akan jadi penentu apakah manusia akan mengarungi hidupnya dengan mulus atau sebaliknya. Oleh karena itu, Erich From Fananie, 2001 : 180 berpendapat bahwa,
“Psikoanalisis mengkaji apakah sistem berfikir bersifat ekspresif bagi perasaan yang ia tampilkan atau hanya merupakan sebuah rasionalisasi yang tersembunyi di
balik sikap-sikapnya”.
2.2.4 Mimpi dan Fantasi dalam Konteks Analisis Sastra
Freud menggunakan “mimpi” dan “penafsiran” dalam teori psikoanalisis. Mimpi adalah alam bawah sadar yang dialami oleh siapa saja, termasuk dalam
khazanah sastra. Sering terjadi bahwa gambaran mimpi berhubungan dengan pikiran tersembunyi melalui hubungan analogis. Keseluruhan proses, figurasi,
kondensasi, pengalihan, dan simbolisasi, membentuk apa yang dinamakan Freud “pekerjaan mimpi” dan membantu menyamarkan hasrat yang tidak dapat terwujud
pada saat sadar sebab hasrat tersebut merupakan sasaran sensor. Menurut Endraswara 2008 : 209, “ Bahwa pemikiran psikoanalisis yang
perlu dicermati, antara lain sebagai berikut : a
Sendor, artinya yang menjelaskan semua metamorfosis yang tak dapat dielakkan oleh pikiran-pikiran mimpi.
b Proses sastra”.
Di dalam sendor, keadaan orang yang bermimpi seperti penulis yang terpaksa menyembunyikan pikirannya. Sensor yang terdapat dalam mimpi tersebut
mengekang penulis dan menghalanginya untuk menulis semaunya. Di dalam proses sastra yang dibicarakan adalah titik temu antara sensor
mimpi dengan suatu karya yang diciptakan oleh pengarang. Menurut Endraswara
Universitas Sumatera Utara
2008 : 210, “Dalam proses sastra juga akan terjadi delir. Delir yaitu gangguan kejiwaan yang menyebabkan penderitanya memberikan kepercayaan yang sama
besar pada ciptaan imajinasi, khayalan, maupun pada persepsi nyata, sehingga si penderita membiarkan kelakuannya dibelokkan atau diarahkan oleh apa yang
timbul dalam khayalannya”. Menurut Freud, psikoanalisis dapat dianalogikan dengan sastra
menghasilkan tiga bidang penelitian yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Psikoanalisis pengarang berhubungan dengan proses kreatif, psikoanalisis
pengarang berhubungan dengan masalah-masalah psikososia. Jadi, teori mimpi dan fantasi sebenarnya hanya dapat dikenakan kaidahnya pada karya sastra, tetapi
untuk kepentingan tertentu, teori mimpi dan fantasi itu dapat diterapkan pada karya sastra sebagai upaya mempelajari jiwa pengarang.
Universitas Sumatera Utara
BAB III STRUKTUR UMUM HIKAYAT INDRA JAYA PAHLAWAN
Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas unsur-unsur karya sastra dalam usaha menemukan makna karya yang
bersangkutan, penelitian struktur yang dimasukkan di sini adalah penelitian tentang tema, alur, latar, tokoh dan penokohan.
3.1 Ringkasan Cerita
Ringkasan cerita sangat berguna sekali bagi pembaca untuk memahami isi cerita. Menurut Gorys Keraf Roidah, 1993 : 46, “Ringkasan cerita Pricis
adalah suatu cara yang efektif untuk menyajikan suatu karangan yang panjang dalam bentuk yang singkat, maka ia merupakan suatu ketrampilan untuk
mengadakan reproduksi dari hasil-hasil karangan yang sudah ada”. Setelah membaca HIJP maka penulis mencoba memaparkan ringkasan ceritanya
sebagai berikut : Raja Bulia Kesna, yang memerintah Negri Syamsu Alam Bahrum Asyikin,
dan permaisurinya ingin sekali mempunyai anak. Mereka bertapa di istana. Setelah menjalani tapanya selama empat puluh hari empat puluh malam, mereka
bermimpi dalam tidurnya. Mimpinya adalah sebagai berikut. Ada seorang muda yang terlalu elok rupanya berkata, “Jika ingin mempunyai anak, raja dan
permaisuri harus pergi ke Gunung Baladewangga untuk mengambil dan memakan bunga butut dadu yang ada di tengah kolam”. Petunjuk itu mereka laksanakan.
Dengan diiringi menteri dan hulubalangnya, mereka pergi ke Gunung Baladewangga. Namun, pada waktu mereka sampai di lereng gunung itu
Universitas Sumatera Utara