Kemampuan Bertanggungjawab Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction.” 68 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, 69 menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggung- jawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu. 70 Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya. 71 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. 72 68 Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cetakan Kedua Mandar Maju, Bandung. 2000, hal.65 69 Romli Atmasasmita.Ibid, hal. 76 70 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cetakan Keempat, Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta, 1996, hal. 245 71 Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987, hal.75 72 Ibid , hal. 75 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 73 Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, 74 yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. 75 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran – ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : 73 Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal.31 74 Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy ed.…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal. 41-42 75 Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana Tijauan terhadap pasal 44 KUHP,” dalam Andi Hamzah ed., Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 78 1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa. 3. Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri. 76 Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 tiga syarat, yaitu : 1 dapat menginsafi mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan, 2 dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, 3 mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi. 77 Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. 78 Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu : 1 kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; 2 kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 79 Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan 76 R. Soesilo Ibid, hal. 60-61 77 Sutrisna, I Gusti Bagus , Op.cit, hlm.79 78 Ibid, hal. 79 79 Sutrisna, Ibid. hal 83 antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran. Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam pasal- pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya. 80 Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk di anggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, menurut Roeslan Saleh hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, menurut Roeslan Saleh, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, menurut Roselan Saleh, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak di pidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak di pidana. 81 Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan yang secara tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hukum pidana karena 80 Roeslan Saleh,“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana” dua pengertian dalam Hukum Pidana” Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal.83 81 Roeslan Saleh ,Ibid, hal. 84 telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum apabila dalam diri orang itu terdapat kesalahan. Apabila dalam diri orang itu tidak ada kesalahan, maka terhadap orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana 82 b. Konsep dan Perumusan Kemampuan Bertanggung Jawab dalam KUHP Apabila dilihat secara cermat, maka terlihat bahwa KUHP tidak memberi batasanpengertian tentang apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab. Secara formal-konseptual KUHP tidak memberikan batasan atau pengertian tentang persoalan tersebut. KUHP hanyalah memberikan batasan kapan dalam diri seseorang itu dianggap tidak ada kemampuan bertanggungjawab, tidak memberi batasan kapan dalam diri seseorang itu dianggap ada kemampuan bertanggung-jawab. c. Beberapa keadaan jiwa yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung- jawab Berkaitan dengan masalah bertanggungjawab selain adanya keadaan jiwa sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menjadi alasan untuk tidak dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas perbuatannya, juga terdapat beberapa keadaan jiwa yang tidak diatur dalam KUHP yang di dalam praktek hukum juga berhubungan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab 83

B. Penyidangan Perkara Tindak Pidana Anak Sesuai Pasal 340 KUHP

Defenisi anak secara nasional pada hakikatnya dapat dinilai berdasarkan batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Menurut hukum internasional, defenisi anak dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Pengertian anak menurut konvensi tersebut adalah setiap orang yang belum berusia 18 delapan belas 82 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Prespektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 225. 83 Ibid hal. 223 tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaannya diperoleh lebih cepat. Pengertian anak juga tertuang dalam hukum nasional di Indonesia. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, berdasarkan pengertian tersebut anak yang masih berada dalam kandungan juga telah berhak atas perlindungan hukum. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa minderjarigperson under age, orang yang dibawah umur keadaan di bawah umur minderjarig heid inferiority atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali minderjarige under voordij. Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang- undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum Pernah kawin 84 . Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997btentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 84 Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal.5.

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Analisis Kriminologi Dan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No. 1203 / Pid.B / 2006 / PN.MDN)

4 83 81

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Analisis Yuridis Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Percobaan Pencurian dengan Pemberatan (Putusan Nomor : 87 / Pid.B / 2012 / PN.GS

0 7 8

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

0 3 38