f. Pendaratan di Luar Negeri Sesuai dengan Pasal 3 paragraf 5 Konvensi The Hague 1970, di mana pun
tempat tinggal landas atau tempat pendaratan nyata pesawat udara, bilamana pembajak atau tertuduh atau tersangka ditemukan di luar negara yang mendaftarkan
pesawat udara, Konvensi The Hague 1970 berlaku sepenuhnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia berlaku Konvensi
The Hague 1970 sepanjang tidak mendarat di Indonesia.
3. Kewenangan Negara Anggota Konvensi The Hague 1970 dalam Upaya Mengatasi Pembajakan Udara
a. Pengoperasian Bersama Secara Internasional Pasal 5 Konvensi The Hague 1970 mengatur pengoperasian pesawat udara
bersama secara internasional international joint operation. Menurut Pasal tersebut negara anggota yang mengoperasikan bersama secara internasional wajib menunjuk
salah satu negara sebagai negara pendaftar. Kewajiban menunjuk salah satu negara sebagai negara pendaftar pesawat udara tersebut dimaksudkan untuk menentukan
negara mana yang berhak mempunyai yurisdiksi dalam hal pesawat udara tersebut mengalami pembajakan udara. Di samping itu, dengan penunjukkan salah satu negara
sebagai negara pendaftar tersebut, juga dapat diketahui negara mana yang berhak untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara certificate of airworthiness, sertifikat
kecakapan certificate of competency sesuai dengan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 Konvensj Chicago 1944 Negara anggota Konvensi The Hague 1970 yang
mengadakan kerja sama pengoperasian pesawat udara secara internasional tersebut wajib memberi tahu kepada Organisasi Penerbangan Sipil internasional setelah
menunjuk salah satu negara sebagai negara pendaftar pesawat udara.
Universitas Sumatera Utara
b. Dasar Hukum Ekstradisi Pembajak Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa dalam tahun 1960-an pembajakan
berkembang dengan pesat baik secara kualitas maupun kuantitas, namun Konvensi Tokyo 1963 tidak mewajibkan negara anggota untuk mengekstradisikan pembajak.
Kewajiban mengekstradisikan pembajak diatur dalam Pasal 7 Konvensi The Hague 1970. Menurut pasal tersebut negara anggota Konvensi The Hague 1970 wajib, tanpa
kecuali apa pun alasannya, mengekstradisikan siapa pun yang melakukan pelanggaran atau pembajak yang ditemukan di wilayahnya, agar mereka dapat
dihukum oleh negara yang mempunyai wewenang untuk mengadili. Ketentuan ekstradisi demikian sangat berlebihan, mengingat secara normal tidak ada perjanjian
multilateral mana pun yang dapat memaksakan negara untuk mengekstradisikan pembajak. Dalam pelaksanaannya, ekstradisi pembajak tergantung dari negara yang
bersangkutan, biasanya ekstradisi dilakukan berdasarkan perjanjian ekstradisi timbal balik, itu pun harus secara tegas disebutkan secara rinci jenis-jenis pelanggaran yang
dapat diekstradisikan. Pasal 8 paragraf 1 Konvensi The Hague 1970 mengatur perjanjian
ekstradisi. Menurut pasal tersebut negara anggota yang mengadakan perjanjian ekstradisi diwajibkan memasukkan pembajakan udara dalam setiap perjanjian
ekstradisi yang dibuat antara negara anggota. Di dalam pembuatan perjanjian ekstradisi biasanya tetap harus memerhatikan norma-norma hukum di dalam hukum
internasional. Tidak semua bentuk pelanggaran hukum dapat diekstradisikan, misalnya pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat umum, warga negara, angkatan
perang, pelanggaran yang telah diputus dengan keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan lain-lain tidak boleh diekstradisikan
Universitas Sumatera Utara
Menurut Paragraf 2 pasal yang sama, apabila negara anggota yang mensyaratkan ekstradisi pembajak harus mempunyai perjanjian ekstradisi, sementara
itu negara yang bersangkutan belum mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi The Hague 1970 dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
mengekstradisi pembajak. Sementara itu, apabila negara anggota tidak mensyaratkan adanya perjanjian ekstradisi untuk mengekstradisi pembajak, maka akan berlaku
hukum nasional masing-masing negara. Berdasarkan kewajiban mengekstradisikan pembajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 Konvensi The Hague 1970, negara anggota mengakui bahwa secara filosofis pembajakan merupakan kejahatan internasional international crimes atau
universal crimes. Hal ini berbeda dengan filosofi sebagaimana diatur dalam
Konvensi Tokyo 1963 di mana, khususnya negara-negara berkembang, belum mengakui bahwa pembajakan udara merupakan kejahatan internasional international
crimes atau universal crimes.
