pejabat militer atau polisi yang berwenang dimusnahkan atau digunakan untuk keperluan yang sejalan dengan Konvensi Montreal 1991.
e. Setiap negara anggota wajib mengambil langkah-langkah tertentu untuk menjamin pemusnahan, secepatnya, bahan barang peledak yang tidak diberi tanda yang
ditemukan di wilayahnya dan persediaan-persediaan bahan peledak yang digunakan oleh pejabat militer atau polisi yang berwenang pada saat konvensi ini berlaku.
Konvensi Montreal 1991 juga membentuk Komisi Ahli di bidang bahan peledak yang terdiri tidak kurang dari 15 anggota yang berpengalaman di bidang
produksi atau penemu kenalan atau penelitian barang peledak yang ditunjuk oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan orang-orang yang dicalonkan oleh
negara anggota Konvensi. Komisi tersebut bekerja dalam kurun waktu tiga tahun yang dapat ditunjuk kembali. Mereka minimum sekali setahun melakukan sidang di
kantor pusat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Konvensi Montreal 1991 tidak mewajibkan kepada negara anggota untuk
menciptakan hukum pidana pelanggaran maupun kejahatan yang mengancam tindakan terorisme, baik nasional maupun internasional. Hal ini diserahkan
sepenuhnya kepada negara anggota masing-masing sesuai dengan semangat Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 dengan memerhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis
serta asas-asas hukum internasional yang berlaku baik yang lama maupun yang baru.
3. Kewenangan Negara Anggota Konvensi Montreal 1991 dalam Upaya Mengatasi Pembajakan Udara
Kewenangan negara anggota Konvensi Montreal 1991 dalam upaya mengatasi pembajakan udara, meskipun mengenai tindak pidananya lebih luas dan beraneka
ragam jika dibandingkan dengan Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Tokyo
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan ketentuan-ketentuan yang praktis yang sama dengan apa yang tercantum dalam Konvensi The Hague 1970, yaitu sebagai berikut:
1. Tiap negara peserta harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjalankan yurisdiksinya terhadap tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila tindak pidana itu dilakukan di wilayah negara tersebut; b. apabila tindak pidana itu dilakukan terhadap atau di dalam pesawat udara
yang didaftar di dalam negera tersebut; c. apabila pesawat udara di dalam mana tindak pidana itu dilakukan mendarat di
dalam wilayah negara tersehut sedangkan si pelaku masih ada di dalamnya; d. apabila tindak pidana itu dilakukan terhadap atau di dalam pesawat udara yang
disewa tanpa awak pesawat udara, maka negara di mana berada tempat kedudukan pusat usaha si penyewa atau apabila si penyewa tidak mempunyai
tempat kediaman yang tetap si penyewa tersebut. 2. Setiap negara peserta harus juga mengambil tindakan yang diperlukan untuk
menjalankan yurisdiksinya terhadap tindak pidana yang dirnaksud Konvensi ini, dalam hal si pelaku berada di dalam wilayahnya apabila negara itu tidak
menyerahkannya kepada negara lain ekstradisi. 3. Konvensi ini tidak menyampingkan yurisdiksi kriminal menurut hukum nasional
masing-masing negara anggota.
81
Keterkaitan Konvensi Montreal 1991 dengan tindak pidana terorisme terlihat dari kelahiran konvensi itu sendiri, yaitu Konvensi Montreal 1991 yang berjudul
4. Keterkaitan Konvensi Montreal 1991 dengan Tindak Pidana Terorisme
81
Djoko Prakoso, Op. Cit., hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection tersebut
lahir sebagai akibat peledakan pesawat udara Boeing 747 milik Pan American Airways
yang menewaskan tidak kurang dari 259 penumpang termasuk awak pesawat udara di dekat Skotlandia yang dikenal sebagai kasus Lockerbie 1988. Pesawat udara
tersebut diledakkan dengan bom plastik. Bom plastik tersebut merupakan persenyawaan kimia, tidak berbentuk, tidak berbau, tidak berwarna, tidak mampu
diditeksi dengan detector paling canggih saat ini, namun mempunyai daya ledak yang sangat dasyat. Bom plastik tersebut ditemukan oleh warga negara Zechoslovakja
yang dikenal dengan istilah SEMTEX. Berdasarkan kasus tersebut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menciptakan konvensi internasional guna mencegah
terulangnya peledakan serupa. Oleh karena itu, berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor SRES635 1989 tanggal l4 Juni 1989 dan Resolusi Sidang
Umum Nomor Res.UNGA44 1989 tanggal 29 Desember 1989, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional ICAO berwenang menciptakan rezim hukum
internasional baru yang tidak terbatas pada penandaan peledakan untuk maksud penemuan, tetapi juga rezim hukum terorisme internasional yang berkaitan dengan
deklarasi tentang keamanan internasional, penyerangan aggression, konvensi yang berkaitan dengan konflik bersenjata, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The
Hague 1970. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional ICAO telah Konvensi Montreal
1991. Konvensi tersebut mewajibkan setiap negara anggota wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melarang dan mencegah bahan plastik yang
tidak diberi tanda. Namun demikian, konvensi ini tidak mewajibkan negara anggota
Universitas Sumatera Utara
untuk menciptakan hukum pidana terorisme, hal itu diserahkan pada hukum nasional masing-masing negara.
Dalam kaitan dengan hukum pidana terorisme, Indonesia setelah mempunyai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang mempunyai landasan filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang mantap, telah menampung asas-asas hukum lama yang pernah ada, di samping asas-
asas hukum baru untuk ikut serta memelihara perdamaian dan keamanan dunia serta memberantas tindakan pidana terorisme nasional maupun internasional. Undang-
undang tersebut merupakan payung dari undang-undang lainnya, termasuk undang- undang ratifikasi Konvensi Montreal 1991.
82
82
K. Maartono, Op. Cit., hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan