Kondisi Kehidupan Penyandang Cacat di Jepang

2.3 Kondisi Kehidupan Penyandang Cacat di Jepang

Sebelum perang tahun 1945, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat melindungi dirinya melalui bantuan sanak saudara atau belas kasihan dari tetangga sekitarnya. Beberapa orang yang tidak memiliki sanak saudara dan tidak memiliki pekerjaan, menerima bantuan dari yayasan-yayasan sosial swasta. Fasilitas bantuan masyarakat sungguh langka, dan kebanyakan yayasan sosial seperti usaha-usaha karitatif yang dilaksakan oleh berbagai organisasi keagamaan atau orang-orang dermawan, hampir-hampir tidak dapat bertahan dalam perjuangannya. Keadaan itu jauh lebih baik setelah perang, dan program kesejahteraan sosial didasarkan atas Lima Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, yaitu undang- undang kesejahteraan bagi anak-anak, orang-orang lanjut usia, penyandang cacat fisik, orang-orang lamban mental, ibu bersama anaknya yang tidak menerima nafkah dari ayahnya. Faktanya bahwa telah terjadi perubahan besar dalam hal bantuan itu setelah perang telah diatur undang-undang, meskipun fasilitas kesejahteraan dan hal-hal lainnya masih belum mencukupi. Disampaikan dalam Kongres Dunia ke-6 oleh Organisasi Penyandang cacat Dunia, di Saporo, Jepang bahwa pandangan masyarakat Jepang sendiri terhadap penyandang cacat sebenarnya tidak dapat ditafsirkan dengan jelas. Namun pandangan dan sikap masyarakat jepang terhadap penyandang cacat dapat dilihat dari persfektif budaya Jepang itu sendiri. Masyarakat Jepang menganut filsafat yang menganggap manusia dapat dirubah keadaan dan sifatnya melalui usaha orang lain atau usaha sendiri, meskipun dengan takdir apapun ia dilahirkan. Universitas Sumatera Utara Sesungguhnya takdir bisa diinterpretasikan sebagai sesuatu yang baik dan yang buruk, dan merupakan sesuatu yang bisa dirubah. Jika mengacu pada filsafat tersebut mestinya masyarakat Jepang tidak memiliki pemikiran-pemikiran yang sempit mengenai penyandang cacat. Karena pada kenyataannya masyarakat masih menganggap kecacatan sebagai suatu aib, sehingga penyandang cacat harus disembunyikan keberedaannya. Faktanya pandangan masyarakat Jepang terhadap penyandang cacat dari zaman sebelum perang dan sesudah Perang Dunia II ini menyebabkan diskriminasi pada mereka. Dilihat dari persfektif sosialnya, Jepang merupakan Negara yang menganut hubungan kelompok. Sama seperti Negara Asia lainnya, masyarakat Jepang menilai seseorang dari keterkaitannya pada lingkungannya. Misalnya pada tanggung jawab kelompok, yang memikul tanggung jawab penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Sebagai refleksi inilah, seorang penyandang cacat bisa tersosialisasi bahwa kelompok keluarga akan memenuhi segala kebutuhannya karena mereka berkewajiban memelihara anggota kelompoknya. Hal ini yang menyebabkan seorang penyandang cacat “menerima” apa yang disediakan tanpa mengeluh dan enggan mengungkapkan keinginannya dan kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari konflik atau tekanan dari warga lainnya. Hal inilah yang banyak menyebabkan masyarakat menginterpretasikan orang cacat adalah individu yang lemah, dan harus dibantu dan dikasihani. Berdasarkan Konvensi Internasional Penyandang cacat dijelaskan bahwa kecacatan berarti apapun kesulitan yang dialami, karena lingkungan sosial yang membutuhkan tingkat kemampuan dan keterampilan tertentu, tanpa Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan kelainan yang menyangkut cedera atau sakit. Penyandang cacat berarti orang yang mempunyai atau mengalami kesulitan dalam hidup, dalam waktu jangka panjang atau cacat masa depan. Orang cacat berarti orang- orang dalam situasi atau kondisi kurang beruntung dibandingkan orang yang tidak cacat. Sementara itu diskriminasi terhadap penyandang cacat berarti situasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau konteks lain yang berkaitan dengan kondisi kehidupan, dimana hak gerak dalam kehidupan sosial terbatas karena kelainan fisik dan psikologis. Di Negara Jepang, keberadaan penyandang cacat merupakan satu bagian intergritas dalam masyarakat. Dengan keterbatasan, mereka harus tetap menjalankan kehidupan sosialnya. Hal ini menyangkut kehidupan penyandang cacat disegala aspek kehidupan. Segala aktifitas penyandang cacat ini didukung dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mempermudah akses kehidupan mereka. Sejak Perang Dunia II, 60 ribu penyandang cacat di kota-kota terbatas aktivitasnya karena keterbatasan fasilitas pendukung hidup. Pada tahun 1994 para penyandang cacat mulai membuat suatu lembaga pusat komunitas yang dinamakan Pusat Masyarakat Penyandang Cacat. Lembaga ini merupakan tempat rehabilitasi penyandang cacat. Sebagian orang menganggap rehabilitasi justru akan memisahkan penyandang cacat dari kehidupan sosial masyarakat. Jadi rehabilitasi bukanlah solusi terbaik mengatasi masalah hidup penyandang cacat. Untuk menunjang kebutuhan penyandang cacat tanpa melupakan bahwa penyandang cacat perlu menjalin hubungan dengan sesama individu lainnya untuk dapat bersosialisasi di dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan Universitas Sumatera Utara yang lebih arif tanpa melupakan pentingnya sosialisasi dalam masyarakat bagi penyandang cacat. Para penyandang cacat dengan keterbatasannya mengalami kesulitan menjalankan fungsinya sebagai individu dalam suatu masyarakat. Banyak ketidaknyamanan yang timbul saat mereka beraktivitas di lingkungan sekolah, tempat bekerja, dan tempat-tempat publik lainnya. Keterbatasan dan ketidaknyamanan itu yang membuat penyandang cacat enggan bersosialisasi dan berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat. Di tahun 2001 banyak berdiri pelayanan-pelayanan publik bagi penyandang cacat, baik itu swasta maupun milik pemerintah. Hal ini menukjukkan perhatian masyarakat terhadap para penyandang cacat, agar keberadaan mereka tidak lagi dianggap sebagai komunitas yang terabaikan dan sebagai penunjang bagi kesejahteraan hidup mereka dan sebagai satu integritas kehidupan bermasyarakat dalam segala bidang, sehingga diharapkan penyandang cacat memiliki kesempatan dan persamaan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang. Beberapa kesempatan yang ditawarkan pemerintah Jepang terhadap para penyandang cacat dari tahun ke tahunnya mengalami perbaikan, meliputi aspek:

1. Pendidikan

Sejak tahun 1972, telah ditetapkan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat di Jepang selama 4 tahun. Kemudian pada tahun 1907 menjadi wajib belajar 9 tahun, dan pada tahun 1910 tercatat pelaksanaannya mencapai 98. Sementara itu sesudah Perang Dunia II pemerintah Jenag membuat pendidikan khusus bagi Universitas Sumatera Utara orang-orang cacat. Pelaksanaannya seluruhnya dikerjakan oleh pemerintah kota dan provinsi. Pada tahun 1976 pemerintah Jepang mengalokasikan dana pendidikan lebih dari 9 triliyun yen dan 2 dari dana itu diperuntukkan bagi pendidikan khusus bagi penyandang cacat. Pada tahun 1979 dibuat peraturan pemisahan antara pendidikan khusus dengan pendidikan khusus dan wajib bagi sekolah menengah umum yang terdapat penyandang cacat untuk memisahkan anak-anak cacat tersebut. Sekolah-sekolah pelatihan bagi penyandang cacat dibuat di jantung kota. Sekolah pelatihan khusus tersebut merupakan sekolah pelatihan khusus yang mendukung pendidikan bagi anak-anak cacat yaitu bagi anak-anak buta dan juga anak-anak tuli. Namun pendidikan khusus ini jenis pendidikannya memiliki perbedaan dari sekolah umum. Pendidikan bagi penyandang cacat di Jepang sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun, hal ini dijamin oleh konstitusi Jepang. Kurikulum yang hingga kini masih menuju perbaikan-perbaikan yaitu kurikulum pendidikan berdasarkan persamaan. Salah satu program kurikulum tersebut adalah kunjungan kelas-kelas biasa. Dengan adanya program ini para penyandang cacat dapat memiliki kesempatan untuk menghadiri kelas-kelas biasa. Selain itu pendidikan inklusif bagi penyandang cacat akan terus dilaksanakan.

2. Pekerjaan

Kesempatan pekerjaan bagi penyandang cacat diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Penyandang Cacat. Isinya mengatur hak-hak serta larangan diskriminasi dalam pekerjaan. Kesempatan bekerja bagi penyandang Universitas Sumatera Utara cacat dibuka sesuai ketentuan-ketentuan. Penyandang cacat juga memiliki hak untuk bergabung dalam serikat pekerja. Pelatihan-pelatihan kerja bagi penyandang cacat adalah program yang dibuat untuk membekali keahlian bagi penyandang cacat. Pekerja dengan kondisi cacat yang bekerja dibebaskan dalam pungutan pajak pendapatan. Undang-undang tersebut juga mengatur jumlah persentase penerimaan jumlah pekerja cacat yang bekerja di beberapa instalasi. Ketentuan persentase tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan swasta, 1,8 dari seluruh jumlah karyawan 2. Koperasi, 2,1 dari seluruh jumlah karyawan 3. Negara dan Pemerintah Daerah, 2,1 dari keseluruhan jumlah karyawan yang bekerja dalam setiap bidang-bidangnya. 4. Dewan Pendidikan dan Prefektur, 2 dari seluruh jumlah karyawan yang bekerja di setiap bidang. Kemudian untuk mencegah hal-hal diskriminasi dalam pekerjaannya terhadap para penyandang cacat, pemerintah Jepang juga membuat larangan diskriminasi dalam hal pekerjaan bagi penyandang cacat. Larangan diskriminasi tersebut adalah: 1. Penolakan atas pengangkatan atau pemberhentian penyandang cacat atas dasar kecacatan yang di deritanya 2. Melakukan hal yang merugikan pada penyandang cacat atas kondisi atau lingkungan kerja, gaji, dan promosi. 3. Membatasi akses ke kualifikasi tertentu atau membatasi aplikasi bagi kesempatan penyandang cacat untuk tetap bisa bekerja. Universitas Sumatera Utara

3. Fasilitas Publik

Untuk mendukung aksesibilitas penyandang cacat pada tahun 1973 pemerintah daerah Tokyo pertama kalinya membuat kebijakan Machida, yaitu Tokyo sebagai kota bebas hambatan, yang sekarang merupakan kota Pusat Hidup Mandiri. Kota bebas hambatan dengan rancangan, dimana semua sisi publik kota bisa dilalui oleh penyandang cacat dengan mudah dan nyaman. Program Bebas Hambatan ini terus berkembang hingga saat ini. Sebab di dalam Undang-Undang tercantum bahwa hak atas kebebasan bergerak. Program Bebas Hambatan yaitu, penyediaan fasilitas dan transportasi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, sehingga mempermudah akses hidup penyandang cacat, yaitu antara lain; 1. Desain arsitektur yang tidak mempersulit penyandang cacat meliputi, jalan dan trotoar yang bisa dilalui penyandang cacat yang menggunakan kursi roda dan orang buta. 2. Akses keluar masuk bangunan-bangunan publik, seperti lift yang bisa dipakai oleh pengguna kursi roda. 3. Sarana-sarana transportasi umum seperti bus, kereta api, terminal, bandara, pelabuhan misalnya pengadaan bus Machida tahun 1972, dimana di dalam bus tersebut penyandang cacat bisa tetap berada di atas kursi roda. Sarana pendukung di terminal, misalnya mesin penjual tiket yang khusus di pakai oleh penyandang tuna netra buta. 4. Fasilitas umum, seperti telepon umum, toilet di tempat umum, dan lain sebagainya. 5. Bantuan pemerintah berupa, kredit perumahan jenis bebas hambatan dengan peralatan didalamnya sesuai yang dibutuhkan penyandang cacat. Universitas Sumatera Utara Selain itu pada tahun 1984, pemerintah juga telah memperbaharui cetakan alat tukar resmi yaitu uang dengan menambahkan tanda khusus pada cetakan uang kertas bagi para tuna netra untuk mengidentifikasi nilai mata uang yang tertera dan untuk mengidentifikasi keasliannya. Sebelumnya pada tahun 1974, pemerintah membuat kebijakan dalam penyiaran, agar setiap stasiun berita diharuskan memakai peraga bahasa untuk mereka yang mengidap cacat tuli tuna rungu di setiap siaran-siaran televisi.

2.4 Peranan Ibu di Jepang Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak- Anaknya