79
Kewajiban negara diatur dalam Pasal 9 Konvensi The Hague 1970. Menurut pasal tersebut dalam hal terjadi suatu tindakan secara melawan hukum unlawfully
acts di dalam pesawat udara dalam penerbangan in flight, dengan kekerasan atau
ancaman fisik maupun nonfisik atau bentuk intimidasi lainnya, menguasai atau mengambil kemudi pesawat udara atau mencoba suatu tindakan apa pun, maka
negara anggota wajib mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengembalikan penguasaan pesawat udara kepada kapten penerbang yang secara hukum berhak
c. Kewajiban Negara Anggota
79
Ibid., hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
appropriate measure to restore control of the aircraft to its lawful commander. Misalnya, pesawat udara didaftarkan di negara A sementara itu sedang terbang di atas
wilayah udara B dibajak oleh pembajak, sehingga pesawat udara dikuasai oleh pembajak, konsekuensinya secara hukum kapten penerbang tidak menguasai pesawat
udara. Sebelum pesawat udara dikuasai oleh pembajak, kapten penerbang telah minta tolong kepada negara B di mana pesawat udara melakukan penerbangan, kemudian
negara B mengirim pesawat tempur untuk memantau dan memaksa pesawat udara yang dibajak mendarat di negara B. Setelah pesawat udara yang dibajak mendarat,
pejabat yang berwenang di negara B mengembalikan penguasaan pesawat udara kepada kapten penerbang yang secara hukum berhak.
Di samping itu, negara anggota Konvensi The Hague 1970 wajib membantu kapten penerbang tetap menguasai pesawat udara. Misalnya dalam kasus di atas,
kapten penerbang masih menguasai pesawat udara, tetapi keselamatan penumpang, awak pesawat udara, maupun barang-barang yang diangkut merasa terancam, maka
pejabat yang berwenang wajib membantu pesawat udara yang sedang dibajak untuk mendarat. Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk debarkasi merupakan tujuan
utama untuk melindungi penguasaan pesawat udara measures appropriate to preserve
secara hukum yang sedang dibajak. Dalam hal terjadi suatu tindakan secara melawan hukum unlawfully acts di
dalam pesawat udara dalam penerbangan in flight dengan kekerasan atau ancaman fisik maupun nonfisik atau bentuk intimidasi lainnya, menguasai atau mengambil
kemudi pesawat udara atau mencoba suatu tindakan apa pun, di mana pesawat udara atau para penumpangnya atau para awak pesawat udaranya berada, maka negara
tersebut wajib secepatnya memfasilitasi perjalanan para penumpang dan awak
Universitas Sumatera Utara
pesawat udara pada penerbangan berikutnya dan mengembalikan pesawat udara beserta barang-barangnya kepada pemiliknya. Misalnya, setelah pesawat udara yang
dibajak mendarat, pesawat udara yang dibajak tidak perlu ditahan terlalu lama di darat dan harus segera diizinkan melakukan penerbangan lanjutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 paragraf 2 Konvensi The Hague 1970.
4. Laporan Kejahatan Penerbangan Pasal 11 Konvensi The Hague 1970 mewajibkan setiap negara anggota untuk
melaporkan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai a berbagai tindak pelanggaran, b langkah-langkah yang diambil dalam rangka
mengembalikan penguasaan pesawat udara yang dikuasai oleh pembajak atau langkah-langkah yang perlu diambil untuk membantu pesawat udara yang dibajak, c
langkah-langkah yang perlu diambil berkenaan dengan pelaku kejahatan atau tersangka kejahatan dan terutama sekali hasil dari langkah-langkah yang diambil serta
proses ekstradisi atau proses peradilan. Dalam hubungan dengan hal ini, Indonesia juga telah diminta oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berkenaan dengan
proses pengembalian pembajak dalam kasus pembajakan pesawat udara Garuda Indonesian Airways
yang Woyla dalam tahun 1981, terutama dasar hukum ekstradisi pembajak dari Thailand ke Indonesia. Namun, Indonesia melaporkan bahwa
pembajak dikembalikan ke Indonesia sudah dalam keadaan meninggal, karena itu tidak ada proses ekstradisi.
80
Selanjutnya, ketentuan penutup diatur dalam Pasal 13 dan 14 Konvensi The Hague 1970. Menurut pasal-pasal tersebut untuk menjadi anggota Konvensi The
80
Ibid., hal. 103-104.
Universitas Sumatera Utara
Hague 1970 dapat dilakukan dengan cara a ratifikasi yang berlaku bagi negara yang
ikut menandatangani konsep konvensi, dan b dengan cara menyetujui accede yang
dapat dilakukan kapan saja sebelum konvensi berlaku. Negara-negara yang ditunjuk sebagai penyimpan instrumen ratifikasi adalah Uni Soviet, Inggris dan Amerika
Serikat. Konvensi mulai berlaku tiga puluh hari terhitung sejak sepuluh negara yang menandatangani konsep konvensi maupun yang menyampaikan instrumen
persetujuan yang disampaikan kepada negara penyimpan instrumen ratifikasi ada
menyetujui accede. Setelah konvensi berlaku segera didaftarkan pada Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional ICAO sesuai dengan Pasal 83 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal 102 PBB.
C. Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi Montreal 1991
1. Konvensi Montreal 1991 sebagai Konvensi Internasional yang Mengatur tentang Pembajakan Udara