BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan hal yang sangat rumit. Namun, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Itu sebabnya diibaratkan,
kecuali tidur dan mengunyah makanan, hidup ini hampir-hampir tidak bebas [lepas] dari bahasa. Bahkan dalam tidurpun ada orang yang bicara, kalau bukan
bermimpi berbincang dengan orang lain. Bahasa kemudian bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh. Melalui bahasa kita dapat mengatur perilaku orang lain.
Misalnya, dengan teriakan ‘Bapak’ seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan dengan mendekatinya. Melalui aba-aba ‘maju, jalan’
seorang sersan dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah-langkah tegap. Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-
kata Sobur, 2004:272. Bahasa juga memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa
yang disampaikan. “Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas, bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas” Spradley dalam Sobur,
2004:273. Sebab pada mulanya, hakikat bahasa adalah bahasa tutur. Jadi, kunci terakhir untuk membuka hakikat bahasa adalah komunikasi. Kata komunikasi
mencakup makna mengerti dan berbicara, mendengar dan membalas tindak. Kesemua tindakan dan peristiwa bahasa ini bisa berobjek peristiwa masa silam,
hari ini, dan esok lusa. Berarti kita mesti lebih memusatkan perhatian kepada
Universitas Sumatera Utara
dinamika hubungan antara bahasa dengan penuturnya; antara bahasa dengan komunitas bangsa yang menjadikannya sebagai komunikasi simbolik.
Komunikasi dengan mempergunakan bahasa bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya, maka bahasa mempunyai fungsi sebagai
berikut : 1.
Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia dalam pergaulan. 2.
Untuk tujuan artistik, yaitu tatkala manusia mengolah bahasa guna menghasilkan ungkapan yang seindah-indahnya, seperti dalam cerita,
kisah, syair, puisi, gambar, lukisan, musik, dan pahatan-pahatan. 3.
Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah-naskah kuno, latar belakang sejarah, kebudayaan, adat istiadat manusia, serta
perkembangan bahasa. 4.
Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Keraf, dalam Sobur, 2004:303-304
Oleh karena itu, bersumber dari bahasa sebagai komunikasi, maka karya sastra memakai kata-kata yang sedemikian rupa guna memaksimumkan daya gunanya
sebagai karya seni yang indah dan kreatif. Memuat bahasa ke dalam tulisan untuk dapat berkomunikasi secara tidak langsung antara penulis dan pembaca
pendengar. Hal ini sesuai dengan 3 fungsi bahasa lainnya, yaitu: 1.
Fungsi Idesional : bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan dan menginterpretasikan pengalaman dunia.
2. Fungsi Interpersonal : bahasa berfungsi sebagai pengungkapan sikap
penutur dan sebagai pengaruh pada sikap dan perilaku penutur.
Universitas Sumatera Utara
3. Fungsi Tekstual : bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengkonstruksi dan
menyusun sebuah teks teks adalah contoh bahasa lisan dan tulisan, Halliday, dalam Leech, 1993:86.
Kemudian terkait dengan fungsi bahasa di atas, maka sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu
mengungkapakan aspek estetik baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sebab dalam karya sastra, sarana-sarana bahasa
dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengan sengaja disebabkan karena bahasa merupakan media utama karya sastra yang mempunyai kekhasannya
sendiri yang diciptakan oleh pengarangnya. Kemudian, Fananie 2000:3-4 mengatakan bahwa makna sastra,
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta “shastra, sastra”, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas-shas-
yang berarti ”memberi petunjuk atau instruksi”, “ajaran”, dan “mengarahkan”, sedangkan tra berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata sastra
pada umumnya digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula
merujuk kepada semua jenis tulisan, [baik] itu indah atau tidak, tertulis atau sastra lisan sastra oral. Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Selain itu, sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan,
keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapan. Sastra terdiri atas 3 jenis,
Universitas Sumatera Utara
yaitu : 1 puisi, 2 prosa, dan 3 drama. Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi.
Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Jenis yang termasuk ke dalam karya sastra prosa, antara lain, 1 cerita pendek cerpen, 2 novel, dan 3
roman. Di antara genre sastra, yaitu : puisi, prosa, dan drama, genre prosa khususnya novel yang di anggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur
sosial dan banyak digunakan sastrawan sebagai wadahnya untuk lebih bebas mengekspresikan kehidupan sosial suatu masyarakat dan lebih luas menyajikan
masalah-masalah kemasyarakatan. Ini disebabkan karena novel menawarkan dunia yang padu. Novel
merupakan dunia dalam skala lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling
terjalin. Sementara itu, sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaan. Semua itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya
ataupun tercermin dealam karya sastranya. Sebab, karya satra itu mencerminkan masyuarakatnya dan secara tidak terhindar dipersiapkan oleh keadaan-keadaan
masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Menurut Tarigan 1990:164 novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif
dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata yang respentif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang
agak kacau atau kusut. Hal ini berarti di dalam sebuah novel berceritakan kisah nyata tentang suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Nursisto 2000:168 mengatakan bahwa novel adalah media penuangan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam merespon
Universitas Sumatera Utara
kehidupan di sekitarnya. Ketika didalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita.
