Lalu bagaimanakah cara pengarang membangun watak para tokoh ini? Ada berbagai upaya yang akan ditempuh oleh seorang pengarang seperti yang
dikemukakan oleh Aminuddin 1987 : 80-81 yaitu, “Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya
dengan cara : 1.
Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya. 2.
Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian.
3. menunjukkan bagaimana perilakunya.
4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri.
5. memahami bagaimana jalan pikirannya.
6. melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya.
7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya.
8. melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi
terhadapnya. 9.
melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita yang memiliki peran masing-masing
baik berupa segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisik tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada di
dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada di dalam berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.
2.2.2 Teori Psikologi Sastra
Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yakni psyche dan logos. Psyche artinya jiwa, dan logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Kartono 1996 : 1,
“Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis jiwa manusia”. Secara etimologi menurut arti kata psikologi artinya ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya
Universitas Sumatera Utara
maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa Ahmadi, 1998 : 1. Sedangkan menurut Gleitman dalam Syah, 1995:8, “Psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan
berperasaan”. Dari beberapa defenisi tentang psikologi maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan dan tingkah laku seseorang sehingga memberi pengaruh yang baik dan buruk terhadap lingkungan
sekitarnya. Menurut Endraswara 2008 :93, “Psikologi adalah salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang objek studinya adalah manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna
“ilmu pengetahuan tentang jiwa” Walgito, 1985 : 7. Dimensi jiwa hanya ada dalam diri manusia. Ini berarti bahwa segala aktivitas dalam diri manusia berpusat
dari dimensi jiwa tersebut. Masalahnya adalah dimensi jiwa yang bagaimana dalam diri manusia tersebut? Apakah jiwa dalam konteks motif, inteligensi,
perasaan, fantasi atau jiwa dalam konteks kekuatan atau energi yang terdapat dalam diri manusia sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk
mempertahankan hidup, berpikir, berperasaan dan berkehendak. Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori
Freud, tetapi dia tidak seharusnya dikatakan sebagai pencetus teori. Hal ini dibuktikan adanya teori lain dalam penelitian psikologi sastra. Misalnya, teori
Gestalt dengan besastra model Trial and error, teori Skinner dengan psikologi Behaviour, teori Coleridge dengan teori Psikologi, Sastra, dan Organisme. Teori
Universitas Sumatera Utara
psikoanalisis Freud membedakan kepribadian menjadi tiga macam yaitu, Id, Ego, dan Super ego. Ketiga ranah psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian
psikologi sastra. Teori Freud tidak terbatas untuk menganalisis asal-usul proses kreatif yang
menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan sastra. Misalnya, dalam menghadapi seorang pasien untuk mengobati penyakitnya, seorang psikolog
melakukan dengan cara berdialog sehingga terungkap depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran bahasanya. Bahasa inilah yang
dianalisis sehingga menghasilkankesimpulan dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sastra.
Bahasa dalam sastra terdapat bingkisan makna psikis yang dalam. Maka, dalam memahami bahasa estetis menggunakan psikoanalisis. Teori Freud bisa
dimanfaatkan untuk mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang. Pada kenyataannya yang sangat dominan untuk diteliti adalah tokoh-
tokoh, tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar, dan unsur-unsur lain yang muncul
secara berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Pandangan Freud, asas psikologis adalah alam bawah sadar, yang
disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam
diri setiap orang. Tujuan dari psikologi sastra adalah untuk memahami karya sastra yang
mengandung aspek-aspek kejiwaan di dalamnya. Pemahaman terhadap suatu karya sastra tidaklah secara langsung diberikan kepada pembaca tetapi melalui
Universitas Sumatera Utara
pemahaman terhadap tokoh-tokoh yang ada dalam suatu karya sastra, pembaca dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain
yang terjadi dalam cerita tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan.
Menurut Ratna 2004 : 343, “Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu :
a Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
b Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam
karya sastra, dan c
Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca”. Menurut Jung Ratna, 2004 : 347 dalam tesisnya berpendapat
bahwa, manusia terdiri atas dua lapisan ketaksadaran, yaitu : a ketaksadaran personal dan, b ketaksadaran kolektif. Isi
ketaksadaran personal diterima melalui pengalaman kehidupan seseorang, sebagai material Ontogenesis, sedangkan ketaksadaran
kolektif diterima secara universal dan esential melalui species, sebagai pola-pola behavioural yang dikondisikan secara rasial
sebagai material Filogenesis. Bentuk ketaksadaran kolektif juga disebut arketipe, yang pada umumnya disamakan dengan
primordial.
Hal ini berbeda dengan klasifikasi penelitian psikologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren Ratna, 2004 : 348,
membedakannya menjadi : a psikologi sastra melalui analisis dunia kepengarangan, b psikologi sastra analisis tokoh-tokoh dan
penokohan, dan c psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra arketipe. Cara yang pertama, disebut sebagai kritik ekspresif sebab
melukiskan pengarang sebagai subjek individual. Cara yang kedua, disebut sebagai kritik objektif dengan memusatkan perhatian
kepada tokoh-tokoh, sebagai perwujudan karakterologi dan karakterisasi. Cara yang ketiga, disebut sebagai kritik arketipe
sebab analisis dipusatkan kepada eksistensi ketaksadaran kolektif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
psikologi sastra memberikan perhatian pada cara yang kedua yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra atau disebut juga sebagai kritik objektif. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khusunya manusia. Dalam hal ini Ratna 2004 : 343 berpendapat
bahwa, “Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra karena dalam diri manusia, sebagai tokoh-tokoh, aspek
kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan”. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya.
Secara defenitif psikologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansinya kejiwaan manusia. Dengan melihat kajian penelitiannya, psikologi
sastra dibagi menjadi tiga macam yaitu : a psikologi pengarang, b psikologi pembaca dan, c psikologi penokohan.
Kualitas suatu karya sastra dapat dilihat dari pengarangnya, bagaimana kejiwaan pengarang tersebut ketika menciptakan tokoh-tokoh dalam karyanya
sehingga ceritanya lebih menarik dan mudah dicermati pembaca. Menurut Wright Endraswara, 2008 : 141, “Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang
adalah mencermati sastra sebagai analog fantasi percobaan simtom penulis tertentu dan selanjutnya dapat memahami seberapa jauh fantasi bergulir dalam
sastra”. Menurut Endraswara 2008 : 145, “Sastrawan dapat dibagi dalam dua tipe
psikologis yaitu : a
Sastrawan yang “kesurupan” possesed yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan,
dan
b Sastrawan “pengrajin” maker, yang penuh ketrampilan,
terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab”.
Biasanya sastrawan yang memiliki tipologi “kesurupan” membuat suatu karya sastra yang sangat menarik karena pengarangnya memprioritaskan kualitas
dari pada kuantitasnya. Misalnya, karya Habiburrahman dalam novelnya yang
Universitas Sumatera Utara
berjudul Ayat-ayat Cinta. Meskipun tergolong sebagai sastrawan baru dan karyanya hanya sekali-kali keluar tetapi penjualannya dikategorikan sebagai Best
Seller hingga ke manca negara. Begitu pula sastrawan “pengrajin”, tampaknya sekedar mementingkan produktivitasnya, bukan kualitasnya. Misalnya, pengarang
yang mengikuti arah pengrajin menurut Endraswara yaitu, A.Y. Suharyono. Kira- kira pada tahun 2000-an, banyak bertaburan karyanya di media massa, seakan
kualitas dinomorduakan. Sastra dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat.
Pengaruh cepat merupakan daya keras yang secara spontan sehingga pembaca berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula pembaca akan meniru, tiba-tiba
pembaca secara drastis harus mengubah sikap dan wataknya hingga orang disekitarnya terperanjat. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda
tafsirnya. Dalam sastra ada beberapa gejala psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir yang beragam dan
akan memperkaya pesan. Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser Endraswara, 2008 : 161, “Yang paling esensial adalah bukan hanya
mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran”. Dalam hal ini perbedaan persepsi terhadap wacana sastra justru
akan memperkaya nilai sastra karena semakin menyebar keragaman makna, sastra tersebut dipandang lebih bagus.
Penokohan dalam suatu karya sastra adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Penelitian terhadap tokoh merupakan
bagian dari aspek intrinsikstruktur sastra. Namun, penelitian tokoh yang bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra. Yang dipelajari dalam
Universitas Sumatera Utara
psikologi penokohan adalah bagaimana kejiwaan tokoh yang ada dalam cerita sehingga terjadi suatu penyimpangan atau konflik antar tokoh. Dalam analisis
pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama. Sedangkan tokoh kedua, tokoh ke tiga, dan seterusnya kurang mendapat penekanan. Gejala psikologis yang
diderita oleh tokoh-tokoh dalam cerita berupa penyakit psikopat, neurosis, deviasif, dan kelainan jiwa lainnya. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu
saja diperlukan teori psikologi khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wright Endraswara 2008 : 184 bahwa, “Untuk mengungkap unsur-unsur psikologis
dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori psikologi”. Untuk itu teori psikoanalisis dianggap dapat disesuaikan dengan hal yang akan digali dari tokoh.
Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.
2.2.3 Hubungan Psikologis dengan Sastra