Masalah Yang Timbul

C. Masalah Yang Timbul

1. Perang Jamal (Unta) Setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah, gerom-

bolan pemberontak kembali ke negerinya masing-masing. Pada saat bersamaan peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman telah menjadi inti pembicaraan di sebagian wilayah Islam. Pada saat itu kota Madinah sangat rawan.

Zubair dan Thalhah menuntut agar khalifah Ali segera mengusut dan menghukum pembunuh khalifah Utsman.

Ali Bin Abi Thalib Dalam masalah ini khalifah Ali sangatlah mempertimbangkan

kondisi politik Islam khususnya di wilayah seperti Basrah, Kufah dan Mesir, sehingga ia menolak tuntutan tersebut, tapi ia berjanji akan menyelesaikan setelah ia berhasil mengembalikan kondisi damai dalam negeri. Sebab mengambil tindakan cepat untuk mengusut pembunuhan khalifah Utsman sama artinya dengan memperkeruh kondisi politik dalam negeri, karena pembunuhan tersebut tidak hanya sekedar melibatkan sejumlah kecil individu yang dapat mudah diselesaikan, akan tetapi melibatkan banyak pihak yang berasal dari ketiga wilayah tersebut inilah yang menyebabkan khalifah Ali menunda pengusutan pem- bunuhan terhadap Utsman.

Dalam situasi politik yang diliputi penuh dengan kekacauan. Khalifah Ali menempuh kebijaksanaan lain, yakni menggantikan seluruh gubernur, dengan harapan para pemberontak yang dahulu tidak puas dengan para gubernur yang lama dapat menerima gubernur yang baru, sehingga mereka menghentikan pemberontakannya. Sahabat-sahabat telah menyarankan agar khalifah Ali tidak mengambil kebijaksanaan tersebut, kecuali setelah pemerintahan berjalan stabil. Mereka juga menyampaikan sarannya agar Khalifah Ali tidak menggantikan jabatan Muawiyyah sebagai gubernur Syria. Sebab pengangkatannya tidak dilakukan oleh khalifah Utsman berdasarkan nepotisme, melainkan diangkat oleh khalifah Umar dan Muawiyah cakap dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun ada saran demikian, khalifah Ali tetap bersikeras menurunkan jabatan Muawiyah sebagai Gubernur Syria. Muawiyah menolak keputusan tersebut, sehingga persaingan dan permusuhan semakin tajam, dilain pihak Thalhah dan Zubair yang dari semenjak awal menuntut agar Dalam situasi politik yang diliputi penuh dengan kekacauan. Khalifah Ali menempuh kebijaksanaan lain, yakni menggantikan seluruh gubernur, dengan harapan para pemberontak yang dahulu tidak puas dengan para gubernur yang lama dapat menerima gubernur yang baru, sehingga mereka menghentikan pemberontakannya. Sahabat-sahabat telah menyarankan agar khalifah Ali tidak mengambil kebijaksanaan tersebut, kecuali setelah pemerintahan berjalan stabil. Mereka juga menyampaikan sarannya agar Khalifah Ali tidak menggantikan jabatan Muawiyyah sebagai gubernur Syria. Sebab pengangkatannya tidak dilakukan oleh khalifah Utsman berdasarkan nepotisme, melainkan diangkat oleh khalifah Umar dan Muawiyah cakap dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun ada saran demikian, khalifah Ali tetap bersikeras menurunkan jabatan Muawiyah sebagai Gubernur Syria. Muawiyah menolak keputusan tersebut, sehingga persaingan dan permusuhan semakin tajam, dilain pihak Thalhah dan Zubair yang dari semenjak awal menuntut agar

Dengan dasar penolakan tersebut, pasukan khalifah Ali melancarkan serangan kepada pengikut Aisyah. Thalhah dan Zubair tewas dalam peperangan dan pasukan A’isyah dapat ditaklukan. Peperangan ini terkenal dengan nama perang Jamal (Unta), yang terjadi pada tahum 36 H, karena Aisyah, janda Nabi saw, menaiki unta dalam pertempuran tersebut. Dalam pertempuran itu 20.000 kaum muslimin gugur.

Perang Jamal menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun ke Medan lagi memimpin langsung angkatan perangnya dan justru bertikai melawan saudara sesama Mus- lim.

2. Perang Siffin Pada tahun 656 M, Khalifah Ali memindahkan ibu

kota dari Madinah ke Kufah. Setelah di Kufah, Ali mengirim

Ali Bin Abi Thalib surat kepada Muawiyah, isinya agar Muawiyah tunduk

kepada pernerintahan Ali yang sah demi kepentingan Islam. Namun Muawiyah menolak perintah tersebut, hingga darah Utsman diselesaikan secara hukum Islam. Bahkan Muawiyah berusaha membangkitkan semangat dan emosi rakyat Syria dengan menunjukkan baju Utsman yang masih berlumuran darah, hingga masyarakat Syria yang taat kepada Muawiyah sangat berduka atas pembunuhan Utsman yang tragis itu. Mereka melancarkan gerakan anti khalifah Ali.

Reaksi yang ditancarkan Khalifah Ali terhadap sikap Muawiyah, adalah dengan mengirimkan 50.000 pasukan ke Syria. Hal yang sama Muawiyah untuk menahan serangan pasukan khalifah Ali, menyiapkan jumlah pasukan yang sangat besar. Keduanya bertemu di daerah yang bernama Siffin dekat sungai Euprat, sehingga peristiwa ini disebut peperangan Siffin.

Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat al-Qur’an sebagai tanda minta damai dengan cara tahkim.

Khalifah diwakili oleh Abu Musa al-Ast’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr ibn As yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut Muawiyah dan Khalifah Ali harus meletakkan jabatan, pemilihan harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai Khalifah. Tetapi ‘Amr bertindak sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah, tetapi justru mengangkatnya sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa.

Perang Siffin yang diakhiri melaltu arbitrase (tahkim), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil, wasit ternyata tidak menyelesaikan Perang Siffin yang diakhiri melaltu arbitrase (tahkim), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil, wasit ternyata tidak menyelesaikan

3. Perang Nahrawan Khawarij yang bermarkas di Nahrawan, benar-benar

merepotkan khalifah, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sunguh sangat fatal bagi Ali, tentara Ali semakin lemah, sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar. Keber- hasilan Muawiyah mengambil Mesir, berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.

Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi tersebut tanpa diduga ternyata mengeraskan amarah kaum khawarij untuk menghukum orang-orang yang tidak disukai. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661 M), khalifah berhasil ditikam oleh Ibn Muljam, seorang anggota khawarij yang sangat fanatik. Pada saat itu wilayah Islam sudah meluas lagi baik ke timur Persia maupun ke barat, Mesir.