Masa Umayyah Timur

Bab VIII Masa Umayyah Timur

A. Kebijakan dan Orientasi Politik

Semenjak berkuasa, Muawiyah (661-680) memulai langkah-langkah untuk merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan elite pemerintah. Muawiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasaan administratif negara dan merancang alasan-alasan moral dan politik yang baru demi kesetiaan terhadap khalifah. Pertama, ia berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan panglima-panglima Arab yang mengepalai pasukan kesukuan Arab. Untuk memenuhi interes pemimpin suku, sejumlah penaklukkan diarahkan ke Afrika Utara dan Iran timur. Pada front Syria, Muawiyah mempertahankan perdamaian dengan imperium Bizantium sehingga ia dapat mengerahkan kekuatan pasukan Syria

untuk tujuan perlindungan kebijakan internal. Selanjutnya ia ber usaha memantapkan pendapatan negara dari penghasilan pribadi dan lahan pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania dan dari investasi pembukaan tanah baru dan irigasi. Muawiyah juga menerapkan aspek- aspek patriakal khilafah. Kebijakan politik dan kekuatan fi- nancial yang ditempuhnya berasal dari nilai-nilai tradisi Arab: Konsiliasi, konsultasi, kedermawanan dan penghormatan terhadap bentuk-bentuk tradisi kesukuan. Sifat-sifat dan kemampuan Muawiyah sebagai sebuah pribadi adalah lebih berarti daripada institusi manapun. Ia sangat terkenal dengan sifat santunnya, sebuah bakat untuk memperlakukan pengikutnya sehingga mereka bekerja sama tanpa rasa bahwa kedudukan mereka sedang diperdaya. Jika khalifah Umar secara fundamental mer upakan tokoh yang terkenal kedekatannya dengan Nabi Muhammad SAW dan karena integritas agamanya, maka Muawiyah merupakan pribadi yang tidak tertandingi dalam melestarikan tradisi (patriarch) kesukuan Arab. Pemerintahannya ditandai dengan upaya sentralisasi kekuasaan negara dan sejumlah seruan khilafah non Islam, bahkan pemerintahannya didasarkan pada jaringan kerja (networks) pribadi dan ikatan kekerabatan.

Pada periode akhir dinasti Umayyah, yang mampu bertahan bukan karena konsensus melainkan karena kekuatan militer. Khalifah Abdul Malik (685-705), dengan didukung militer Syria Yaman, berhasil menghancurkan musuh-musuh Umayyah. Khalifah Abdul Malik dan penggantinya, al-Walid (705-715) yang sekarang menghadapi oposisi yang bermisi keagamaan yang sedang mewabah, yakni oposisi dari kalangan Syi’ah, Kharijiah dan beberapa aliran kesukuan yang terpicu oleh tekanan pembahan sosial

Masa Umayyah Timur di beberapa perkampungan militer, harus memikirkan sebuah

altematif strategi pemerintahan. Respon yang ditempuh oleh kedua khalifah tersebut adalah mempercepat proses sentralisasi negara, bahkan menjadikan negara sebagai sebuah rezim dari pada sekedar sentralisasi pribadi seorang khalifah, fokus loyalitas politik dan idiologis.

Meskipun rezim Muawiyah pada dasarnya adalah keluarga penguasa dan militernya, serta suku-suku yang bernaung di bawahnya, sekelompok elite kecil memerintah sebuah imperium yang desentralisasi, sementara ini khalifah ber usaha keras menegakkan sentralisasi kekuasaan pemerintah.

Khalifah Hisyam ( (724-743) berusaha menerapkan kebijakan Umar II di wilayah Khurasan, Mesir, dan Mesopotamia. Administrasi Umayyah juga mengembangkan sebuah identitas organisasional. Pada dekade pertama im- perium Arab, hal-hal yang berkenaan dengan administrasi diselenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa Yunani dan Persia yang merupakan warisan imperium sebelumnya. Sekalipun demikian, sekitar tahun 700, sebuah generasi baru dari klien-klien Arab yang mencapai kekuasaan berpengaruh, sekalipun mereka telah dididik menjadi pegawai dan agar setia kepada khilafah. Kelompok elite dari kalangan juru tulis dan ketuanya memperkuat tulang punggung kesekretariatan imperium Arab-muslim sampai abad ke-10.

Sejalan dengan perkembangan administrasi, ke- hidupan istana kekhalifahan juga diorganisir. Hari-harinya, Muawiyah dikerumuni oleh tokoh-tokoh Arab telah berakhir. Sekarang seorang pembantu istana mendampingi pengunjung dalam rangka penertiban kesibukan sehari-hari.

Pegawai-pegawai administrasi, pejabat sekretaris raja, para pengawal dan juru tulis mengerumuni raja sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan tokoh-tokoh Arab se- belumnya. Pos-pos penting dalam pemerintahan masih dijabat oleh tokoh Arab, tetapi aktifitas pemerintahan tidak lagi bergantung kepada dewan-dewan tokoh Arab, melainkan bergantung pada pejabat-pejabat profesional. Dari pemerintahan pariarkal, khilafah telah beralih menuju sebuah pemerintahan kerajaan.

Kebijakan konsolidasi rezim kekhilafahan yang terpenting adalah melanjutkan gerakan penaklukkan yang berskala dunia. Serangkaian penaklukkan tahap awal adalah dilatarbetakangi sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan kekuatan Aranb yang berpusat pada beberapa perkampungan militer. Penaklukkan baru tahap berikutnya berlatar belakang ambisi kerajaan dan melibatkan sejumlah penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh sejumlah kekuatan tambahan non Arab. Maka perang yang tedadi berikutnya bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang untuk meraih dominasi dunia. Dalam sejumlah peperangan tersebut menjadikan negeri-negeri seperti Afrika Utara, Spanyol, Transoxania dan Sindh menjadi bagian dari wilayah impe- rium muslim.

Sekalipun administrasi Umayyah bernuansa Islami, namun inspirasi yang sebenamya berasal dari praktek Bizantium dan Sasania. Di Syria dan Mesir, seluruh perangkat administratifnya ter masuk di dalamnya administrasi, pendapatan negara dan bahkan juga dokumen-dokumen administrasi berasal dari tradisi Bizantium. Organisasi kemiliteran Syria, mengikuti kemiliteran Bizantium. Di Iraq

Masa Umayyah Timur pola organisaasi administrasi Sasania, yakni dibagi menjadi

4 bidang, Badan Keuangan, kemiliteran, bagian surat- menyurat dan bidang kedutaan, diberlakukan oleh admi- nistrator Arab. Kejayaan khalifah, dengan mendapat dukungan resmi negara atau pembangunan sejumlah mesjid diinspirasi oleh kebijakan Bizantium.

Prestasi yang lebih besar dicapai oleh wali satu, dia sangat berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang, baik politik (tata pemerintahan) maupun sosial kebudayaan. Dalam bidang politik disusun tata pemerintahan berdasarkan tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang al-Kutta (sekretaris) untuk membantu pelaksaman tugas yang meliputi (Joesoef Soe’yb, 1977:234) :

1. Katib ar-Rasail: sekretaris yang bertugas menye- lenggarakan administrasi dan Surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.

2. Katib al-Kharraj: sekretaris yang bertugas menye- lenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara

3. Katib al-Jundi: sekretaris yang bertugas menye- lenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.

4. Katib as-Syurtah: sekretaris yang bertugas menye- lenggarakan pemeliharaan keamanan dam ketertiban umum.

5. Katib al-Qudat sekretaris yang bertugas menye- lenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.

B. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)

Di kalangan bangsa Arab, pertempuran sengit antara kelompok terus berlanjut. Setelah perang sipil kedua, kelompok kesukuan berkembang semakin jelas dengan orientasi politik dan ekonomi. Kalangan Yaman mewakili demi literisasi Arab yang berasimilasi dengan mata pencaharian sipil dan yang menjadi penghuni perkotaan dengan kesibukan perdagangan atau menjadi tuan tanah atau sebagai petani di wilayah perkampungan. Orang-orang Arab ini menerima asimilisasi antara Arab dan non Arab dalam kemiliteran dan memberikan akomodasi terhadap kepen- tingan pemeluk Islam yang baru.

Mereka lebih menginginkan kehidupan damai daripada terus menerus dalam peperangan ekspansional. Mereka menghendaki persamaan finansial antara Arab dan pemeluk Islam yang baru dan mereka menghendaki desentralisasi kekuasaan khilafah. Mereka lebih menekankan corak Islami daripada identifikasi corak yang khas Arab. Sebaliknya Qays mewakili kalangan Arab yang tetap aktif dalam militer dan menggantungkan pendapatannya pada kegiatan penaklukan, administrasi kepemerintahan dan pendapatan pajak. Mereka cenderung kepada sistem sentralisasi kekuasaan politik, ekspansi militer dan pelestarian privilise Arab.

Dalam periode Abdul Malik sampai Hisyam, khilafah mempertahankan sebuah keseimbangan yang nyaris kritis ditengah-tengah persaingan intern tersebut dan peperangan pun akhirnya berkobar juga pada masa pemerintahan Umar

II (717 – 720). Umar II cukup genius dalam menghadapi situasi ini secara realistis dan mengajukan solusi yang terbaik. Umar II menyadari bahwa dominasi sebuah etnis terhadap

Masa Umayyah Timur etnis lainnya adalah suatu yang anakronistik, orang-orang

yang menjalani tugas kemiliteran, sekaligus staf pe- merintahan, atau kelompok pedagang dan seniman yang memprakasai penyebaran Islam, haruslah diakui kesetaraan mereka dalam pemerintahan imperium.

Antagonisme antara Arab dan Non Arab harus dihapuskan menjadi sebuah kesatuan muslim yang univer- sal. Dalam pandangan Umar II, problem ini bukanlah semata- mata untuk kepentingan muslim sambil mempertahankan supremasi kelompok Arab, tapi sebaliknya imperium ini tidak akan bertahan bila merupakan imperium Arab saja. Tetapi ia harus menjadi sebuah imperium bagi seluruh warga muslim.

C. Sistem Sosial (Arab dan Mawali)

Beberapa kebijakannya yang aktual, Umar II mem- perlihatkan sebuah pendekatan pragmatis yang disinari oleh prinsip tertentu. Tujuan yang hendak dicapai tidak sekedar untuk memenuhi klaim penduduk Islam baru (mawali) melainkan juga untuk mendamaikan tuntutan mereka dalam kepentingan negara. Umar II bermaksud memenuhi gugatan kelompok mawali yang turut berperang bersama dengan kelompok Arab dengan menerima sepenuhnya tuntutan mereka bahwa seluruh pasukan muslim yang aktif, baik Arab maupun Mawali, berhak terlibat peran dalam diwan- diwan.

Di Khurasan, Umar II menetapkan keterlibatan 2000 Mawali. Ia juga memberlakukan sebuah prinsip baru dalam sistem perpajakan yang didasarkan pada azas persamaan antar muslim, bahkan menerapkan prinsip tersebut sedemikian rupa sehingga menjaga kepentingan rezim.

Sementara itu mengenai tuntutan muslim non Arab (Mawali) terhadap pembebasan pajak jiwa dan pajak tanah sebagai bentuk persamaan dengan kelompok Arab, khalifah Umar II menetapkan bahwa pajak bukan sebuah fungsi dari status individual.

Kelompok Mawali diharapkan membayar pajak tanah dan demikian pula tuan-tuan tanah Arab harus membayarnya secara penuh. Jadi, beban pungutan pajak dipersamakan, bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni pada sebuah biaya yang dikeluarkan oleh tuan-tuan tanah Arab. Mengenai pajak jiwa, Umar II menetapkan sebuah prinsip, yang sering kali tidak diperhatikan bahwasanya pajak tersebut hanya dipungut pada Mawali saja. Penghuni tetap dari kalangan Arab dan Mawali dibebaskan dari pungutan pajak ini, namun pada saat yang bersamaan mereka semua dianjurkan mengeluarkan sedekah atau apa yang dikenal sebagai zakat (pajak muslim), yang merupakan bagian dari konvensasi terhadap berkurangnya pendapatan negara dari sektor pajak jiwa.

Khalifah-khalifah berikutnya berusaha menerapkan prinsip ini, namun hanya membawa kemajuan yang sangat kecil. Selama periode akhir dinasti Umayyah, interes perdamaian dan keadilan bertentangan dengan interes umuk mempertahankan status quo dan kebijakan kekhalifahan berkisar antara konsesi pajak dan pembatalan konsesi tersebut.

Penyusupan warga non Arab ini menimbulkan reaksi penting pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab berusaha menyerap kalangan pendatang baru ke dalam struktur klan lama sebagai klien. Konsep klien ini merupakan warisan Arabia pra Islam, dimana seorang klien merupakan sekutu

Masa Umayyah Timur inferior dari sebuah klan Arab; keturunan mereka juga

berstatus sebagai klien. Mawali menerima sokongan dan perlindungan dan har us dibantu dalam perkawinan. Perlindungan pihak Arab yang berkuasa mesti ditukar dengan loyalitas Mawali yang berstatus lebih rendah. Sekalipun demikian, lantaran mereka menampung kelompok Mawali. Klan-klan Arab semakin melemah unit kekerabatannya dan semakin banyak terbentuk kelompok politik dan ekonomi yang dibangun mengitari sebuah kerabat inti. Gap antara kalangan aristokratik dan klan-klan kampung semakin meluas. Sebagai contoh, di dalam suku Tamin, klan bangsawan menerima orang-orang yang semula sebagai kesatria Persia sebagai klien mereka, sedang suku lainnya menerima pekerja budak dan tukang tenun sebagai klien mereka.

Perwalian ini juga menimbulkan konflik kelas antara Mawali dan tuan-tuan mereka. Bahkan Mawali yang menjalankan tugas secara profesional di medan perang, di bidang administrasi, perdagangan, obat-obatan dan di bidang kehidupan keagamaan berkedudukan sebagai kelas sosial yang inferior. Mereka dikerahkan secara ekonomis dan tidak dapat menikah dengan warga Arab, demikian pula keturunan mereka. Tetara-teatara Mawali yang sangat gigih menentang pengucilan dari urusan keuangan militer (diwan), sebab peran menanganan urusan keuangan bukan saja sangat me- nguntungkan secara finansial, tetapi tugas ini merupakan sebuah simbol privilise sosial kelompok Mawali menghendaki terlibat penuh sebagai kalangan elite, tetapi bagi kalangan Arab keinginan seperti ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertimbangkan. Mereka bersikeras terhadap status dan privilise mereka dan menenteng peran penting klien dalam Perwalian ini juga menimbulkan konflik kelas antara Mawali dan tuan-tuan mereka. Bahkan Mawali yang menjalankan tugas secara profesional di medan perang, di bidang administrasi, perdagangan, obat-obatan dan di bidang kehidupan keagamaan berkedudukan sebagai kelas sosial yang inferior. Mereka dikerahkan secara ekonomis dan tidak dapat menikah dengan warga Arab, demikian pula keturunan mereka. Tetara-teatara Mawali yang sangat gigih menentang pengucilan dari urusan keuangan militer (diwan), sebab peran menanganan urusan keuangan bukan saja sangat me- nguntungkan secara finansial, tetapi tugas ini merupakan sebuah simbol privilise sosial kelompok Mawali menghendaki terlibat penuh sebagai kalangan elite, tetapi bagi kalangan Arab keinginan seperti ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertimbangkan. Mereka bersikeras terhadap status dan privilise mereka dan menenteng peran penting klien dalam

Di dalam pusat-pusat perkampungan militer sebuah elite baru keagamaan melepaskan diri dari otonomi yang dijalankan khilafah. Berbagai perkampungan tersebut meleburkan warga Arab dan non Arab menjadi komunitas bar u yang terdiri dari klas menengah, dari kalangan pedagang, seniman, guru dan sarjana yang mengabdikan diri kepada sebuah identitas Islam yang khas. Sebagian dari warga tersebut adalah keturunan Badui Arab, tetapi setelah satu abad dari proses pengapungan ini mereka sepenuhnya telah menjadi masyarakat perkotaan. Sebagian lainnya adalah warga non Arab, pemeluk Islam baru dan klien bangsa Arab, yang berbahasa Arab dan mengasimilasikan diri mereka ke dalam kesukuan, tradisi, keagamaan dan kesukuan elite penakluk.

D. Sistem Militer

Beberapa khalifah Umayyah masa akhir, sejak Abdul Malik sampai Hisyam (724 –743) membangun sebuah pemerintahan kerajaan yang tidak berdasarkan unsur Arab melainkan berdasarkan kekuatan militer Syiria, peningkatan kekuatan dan rasionalisasi pejabat-pejabat administratif dan berdasarkan sebuah ideologi kesetiaan terhadap negara. Jika kekhalifahan pada awalnya merupakan serial pemerintahan individual yang sangat bergantung kepada pribadi khalifah yang saleh atau sifat-sifatnya yang terteladani, maka khilafah yang baru merupakan sebuah institusi yang terlepas dari pejabat-pejabat yang individual. Umayyah telah mengalihkan kekhilafahan menjadi sebuah rezim negara, namun pada saat

Masa Umayyah Timur yang sama mereka juga tetap menjaganya, menjadi sebuah

simbolisme imperium yang merupakan warisan Islam yang jelas.

Rezim baru ini menekankan orientasinya kemiliteran dengan kader-kader baru di bidang pemerintahan Abbasiyah melepaskan privilise kemiliteran bangsa Arab dan menum- buhkan sebuah kekuatan militer baru yang direkrut dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga mereka harus loyal kepada dinasti semata dan tidak kepada kepentingan kesukuan atau kasta tertentu, sekalipun pasukan Arab tetap berperan di dalamnya. Pihak Umayyah telah menggantikan kedudukan kekuatan utama Arab dengan tentara Syria, yakni kelompok non Arab yang telah memeluk Islam atau sebagai kelompok Mawali, dan bahkan beberapa kekuatan lokal yang non Arab, non muslim. Namun Umayyah tidak pernah mampu menyatakan secara jelas peralihan dari kemiliteran bangsa Arab kepada pola kemiliteran profesional, baik secara prinsip maupun dalam praktik yang penuh. Sepanjang periode Umayyah kekuatan Arab tetap membutuhkan penaklukan dunia sepanjang mereka mampu mengerjakannya.

Dengan kematian Hisyam pada 743 rezim Umayyah menjadi goncang dan kelompok keluarga Ali, Abbasiyah, Kharijiyah, kelompok-kelompok kesukuan dan para gubernur yang tersisihkan, semuanya dalam keadaan percekcokan. Faktor-faktor kegoncangan ini antara lain karena faktor kepayahan atau keletihan militer pemerintahan dari kalangan warga Syria. Beberapa khalifah Umayyah masa belakangan berusaha meningkatkan peranan militer Syria untuk menguasai kelompok Arab lainnya. Dan memperkuat pasukan tempur pada beberapa wilayah perbatasan impe- rium dengan tentara-tentara yang cakap, profesional dan Dengan kematian Hisyam pada 743 rezim Umayyah menjadi goncang dan kelompok keluarga Ali, Abbasiyah, Kharijiyah, kelompok-kelompok kesukuan dan para gubernur yang tersisihkan, semuanya dalam keadaan percekcokan. Faktor-faktor kegoncangan ini antara lain karena faktor kepayahan atau keletihan militer pemerintahan dari kalangan warga Syria. Beberapa khalifah Umayyah masa belakangan berusaha meningkatkan peranan militer Syria untuk menguasai kelompok Arab lainnya. Dan memperkuat pasukan tempur pada beberapa wilayah perbatasan impe- rium dengan tentara-tentara yang cakap, profesional dan

Marwan ibn Muhammad (744-750), yang semula menjadi gubernur Armenia, menerima, dukungan kalangan atasan dan mengklaim gelar khalifah, sekalipun demikian, selain dari kalangan militer yang setia kepadanya, tidak ada seorang pun yang menerima klaim Marwan sebagai pemerintah yang sah. Otoritasnya berpengaruh sebatas kalangan militer.

E. Pembangunan Peradaban

Pada periode Umayyah kultur kerajaan ini mencakup syair Arab, yang berasaal dari konvensi Arab pra Islam dan tradisi lisan. Mengenai sejarah bangsa Arab, kehidupan nabi Muhammad dan asal mula perkembangan Islam, dan laku perbuatan khalifah-khalifah pertama. Ia juga menggabungkan kandungan artistik dan kesasteraan Byzantium dan Sasania.

Masa Umayyah Timur Oleh karena itu sejumlah masjid dan istana Umayyah

memadukan dekorasi dan motif-motif yang Indus dari unsur Kristen dan Bizantium dengan penggunaan dan konsep Mus- lim untuk menciptakan mode-mode baru arsitektur Islam. Umayyah juga mensponsori perdebatan resmi antara muslim dan Kristen yang mendorong kepada penyerapan konsep- konsep Hellenistik ke dalam teologi muslim.

Istana Umayyah menjadi sebuah teater yang me- mainkan serial drama kerajaan. Tempat tinggal khalifah dikelilingi oleh sejumlah pintu gerbang resmi, secara umum di tengah-tengahnya terdapat bangunan dinding yang membujur yang memusat pada sebuah bangunan ruang kubah, sebuah pola arsitektur yang terdapat di Damascus, di al-wash, Mushatta dan kemudian di Baghdad berasal dari pola-pola arsitektur Hellenistik untuk istana Kaisar Roma, Bizantium dan Sasania.

Dekorasi istana mencerminkan cara hidup raja, penampilan khalifah melambangkan keagungan dan kekuasaan. Kesenian publik menekankan tema-tema keislaman. Pemerintah Abdul Malik menadai sebuah karya seni umum yang selalu dikenang, yakni pembangunan masjid Dome of Rock (Masjid Kubah Batu) di Yerusalem. Masjid tersebut dibangun pada tempat yang legendaris, yakni tempat Ibrahim menyembelih anaknya Ismail, yakni seorang putera pujaan dalam kisah Islam. Pembangunan tersebut menjadi sarana hubungan langsung kepada monotheisme terdahulu, sehingga Islam menjadi agama yang dimuliakan (Ira M. Lapidus, 1999: 126:131)

Dome or the Rock, pembangunannya telah dirintis oleh khalifah Umar al-Khattab (634-644M). Kini bangunan itu dikenal dengan Masjid al-Aqsha. (Joesoef Sou’yb, 1977: 149)

Mesjid Umayyah di Damascus (Jamiul-Umawwi) mengekspresikan tema-tema lain. Masjid ini dibangun atas perintah Khalif Walid I dimulai tahun 88 IV707 M (Joesoef Sou’yb, 1977: 145) yang dibangun dengan melalui pengambilalihan sebuah tempat suci pagan dan gereja Kristen dan penyerapan motif-motif klasik Romawi, Hellenistik dan motif Kristen menjadi sebuah bangunan baru yang khas sebagai arsitektur muslim seni mosaik mempertunjukkan sejumlah bangunan yang sangat megah dan pemandangan yang dapat mencerminkan panorama surgawi dan sekaligus mengisyaratkan ketundukan seluruh dunia kepada khalifah dan agama baru. Bahkan dalam pembangunan masjid tersebut memperkerjakan seniman-seniman Yunani yang mana mereka diminta langsung dari kaisar Konstantinopel. Bagi Yunam hal ini mengisyaratkan keunggulan politik dan kebudayaan bizantium. Namun pihak muslim memandang- nya sebagai sebuah pengambilalihan kebudayaan dan kekuasaan Bizantium, sebuah ketundukan pekerja Yunani kepada tuan-tuan muslim dan sebagai sebuah pertunjukkan ambisi, keberhasilan dan pengunggulan imperium Islam terhadap Bizantium. (Ira M. Lapidus, 1999: 126-131). Masjid ini mempekerjakan 120.000 ahli bangunan dan ahli marmar. Pembiayaannya menelan dana 400 peti uang setiap peti uang berisikan 28.000 dinar mas. Khalid demikian pula dengan Masjid Madinah yang direnovasi pada masa pemerintahan Khalif Walid I dalam tahun 88 H.

Pembangunan rumah sakit umum pada setiap kota pada masa pemerintahan Khalif Walid I. Pembanguan tempat-tempat sosial yang lain adalah rumah panti jompo, panti sosial bagi fakir miskin dan yatim piatu, tempat pemeliharaan orang buta lengkap dengan pelayannya, tempat

Masa Umayyah Timur persinggahan para musafir dan menyediakan dana khusus

hafiz-hafizah. Dan pembagunan fasilitas-fasiltas masyarakat yang lain. (Joesoef Sou’yb, 1977: 150-151)

Historians’ History of the world vol. VIII halaman 274-275 menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa-masa permulaan perkembangan kekusaannya telah menyum- bangkan pada dunia tiga jenis alat, yaitu paper, compass and gunpowder .

Penemuan alat cetak di Tiongkok pada penghujung abad ke-8 M dan penemuan alat cetak juga ditemukan di Barat. Namun sebelumnya tahun 650 M telah dicoba pembuatan kertas di Bukhara dan Samarkand dengan bahan dasar ampas sutera. Tahun 750 M, Yusuf Amron di Mekkah dibuat kertas dengan bahan dari kapas (damask paper) dan mulai berkembang pembuatannya di Damaskus. Di Andalusia digunakan serat-serat dan linen untuk membuat kertas dengan jenis kertas yang disebut Xativa paper yang dibuat di kota Xativa kemudian berkembang di Valencia dan Catalonia. Pada abad ke-13, kertas-kertas buatan Andalusia menerobos pasaran ke Perancis, Itali, Inggris, Jerman. (Joesoef Sou’yb, 1977: 239-240)

Mesiu telah ditemukan dahulu di Tiongkok yang penggunaannya terbatas pada acara keagamaan dan keramaian. Tapi pada saat mesiu diimport oleh Bani Umayyah melalui jalan sutera, penggunaannya berubah sebagai peralatan militer. i Joesoef Sou’yb, 1977, 240-241)

F. Sistem Fiskal

Abdul Malik dan al-Walid menyusun peralihan pejabat- pejabat pajak dari orang-orang yang berbahasa Yunani dan Syria kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Catatan- Abdul Malik dan al-Walid menyusun peralihan pejabat- pejabat pajak dari orang-orang yang berbahasa Yunani dan Syria kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Catatan-

Khalifah juga menunjuk seorang wazir yang bertugas untuk menyita kekayaan pejabat. Sejumlah harta kekayaan itu harus dikembalikan ke negara. Dewan khusus yang menangani penyitaan harta kekayaaan, yaitu Diwan al- Mushadarat untuk menangani penyitaan tanah dan Diwan al-Marafiq untuk menangani harta kekayaan hasil suap. Untuk mengatasi hasil korupsi, pemerintah pusat dipaksa menyediakan sarana administratif yang baru, untuk memulihkan kerugian politik dan financial yang disebabkan oleh sistem birokrasi yang korup. Sebuah metode yang

Masa Umayyah Timur diterapkan adalah dengan mendistribusikan iqtha’ kepada

tentara, pegawai-pegawai istana dan para pejabat yang terlibat dalam pengumpulan pajak dari hasil pertanian. Pelelangan hak iqtha’ merupakan dari awal kepemilikan tanah yang luas yang dapat menyerap sejumlah pemilik tanah kecil dan kelompok petani bebas. Kaum petani di bawah tekanan biro perpajakan berharap dapat berlindung kepada pemegang hak iqtha’ yang berpengaruh dan melepaskan tanah-tanah mereka. Praktek semacam ini disebut Talija (harapan) atau bimaya (proteksi).

Selain petani kecil yang dikenai pajak, relatif semakin sedikit, pada sisi lain pemerintah berhadapan dengan bangsawan pemilik tanah lokal yang mereduksi kewajiban administrasi kepada kewajiban mengumpulkan pajak, berdasarkan pembayaran atas kesepakatan bersama.

