Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Pustaka
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Pidana adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, dsb
29
. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya
dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi
pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana
30
. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak
pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam
hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan itu: “orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu
melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela kareananya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat padahal mampu mengetahui makan jelek perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dialkukan.
Penjelasan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.”
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai
kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.”
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1006
30
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 155
Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi,
manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak di pidana. Asas yang tidak
tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.
31
Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif
terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Dengan
demikian nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat
bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak
pidana.
32
Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan
adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas”tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan
pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia
mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban
pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur
suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur
mental dalam tindak pidana.
33
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai
31
Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75
32
Ibid, hal .76
33
Chairul Huda, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta, hal 4
faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit
rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea
merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena
melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.
Dengan demikian,
mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan
pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan
asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Bertitik tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan
yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah
persoalan lain.
34
Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,
walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu
tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.
35
Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena
melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak
pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan
34
Chairul Huda, Ibid, hal. 5
35
Chairul Huda, Ibid, hal. 6
pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam
pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik
hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama
dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari
teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan. Seseorang
mempunyai kesalahan,
apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya,
sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif
menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang
dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari terdakwa, tetapi
bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.
Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela verwijbaarheid dan dapat dihindari vermijdbaarheid perbuatan yang dilakukan
36
. Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya
dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini
dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si
pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum.
36
Prof.Mr.Roeslan Saleh,Op.Cit,hal.77
Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe,
kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons
mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian
rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.
37
Jadi yang harus diperhatikan adalah :
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu. b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Kedua hal
inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya
terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan
batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung
jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf,
sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya
dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau
kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu
bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan
terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada
kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur
37
Ibid, hal.78
kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya
terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan di atas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa
dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum
positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan
karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP,
maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab
dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak
mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.
Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung-jawab itu harus memenuhi 3 tiga syarat, yaitu :
38
a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya. b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur
dalam pergaulan masyarakat. c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
38
Ibid, hal. 80
KUHP memberikan defenisi ketidakmampuan bertanggung jawab ditandai oleh salah satu dari dua hal yaitu jika cacat atau jiwa yang terganggu karena
penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa. Sehingga padanya tidak
memenuhi persyaratan untuk diperiksa. Dengan kata lain seseorang dipandang bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tertentu. Maka dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung- jawaban yaitu kemampuan seseorang utnuk menerima resiko dari perbuatan yang
diperbuatnya sesuai dengan undang-undang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai
dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki
oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
6.
Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak
memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi selaras, dan seimbang.
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa minderjarig person under age, orang yang dibawah umurkeadaan
dibwah umur minderjarig heid inferiority atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali minderjarige under voordij.
Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum
dewasa.
39
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah
18 delapan belas tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut
hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan
Anak merupakan
seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu
ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.
Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya
disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah.
Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tampat, waktu dan
untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat
pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Menurut R.A Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang
masih muda dalam umur, muda jiwa dan pengalaman hidupnya karena lingkungan sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang belum
39
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1990, hal.50.
dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental dan fisik yang belum dewasa.
40
Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara
Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 sepuluh tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau
mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 delapan belas tahun
41
Di negara Inggris, definisi anak dari nol tahun sampai 18 delapan belas tahun, dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas
dan pola pikir anak-anak childhood dan dewasa adulthood. Interval tertentu terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan
skill dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan adulthood.
42
Perbedaan pengertian anak pada setiap Negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh social perkembangan anak di setiap Negara.
Aktifitas sosial dan budaya serta ekonomi disebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.
43
Menurut Nicholas McBala dalam bukunya Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.
Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.
44
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan
hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Pasal 1 ayat 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
40
Ibid, hal.50.
41
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refki Aditama, Bandung, 2009, hal. 34-35.
42
Ibid, hal. 35
43
Ibid, hal. 36
44
Ibid, hal. 37
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum pernah kawin. Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
dimaksud dengan anak nakal adalah: a.
Anak yang melakukan tindak pidana, atau b.
Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
selanjutnya disingkat dengan Undang Undang Pengadilan AnakUUPA. Ketentuan pasal 1 angka 1, pasal 2 angka 2 dan 2b menyatakan secara jelas status
dan kedudukan anak yang menyebutkan bahwa : Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah
kawin.
45
Pasal 1 angka 2a UU Pengadilan Anak a.
Anak yang melakukan tindak pidana atau b.
Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak anak yang
harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah kurang dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan dari
bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang
45
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 16
kejahatan dan pelanggaran pidana untuk membuat kepribadian dan tanggungjawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak
dan masa depan yang lebih baik. UU Pengadilan Anak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Batas usia anak memberikan pengelompokkan terhadap
seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokkan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak
dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas
dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak pada pasal 1 angka 1 yaitu :
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis
kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan
suatu anugerah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal.