Hubungan Psikologis dengan Sastra

psikologi penokohan adalah bagaimana kejiwaan tokoh yang ada dalam cerita sehingga terjadi suatu penyimpangan atau konflik antar tokoh. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama. Sedangkan tokoh kedua, tokoh ke tiga, dan seterusnya kurang mendapat penekanan. Gejala psikologis yang diderita oleh tokoh-tokoh dalam cerita berupa penyakit psikopat, neurosis, deviasif, dan kelainan jiwa lainnya. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu saja diperlukan teori psikologi khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wright Endraswara 2008 : 184 bahwa, “Untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori psikologi”. Untuk itu teori psikoanalisis dianggap dapat disesuaikan dengan hal yang akan digali dari tokoh. Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.

2.2.3 Hubungan Psikologis dengan Sastra

Analisis psikologis yang memiliki hubungan dengan ilmu lain sangat diperlukan pada saat tingkat peradaban mencapai kemajuan, yaitu ketika manusia kehilangan pengendalian psikologis. Sebagian dari kemajuan teknologi mengandung aspek-aspek negatif, hal ini dibuktikan dengan keseluruhan harapan ditumpukan kepada kecanggihan teknologi pada mesin dengan berbagai mekanismenya. Menurut Ratna 2004 : 342, “di samping teknologi dengan berbagai akibat sampingannya, lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologis”. Oleh sebab itu, psikologi khususnya psikologi analisis, diharapkan mampu untuk menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis dan mencari solusinya. Universitas Sumatera Utara Menurut Siswantoro Endraswara, 2008 : 180, “Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni art, sedangkan psikologi merjauk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental”. Pemahaman ini memberikan pemahaman luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara pandang psikologi sastra. Setiap manusia pada umumnya memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Sehingga permasalahan inilah yang menimbulkan perasaan ketakutan, histeris, traumatik. Manusia yang tidak dapat mendidik dirinya sendiri dalam menghadapi realitas, kesendirian, dan ketidakberdayaan akan menghadapi tekanan mental, stress, frustasi, takut, curiga, was-was, dan sebagainya. Dengan kata lain, manusia yang terganggu fungsi kehidupannya sehari-hari akan mengalami penderitaan, seperti pikiran-pikiran obsesi, paranoid, histeria, kegilaan, atau neurosis. Kondisi demikianlah yang kemudian melahirkan psikoanalisis Psikologi sebagai ilmu yang meneropong atau mempelajari keadaan manusia, sudah barang tentu mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia, termasuk hubungannya dengan sastra. Hubungan antara psikologi dan sastra merupakan hubungan yang sangat erat sekali. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para tokoh sastra maupun psikologi. Menurut Semi 1989 : 48 , “Pemanfaatan teori ini dalam sastra dilakukan oleh kebanyakan pengarang, ialah dengan mengambil pertimbangan dalam pengkajian sifat dan pribadi seseorang”. Sastra sebagai “gejala kejiwaan”, di dalamnya Universitas Sumatera Utara terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang dampak lewat perilaku Endraswara, 2008 : 87. Sedangkan Ratna 2004 : 7 mengatakan, “Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah adanya teori utama sebagai payung yang kemudian dibantu oleh teori-teori lain yang relevan. Lebih-lebih dalam penelitian multidisiplin, seperti sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, khususnya gabungan beberapa disiplin yang berbeda, penggunaan beberapa teori justru sangat diperlukan”. Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan karya sastra dengan psikologi sangatlah dekat, meskipun disiplin ilmunya berbeda tetapi saling mendukung dan saling melengkapi. Melalui imajinasi pengarangnya, karya sastra yang diciptakan dapat membangkitkan perasaan tertentu bagi pembacanya. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan, salah satu karya yang tepat untuk dianalisis psikologisnya adalah HIJP. Psikologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi penokohan yang difokuskan kepada penokohan atau perwatakannya. Psikologi penokohan mempelajari tentang aspek kejiwaan tokoh-tokoh dalam HIJP. Melalui pendekatan objektif, penulis akan memakai teori psikoanalisis Freud. Dalam memahami teori psikoanalisis yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan antara satu sama lain, Freud menciptakan tiga sistem konflik dasar tersebut yaitu id, ego, dan superego. Id bekerja menggunakan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego mematuhi prinsip realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang diterima masyarakat, dan Universitas Sumatera Utara superego hati nurani; suara hati memiliki standar moral pada individu Sobur, 2003: 305. Jika dikaitkan dengan aspek analisis teks sastra, beberapa kategori yang dapat dipakai sebagai landasan pendekatan psikoanalisis sebagaimana dikemukakan Norman H. Holland Fananie, 2001 : 181 adalah sebagai berikut : a Histeri, manic, dan schizophrenic b Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku birahi, seperti anal, phalic, oral, genital, dan urethral c Ego-psikologi, yaitu cara-cara yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal yang bisa sama dan juga berbeda untuk tiap-tiap individu d Defence, expectation, fantacy, transformation DEFT. Maksud dari kategori tersebut dalam konteks sastra adalah apakah karakter pelaku dan permasalahan-permasalahan yang mendasari tema cerita melibatkan unsur-unsur di atas. Dari sinilah dapat diketahui fenomena apa yang melatarbelakangi munculnya faktor-faktor kejiwaan dalam diri manusia. Aminuddin Endraswara, 2008 : 17 menjelaskan bahwa, “Fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri”. Fenomena manusia dalam sastra pun demikian halnya. Manusia yang ada dalam kenyataan dan manusia imajinatif tetap memiliki kedudukan sama penting. Keduanya tergantung realitas yang membangun makna. Oleh karena itu, jiwa manusia pun memiliki realitas tersendiri dalam sastra. Banyak faktor yang menentukan proses berfikir dan sikap yang diambil seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Faktor inilah yang Universitas Sumatera Utara akan jadi penentu apakah manusia akan mengarungi hidupnya dengan mulus atau sebaliknya. Oleh karena itu, Erich From Fananie, 2001 : 180 berpendapat bahwa, “Psikoanalisis mengkaji apakah sistem berfikir bersifat ekspresif bagi perasaan yang ia tampilkan atau hanya merupakan sebuah rasionalisasi yang tersembunyi di balik sikap-sikapnya”.

2.2.4 Mimpi dan Fantasi dalam Konteks Analisis Sastra