terjaring dan ada orang yang meminta sebagian daging rusa ketika perjalanan mereka pulang ke rumah maka harus diberikan Zainuddin 1961.
3.2.6. Permasalahan Konservasi
Secara umum, perusakan hutan selain mempengaruhi kepada menurunnya nilai keanekaragaman hayati di kawasan ini juga mempengaruhi keadaan DAS
Krueng Aceh. Lebih lanjut, permasalahan pengelolaan lingkungan yang ada di KES terutama terkait dengan DAS Kr. Aceh adalah sebagai berikut:
1. Penebangan Liar Masalah lingkungan yang paling parah adalah kegiatan penebangan liar.
Sebelum musibah tsunami, laju kerusakan hutan di Aceh berdasarkan Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi selama periode waktu 13 tahun sebesar 270.347
ha atau ± 20.796 hatahun. Laju kerusakan hutan semakin meningkat seiring meningkatnya kebutuhan kayu untuk kegiatan rekontruksi dan rehabilitasi pasca
tsunami. Hasil survei Pokja Advokasi Hutan Aceh 2006 sekitar 15 m3 kayu keluar dari kawasan hutan ini setiap harinya. Sebelum tsunami produksi kayu dari
Aceh hanya 47 ribu meter kubik per tahunnya. Di tahun 2006 pasca tsunami pemerintah mengaktifkan kembali 5 HPH dan memberi kuota 300 ribu meter
kubik untuk mencapai kuota produksi sebesar 500 ribu meter kubik per tahun. Padahal angka ini melebihi kebutuhan kayu untuk kegiatan rekonstruksi yang
hanya sebesar dua ratus ribuan meter kubik per tahun. Penebangan di kawasan hutan lindung juga menyebabkan fragmentasi
habitat satwa yang mengakibatkan konflik satwa dengan manusia, menurunnya produksi panen karena sawah terendam banjir saat musim hujan tiba, kekeringan
saat musim kemarau datang, menurunnya jumlah dan kualitas sumber daya air bersih Mapayah 2006.
2. Konversi Lahan Departemen Kehutanan menyatakan bahwa banyak pengelola perkebunan
yang tidak memandang hutan sebagai kesatuan ekosistem yang perlu dijaga kelestariannya. Tidak ada upaya untuk mempertahankan daerah aliran sungai
sepanjang perkebunan bahkan tidak terlibat kegiatan penyelamatan satwa dengan
mempertahankan kawasan berupa koridor biologis. Hutan alam diubah menjadi hutan tanaman monokultur. Secara teoritis, hutan tanaman monokultur rentan
terhadap hama dan penyakit tanaman. Akibatnya kondisi fisik dan biologis tanah berubah dan menyebabkan ketidakseimbangan biologis. Yayasan Pasir Luhur
2006.
3. Kebakaran Hutan Permasalahan yang juga dipandang cukup serius adalah kasus kebakaran
hutan. Kasus ini biasanya terjadi saat musim kemarau. Menurut BKSDA, kasus kebakaran hutan biasanya terjadi karena tindakan masyarakat yang membuka
lahan pertanian www.infoSumatera.com
2006. Masyarakat masih menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian. Kasus kebakaran juga
ditimbulkan karena dalam kegiatan berburu masyarakat membakar lahan hutan agar tumbuh rumput muda sehingga mangsa lebih cepat diperoleh. Selain itu,
tindakan membuang puntung rokok dengan sengaja atau tidak sengaja terutama di musim kemarau diduga memicu terjadinya kebakaran hutan Mapayah 2006.
4. Konflik Satwa-Manusia Dampak dari kerusakan hutan bagi masyarakat Jantho adalah munculnya
konflik antara penduduk lokal dengan harimau sumatera. Mapayah menerima laporan dari penduduk di Jantho bahwa konflik dengan harimau sumatera semakin
meningkat. Dalam tahun 2006 ini hampir 20 ekor ternak warga yang menjadi mangsa harimau sumatera. Ada beberapa desa di Jantho yang tercatat sebagai desa
yang rawan konflik satwa-manusia harimau sumatera yaitu: 1. Jantho Baru
Pada akhir tahun 2006 Mapayah pernah melakukan pemetaan titik konflik satwa- manusia di Kecamatan Kota Jantho. Menurut pengakuan salah satu warga Desa
Jantho Baru desa ini berbatasan dengan Hutan Lindung Jantho kejadian konflik dengan harimau sumatera mulai meningkat pada awal tahun 1991. Mulai saat itu
rata-rata ada 12 ekor sapi milik masyarakat yang menjadi korban harimau sumatera. Masyarakat biaanya melepas ternak pada siang hari tanpa pengawasan
dan lokasinya dekat dengan hutan lindung.
2. Bueng Pada bulan-bulan terakhir dari tahun 2006 terdapat 1 sapi dan 2 kerbau yang
menjadi korban harimau sumatera. Bahkan pada saat itu ada anggota masyarakat Desa Bueng yang melihat langsung harimau sumatera yang turun ke desa yaitu di
lokasi N 05º 16’ 09.5” dan E: 095 º 38’ 22.8’’ dan di titik N 05 º 16’ 02.00” dan E 095 º 38’ 25.4” namun tidak memakan korban apa-apa.
3. Weue Desa Weue adalah salah satu desa yang memiliki tingkat konflik satwa tertinggi di
Jantho. Pada saat survei dilakukan, masyarakat Desa Weue mengakui bahwa selama periode 1 tahun terakhir Tahun 2006 ada 10 ekor sapi dan 50 ekor
kambing yang menjadi korban harimau sumatera. Kejadian tidak hanya terjadi malam hari namun juga saat siang hari. Salah satu titik kejadian di desa ini adalah
pada lokasi N 05 º 17’ 45.4” dan E 095 º 38’ 19.9”dan N 05 17’ 33.0”, E 095 37’ 20.0”. Kejadian konflik pada tahun 2006 tersebut terjadi pada bulan Maret, Juni,
Juli, Agustus, dan Desember. Jarak kandang dengan rumah adalah sekitar 100 meter. Kandang yang digunakan oleh masyarakat Desa Weue dan juga masyarakat
desa di Jantho lainnya adalah kandang yang terbuka. 4. Jantho Lama
Desa Jantho Lama berbatasan dengan Desa Weue. Pada saat survei dilakukan sudah ada 3 ekor lembu yang menjadi korban harimau sumatera. Hampir setiap
bulan, bahkan dalam sebulan lebih dari 1 kali harimau sumatera turun ke kampung atau mencari korban ternak masyarakat. Salah satu lokasi kejadian di
Desa Jantho Lama adalah pada N 05 17’ 34.4” dan E 095 37’ 46”. 5. Awek
Pada bulan-bulan akhir tahun 2006 ada 6 ekor sapi mati menjadi korban harimau sumatera dan berlangsung pada saat siang dan sore hari. Titik kejadian di desa ini
adalah di N 05 16’34.9” dan E 096’ 38’ 08.8”. Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat mulai dari membuat
perangkap, dan memancing dengan umpan belum pernah berhasil. Masyarakat juga melaporkan ke Dinas Kehutanan dan BKSDA Resort Jantho namun tindakan
yang diambil belum berhasil mengatasi konflik dengan harimau sumatera Mapayah 2006.
5. Perburuan Liar Penebangan liar yang memberi dampak sosial ekonomi menyebabkan
masyarakat berburu satwa liar untuk menunjang pendapatan keluarga. Hasil survei Mapayah 2006 di Desa Jantho Baru, burung murai dijual seharga Rp 100.000
per ekor, harimau sumatera dijual hidup atau mati untuk diambil kulit dan giginya. Rusa juga diburu untuk dijual ke warung nasi karena daging rusa termasuk menu
makanan yang disukai. Perilaku yang cenderung mengeksploitasi atau mengambil langsung dari hutan tanpa upaya penangkaran sangat berpotensi punahnya spesies
tertentu. Punahnya potensi tumbuhan dan satwa yang belum diketahui manfaatnya
merupakan salah satu bencana kemanusiaan karena apabila spesies itu punah maka tidak semua sumber daya alam hayati dalam ekosistem hutan bersifat dapat
diperbarui tetapi sebagian besarnya adalah tidak dapat diperbarui, termasuk keanekaragaman tumbuhan dan satwa Yayasan Pasir Luhur 2006.
6. Penambangan Bahan Galian C Penambangan pasir kerikil bahan galian C baik oleh masyarakat maupun
pihak swasta telah berlangsung lama. Seiring meningkatnya laju pembangunan, kegiatan penambangan pun terus meningkat. Sebelum musibah tsunami 26
Desember 2004, kegiatan penambangan pasir di kawasan larang tambang sepanjang ruas badan Krueng Aceh dilakukan oleh 75 perahu oleh 250 orang
penambang dan alat berat dengan volume pengambilan mencapai 600 m3 per hari. Pasca tsunami, eksploitasi sumber daya alam tersebut meningkat terutama sebagai
bahan baku dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain dalam jumlah besar, uga menggunakan berbagai jenis alat berat, bahkan para pelakunya didominasi
oleh pihak pengusaha papan atas Mukhlisudin 2006.
IV. METODE PENELITIAN