Novel juga ada di dalam karya sastra Jepang, yang dikenal dengan sebutan Shousetsu. Menurut Takeo dalam Yulita 2005:2, menyatakan bahwa
pengertian shousetsu adalah novel yang timbul sebagai sesuatu yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari di masyarakat, meskipun
kejadiannya tidak nyata. Tetapi itu merupakan sesuatu yang dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan sehari-hari. Novel lebih
menitikberatkan kepada tokoh manusia peran di dalam karangannya daripada kejadiannya dan keseluruhannya mengambil bentuk yang disebut dengan ciptaan
dunia berdasarkan kepada perbedaan individu. Karya sastra tercipta karena adanya luapan perasaan dari pengalaman
hidup yang disampaikan pengarang ketengah-tengah masyarakatnya Siregar, dalam Sriwati, 2006:1. Pengalaman hidup yang dituangkan dalam karya sastra
bukanlah pengalaman yang murni lagi. Tetapi ada juga pengalaman pribadi pengarang yang dituangkan dalam karya sastra karena pengalaman hidup tersebut
dapat berguna kelak bagi pembaca karya sastra tersebut. Pengalaman hidup tersebut sampai kepada pembaca sesudah melalui saringan pribadi pengarangnya.
Umumnya yang disampaikan sastrawan adalah gambaran dirinya sendiri. Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas suatu bentuk karya
sastra dari genre prosa yaitu novel yang berjudul “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue dari sudut pandang pendekatan
pragmatik. Pradopo 2000:41 mengatakan, bahwa pendekatan pragmatik mereaksi karya sastra itu hanya tiruan alam saja. Yang penting dalam sastra
Universitas Sumatera Utara
adalah menyampaikan pendidikan kepada pembaca, pendengar, atau penonton audience. Tiruan alam dalam sastra itu demi tujuan pendidikan. Dengan
demikian, karya sastra ditafsirkan sebagai alat untuk mendidik. Jika ditilik dari pendekatan pragmatik, maka novel “Hiduplah Anakku Ibu
Mendampingimu” akan memiliki citra yang berbeda-beda dari tiap-tiap pembaca. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pandangan antara pembaca satu
dengan pembaca yang lainnya, adakalanya pembaca memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang menggunakan sudut pandang ini akan mengatakan
pendapatnya secara objektif dan mengacu pada interpretasinya sendiri sehingga terkadang akan muncul pendapat bahwa novel ini adalah suatu karya yang indah,
dilihat dari struktur penyampaiannya atau penulisannya. Sedangkan jika pembaca memandang novel ini dari segi pragmatik dan
menilainya dari sudut pendidikan atau edukasi, maka akan mendapatkan suatu nilai pembelajaran yang baik dari penokohan utamanya yaitu Michiyo Inoue.
Dimana Michiyo Inoue memberikan suatu solusi pandangan cara mendidik untuk anak cacat seperti halnya anaknya sendiri. Nilai hidup, menghargai, serta edukasi
merupakan beberapa hal yang diungkapkan Michiyo Inoue dalam novel ini. Namun, selain itu juga di dalam novel ini terdapat pula hal yang dianggap
memberikan citra yang kurang baik bagi dirinya sendiri yaitu, karena adanya penyimpangan norma atau moral di masyarakat yang dilakukan oleh Michiyo
Inoue, misalnya saat dimana sang tokoh Michiyo Inoue hamil dengan lelaki yang belum pernah menikahinya atau dengan kata lain dia hamil di luar nikah dan di
dalam cerita novel ini ada penolakan dari orang tua lelaki tersebut dan menganggap Michiyo sebagai wanita murahan dan mereka mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
anak yang dia kandung buah hasil hubungan terlarangnya dengan lelaki yang bernama Tsutomu itu adalah anak haram. Ini menandakan bahwasannya si tokoh
utama seakan tidak mengindahkan norma dan susila pada saat itu. Hal ini menyebabkan novel ini tidak memperoleh citra baik dari pembaca yang melihat
karya sastra ini dari sudut pandang pendidikan atau edukasi. Namun, ada hal yang dapat diambil sebagai suatu bahan pendidikan disini
yaitu nilai kejujuran dan tanggung jawab. Bukan nilai pelanggaran norma dan susila yang ia lakukan. Disini Michiyo membuka dirinya kepada pembacanya
yang mungkin dianggap sebagian besar orang adalah tindakan salah dan tabu di masyarakat. Namun dengan kebukaan dirinya didalam novel ini pembaca dapat
mengetahui hasil akhir dari tindakannya yaitu tanggung jawab yang besar terhadap anaknya. Melalui nilai kejujuran ini Michiyo Inoue mencoba membuka
pikiran para pembacanya agar jangan salah bertindak terhadap suatu hal karena akan berakibat buruk kelak bagi diri sendiri. Ibarat pepatah ‘siapa yang menabur
benih dia yang akan menuai hasilnya kelak’. Pandangan inilah yang sebenarnya yang ingin disampaikan kepada para pembaca novelnya, bukan mengenai suatu
hal pelanggaran mengenai norma dan susila yang Michiyo Inoue ceritakan dalam novelnya.
Hal pandangan baik tersebut yang menjadi fokus telaahan dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” dengan dilihat dari segi pragmatik
yaitu, bahwa lewat novel ini pembaca dapat mengambil pelajaran dari penokohan Michiyo Inoue yang ada didalam novel ini. Michiyo tidak hanya menekankan
nilai pendidikan tapi juga rasa sayang dan juga kesabaran yang tercermin dari kehidupannya sehari-hari bersama anaknya Miyuki. Nilai pengorbananpun tersirat
Universitas Sumatera Utara
dan tersurat dalam novel ini. Seperti diketahui, kebiasaan seorang ibu dalam membesarkan anaknya adalah memberikan hal yang terbaik bagi sang anak
walaupun harus berkorban segalanya dan menghabiskan apa saja yang ia miliki. Hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi penulis untuk menganalisis
penokohan Michiyo Inoue dalam novel yang merupakan karyanya sendiri
“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” dengan melihatnya dari segi pragmatik,
agar penulis dapat mengetahui setiap makna indeksikal yang ada dalam novel ini. Serta penulis ingin membuktikan bahwa cerita novel ini memiliki nilai-nilai,
tujuan, dan makna yang patut kita pelajari yang bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah