tempat pembajak berada kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk dikenakan hukuman berdasarkan hukum nasional negara yang mempunyai yurisdiksi.
Di dalam praktek tentu sulit sekali, kalau suatu negara yang wilayahnya kebetulan diterbangi pesawat udara asing harus menangani kejahatan yang dilakukan
di dalam pesawat udara tersebut. Pertama kontak atau hubungan antara para penumpang pesawat tersebut dan negara yang wilayahnya diterbangi itu adalah hanya
samar-samar, sehingga tidak kena atau memadailah, jika hukum dari negara yang wilayahnya diterbangi itu, pada umumnya dipergunakan sebagai ukuran untuk
bertindak terhadap perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan. Selain daripada itu, sebenarnya negara yang wilayah udaranya kebetulan diterbangi pesawat udara asing,
tidak ada kepentingan untuk mencampuri dan menangani perbuatan-perbuatan yang dilakukan di dalam pesawat udara yang kebentulan menerbangi wilayahnya itu.
Dipandang dari sudut penumpang adalah tidak wajar jika daripadanya diharapkan senantiasa penyesuaian tingkah lakunya dengan semua ketentuan hukum dari setiap
negara yang diterbangi oleh pesawat udara yang ditumpanginya itu.
73
B. Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi The Hague 1970
1. Konvensi The Hague 1970 sebagai Konvensi Internasional yang Mengatur tentang Pembajakan Udara
Dalam rangka pemberantasan tindak kejahatan penerbangan, khususnya pembajakan udara, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menyelenggarakan
sidang umum di Buenos Aires pada bulan September 1968 serta menyerukan agar
73
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional segera meratifikasi Konvensi Tokyo 1963. Sementara itu, Sidang Umum Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional menginstruksikan Dewan Harian Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk segera mempelajari instrumen hukum guna memberantas
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Dalam bulan Desember 1968, dengan menunjuk resolusi sidang Umum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
meneruskan kepada Komite Hukum Legal Committee meminta agar Ketua Komite Hukum membentuk Sub-Komite Hukum Penguasaan Pesawat Udara Secara
Melawan Hukum Unlawful Seire of Aircraft. Berdasarkan basil studi Sub-Komite Hukum Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional, rekomendasi ILA maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi internasional lainnya, Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional mengadakan konferensi diplomatik pada bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The Hague Belanda. Konferensi diplomatik yang dihadiri oleh 77
negara dan 12 organisasi internasional tersebut mengesahkan konvensi yang berjudul “Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” pada angga1 16
Desember 1970 dengan mayoritas suara tanpa perlawanan dan dua negara abstein. Pengesahan konvensi tersebut merupakan titik puncak instrumen hukum
pemberantasan pembajakan udara. Kedua konvensi internasional tersebut merupakan instrumen yang saling mengisi kekurangan masing-masing. Dengan lahirnya
Konvensi The Hague 1970 lebih memantapkan kekurangan Konvensi Tokyo 1963 terkait dengan pembajakan udara.
Universitas Sumatera Utara
2. Upaya Konvensi The Hague 1970 dalam Melindungi Penerbangan Sipil Internasional dari Ancaman Pembajakan Udara
a. Dalam Penerbangan in Flight Menurut Pasal 3 1 Konvensi The Hague 1970 berlaku bilamana pembajakan
dilakukan selama “dalam penerbangan in flight.” Apa yang dimaksudkan dengan “dalam penerbangan in flight. Menurut Konvensi Tokyo 1963 yang dimaksudkan
dengan “dalam penerbangan in flight adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh di ujung landasan siap untuk tinggal Iandas sampai saat pesawat udara
mendarat di ujung landasan. Pesawat udara dengan tenaga penuh berada di ujung landasan bukan untuk tinggal landas, tidak termasuk “in flight,” misalnya pesawat
udara mengadakan pergerakan selain untuk tinggal Lindas.”
74
Berdasarkan ketentuan Konvensi Tokyo 1963 tersebut, maka bilamana pesawat udara dibajak pada saat
bergerak pelan-pelan dari pelataran apron di landas-hubungan taxiway menuju landas-pacu, maka tidak berlaku Pasal 1 3 Konvensi Tokyo 1963. Dalam hal
demikian akan berlaku hukum nasional tempat pesawat udara berada. Oleh karena itu, pasal tersebut disempurnakan dengan Pasal 3 1 Konvensi The Hague 1970.
dengan demikian, kekurangan Konvensi Tokyo 1963 dapat disempurnakan oleh Konvensi The Hague 1970. Menurut Konvensi The Hague 1970 yang dimaksudkan
dengan in flight adalah sejak semua pintu luar ditutup diikuti dengan embarkasi pesawat udara sampai saat semua pintu luar dibuka kembali diikuti dengan debarkasi
penumpang. Dengan demikian, suatu kejahatan yang terjadi di apron atau terminal dapat berlaku Konvensi The Hague 1970.
75
74
Ibid., hal. 93.
75
Ibid., hal. 93-94.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian “dalam penerbangan in flight” dalam Pasal 3 1 Konvensi The Hague 1970 lebih luas dibandingkan dengan pengertian “dalam penerbangan in
flight” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 Konvensi Roma 1952. Menurut
Pasal 3 1 Konvensi The Hague 1970 dalam hal pesawat udara dibajak, belum sampai di tempat tujuan, maka masih termasuk “dalam penerbangan in flight”
sampai saat kekuasaan diambil alih oleh pejabat yang berwenang di darat. Pengertian “dalam penerbangan in flight” menurut Konvensi Tokyo 1963 hampir sama dengan
pengertian “dalam penerbangan in flight dalam Konvensi Roma 1952. Bedanya hanya terletak dalam Konvensi Roma 1952 secara tegas disebutkan dengan tenaga
penuh yang benar-benar untuk tinggal actual take-off. “Tidak ditemukan mengapa perbedaan tersebut diadakan, apakah karena dalam Konvensi Tokyo 1963 bermaksud
untuk lebih menegaskan bahwa jangka waktu antara gedung terminal dengan ujung landasan semata-mata mengutamakan pergerakan pesawat udara”.
76
Pasal 1 paragraf b Konvensi The Hague 1970 mengatur bantuan pembajakan. Tindakan bantuan atau ikut serta membantu pembajakan udara dapat
dilakukan oleh orang atau badan hukum yang berada di darat, misalnya terjadi komunikasi antara pembajak dengan menara pengawas, kemudian orang atau badan
hukum tersebut menginstruksi pengawas lalu lintas udara atau penerbangnya agar memenuhi permintaan pembajak dengan ancaman secara fisik maupun ancaman
nonfisik. Hal ini terjadi pada pembajakan pesawat udara yang dicharter oleh Ben Bella dalam tahun 1956, dalam penerbangannya dari Cairo ke Tunisia, sewaktu
pesawat udara terbang di laut lepas, awak pesawat udara diinstruksikan oleh b. Membantu Pembajakan Udara
76
Ibid., hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Prancis melalui hubungan radio agar pesawat udara didaratkan di Aljazair.
77
Menurut pasal tersebut setiap orang yang ada di dalam pesawat udara dalam penerbangan yang secara melawan hukum dengan kekerasan atau ancaman atau
dalam bentuk intimidasi, menguasai pesawat udara secara melawan hukum, mengambil alih kendali pesawat udara atau mencoba melakukan perbuatan tersebut
ditekankan oleh penulis termasuk pelanggaran yang diancam hukuman. Hal ini pernah terjadi terhadap pembajakan pesawat udara Trans World Airlines TWA bulan
Juni 1970. Pembajak minta tebusan US 100,000.00 seratus ribu dollars, namun sebelum pembajak berhasil ditangkap oleh Federal Burreau Inteligence FBI
Amerika Serikat, kemudian diturunkan di Bandar Udara Internasional Dulles Washington DC. Demikian pula percobaan pembajakan udara dilakukan pada bulan
Mei 1971, pembajak membajak pesawat udara penerbangan dalam negeri rute Miami-New York ke arah Nassau. Pembajak menuntut tebusan US 500,000.00 lima
ratus ribu dollars, tetapi tertangkap sebelum berhasil menerima tebusan. c. Percobaan Pembajakan Udara
Konvensi The Hague 1970 di samping mengancam tindakan pembajakan, pemberian bantuan, atau ikut serta dalam pembajakan, juga mengancam hukuman
terhadap percobaan pembajakan udara. Hal ini diatur dalam Pasal 1 paragraf a Konvensi The Hague 1970.
78
77
K. Martono, Pembajakan Udara Aircraft Hijacking, Pidato Ilmiah dibacakan pada Lustrum VII Universitas Islam Jakarta, 1987, tidak diterbitkan, hal. 13.
78
K. Martono, Op. Cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
d. Orang di Dalam Pesawat Udara Menurut Pasal 1 Konvensi The Hague 1970 berlaku terhadap tindak kejahatan
yang dilakukan oleh orang natural person di dalam pesawat udara. Berdasarkan pasal tersebut, siapa pun orang natural person yang ada di dalam pesawat udara
baik penumpang gelap, maupun penumpang resmi, awak kabin cabin crew, awak ruang kemudi cockpit crew, awak pesawat udara cadangan extra crew, semua
berpotensi untuk menjadi pembajak. Pembajakan udara yang dilakukan oleh awak pesawat udara adalah terjadi pada tanggal 6 April 1948. Tiga orang dan tujuh belas
pembajaknya adalah awak pesawat udara sebagai penerbang maupun awak kabin. Pembajakan udara jenis ini biasanya motif pengungsian yang mencari tempat tinggal
baru yang dianggap sesuai dengan sistem politik dan sosialnya.
e. Negara Pendaftar Pesawat Udara Registration State
Menurut Pasal 3 paragraf 2 Konvensi The Hague 1970 hanya berlaku jika
tempat tinggal landas atau tempat pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak yang di dalamnya terdapat pembajak berada di luar negara tempat pesawat udara
didaftarkan. Berdasarkan ketentuan tersebut berlaku atau tidaknya Konvensi The Hague 1970 tergantung dan pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak, bukan
tergantung dari jenis penerbangannya. Pesawat udara penerbangan dalam negeri, tetapi dibajak dan mendarat di luar negeri, seperti kasus Woyla dalam tahun 1981,
maka berlaku Konvensi The Hague 1970. Sebaliknya, bilamana penerbangan internasional Jakarta-Tokyo kemudian dibajak dan mendarat di Balikpapan, maka
Konvensi The Hague 1970 tidak berlaku. Dalam hal demikian berlaku hukum nasional Indonesia yang merupakan negara pendaftar pesawat udara.
Universitas Sumatera Utara
f. Pendaratan di Luar Negeri Sesuai dengan Pasal 3 paragraf 5 Konvensi The Hague 1970, di mana pun
tempat tinggal landas atau tempat pendaratan nyata pesawat udara, bilamana pembajak atau tertuduh atau tersangka ditemukan di luar negara yang mendaftarkan
pesawat udara, Konvensi The Hague 1970 berlaku sepenuhnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia berlaku Konvensi
The Hague 1970 sepanjang tidak mendarat di Indonesia.
3. Kewenangan Negara Anggota Konvensi The Hague 1970 dalam Upaya Mengatasi Pembajakan Udara