Sanksi Bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana
d. Acara pemeriksaan sidang anak dilakukan secara tertutup demi
kepentingan anak sesuai dengan pasal 8 ayat 1 Undang-undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
e. Pemeriksaan sidang anak dilakukan dalam suasana kekeluargaan sesuai
dengan pasal 42 ayat 1 Undang-undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, oleh sebab itu para aparat penegak hukum yang
menangani pemeriksaan perkara anak tidak diperkenankan memakai pakaian dinas.
f. Pemeriksaan sidang anak dilakukan oleh Hakim tunggal sebagaimana
tercantum dalam pasal 11, 14 dan 18 Undang-undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak baik pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi maupun pada tingkat Kasasi. Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum pernah kawin. Namun hal
berbeda ditunjukkan dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung jawab atas
perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 tujuh belas tahun. Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur bahwa: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua
puluh satu tahun dan belum pernah kawin. Usia 21 dua puluh satu tahun tersebut adalah usia di mana anak telah dianggap memiliki kematangan sosial,
kematangan pribadi, dan kematangan mental, sehingga seseorang yang telah berusia melebihi 21 dua puluh satu tahun dianggap telah dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa: Anak didik pemasyarakatan
baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun dan untuk anak
sipil guna dapat ditempatkan di lapas anak maka perpanjangan penempatannya hanya boleh paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun.
Ketentuan batasan umur tersebut identik dengan ketentuan yang terdapat dalam “Convention on The Rights of The Child” Konvensi tentang Hak-hak
Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989. Berdasarkan Pasal 171 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, batasan umur anak yang dapat diperiksa sebagai saksi di pengadilan tanpa
sumpah ialah yang memiliki batasan umur di bawah 15 lima belas tahun dan belum pernah kawin.
Namun, dirumuskan lebih lanjut lagi dalam Pasal 153 ayat 3 KUHAP bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat menentukan anak yang belum
mencapai umur 17 tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. Hal-hal tertentu tersebut merupakan hal yang dapat dipertimbangkan oleh hakim
dan dirasa memang perlu untuk dipertimbangkan sebagai alasan agar anak tersebut boleh untuk tidak mengikuti proses persidangan.
Berdasarkan konvensi
yang dilakukan oleh ILO International Labour Organitation No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang telah disahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 kategori syarat khusus anak
yang telah ataupun belum kawin juga tidak diatur. Undang-undang ini merumuskan bahwa anak adalah semua orang yang berarti siapa saja yang
berusia di bawah 18 delapan belas tahun. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur
batasan usia seseorang masih dapat dikategorikan sebagai anak yakni 16 enam belas tahun untuk perempuan dan usia 19 sembilan belas tahun untuk laki-laki
dan belum pernah kawin. Jadi, berapapun usia seseorang yang berusan dengan hukum, apabila ia telah menikah, maka ia telah dianggap dewasa menurut
Undang-undang ini. Bukan hanya itu, penjelasan mengenai kriteria usia yang masih dapat digolongkan sebagai anak juga dijelaskan menurut hukum adat dan
yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kendatipun hukum adat tidak menyebutkan secara eksplisit adanya keseragaman batasan umur untuk
anak. Namun, berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 53 KSip1952 tanggal 1 Juni 1955 yang berorientasi pada hukum adat
di Bali dapat kita tarik kesimpulan bahwa batasan umur anak adalah di bawah 15 lima belas.
Dirumuskan pula bahwa seorang anak hanya boleh dijatuhkan pidana bila telah mencapai umur 8 delapan tahun saja. Bagi anak yang melakukan
tindak pidana sedangkan usianya belum mencapai 8 delapan menurut Pasal 5 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Pengadilan Anak, dapat dibina oleh orang
tua, wali, atau orang tua asuhnya atau diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Menurut Wagiati Soetodjo 2005:7, proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan paralesitas
perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut, antara lain:
a. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 nol sampai dengan 7tujuh tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa
perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi tubuh, kehidupan emosional, bahasa anak, masa kritis pertama tumbuhnya
seksualitas awal pada anak, b. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 tujuh sampai 14 empat belas
tahun disebut sebagai masa kanak-kanak yang terdiri ats dua periode yaitu masa anak sekolah dasar dimana pola intelektual diawali dari keluarga,
masyarakat, lingkungan sekolah, dan seterusnya, serta masa remaja pra- pubertas awal atau pueral dimana pada periode ini terdapat kematangan
fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar,
canggung, berandal, kurang sopan, dan liar. Sejalan dengan perkembangan fisik, perkembangan intelektual pun semakin berkembang sehingga minat
pada pengetahuan dan pengalaman baru pada dunia luar sangat besar. c. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 empat belas sampai 21 dua
puluh satu tahun, yang dinamakan masa remaja, dlaam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan
masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Perubahan besar yang dialami anak membawa pengaruh pada sikap dan tindakan yang lebih agresif pada
anak. Ketiga fase di atas merupakan fase yang perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan sebelum memutus suatu perkara atau tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak. Sebab, berdasarkan penggolongan fase tersebut,
kemungkinan seorang anak melakukan suatu tindakan yang dapat diancamkan hukuman pidana sangat lah berpengaruh. Anak yang dikenai ancaman pidana
sering disebut dengan anak nakal. Dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, dirumuskan bahwa
anak nakal adalah: a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengertian anak yang digunakan dalam skripsi ini yakni dalam kasus
anak sebagai pelaku tindak pidana didasarkan pada pengertian anak menurut Undang-undang Pengadilan Anak. Namun dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1PUU-VII2010 menyatakan bahwa dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak yakni 12 dua
belas tahun tetapi belum mencapai 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin.