. UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, 4. UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Peristiwa 27 Juli 1996 dikonstruksikan sebagai ganjalan menjelang Pemilu 1997. Namun latar belakang dan pelaku kerusuhan sengaja diekskomunikasi
dikeluarkan dari pembicaraan sehingga konteks kerusuhan ini menjadi tidak jelas. Hal ini juga nampak dalam representasi mengenai kerusuhan-kerusuhan di
daerah lain yang mengekskomunikasi konteks kerusuhan sehingga kerusuhan
commit to user 76
dianggap sebagai fenomena yang umum pada saat itu. Intsabilitas politik merupakan hal yang ditonjolkan dalam teks.
Pertikaian sosial dan kekerasan politik terus berlangsung dalam masyarakat sepanjang tahun 1996, kerusuhan meletus di Situbondo, Jawa
Timur Oktober 1996. Kerusuhan serupa terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat Desember 1996, kemudian di berbagai daerah di Indonesia.
Instabilitas politik menjelang Pemilu 1997 semakin memuncak dan meimbulkan ketidakpuasan setelah Golkar ditetapkan sebagai pemenang Pemilu
1997 yang berarti akan memperkuat peluang Soeharto untuk kembali menjadi presiden. Teks ini merepresentasikan bahwa hal itu merupakan hasil dari rekayasa
politik yang penuh dengan kolusi dan nepotisme. Soeharto dan Golkar dipojokkan dalam teks sementara mahasiswa dan golongan intelektual direpresentasi sebagai
kekuatan yang menggerakkan perubahan dengan melakukan protes. Pemilu 1997, dengan hasil Golkar sebagai pemenang mutlak. Hal ini
berarti dukungan mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR 1998. Pencalonan kembali
Soeharto menjadi presiden tidak dapat dipisahkan dengan komposisi anggota DPRMPR yang mengandung nepotisme yang tinggi bahkan
hampir semua putra-putrinya tampil dalam lembaga negara ini. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian
membentuk Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi. Mahasiswa dan golongan intelektual mengadakan protes
terhadap pelaksanaan pemerintahan ini.
Kekacauan yang terjadi di Indonesia menjelang Reformasi juga dikonstruksikan sebagai akibat dari instabilitas ekonomi. Terganggungnya
stabilitas ekonomi dikonstruksikan sebagai imbas dari krisis moneter di Asia
commit to user 77
Tenggara dan lemahnya sistem ekonomi Indonesia. Soeharto kembali dipojokkan dalam teks seperti yang nampak dalam teks berikut.
… sejak 1997 Indonesia terkena imbas krisis moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu mengatasi krisis,
bahkan kurs rupiah pada 1 Agustus 1997 dari Rp2.575; menjadi Rp5.000; per dolar Amerika. Ketika nilai tukar makin memburuk, krisis lain
menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
BPPN yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan Soeharto makin menurun. Pada April 1998,
7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah sampai Rp10.000 perdolar. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di
berbagai kota di seluruh Indonesia.
Secara umum teks pada subbab ini merepresentasikan reformasi sebagai proses yang konstitusional dan mengkonstruksikan kegagalan Orde Baru dalam
menjanga stabilitas politik dan ekonomi. Kebijakan Orde Baru yang represif terhadap oposisi dan penggunaan DPRMPR sebagai alat negara untuk
melanggengkan kekuasaan Orde Baru memicu ketidakpuasan rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela selama Orde Baru juga dikonstruksikan
sebagai faktor yang turut mendorong keruntuhan rezim ini. Soeharto dan Orde Baru lebih banyak dipojokkan di dalam teks.
f. Analisis Teks 6