Analisis Psikologis Terhadap Hikayat Indra Jaya Pahlawan

(1)

ANALISIS PSIKOLOGIS TERHADAP HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

MUHAMMAD AMIN PANDIANGAN NIM : 050702003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN


(2)

ANALISIS PSIKOLOGIS TERHADAP HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

MUHAMMAD AMIN PANDIANGAN NIM : 050702003

DIKETAHUI / DISETUJUI OLEH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Drs. Yos Rizal, M.SP Drs. Warisman Sinaga, M.Hum Nip : 19660617 199203 1003 Nip : 19620716 198803 1002

Departemen Sastra Daerah Ketua,

Drs. Baharuddin, M.Hum Nip : 19600101 198803 1007


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T karena telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini berjudul “Analisis Psikologis Terhadap Hikayat Indra Jaya

Pahlawan”, bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai psikologis yang terdapat

dalam cerita tersebut. Hasil analisis ini penulis harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan terhadap pengkajian sastra berdasarkan kajian budaya, sehingga dapat memperkaya apresiasi dan kritik sastra.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak sedikit bantuan yang diperoleh, untuk itu diucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua yang tercinta dan tersayang yaitu ayahanda Edison Pandiangan dan ibunda Rodiah Nasution, terima kasih telah membiayai, mendoakan, memberikan semangat, serta memberikan yang terbaik buat ananda, selama ananda kuliah di Fakultas Sastra USU Medan. Buat Abangda dan kakanda (Syafrida, Rauf, Linda, Endang, Evi, Fatimah, dan Salwa) serta abang ipar (Hasyim, Hendra, Putra, dan Fitrah) terima kasih atas segala bantuannya baik secara materi ataupun non materi.

2. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra USU. 3. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum. selaku Ketua Departemen Sastra Daerah,

Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M. Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah, Fakultas Sastra USU, serta pembimbing II, terima kasih atas


(4)

5. Bapak Drs. Yos Rizal, M.SP, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingannya.

6. Segenap dosen di lingkungan Fakultas Sastra USU Medan. 7. Kak Fifi yang telah banyak memberikan bantuan serta sarannya.

8. Terima kasih atas semangat yang diberikan oleh teman-teman seperjuangan angkatan 2005, 2006, 2007, 2008 yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Penulis menyadari, skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan dalam beberapa hal. Menyadari akan hal tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga apa yang telah diuraikan dalam skripsi ini bermanfaat bagi saya juga para pembaca.

Medan, Februari 2010 Penulis

Muhammad Amin Pandiangan NIM : 050702003


(5)

-

--


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Anggapan Dasar ... 6

1.6 Tinjauan Pustaka ... 7

1.7 Metodologi Penelitian ... 8

1.7.1 Metode Dasar ... 8

1.7.2 Objek Kajian ... 9

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 10

1.7.4 Teknik Menganalisis Data ... 10

1.8 Keberadaan Hikayat Indra Jaya Pahlawan ... 11

1.9 Sifat dan Bentuk Hikayat Indra Jaya Pahlawan ... 13

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 15

2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 15

2.2 Landasan Teori ... 16 iv


(7)

2.2.1 Teori Struktural ... 16

2.2.2 Teori Psikologi Sastra ... 30

2.2.3 Hubungan Psikologis dengan Sastra... 36

2.2.4 Mimpi dan Fantasi dalam Konteks Analisis Sastra 40 BAB III : STRUKTUR UMUM HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN 3.1 Ringkasan Cerita ... 42

3.2 Tema ... 51

3.3 Plot ... ... 55

3.3.1 Exposition (Pengarang mulai melukiskan sesuatu) ...55

3.3.2 Generating Circumstances (Peristiwa mulai bergerak) ..56

3.3.3 Ricing Action (Keadaan mulai memuncak) ...57

3.3.4 Climax (Puncak) ...59

3.3.5 Denoument (Penyelesaian) ...60

3.4 Latar ...61

3.4.1 Latar Tenpat ...61

3.4.2 Latar Waktu ...62

3.5 Tokoh ...63

3.5.1 Penokohan ...64

BAB IV : ANALISIS PSIKOLOGIS TERHADAP HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN ...71

4.1 Mimpi ...71

4.2 Motivasi ...79

4.2.1 Motivasi Memiliki ...80 v


(8)

4.2.2 Motivasi Kemarahan ...81

4.2.3 Motivasi Dendam ...83

4.3 Kepahlawanan ...85

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...89

5.1 Kesimpulan ...89

5.2 Saran ...91

DAFTAR PUSTAKA ...93


(9)

-

--


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang tidak terbatas pada nilai-nilai subjektif atau semata-mata terfokus pada daya khayal pengarang atau sastrawan saja, tetapi sastra juga mencoba untuk memasuki dan berorientasi pada pola kehidupan masyarakat. Sastra memberi kegunaan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, karena sastra berisikan ide para pengarang yang menghasilkan suatu karya sastra dan menjadi daya tarik bagi setiap manusia untuk lebih memaknai arti dari sebuah karya sastra tersebut.

Menurut Fananie (2001 : 71) “Hasil karya sastra tidak saja mampu menaikkan motivasi pengarang, melainkan juga mampu memberikan pengetahuan yang berharga bagi pembaca khususnya dalam meningkatkan kemampuan penghayatan dan apresiasi”. Jadi, sastra bukanlah hanya untaian kata-kata indah tetapi sebuah karya imajinasi dari seorang pengarang yang selalu menampilkan diri sebagai pengungkapan kehidupan yang dinamik dan penuh konflik. Sastra diharapkan membentuk watak dan intelektual seseorang.

Indonesia mempunyai beragam suku yang mempunyai budaya sendiri dan memiliki kelebihan yang menjadi suatu ciri khas, sehingga orang selalu mengetahui dan dapat membedakan antara suku tersebut. Nilai-nilai budaya etnik tidak pernah hilang dalam masyarakat, begitu juga halnya dengan masyarakat Melayu. Salah satu di antaranya yang tergambar dalam hasil kesusasteraan Melayu adalah gambaran masyarakat Melayu dan tata nilai, serta pola tingkah


(11)

masyarakat. Karya sastra Melayu, dalam bentuk prosa lama, sering dimasukkan unsur mitos yang sangat berlebihan. Seperti halnya dalam hikayat, secara umum dapat dijelaskan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur luar biasa (supranatural) yaitu kekuasaan yang luar biasa terdapat pada manusia dan makhluk-makhluk lainnya.

Sebagai suatu karya sastra sudah barang tentu ciri-ciri atau sifat suatu karya sastra tercermin dalam naskah cerita itu. Salah satu unsur karya sastra ialah unsur imajinasi atau fantasi. Unsur khayal dan dongeng itu tidak dapat dipisahkan dari hasil-hasil sastra Melayu lama, malah unsur itu merupakan satu bagian yang penting serta membayangkan pula segala kepercayaan dan pegangan bagi yang melahirkan hikayat-hikayat tersebut.

Karya sastra dalam bentuk hikayat dapat berguna dan menyenangkan hati pembaca karena hikayat tersebut menimbulkan rasa kebanggaan dan kesenangan. Dikatakan berguna karena dalam hikayat itu terkandung ide atau buah pikiran yang luhur dan tinggi, pertimbangan yang dalam tentang sifat-sifat baik dan buruk, khususnya sifat-sifat raja, dan pandangan yang jauh ke depan.

Menurut Djamaris (1989 : 1), “Hasil sastra Indonesia lama dapat digolongkan dalam beberapa golongan berdasarkan pengaruh kebudayaan asing, yaitu (1) sastra tradisional atau sastra rakyat, yaitu hasil sastra yang belum atau sedikit sekali mendapat pengaruh asing, khususnya pengaruh Hindu atau islam; (2) sastra pengaruh Hindu; (3) sastra pengaruh peralihan Hindu ke Islam; dan (4) sastra pengaruh Islam.

Sastra sejarah ini pada umumnya merupakan sastra rakyat, disampaikan secara turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis berupa naskah. Dengan demikian, pengaruhnya besar sekali terhadap cara berpikir dan pandangan hidup mayarakat. Itulah sebabnya masyarakat lama banyak yang fanatik serta memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap raja dan negerinya. Mereka merasa rajanyalah


(12)

yang paling agung, paling tinggi kedudukannya, dan negerinyalah yang paling sakti, keramat dan tak mungkin dilupakannya. Hal ini dapat kita lihat pada cerita Melayu lama. Misalnya dalam hikayat Hang Tuah, pengarang menggambarkan Hang Tuah dan keempat sahabatnya sebagai panglima yang selalu setia kepada rajanya bahkan Hang Tuah bersedia menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan oleh raja yang tidak adil.

Beranjak dari hal di atas, penulis ingin mengungkapkan apa-apa yang ada dalam Hikayat Indra Jaya Pahlawan. Hikayat Indra Jaya Pahlawan yang selanjutnya disingkat dengan HIJP, merupakan salah satu hasil karya sastra Melayu lama. HIJP menceritakan tentang kehidupan seorang raja dan permaisurinya yang menginginkan kelahiran seorang anak. Mereka rela bertapa selama empat puluh malam. Mereka bermimpi, jika ingin mempunyai anak, mereka harus pergi ke Gunung Baladewangga dan memakan bunga butut dadu.

Mereka pun melaksanakan sesuai petunjuk mimpinya tersebut. Setelah banyak menghadapi rintangan ketika naik ke gunung, akhirnya mereka menemukan bunga yang dicari, lalu memakannya. Tanpa disadari mereka berubah menjadi sepasang gajah. Dewa Langlang Buana mendatangi kedua gajah itu dan memberitahukan bahwa mereka akan kembali menjadi manusia setelah anaknya berumur 19 tahun, tetapi dengan syarat setelah berumur 2 tahun anak itu harus dibuang ke tengah kolam. Anak tersebut diberi nama Indra Jaya dan dipelihara oleh Maharaja Kaladarma. Indra Jaya diajari segala macam ilmu, baik ilmu hikmat, maupun ilmu peperangan, dan kesaktian. Setelah berumur sembilan belas tahun, Maharaja Kaladarma menyuruh Indra Jaya untuk membunuh kedua gajah yang ada di sekitar kolam itu, karena kedua gajah itu adalah orang tua Indra Jaya


(13)

dan syarat untuk menjadi manusia kembali mereka harus dibunuh terlebih dahulu. Setelah kedua gajah tersebut menjadi manusia, Indra Jaya membangun suatu negeri untuk orang tuanya, negeri itu bernama Mintarsyah. Indra Jaya melanjutkan perjalanannya ke arah matahari terbenam. Selama perjalanannya, Indra Jaya banyak menghadapi rintangan, akhirnya Indra Jaya bersama istri dan anaknya kembali ke negeri Mintarsyah dan hidup bahagia.

Berdasarkan ringkasan cerita di atas maka terlihat bahwa HIJP mengandung aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra terhadap HIJP sangat perlu dilakukan guna memperkaya batin dan pengalaman hidup pembaca, sekaligus juga menambah khasanah pengkajian terhadap karya sastra Melayu yang telah ada selama ini.

Psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra. Dengan mempelajari psikologi sastra kita dapat memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra khususnya dalam HIJP dan diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pembaca melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, pembaca dapat memahami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dialami oleh tokoh-tokoh cerita HIJP.

Masyarakat Melayu pada umumnya bertempat tinggal di daerah pesisir dan mata pencahariannya adalah sebagai nelayan dan bercocok tanam. Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha di Sumatera Timur, masyarakat Melayu menggunakan kepercayaan animisme. Mereka menganggap misalnya, sebuah pohon yang besar atau batu yang besar dan benda-benda lain memiliki kekuatan magis dan menyembahnya. Sejalan perkembangan pemikiran masyarakat Melayu, sekitar abad ke-5 agama Hindu dan Budha menjadi kepercayaan masyarakat


(14)

Melayu pada saat itu. Menurut Sinar (1971 : 243), “Lebih kurang 1000 tahun suku-suku Melayu menganut ajaran Hindu dan Budha”. Hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan candi-candi dan hasil karya sastra yang berusia ribuan tahun. Salah satu karya sastra dari peninggalan zaman Hindu dan Budha adalah hikayat. Hikayat adalah bentuk prosa yang panjang bersifat sastra lama yang ditulis dalam bahasa Melayu dan sebagian besar kandungan ceritanya berupa unsur rekaan di dalam kehidupan istana. Pada zaman dahulu hikayat diciptakan oleh pengarang untuk menghibur raja-raja dan sebagai pelipur lara. Untuk itu hikayat merupakan bahan analisis yang tepat untuk memahami tingkah laku, pikiran dan falsafah kehidupan masyarakat pemilik cerita tersebut.

Sepengetahuan penulis kajian psikologi terhadap HIJP belumlah pernah dilakukan. Alasan lain memilih objek yang diteliti adalah ingin lebih banyak mengetahui tentang aspek-aspek kejiwaan yang terdapat dalam masyarakat Melayu terutama melalui hasil karya sastranya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah struktur dalam cerita yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, serta struktur luar berupa nilai-nilai psikologi yang terdapat dalam HIJP tersebut. Oleh karena itu, masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah struktur instrinsik yang terdapat dalam HIJP? 2. Nilai-nilai psikologis apakah yang terdapat dalam HIJP?


(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pembahasan karya sastra lama merupakan suatu usaha untuk mengangkat kembali karya sastra lama, khususnya HIJP yaitu untuk mengetahui apa-apa yang terjadi di masa lampau sehingga nilai budaya yang baik dapat dipertahankan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam HIJP. 2. Mengungkapkan nilai-nilai psikologi yang terdapat HIJP.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penganalisisan HIJP adalah sebagai berikut :

1. Dapat dipakai sebagai bahan bandingan terhadap penelitian hikayat lainnya. 2. Dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap HIJP, khususnya

yang ditinjau berdasarkan struktur dan nilai-nilai psikologi yang terkandung di dalamnya.

3. Melengkapi kepustakaan Departemen Sastra Daerah sebagai bahan bacaan, khususnya bagi mahasiswa Departemen Sastra Daerah.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Anggapan dasar adalah pemikiran awal untuk melakukan suatu penelitian yang dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa


(16)

HIJP memiliki struktur cerita yang baik dan memiliki nilai-nilai psikologis yang baik dan perlu dikemukakan kepada pembaca.

Dikatakan baik sebab HIJP memiliki unsur –unsur cerita yang lengkap seperti tema, alur, latar, tokoh, dan perwatakan sehingga dapat dijadikan bahan bacaan yang menarik sebagai sebuah karya sastra. Kelengkapan unsur-unsur cerita tersebut telah berbentuk tulisan karena unsur-unsur cerita itu memilki komponen-komponen pada setiap unsurnya.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap hikayat-hikayat Melayu dengan pendekatan psikologis telah ada dilakukan oleh para sarjana, di antaranya dilakukan oleh Roidah pada tahun 1993. Penelitiannya ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul : “ Hikayat

Langlang Buana Suatu Analisis Psikologis”. Dikatakan bahwa struktur Hikayat

Langlang Buana menceritakan tentang percintaan, pengembaraan, dan peperangan. Kemudian I Made Sudiarga dkk pada tahun 2002, meneliti tentang sastra lisan masyarakat Bali yang di dalam hasil karya tersebut selain menganalisis struktur dan fungsinya juga meninjau cerita dari aspek psikologis. Penelitiannya ditulis dalam bentuk buku yang berjudul “Geguritan Sewagati Analisis Struktur

dan Fungsi”.

Berdasarkan pemahaman beberapa penelitian dan pembahasan tentang hikayat Melayu di atas jelas menunjukkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan dari sisi objek penelitian maupun fokus pada analisisnya.


(17)

1.7 Metodologi Penelitian

Metodologi berasal dari bahasa Yunani, methodos yang artinya cara atau jalan, logos yang artinya adalah ilmu pengetahuan, atau metodologi dapat diartikan ilmu mengenai metode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000 : 258), metodologi adalah ilmu tentang metode atau cara yang teratur dan ilmiah dalam mencapai untuk memperoleh ilmu dengan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena dan menggunakan landasan teori.

Arti kata penelitian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.

Menurut Ratna (2004 : 34), “Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian itu adalah cara kerja untuk memahami objek permasalahan setelah menghimpun data sebagai bahan acuannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penulis mendeskripsikan cerita kemudian menguraikan unsur tema, amanat, alur, tokoh, latar, dan nilai psikologinya.

1.7.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan pada penelitian ini yakni metode deskriptif analisis, yaitu metode dengan mendeskripsifkan semua data yang terdapat dalam HIJP kemudian disusul dengan analisis. Menurut Ratna (2004: 53), “Analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah


(18)

diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya”. Dan dengan cara ini maka penulis dapat mengumpulkan, memahami dan memilih teks yang terdapat di dalam HIJP sehingga dapat diketahui unsur-unsur pembentuk cerita dan nilai-nilai psikologisnya.

Selain menerapkan metode penelitian di atas, untuk mendapatkan data yang akurat maka penulis juga menggunakan metode kajian pustaka.

1.7.2 Objek Kajian

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah naskah

Hikayat Indra Jaya Pahlawan yang diperoleh dari perpustakaan :

Judul Buku : Hikayat Indra Jaya Pahlawan Bentuk Karya Sastra : Prosa Lama

Penyusun Buku : Dra. Nikmah Sunardjo dan Dra Siti Zahra Penerbit : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan

Daerah Tahun Terbit : 1992

Jumlah Halaman : 149 halaman

Ukuran : 20 x 14 cm

Sampul Depan : Warna Hijau Sampul Belakang : Warna Hijau


(19)

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka digunakan teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Hikayat dibaca secara cermat dan mendalam, guna mendapatkan data yang diperlukan untuk penelitian, atau membaca buku secara berulang-ulang dengan seksama bahan yang hendak diteliti.

2. Mengadakan penyeleksian terhadap data yang telah diperoleh. Data yang sangat berhubungan dengan masalah yang akan dibahas merupakan prioritas utama dalam menyeleksi data.

3. Menafsirkan teks terhadap struktur cerita dan nilai-nilai psikologis yang terdapat di dalam HIJP

1.7.4 Teknik Menganalisis Data

Dalam menganalisis data skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif yaitu melakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji dalam HIJP.

Menurut Endraswara (2003 : 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra antara lain :

1. Peneliti merupakan instrumen kunci yang membaca secara cermat sebuah karya sastra.

2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengandung penafsiran.


(20)

Dari pendapat di atas penulis berkesimpulan bahwa penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan cara membaca dan memperhatikan lalu berusaha menggambarkan data tersebut untuk dianalisis.

Setelah data tersebut dianalisis maka penulis menentukan unsur instrinsik dan ekstrinsik yang terdapat di dalam HIJP yakni :

1. Unsur instrinsik, yaitu menganalisis unsur-unsur pembentukan cerita HIJP, seperti tema, alur, latar, dan penokohan. Unsur-unsur ini akan diuraikan terlebih dahulu sebagai dasar analisis unsur psikologis.

2. Unsur ekstrinsik, yaitu menganalisis data-data yang terdapat dalam HIJP dengan teori psikologis. Artinya, menganalisis cerita dengan pendekatan psikologis dengan tetap menitikberatkan pada cerita itu sendiri.

1.8 Keberadaan HIJP

Kebudayaan Indonesia yang berasal dari beberapa abad yang lampau dikenal karena adanya rekaman dalam berbagai bentuk tulisan pada batu atau pada logam, candi-candi atau peninggalan purbakala lainnya, serta naskah-naskah yang masih ditulis dengan tangan merupakan sebagian dari rekaman. Salah satu produk kebudayaan dalam bentuk tulisan pada masa lampau adalah naskah hikayat.

Menurut Hava (Baried, 1985 : 5), kata hikayat diturunkan dari bahasa Arab hikayat, yang artinya cerita, kisah, dongeng-dongeng, berasal dari bentuk kata kerja haka, yang artinya menceritakan, mengatakan sesuatu kepada orang lain-lain. Hikayat adalah prosa lama yang menceritakan penghidupan dewa-dewa dan raja-raja yang penuh dengan lukisan kejadian yang gaib-gaib yang terkadang tak berupa di akal kita kebenarannya (Bahrum Rangkuti, dalam Roidah, 1993 :


(21)

14). Wilkinson (Baried, 1985 : 6) berpendapat bahwa, “Hikayat adalah dongeng atau cerita dalam bahasa Malaysia berarti roman (prosa), sebagai lawan cerita yang berbentuk syair, sejarah (silsilah), atau kitab-kitab agama, serta berarti pula cerita yang dibawakan oleh pelipur lara. Di samping itu, hikayat juga berarti kenangan-kenangan, sebagai lawan riwayat atau tawarikh”. Sedangkan Hooykaas (Baried, 1985 : 6) berpendapat bahwa, “Hikayat adalah cerita yang berbentuk prosa dalam arti yang sempit, ialah cerita panjang yang berisi khayalan, berasal dari India, Persi, dan Arab; atau cerita yang dipengaruhi oleh cerita-cerita itu”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan arti dari hikayat adalah karya sastra tulis dalam bentuk prosa yang panjang, bersifat sastra lama yang ditulis dalam bahasa Melayu dan sebagian besar kandungan ceritanya berupa unsur rekaan di dalam kehidupan istana.

Naskah HIJP merupakan koleksi Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta. Dalam Katalogus Koleksi Naskah Museum Pusat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1972) naskah tersebut tercatat dengan kode ML 626 atau kode semula W.152. Naskah tersebut berukuran 32 x 20 cm, terdiri atas 251 halaman dan tiap halaman terdiri atas 19 baris; bertuliskan huruf Arab Melayu, dan berbahasa Melayu. Kondisi naskah masih baik serta tulisannya jelas dan mudah dibaca. Kertasnya berukuran folio dan ditulis timbal balik dengan menggunakan tinta hitam. Kolofon tidak ada. (Sunardjo, 1992 : 1).

HIJP tergolong sebagai hasil sastra zaman peralihan, di mana terlihat unsur Islam yang masuk, sedangkan pengaruh Hindu belum benar-benar ditinggalkan. Terdapatnya unsur Islam dibuktikan dengan adanya lafaz-lafaz Islam seperti kata “Wallahu a’lam” yang terdapat di tengah-tengah cerita dan “Alkalamu bilkhairi


(22)

wassalamu ajma’in” yang digunakan sebagai kata penutup cerita. Jalan ceritanya

masih dominan pengaruh Hindu, dan dalam HIJP terdapat nama-nama yang masih dan belum dapat meninggalkan pengaruh Hindu. Karena dewa-dewa Hindu serta negeri kayangan belum dapat ditinggalkan begitu saja. Misalnya : Maharaja Kaladarma, Dewa Langlang Buana, Dewa Brama Dewa, Dewa Surya. Jadi, HIJP ini adalah hasil sastra zaman peralihan di mana pengarang mau meninggalkan pengaruh Hindu dan memasukkan sedikit demi sedikit pengaruh Islam.

1.9 Sifat dan Bentuk Hikayat Indra Jaya Pahlawan

Seorang pengarang hikayat pada zaman dahulu dalam menciptakan karyanya kebanyakan menciptakan suatu karya sastra yang merupakan unsur rekaan dan khayalan. Karena seorang pengarang harus selalu menaikkan derajat raja beserta keluarganya. Kehidupan raja beserta keluarganya tidaklah sama dengan masyarakat kebanyakan, yang pada masa itu raja adalah segalanya. Cerita HIJP ini bersifat anonim karena tidak diketahui siapa pengarangnya dan tahun berapa hikayat ini dikarang. Oleh karena itu, hikayat ini diperuntukkan kepada raja dan keluarganya serta menjadi milik bagi semua masyarakat pada zaman itu.

Hasil karya sastra Melayu lama dibagi menjadi dua bentuk yaitu bentuk prosa dan puisi. Hikayat merupakan bentuk prosa, pada mulanya hikayat disampaikan oleh tukang cerita (pawang). Seorang pawang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Baru setelah masuknya Islam, hikayat mulai dibukukan. Bagi masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis, mereka dapat menghadiri pertemuan yang dibuat oleh pawang di daerah-daerah Melayu. HIJP termasuk hikayat yang romantis, ceritanya berisikan tentang raja-raja,


(23)

anak-anak raja, dewa-dewa, jin, dan tidak ada lagi batas antara alam manusia dan alam dewa-dewa. Tokoh protagonis diciptakan sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian dan benda-benda sakti yang dianggap dapat membantu dalam pengembaraannya, sehingga tokoh protagonis jarang sekali dapat dikalahkan oleh tokoh antagonis.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka merupakan suatu gagasan dan mendasari usulan penelitian yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris dan dibentuk ke dalam suatu kerangka acuan.

Ary (1982 : 52) mengatakan, “Sangat penting bagi peneliti untuk mencari hasil penelitian terdahulu yang cocok dengan bidang yang diteliti sebagai dasar pendukung pilihan”. Dalam hal ini perlu diungkapkan kerangka acuan mengenai konsep, prinsip atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam menyelesaikan suatu penelitian. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian perlu dipecahkan dengan strategi yang dipilih.

Sesuai dengan judul dalam skripsi ini yaitu Analisis Psikologis Terhadap

Hikayat Indra Jaya Pahlawan, maka dalam memecahkan persoalan yang timbul

dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku yang relevan sebagai panduan utama dalam memecahkan persoalan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang sastra dan psikologi yaitu : Metode

Penelitian Sastra oleh Ratna, Telaah Sastra oleh Fananie, Metode Karakterisasi

Telaah Fiksi oleh Albertine Minderop, Metode Penelitian Psikologi Sastra oleh

Endraswara, Psikologi Kepribadian oleh Fudyartanta, Psikologi Umum oleh Sobur, dan bacaan lainnya yang masih relevan dengan masalah tentang sastra dan psikologis.


(25)

2.2 Landasan Teori

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin) yaitu suatu perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Suatu kajian atau analisis sudah sewajarnya memakai landasan teori tertentu, supaya penulis mudah menentukan langkah dan arah analisis. Di samping itu, dengan adanya landasan teori yang telah ditentukan, maka penelitian terhadap suatu objek yang bersifat ilmiah tersebut hasilnya akan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam menganalisis HIJP dari aspek psikologisnya, penulis menggunakan teori psikoanalisis, sedangkan dalam pelaksanaannya pertama dengan teori struktural. Landasan teori yang digunakan diuraikan berikut ini.

2.2.1 Teori Struktural

Dalam menganalisis struktur cerita dari HIJP ini penulis mengacu kepada pendekatan struktural seperti yang dikemukakan Teuuw (Maini, 1997 : 135) “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh”.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud unsur-unsur instrinsik adalah unsur-unsur-unsur-unsur dalam yang membentuk terciptanya suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini, analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur instrinsik terutama dalam HIJP. Mula-mula diidentifikasikan


(26)

dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur, tokoh, latar, perwatakan, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antar peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan plot yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.

Dalam hubungan antarunsur (instrinsik) yang bersifat kausalitas, struktur karya sastra juga saling menentukan dan saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Menurut Abrams (Nurgiyanto, 2001: 46), ”Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah”. Oleh karena itu, tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhannya wacana karya sastra.

Selain istilah struktural yang terdapat di atas, dunia kesusasteraan mengenal istilah strukturalisme. Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Menurut Ratna (2004 : 78), “Melalui hubungan medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi


(27)

pembaca, yang mengubah cerita sehingga menyerupai kehidupan, dalam bentuk plot”. Oleh karena itu keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.

Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara, pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya yaitu kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2004 : 79). Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan instrinsik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik yaitu psikologi sastra.

Pendekatan struktur lahir bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki daya penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal lain yang berada dalam karya sastra. Aspek yang harus dikaji terlebih dahulu adalah seperti tema, alur, tokoh, latar, penokohan serta hubungan yang erat antaraspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra.

Tentang prinsip analisis struktur, Semi (1990 : 44-45) mengatakan, “Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terleps dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat berpaduan visi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi instrinsik yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, alaur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang


(28)

harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkunan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Penelaahan sastra melalui pendekatan ini menjadi anutan para kritikus aliran strukturalis, di dindonesia tercermin pada kelompok Rawamangun”.

Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan unsur instrinsik adalah unsur-unsur dalam yang membentuk terciptanya suatu karya sastra dan mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini, analisis struktural bekerja dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur instrinsik terutama yang terkandung dalam HIJP. Misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur, tokoh, latar, dan lain-lain.

Berikut yang menjadi konsep dasar, aspek-aspek yang dianalisis ialah : a. Tema

Tema adalah landasan cerita atau isi cerita yang merupakan suatu pokok pikiran mengenai sesuatu subjek. Lubis (1950 : 19) mengemukakan, “Tema adalah suatu dasar dalam cerita yang dapat dilukiskan dengan satu kalimat saja”. Dasar inilah yang penting dari seluruh cerita karena suatu cerita yang tidak mempunyai dasar tidak ada artinya sama sekali atau tidak berguna. Dasar dalam cerita ini merupakan tujuan cerita yang akan ditampilkan.

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Menurut Aminuddin (Siswanto, 2008 : 161), “Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.


(29)

Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya (Aminuddin dalam Siswanto, 2008 : 161).

Pada hakikatnya, tema yang baik adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas. Tema bisa disamarkan sehingga kesimpulan tentang tema yang diungkapkan pengarang harus dirumuskan sendiri oleh pembaca. Menurut Fananie, (2008 : 84), “Tema dapat diungkapkan melalui berbagai cara, seperti melalui dialog tokoh-tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung”. Dalam hal ini, pengarang bisa saja mengungkapkan tema utamanya dalam satu unit rangkaian cerita, tetapi bisa juga dikemukakan pada bagian-bagian tertentu, misalnya di akhir cerita.

Proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dengan apa-apa yang dimiliki oleh pengarangnya, dengan kata lain keintelektualan seorang pengarang, dan jiwa seorang pengarang dapat kita lihat dari hasil tulisannya. Unsur-unsur buah pikiran yang disampaikan terdiri dari masalah, pendapat, dan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang. Setiap unsur yang ada dalam cipta sastra harus mendukung tema dan dalam hal ini tema adalah pikiran utama yang dipergunakan untuk memberi nama bagi suatu pengarang atau pikiran mengenai sesuatu subjek, motif atau topik.

Menurut Scharback (Aminuddin, 1987 : 91) mengungkapkan bahwa, “Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita


(30)

sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.

Tema menurut Semi (1988 : 42), “Tema adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar atau pokok pembicaraan atas tujuan yang akan diciptakan oleh pengarang”. Sedangkan Sudjiman (1984 : 72), “Tema merupakan ide, gagasan, atau pokok pikiran utama di dalam karya sastra terungkap (eksplisit) atau yang tidak terungkap (implisit).

Lebih lanjut lagi Tarigan (1982 : 162) mengemukakan bahwa, “Setiap cerita atau fiksi haruslah mempunyai tema data dasar yang merupakan tujuan. Penulis melukiskan watak dari para pelaku dalam ceritanya dengan dasar atau tema tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebih-lebihan kalau kita katakan bahwa tema atau dasar ini suatu hal paling penting dalam suatu cerita yang mempunyai tema tertentu tidak ada guna dan artinya”.

Jadi untuk memahami suatu tema yang terdapat dalam karya sastra maka pembaca harus mengetahui atau memahami unsur-unsur signifikan yang bersifat konstruktif. Setelah mengetahui maka kita dapat menyimpulkan makna yang terkandung di dalamnya dan kaitannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Karena pokok pikiran atau pokok persoalan begitu kuat dalam diri pengarang. Sebuah karangan yang dihasilkan merupakan kompilasi pengarang yang ada kaitannya dengan masalah-masalah kemanusian dan masalah lain yang terdapat dalam masyarakat dan bersifat universal.

Dengan demikian menurut Aminuddin (dalam Roidah, 1993 : 59), berikut ini merupakan langkah atau cara untuk menentukan tema cerita :

1. memahami setting dalam proses fiksi yang dibaca

2. memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

3. memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.

4. memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

5. menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6. menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang


(31)

7. mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.

8. menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarang.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mendapat suatu tema dalam sebuah karangan tidaklah mudah. Karena dalam menentukannya kita harus melihat persoalan yang paling menonjol, konflik yang paling banyak hadir serta menghitung urutan penceritaan. Untuk itulah diperlukan suatu pengkajian terhadap karya sastra secara teliti.

b. Alur ( Plot )

Sebelum penulis menjelaskan tentang alur ini, maka ada baiknya bila terlebih dahulu penulis menguraikan tentang alur ini bahwa istilah alur ini bermacam-macam alur atau plot. Rentang pikiran atau mungkin juga alur disebut dengan istilah jalan cerita dan sebagainya. Barang kali alur berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti yang dikatakan oleh J.S. Badudu (1985 : 5), “Bahwa bahasa yang tumbuh baik itu dalam karya sastra senantiasa berubah dan perubahan itu meliputi bidang bahasa secara menyeluruh termasuk soal istilah alur (plot)”. Menurut Luxemburg (Fananie, 2000 : 93), “Alur atau Plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalan cerita atau struktur kejadian dalam cerita. Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama


(32)

lain. Bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa tersebut semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.

Dalam hal ini Crane (Fananie, 2001 : 94) berpendapat bahwa, Plot tidak hanya dilihat dari jalannya suatu peristiwa. Lebih jauh perlu juga dianalisis bagaimana urgensi peristiwa-peristiwa yang muncul tersebut mampu membangun satu tegangan atau konflik tokohnya. Dengan kata lain, analisis plot tidak hanya dilihat dari kedudukan satu topik diantara topik-topik yang lain, melainkan harus pula dikaitkan dengan elemen-elemen lain, seperti karakter pelaku, pemikiran pengarang yang tercermin dalam tokoh-tokohnya, diksi, maupun proses naratifnya.

Alur juga merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan peristiwa yang akan ditampilkan dengan memperlihatkan kepentingan dalam cerita ini. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain dan bagaimana seorang tokoh dalam suatu cerita terkait dalam kesatuan cerita. Menurut Semi (1990 : 43), “Alur atau Plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian seluruh fiksi.

Rangkaian perisitiwa yang dikaitkan dengan perkembangan karakter, pemikiran para tokoh cerita, persoalan yang dihadapi, dan penyajian susunan peristiwa yang dihadapi, dan penyajian susunan peristiwa yang dicuatkan pengarang inilah yang akan menentukan sejauh mana kekuatan sebuah cerita. Dalam hal ini keberadaan sebuah plot tidak hanya dilihat dari strukturnya saja, tetapi juga harus dilihat dari fungsinya. Berdasarkan fungsi plot dalam membangun nilai estetik cerita, maka identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi sangat beragam.

Menurut Crane (Fananie, 2001 : 94-95), keberagaman plot paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama analisis plot yang meliputi :


(33)

1) Plot of action, yaitu analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik yang muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tooh utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis (determinisme) itu, berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut;

2) Plots of character, yaitu proses perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan; dan

3) Plots of thought, yaitu proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi.

Menurut paham determinisme, keberadaan manusia di dunia adalah sudah digariskan oleh Ilahi. Manusia hanyalah sekedar makhluk yang harus menjalani yang sudah disuratkan. Karena itu, setiap perubahan nasib, perubahan perilaku, moral, dan perjalanan hidup yang menimpa manusia, menurut paham determinisme urutan peristiwanya adalah sudah ditentukan.

Pada dasarnya intisari dari sebuah plot adalah konflik dan peristiwa. Tetapi konflik atau peristiwa dalam suatu cerita tidak dapat dipaparkan begitu saja, harus ada dasarnya untuk menuju konflik. Sejalan dengan itu Muchtar Lubis (Eri, 2005 : 29) membagi alur menjadi lima tahapan secara berurutan yaitu :

1. Exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), 2. Generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), 3. Ricing action (keadaan mulai memuncak),

4. Climax (puncak),

5. Denoument (penyelesaian).

Dalam pengertian ini, elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan mulainya peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah kepada konflik yang mulai memuncak dan ketika cerita tersebut dapat menentukan nasibnya


(34)

sendiri-sendiri. Selanjutnya kadar konflik akan menurun sehingga ketegangan dalam cerita menuju ke tahap penyelesaian cerita.

c. Latar ( setting )

Latar atau setting adalah tempat dan waktu peristiwa dalam cerita. Latar dalam suatu cerita bukan hanya background (tempat kejadian, waktu terjadinya) cerita itu. Tetapi juga berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup masyarakat dalam menghadapi suatu persoalan tertentu. Menurut Tarigan (1982 : 57), “Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti lebih luas latar mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu”.

Sedangkan Aminuddin (1987 : 67) berpendapat bahwa,

Setting (latar) juga berlaku dalam cerita fiksi karena

peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi juga selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi dalam karya fiksi, setting atau latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Setting juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Dalam hal ini telah diketahui adanya setting yang metaforis.

Selanjutnya Semi (Aritonang, 1993 : 51) berpendapat bahwa, “Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati seperti kampus, disebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di sebuah puskesmas, di dalam penjara di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan disaat upacara sekaten dan sebagainya. Orang atau kerumunan orang yang berada disekitar tokoh juga dapat dimasukkan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk”.


(35)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat atau ruang terjadinya suatu peristiwa dalam karya sastra. Atau dengan kata lain setting adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Dalam kaitan ini Aminuddin (1987 : 68), membedakan antara setting (latar) yang bersifat fisikal dengan setting (latar) yang bersifat psikologis yaitu :

1. Setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya

kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu mengajak emosi pembaca.

2. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik,

sedangkan setting psikologis dapat berupa nuansa maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

3. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. 4. Terdapat saling pengaruh dan ketumpangtindihan antara setting fisikal

dengan setting psikologis.

Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasikan situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan dimana, kapan, dan bagaimana situasi berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian setting akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya.

Menurut Jakob Sumardjo (Fananie, 2001 : 98), “Setting yang berhasil haruslah terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya”. Dalam hal tertentu latar harus mampu membentuk tema dan plot


(36)

tertentu yang dalam dimensinya terkait dengan tempat, waktu, daerah, dan orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup, dan cara berfikirnya. Dalam mengkaji hikayat, di sini hanya dititikberatkan pada lingkungan atau tempat terjadinya suatu peristiwa.

d. Tokoh

Dalam suatu cerita prosa kita selalu menemukan tokoh-tokoh ceritanya. Pengarang berusaha untuk menghidupkan peran tokoh-tokoh ceritanya dengan jalan menonjolkan tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Karena peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu selalu diemban oleh tokoh yang ada dalam cerita.

Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 79) menegaskan,

“Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama sedangkan tokoh yang memliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”.

Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bukan hanya sebagai peran tambahan. Dan dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebagai berikut :

“Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.


(37)

b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis). b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit

sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah subyek atau pelaku yang terdapat dalam suatu karya sastra dan memainkan peran sesuai dari wataknya masing-masing dan saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Keberagaman watak yang dimiliki oleh tokoh dapat membangkitkan suatu karya tersebut sehingga lebih menarik dibaca dan mudah untuk diingat. Oleh karena itu seorang pengarang menciptakan tokoh dalam karya dengan beragam, ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu membawakan cerita dengan pembawaan tokoh yang baik dan mulia (positif). Ada juga tokoh sentral antagonis yaitu yang selalu membawakan tokoh yang buruk (negatif). Dan dalam sebuah cerita terdapat adanya tokoh yang sebagai pemeran tokoh bawahan yaitu tokoh yang berfungsi sebagai pemeran pembantu utama dalam sebuah cerita. Dalam hikayat terdapat beberapa peristiwa yang pada dasarnya merupakan wadah pertentangan antar tokoh utama yang baik dan tokoh utama yang jahat. Pada umumnya tokoh utama berada di pihak yang benar, berwatak baik, dan dengan kehebatan dan kesaktiannya dia unggul dalam suatu pertempuran atau perkelahian.


(38)

e. Penokohan

Penokohan adalah pelaku yang memainkan peran dalam cerita. Menurut Endraswara (2008 : 179) “Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologis”. Menurut KBBI (2000 : 1149) bahwa “penokohan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat dan budi pekerti”. Dalam hal ini Tarigan juga berpendapat, (1982 : 141) bahwa, “Perwatakan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya”.

Tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memberikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh. Misalnya, tokoh Indra Jaya dalam Hikayat Indra Jaya

Pahlawan. Kata “pahlawan” dalam judul tersebut telah memberi arti bahwa Indra

Jaya adalah tokoh yang suka menolong orang yang lemah dan membela kebenaran. Melalui penggunaan kata “pahlawan” dapat memberi asumsi kepada pembaca bahwa cerita dalam hikayat tersebut dapat memberi nilai budi pekerti dan pendidikan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Selanjutnya Semi (1990 : 29) menegaskan tentang tokoh cerita sebagai berikut :

“Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya”.


(39)

Lalu bagaimanakah cara pengarang membangun watak para tokoh ini? Ada berbagai upaya yang akan ditempuh oleh seorang pengarang seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (1987 : 80-81) yaitu,

“Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya dengan cara :

1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.

2. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian.

3. menunjukkan bagaimana perilakunya.

4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri. 5. memahami bagaimana jalan pikirannya.

6. melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya. 7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya.

8. melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya.

9. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita yang memiliki peran masing-masing baik berupa segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisik tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada di dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada di dalam berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.

2.2.2 Teori Psikologi Sastra

Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yakni psyche dan logos. Psyche artinya jiwa, dan logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Kartono (1996 : 1), “Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis / jiwa manusia”. Secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya


(40)

maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa (Ahmadi, 1998 : 1). Sedangkan menurut Gleitman (dalam Syah, 1995:8), “Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan”.

Dari beberapa defenisi tentang psikologi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan dan tingkah laku seseorang sehingga memberi pengaruh yang baik dan buruk terhadap lingkungan sekitarnya.

Menurut Endraswara (2008 :93), “Psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna “ilmu pengetahuan tentang jiwa” (Walgito, 1985 : 7). Dimensi jiwa hanya ada dalam diri manusia. Ini berarti bahwa segala aktivitas dalam diri manusia berpusat dari dimensi jiwa tersebut. Masalahnya adalah dimensi jiwa yang bagaimana dalam diri manusia tersebut? Apakah jiwa dalam konteks motif, inteligensi, perasaan, fantasi atau jiwa dalam konteks kekuatan atau energi yang terdapat dalam diri manusia sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hidup, berpikir, berperasaan dan berkehendak.

Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud, tetapi dia tidak seharusnya dikatakan sebagai pencetus teori. Hal ini dibuktikan adanya teori lain dalam penelitian psikologi sastra. Misalnya, teori Gestalt dengan besastra model Trial and error, teori Skinner dengan psikologi


(41)

psikoanalisis Freud membedakan kepribadian menjadi tiga macam yaitu, Id, Ego, dan Super ego. Ketiga ranah psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra.

Teori Freud tidak terbatas untuk menganalisis asal-usul proses kreatif yang menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan sastra. Misalnya, dalam menghadapi seorang pasien untuk mengobati penyakitnya, seorang psikolog melakukan dengan cara berdialog sehingga terungkap depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran bahasanya. Bahasa inilah yang dianalisis sehingga menghasilkankesimpulan dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sastra.

Bahasa dalam sastra terdapat bingkisan makna psikis yang dalam. Maka, dalam memahami bahasa estetis menggunakan psikoanalisis. Teori Freud bisa dimanfaatkan untuk mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang. Pada kenyataannya yang sangat dominan untuk diteliti adalah tokoh-tokoh, tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar, dan unsur-unsur lain yang muncul secara berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Pandangan Freud, asas psikologis adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.

Tujuan dari psikologi sastra adalah untuk memahami karya sastra yang mengandung aspek-aspek kejiwaan di dalamnya. Pemahaman terhadap suatu karya sastra tidaklah secara langsung diberikan kepada pembaca tetapi melalui


(42)

pemahaman terhadap tokoh-tokoh yang ada dalam suatu karya sastra, pembaca dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam cerita tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan.

Menurut Ratna (2004 : 343), “Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu :

a) Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam

karya sastra, dan

c) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca”.

Menurut Jung (Ratna, 2004 : 347) dalam tesisnya berpendapat bahwa, manusia terdiri atas dua lapisan ketaksadaran, yaitu : a) ketaksadaran personal dan, b) ketaksadaran kolektif. Isi ketaksadaran personal diterima melalui pengalaman kehidupan seseorang, sebagai material Ontogenesis, sedangkan ketaksadaran kolektif diterima secara universal dan esential melalui species, sebagai pola-pola behavioural yang dikondisikan secara rasial sebagai material Filogenesis. Bentuk ketaksadaran kolektif juga disebut arketipe, yang pada umumnya disamakan dengan primordial.

Hal ini berbeda dengan klasifikasi penelitian psikologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Ratna, 2004 : 348), membedakannya menjadi : a) psikologi sastra melalui analisis dunia kepengarangan, b) psikologi sastra analisis tokoh-tokoh dan penokohan, dan c) psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra arketipe. Cara yang pertama, disebut sebagai kritik ekspresif sebab melukiskan pengarang sebagai subjek individual. Cara yang kedua, disebut sebagai kritik objektif dengan memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh, sebagai perwujudan karakterologi dan karakterisasi. Cara yang ketiga, disebut sebagai kritik arketipe sebab analisis dipusatkan kepada eksistensi ketaksadaran kolektif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada cara yang kedua yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra atau disebut juga sebagai kritik objektif. Sebagai


(43)

dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khusunya manusia. Dalam hal ini Ratna (2004 : 343) berpendapat bahwa, “Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra karena dalam diri manusia, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan”. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya.

Secara defenitif psikologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansinya kejiwaan manusia. Dengan melihat kajian penelitiannya, psikologi sastra dibagi menjadi tiga macam yaitu : a) psikologi pengarang, b) psikologi pembaca dan, c) psikologi penokohan.

Kualitas suatu karya sastra dapat dilihat dari pengarangnya, bagaimana kejiwaan pengarang tersebut ketika menciptakan tokoh-tokoh dalam karyanya sehingga ceritanya lebih menarik dan mudah dicermati pembaca. Menurut Wright (Endraswara, 2008 : 141), “Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang adalah mencermati sastra sebagai analog fantasi percobaan simtom penulis tertentu dan selanjutnya dapat memahami seberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra”.

Menurut Endraswara (2008 : 145), “Sastrawan dapat dibagi dalam dua tipe psikologis yaitu :

a) Sastrawan yang “kesurupan” (possesed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan, dan

b) Sastrawan “pengrajin” (maker), yang penuh ketrampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab”.

Biasanya sastrawan yang memiliki tipologi “kesurupan” membuat suatu karya sastra yang sangat menarik karena pengarangnya memprioritaskan kualitas dari pada kuantitasnya. Misalnya, karya Habiburrahman dalam novelnya yang


(44)

berjudul Ayat-ayat Cinta. Meskipun tergolong sebagai sastrawan baru dan karyanya hanya sekali-kali keluar tetapi penjualannya dikategorikan sebagai Best

Seller hingga ke manca negara. Begitu pula sastrawan “pengrajin”, tampaknya

sekedar mementingkan produktivitasnya, bukan kualitasnya. Misalnya, pengarang yang mengikuti arah pengrajin menurut Endraswara yaitu, A.Y. Suharyono. Kira-kira pada tahun 2000-an, banyak bertaburan karyanya di media massa, seakan kualitas dinomorduakan.

Sastra dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat. Pengaruh cepat merupakan daya keras yang secara spontan sehingga pembaca berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula pembaca akan meniru, tiba-tiba pembaca secara drastis harus mengubah sikap dan wataknya hingga orang disekitarnya terperanjat. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Dalam sastra ada beberapa gejala psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir yang beragam dan akan memperkaya pesan. Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (Endraswara, 2008 : 161), “Yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran”. Dalam hal ini perbedaan persepsi terhadap wacana sastra justru akan memperkaya nilai sastra karena semakin menyebar keragaman makna, sastra tersebut dipandang lebih bagus.

Penokohan dalam suatu karya sastra adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Penelitian terhadap tokoh merupakan bagian dari aspek intrinsik(struktur) sastra. Namun, penelitian tokoh yang bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra. Yang dipelajari dalam


(45)

psikologi penokohan adalah bagaimana kejiwaan tokoh yang ada dalam cerita sehingga terjadi suatu penyimpangan atau konflik antar tokoh. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama. Sedangkan tokoh kedua, tokoh ke tiga, dan seterusnya kurang mendapat penekanan. Gejala psikologis yang diderita oleh tokoh-tokoh dalam cerita berupa penyakit psikopat, neurosis, deviasif, dan kelainan jiwa lainnya. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu saja diperlukan teori psikologi khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wright (Endraswara 2008 : 184) bahwa, “Untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori psikologi”. Untuk itu teori psikoanalisis dianggap dapat disesuaikan dengan hal yang akan digali dari tokoh. Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.

2.2.3 Hubungan Psikologis dengan Sastra

Analisis psikologis yang memiliki hubungan dengan ilmu lain sangat diperlukan pada saat tingkat peradaban mencapai kemajuan, yaitu ketika manusia kehilangan pengendalian psikologis. Sebagian dari kemajuan teknologi mengandung aspek-aspek negatif, hal ini dibuktikan dengan keseluruhan harapan ditumpukan kepada kecanggihan teknologi pada mesin dengan berbagai mekanismenya. Menurut Ratna (2004 : 342), “di samping teknologi dengan berbagai akibat sampingannya, lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologis”. Oleh sebab itu, psikologi khususnya psikologi analisis, diharapkan mampu untuk menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis dan mencari solusinya.


(46)

Menurut Siswantoro (Endraswara, 2008 : 180), “Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merjauk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental”. Pemahaman ini memberikan pemahaman luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara pandang psikologi sastra.

Setiap manusia pada umumnya memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Sehingga permasalahan inilah yang menimbulkan perasaan ketakutan, histeris, traumatik. Manusia yang tidak dapat mendidik dirinya sendiri dalam menghadapi realitas, kesendirian, dan ketidakberdayaan akan menghadapi tekanan mental, stress, frustasi, takut, curiga, was-was, dan sebagainya. Dengan kata lain, manusia yang terganggu fungsi kehidupannya sehari-hari akan mengalami penderitaan, seperti pikiran-pikiran obsesi, paranoid, histeria, kegilaan, atau neurosis. Kondisi demikianlah yang kemudian melahirkan psikoanalisis

Psikologi sebagai ilmu yang meneropong atau mempelajari keadaan manusia, sudah barang tentu mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia, termasuk hubungannya dengan sastra. Hubungan antara psikologi dan sastra merupakan hubungan yang sangat erat sekali.

Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para tokoh sastra maupun psikologi. Menurut Semi ( 1989 : 48 ), “Pemanfaatan teori ini dalam sastra dilakukan oleh kebanyakan pengarang, ialah dengan mengambil pertimbangan dalam pengkajian sifat dan pribadi seseorang”. Sastra sebagai “gejala kejiwaan”, di dalamnya


(47)

terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang dampak lewat perilaku (Endraswara, 2008 : 87).

Sedangkan Ratna ( 2004 : 7 ) mengatakan, “Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah adanya teori utama sebagai payung yang kemudian dibantu oleh teori-teori lain yang relevan. Lebih-lebih dalam penelitian multidisiplin, seperti sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, khususnya gabungan beberapa disiplin yang berbeda, penggunaan beberapa teori justru sangat diperlukan”.

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan karya sastra dengan psikologi sangatlah dekat, meskipun disiplin ilmunya berbeda tetapi saling mendukung dan saling melengkapi. Melalui imajinasi pengarangnya, karya sastra yang diciptakan dapat membangkitkan perasaan tertentu bagi pembacanya. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan, salah satu karya yang tepat untuk dianalisis psikologisnya adalah HIJP.

Psikologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi penokohan yang difokuskan kepada penokohan atau perwatakannya. Psikologi penokohan mempelajari tentang aspek kejiwaan tokoh-tokoh dalam HIJP. Melalui pendekatan objektif, penulis akan memakai teori psikoanalisis Freud. Dalam memahami teori psikoanalisis yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan antara satu sama lain, Freud menciptakan tiga sistem konflik dasar tersebut yaitu id, ego, dan superego. Id bekerja menggunakan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego mematuhi prinsip realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang diterima masyarakat, dan


(48)

superego (hati nurani; suara hati) memiliki standar moral pada individu (Sobur,

2003: 305).

Jika dikaitkan dengan aspek analisis teks sastra, beberapa kategori yang dapat dipakai sebagai landasan pendekatan psikoanalisis sebagaimana dikemukakan Norman H. Holland (Fananie, 2001 : 181) adalah sebagai berikut :

a) Histeri, manic, dan schizophrenic

b) Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku birahi, seperti

anal, phalic, oral, genital, dan urethral

c) Ego-psikologi, yaitu cara-cara yang dipakai untuk memenuhi

kebutuhan internal dan eksternal yang bisa sama dan juga berbeda untuk tiap-tiap individu

d) Defence, expectation, fantacy, transformation (DEFT).

Maksud dari kategori tersebut dalam konteks sastra adalah apakah karakter pelaku dan permasalahan-permasalahan yang mendasari tema cerita melibatkan unsur-unsur di atas. Dari sinilah dapat diketahui fenomena apa yang melatarbelakangi munculnya faktor-faktor kejiwaan dalam diri manusia.

Aminuddin (Endraswara, 2008 : 17) menjelaskan bahwa, “Fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri”. Fenomena manusia dalam sastra pun demikian halnya. Manusia yang ada dalam kenyataan dan manusia imajinatif tetap memiliki kedudukan sama penting. Keduanya tergantung realitas yang membangun makna. Oleh karena itu, jiwa manusia pun memiliki realitas tersendiri dalam sastra.

Banyak faktor yang menentukan proses berfikir dan sikap yang diambil seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Faktor inilah yang


(49)

akan jadi penentu apakah manusia akan mengarungi hidupnya dengan mulus atau sebaliknya. Oleh karena itu, Erich From (Fananie, 2001 : 180) berpendapat bahwa, “Psikoanalisis mengkaji apakah sistem berfikir bersifat ekspresif bagi perasaan yang ia tampilkan atau hanya merupakan sebuah rasionalisasi yang tersembunyi di balik sikap-sikapnya”.

2.2.4 Mimpi dan Fantasi dalam Konteks Analisis Sastra

Freud menggunakan “mimpi” dan “penafsiran” dalam teori psikoanalisis. Mimpi adalah alam bawah sadar yang dialami oleh siapa saja, termasuk dalam khazanah sastra. Sering terjadi bahwa gambaran mimpi berhubungan dengan pikiran tersembunyi melalui hubungan analogis. Keseluruhan proses, figurasi, kondensasi, pengalihan, dan simbolisasi, membentuk apa yang dinamakan Freud “pekerjaan mimpi” dan membantu menyamarkan hasrat yang tidak dapat terwujud pada saat sadar sebab hasrat tersebut merupakan sasaran sensor.

Menurut Endraswara (2008 : 209), “ Bahwa pemikiran psikoanalisis yang perlu dicermati, antara lain sebagai berikut :

a) Sendor, artinya yang menjelaskan semua metamorfosis yang tak dapat dielakkan oleh pikiran-pikiran mimpi.

b) Proses sastra”.

Di dalam sendor, keadaan orang yang bermimpi seperti penulis yang terpaksa menyembunyikan pikirannya. Sensor yang terdapat dalam mimpi tersebut mengekang penulis dan menghalanginya untuk menulis semaunya.

Di dalam proses sastra yang dibicarakan adalah titik temu antara sensor mimpi dengan suatu karya yang diciptakan oleh pengarang. Menurut Endraswara


(50)

(2008 : 210), “Dalam proses sastra juga akan terjadi delir. Delir yaitu gangguan kejiwaan yang menyebabkan penderitanya memberikan kepercayaan yang sama besar pada ciptaan imajinasi, khayalan, maupun pada persepsi nyata, sehingga si penderita membiarkan kelakuannya dibelokkan atau diarahkan oleh apa yang timbul dalam khayalannya”.

Menurut Freud, psikoanalisis dapat dianalogikan dengan sastra menghasilkan tiga bidang penelitian yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Psikoanalisis pengarang berhubungan dengan proses kreatif, psikoanalisis pengarang berhubungan dengan masalah-masalah psikososia. Jadi, teori mimpi dan fantasi sebenarnya hanya dapat dikenakan kaidahnya pada karya sastra, tetapi untuk kepentingan tertentu, teori mimpi dan fantasi itu dapat diterapkan pada karya sastra sebagai upaya mempelajari jiwa pengarang.


(51)

BAB III

STRUKTUR UMUM HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN

Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas unsur-unsur karya sastra dalam usaha menemukan makna karya yang bersangkutan, penelitian struktur yang dimasukkan di sini adalah penelitian tentang tema, alur, latar, tokoh dan penokohan.

3.1 Ringkasan Cerita

Ringkasan cerita sangat berguna sekali bagi pembaca untuk memahami isi cerita. Menurut Gorys Keraf (Roidah, 1993 : 46), “Ringkasan cerita (Pricis) adalah suatu cara yang efektif untuk menyajikan suatu karangan yang panjang dalam bentuk yang singkat, maka ia merupakan suatu ketrampilan untuk mengadakan reproduksi dari hasil-hasil karangan yang sudah ada”.

Setelah membaca HIJP maka penulis mencoba memaparkan ringkasan ceritanya sebagai berikut :

Raja Bulia Kesna, yang memerintah Negri Syamsu Alam Bahrum Asyikin, dan permaisurinya ingin sekali mempunyai anak. Mereka bertapa di istana. Setelah menjalani tapanya selama empat puluh hari empat puluh malam, mereka bermimpi dalam tidurnya. Mimpinya adalah sebagai berikut. Ada seorang muda yang terlalu elok rupanya berkata, “Jika ingin mempunyai anak, raja dan permaisuri harus pergi ke Gunung Baladewangga untuk mengambil dan memakan bunga butut dadu yang ada di tengah kolam”. Petunjuk itu mereka laksanakan. Dengan diiringi menteri dan hulubalangnya, mereka pergi ke Gunung Baladewangga. Namun, pada waktu mereka sampai di lereng gunung itu


(52)

datanglah topan menyapu mereka dan yang tinggal hanya Raja Bulia Kesna dan permaisurinya. Setelah topan reda, mereka pergi mandi di kolam. Permaisuri melihat ada bunga di tengah kolam itu, lalu menyuruh Raja mengambil bunga tersebut. Setelah mengambil bunga itu, mereka memakannya, lalu mandi kembali sambil bermain-main. Ketika muncul di permukaan kolam, mereka sudah berubah menjadi dua ekor gajah. Mereka menangis setelah menyadari bahwa mereka (raja dan permaisuri) sudah menjadi binatang. Kemudian datanglah Dewa Langlang Buana menghampiri kedua gajah jelmaan itu dan memberitahukan bahwa mereka akan kembali menjadi manusia setelah anaknya berumur 19 tahun dengan syarat setelah berumur 2 tahun, anak itu harus dibuang ke tengah kolam. Petunjuk dewa itu ditaati oleh kedua gajah jelmaan itu.

Anak yang dilemparkan ke tengah kolam itu dipelihara oleh Maharaja Kaladarmadan diberi nama Indra Jaya. Indra Jaya diajari segala macam ilmu, baik ilmu hikmat maupun ilmu peperangan dan kesaktian. Setelah Indra Jaya berumur sembilan belas tahun, Maharaja Kaladarma menyuruh Indra Jaya membunuh kedua gajah yang ada di sekitar kolam. Maharaja Kaladarma menceritakan kejadian Indra Jaya dan sebab-sebab kedua orang tuanya menjadi gajah kepada Indra Jaya.

Indra Jaya dilemparkan Maharaja Kaladarma dari kolam dan jatuh di dekat kedua gajah itu dan dilihatnya kedua gajah itu besarnya seperti bukit. Indra Jaya tiada samapi hati membunuh kedua gajah jelmaan tersebut karena sesungguhnya kedua gajah itu adalah orang tuanya. Indra Jaya membunuh gajah jantan, kemudian gajah betina. Keduanya mati, tidak lama kemudian kedua gajah tersebut berubah menjadi manusia dan tampak seperti sedang tertidur. Indra Jaya


(53)

mengeluarkan kolik-nya, lalu direndamnya di dalam air, kemudian disiraminya kedua mayat manusia itu. Kedua orang tua Indra Jaya itu hidup kembali. Indra Jaya lalu menciptakan suatu negeri di atas gunung itu dan dinamai Negeri Mintarsyah dengan rajanya Maharaja Bulia Kesna.

Indra Jaya melanjutkan perjalanan ke arah matahari terbenam dan sampailah di Padang Cita Heran, asal negeri maharaja jin, Langlang Samudra. Di padang itu Indra Jaya hendak dibunuh oleh mambang dan peri karena tempat itu merupakan tempat rahasia. Dikhawatirkan jika ada orang yang mengetahui tempat itu akan dikabarkan kepada orang lain. Indra Jaya berperang dengan Langlang samudra sehingga ia berubah menjadi permata hijau dan termakan oleh Langlang Samudra. Di dalam mulut Langlang Samudra itu, Indra Jaya menjelma menjadi pohon yang bercabang dua sehingga menyebabkan Langlang Samudra mati dan Indra Jaya keluar dari dalam mulutnya.

Raja keindraan yang bernama Maharaja Johan Jauhari mempunyai seorang putri yang bernama Putri Ismaya Indra. Putri tersebut sudah dilamar 39 orang raja, tetapi Maharaja Johan Jauhari belum dapat memutuskan raja mana yang akan menjadi menantunya. Oleh karena itu, ia mencari alasan untuk menghindari lamaran raja-raja itu. Ia mengatakan bahwa anaknya masih kecil dan belum akan dikawinkan, nanti kalau sudah besar, anaknya boleh dilamar dan dikawinkan. Ketika masa perjanjiannya dengan raja-raja itu hampir tiba, Maharaja Johan Jauhari menyuruh wazirnya membuat mahligai yang mempunyai tangga 40 buah yang terbuat dari pedang yang sangat tajam. Maharaja Johan Jauhari mengadakan sayembara yang menyatakan bahwa siapa yang dapat memasuki mahligai Tuan Putri dengan selamat, dialah yang akan menjadi suami putri itu.


(54)

Maharaja Peringgi yang dikutuk oleh Batara Indra menjadi seekor naga yang bernama Antaboga. Naga itu mencuri Putri Ismaya Indra, lalu dibawa ke Gunung Bintara dan dimasukkan ke dalam gua. Wazir Maharaja Johan Jauhari menjadi panik dan marah dan menyuruh para hulubalangnya untuk segera mencari Tuan Putri.

Indra Jaya yang keluar dari mulut Langlang Samudra itu mendapatkan kemala yang berukirkan nama Putri Ismaya dan Putri Cahaya Nurlela. Indra Jaya melanjutkan perjalanannya ke Padang Anta Heran, tempat tulang dan tengkorak Raja Johan Syah Peri dan rakyatnya yang tampaknya baru kalah perang. Mereka dihidupkan oleh Indra Jaya, lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Maharaja Kapaksura hendak mengawinkan putrinya yang bernama Putri Lela Cahaya Bulan dengan anak Maharaja Ganggamaya yang bernama Raja Johan Syah. Putri Lela Cahaya Bilan itu mempunyai seekor burung bayan yang pandai berkata-kata dan bersenda gurau. Pada waktu Putri Lela Cahaya Bulan sedang diarak hendak dipertemukan dengan Raja Johan Syah, bayan itu berubah menjadi kuda, lalu melarikan putri itu. Raja Johan Syah terkejut melihat istrinya dilarikan oleh kuda yang pandai terbang. Ia memanah dan mengejar kuda itu ke arah matahari terbenam. Kemudian, raja-raja lain pun turut mengejarnya, di antaranya Maharaja Indra Sri, Maharaja Indra Bulia, dan Maharaja Indra Kesna.

Adapun Indra Jaya yang sedang berjalan dengan Maharaja Johan Syah Peri beserta rakyatnya itu smpailah di suatu padang. Mereka berhenti untuk melepaskan lelah. Tiba-tiba cuaca berubah, sebentar terang dan sebentar gelap. Mereka melihat ke udara untuk mengetahui sebabnya. Ternyata ada seekor kuda yang sangat besar yang melarikan seorang putri. Seketika itu Indra Jaya merubah


(55)

dirinya menjadi seekor wilmana dan mengejarnya. Terjadilah peperangan antara kuda dengan wilmana. Ketika wilmana dipagut oleh kuda terbang itu, wilmana mati, lalu jatuh menjadi Indra Jaya kembali. Indra Jaya menciptakan hujan api sehingga kuda itu pun berubah menjadi Maharaja Bayu. Setelah itu Maharaja Johan Syah Peri menyerang Maharaja Bayu. Dalam penyerangan itu Putri Lela Cahaya mati karena tidak sengaja kena sasaran tikaman Maharaja Johan Syah Peri. Kemudian Maharaja Bayu melarikan diri dan Putri Lela Cahaya dihidupkan kembali oleh Indra Jaya, kemudian ia menceritakan hal-ikhwalnya dilarikan Maharaja Bayu Kesna Lodara itu. Mereka bergabung dan pergi menuju tempat bapak Maharaja Bayu Kesna Lodara, yang bernama Maharaja Bayu Nafiri, di Gunung Argasinga. Namun, ketika Indra Jaya berperang dengan Maharaja Bayu, Putri Lela Cahaya dibawa lari oleh merak emas, penjelmaan Dewa Langlang Buana. Langang Buana membawa putri itu ke gua tempat Naga Antaboga, sebagai jalan untuk mengubah dirinya kembali kepada bentuk semula. Indra Jaya mengetahui keadaan putri itu dari suratnya yang ditulisnya pada sehelai bulu merak. Kemudian, mereka bersama-sama dengan Maharaja Johan Syah Peri mencari Putri Lela Nur Cahaya. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan suami putri, yang bernama Raja Johan, lalu pergi bersama-sama ke Gunung Argasinga. Raja Johan Syah Peri lebih dahulu ke gunung itu dan Indra Jaya beserta rombongan berhenti di tempat peristirahatannya.

Dengan diam-diam Indra Jaya mengubah dirinya menjadi burung kecil meninggalkan Maharaja Johan Syah Peri dan rakyatnya. Ia pergi ke Gunung Bintara, tempat Naga Antaboga bertapa. Kemudian pada malam harinya ketika naga tertidur lelap, Indra Jaya memulai aksinya dengan cara berubah menjadi


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah penulis mengkaji tentang berbagai aspek psikologis yang terdapat dalam HIJP, maka pada bab terakhir ini penulis membuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedudukan HIJP merupakan hasil sastra zaman peralihan, yaitu zaman peralihan peradaban hindu ke islam. Yaitu zaman kebudayaan hindu mulai meninggalkan pengaruhnya dan berangsur makin lemah, sedangkan pengaruh kebudayaan islam semakin berkembang. Ini dibuktikan dengan adanya pemakaian lafaz-lafaz islami dalam hikayat ini.

2. Hubungan sastra dengan psikologi sangat erat karena sama-sama berguna untuk sarana mempelajari kejiwaan manusia hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun, keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia.

3. Menganalisis sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan di luar karya sastra (dari sudut ekstrinsik) maka tidak terlepas dari unsur-unsur instrinsiknya, setidaknya membahas unsur-unsur yang dianggap dominan sebagai tolak dasar tujuan.


(2)

4. Dalam HIJP ini tema yang diungkapkan adalah tentang kebaikan dan keikhlasan hati seorang pahlawan yang suka menolong, arif dan bijaksana serta bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.

5. Alur yang terdapat dalam HIJP ini adalah alur maju. Bermula dari pengembaraan Indra Jaya kemudian di tengah cerita Indra Jaya mendapatkan apa yang diinginkannya dan akhirnya dia kembali ke kerajaan ayahnya yaitu Kerajaan Negeri Mintarsyah.

6. Latar dalam cerita ini terdiri dari dua bagian yaitu : latar tempat dan latar waktu. Sebagian besar latar tempat yang digunakan adalah di alam kayangan dan sebagian lainnya menggunakan latar yang ada di bumi seperti laut, gunung, dan padang yang luas.

7. Tokoh dalam HIJP ini adalah, Indra Jaya, Raja Bulia Kesna, Maharaja Johan Syah Peri, Langka Indra Loka, Putri Indra Ismaya, Putri Lela Cahaya Bulan, Maharaja Kaladarma, Langlang Samudra, Naga Antaboga, Raja Johan Sauhari, Maharaja Bayu Kesna Lodara, Maharaja Bayu Nafiri, Putri Dewi Mahira Langkawi, Raja Manik Maya, Hulubalang, Mambang, Peri, dan Rakyat Jin.

8. Tujuan dari psikologi sastra adalah untuk memahami karya sastra yang mengandung aspek-aspek kejiwaan di dalamnya. Dalam mengkaji HIJP ini dari segi psikologis menggunakan teori psikoanalisis Freud, yaitu membedakan kepribadian menjadi tiga macam yaitu, Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian sastra. Di dalam pelaksanaan pendekatan psikologis dalam penelitian sastra hanya diambil bagian-bagian yang berguna dan yang sesuai saja berdasarkan dari teori


(3)

psikoanalisis, terutama yang terkait dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia.

9. Faktor psikologis merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi jiwa Indra Jaya untuk mewujudkan segala keinginannya dan kebiasaan baik yang ia lakukan terhadap rakyat yang lemah. Faktor tersebut adalah bermula dari mimpi, motivasi, dan sifat kepahlawanan dan kesemuanya itu sejalan dengan rasa tanggungjawab Indra Jaya terhadap kekuatan yang ia miliki dan menjadi dorongan bagi dirinya untuk menumpas segala kejahatan yang ada di alam kayangan.

5.2 Saran

Di dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan sedikit saran kepada pembaca dan para pecinta sastra yaitu :

1. Perkembangan zaman semakin lama semakin berkembang sejalan dengan peradaban yang ada di dunia ini yang semakin modern dan serba instant. Sebagai masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa di Sastra Daerah ataupun pecinta sastra, sudah seharusnya lebih memahami dan menjaga terhadap seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia, minimal kebudayaan kita masing-masing serta lebih bergiat untuk menggali hasil karya sastra daerah yang banyak mengandung aspek kejiwaan dalam karya tersebut. Dengan melakukan pengkajian kembali, maka hasil-hasil karya sastra yang ada lebih bermakna dan tetap terjaga kelestariannya dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.


(4)

2. Penulis juga mengharapkan kepada sastrawan dan pengarang-pengarang buku sastra khususnya yang berkaitan dengan psikologi sastra dapat lebih banyak menuangkan segala ide-ide sehingga terciptanya teori-teori baru sehingga lebih banyak bahan perbandingan untuk dipelajari.

3. Besar harapan penulis bagi jurusan Sastra Daerah program studi Bahasa dan Sastra Melayu, untuk betul-betul menekuni serta menggeluti segala ilmu yang ada di sastra daerah ini. banyak cara atau kegiatan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan kebudayaan kita ini baik dengan pertunjukan seni drama, tarian daerah, pencak silat dan lain-lain yang berhubungan dengan kebudayaan daerah. Dengan digiatkan kegiatan ini diharapkan dapat membentuk kepribadian dan moral masyarakat yang baik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzakiey, Hamdan Bakran. 2006. Psikologi Kenabian. Yogyakarta : Daristy. Ahmadi, Abu, H, Drs. 1998. Psikologi Umum. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang : Sinar Baru Algesindo.

Ary, D. 1982. Metodologi Dalam Penelitian. Surabaya : Usaha Nasional.

Badudu, J.S. 1988. Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik. Jakarta. Pustaka Pelajar. Baried, Siti Baroroh. 1985. Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia. Jakarta :

Pusat Bahasa.

Baried, Siti Baroroh. 1987. Panji : Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta : Pusat Bahasa.

Djamaris, Edwar. 1989. Antologi Sastra Indonesia Lama I : Sastra Pengaruh

Peralihan. Jakarta : Pusat Bahasa.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra (Epistimologi, Model,

Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta. Media Pressindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Peneltian Psikologi Sastra. Jakarta. Media Pressindo.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta. Muhammadiyah University Press.

Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. Bandung. CV. Mandiri Maju. Lubis, Mochtar. 1950. Teknik Mengarang. Jakarta. Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Prees.


(6)

Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Roidah. 1993. Hikayat Langlang Buana Suatu Analisis Psikologi. Skripsi Sarjana. Medan : FS. USU.

Salim, Peter. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Semi, M. Atar. 1988. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.

Semi, M. Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa. Sinar, T. Luckman. 1971. Sari Sedjarah Serdang. Medan.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta. PT. Grasindo. Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung. CV. Pustaka Setia.

Sudiarga. I Made. 2002. Geguritan Sewagati : Analisis Struktur dan Fungsi. Jakarta : Pusat Bahasa.

Sugiharto, R. Toto. 2008. Pandai Menulis Fiksi. Yogyakarta. : Pustaka Belajar. Sunardjo, Nikmah dan Siti Zahra Yundiafi. 1992. Hikayat Indra Jaya Pahlawan.

Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Tarigan, Henry Guntur. 1982. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa.

Trisna Jayawati, Maini. 1997. Analisis Struktur dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Sumatera Utara. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.