G. Sistem Peradilan

Sistem peradilan diurus oleh para ahli hukum Islam yang disebut al-Fuqaha sebagian besar mereka tinggal di kota-kota besar. Oleh karena itu, mereka biasa disebut fuqahaul- Amshar . Dengan terjalinnya kesatuan wilayah yang luas dari timur sampai ke barat, maka lalu lintas dagang antar Tiongkok dan dunia belahan barat, pegunungan Thianshan melalui jalan sutra makin bertambah lancar. Dengan dikuasainya pesisir lautan Hindia sampai ke lembah Shind pada masa Daulat Umayyah, maka pelaut-pelaut Arab dari abad ke empat masehi, telah memulai kegiatan per- jalanannya. Oleh sebab itu dalam persoalan perdagangan memerlukan kepastian hukum atau undang-undang. Bak mengenai hal-hal yang menyangkut perdagangan harus diselesaikan secara pasti melalui hukum, begitu pula Sistem peradilan diurus oleh para ahli hukum Islam yang disebut al-Fuqaha sebagian besar mereka tinggal di kota-kota besar. Oleh karena itu, mereka biasa disebut fuqahaul- Amshar . Dengan terjalinnya kesatuan wilayah yang luas dari timur sampai ke barat, maka lalu lintas dagang antar Tiongkok dan dunia belahan barat, pegunungan Thianshan melalui jalan sutra makin bertambah lancar. Dengan dikuasainya pesisir lautan Hindia sampai ke lembah Shind pada masa Daulat Umayyah, maka pelaut-pelaut Arab dari abad ke empat masehi, telah memulai kegiatan per- jalanannya. Oleh sebab itu dalam persoalan perdagangan memerlukan kepastian hukum atau undang-undang. Bak mengenai hal-hal yang menyangkut perdagangan harus diselesaikan secara pasti melalui hukum, begitu pula

Perumusan metodik dan sistematik tentang ilmu hukum, mulai disusun pada masa Khulafaur Rasyidin dan Daulat Umayyah.

Himpunan-himpunan keputusan yang diambil dalam penyelesaian setiap sengketa dan pendapat-pendapatnya disebut al-Fatawa. Persamaan keputusan maupun persamaan pendapat diantara ahli hukum pada suatu kota dengan kota kota yang lain mengenai obyek hukum disebut al-Ijmak, selain itu kitab-kitab fiqih, dijadikan sumber dalam setiap penyelesaian kasus dalam lembaga peradilan. (Joesoef Soe’yb, 1977:244 249)

H. Perkembangan Intelektual, Bahasa dan Sisitem Arab

Khalid ibn Yazid, putra Khalif Yazid I (680 – 682 M) adalah seorang Amir yang menaruh perhatian mempelajari al-chemy karya-karya Greek. Karena daulat Umayyah masih kental dengan tradisi-tradisi Arabia, maka bidang filsafat tidak berkembang, sebaliknya bidang seni mendapat perhatian yang besar pada saat itu. Tokoh-tokoh seni yang terkenal pada masa itu adalah Ghayyats Taghlibi al-Akhatl (640710 M) adalah seorang penyair Nasrani. Kumpulan sajaknya dihimpun oleh Abu Said al-Sakkari dan Muhammad Ibnu Abbas al-Yajidi, manuskrip ini disimpan di Baghad lib- rary dan dicetak ulang (938 M). Jurair dengan gelar Abu Hajrat (653 - 733 M), kumpulan sajaknya dihimpun oleh Abu Jaafar Muhammad ibn Hubaib di cetak ulang di Cairo tahun 1935 dan al-Farajdak (641 - 732 M), kumpulan

Masa Umayyah Timur sajaknya dihimpun oleh Abu Jaafar Muhammad. Salinan

dalam bahasa Perancis diterbitkan tahun 1870 dan salinan dalam bahasa Jerman diterbitkan di Munchen tahun 1900 dan salinan dalam bahasa Inggris tahun 1965.

Dalam bidang filsafat dikenal dua tokoh Nasrani yang melakukan pembahasan teologis ajaran Kristen seperti Yuhana al-Dimaski (676- 749 M). Seorang Uskup yang dikenal dengan Hama Santo Yohanes Damachines dan tokoh lain Abu Karra, karena Orientasi Daulah Umayyah, hanya berorientasi pada perluasan wilayah, maka perhatian yang lebih intensif pada bidang ilmiah dan kebudayaan masih terbatas, sehingga belum melahirkan nama-nama besar.

Khalif Abdul Malik tercatat dalam sejarah Islam sebagai khallif yang permna-tama memerintahkan peng- gunaan bahasa Arab dalam arsip pemerintahan dan kenegaraan. dalam seluruh wilayah Islam. Disebut dengan arsip al-Dawawin, yaitu arsip-arsip diwan-diwan wilayah.

Surat menyurat resmi pada diwan-diwan wilayah itu pada masa sebelumnya masih tetap menggunakan bahasa- bahasa setempat. Diwan Mesir menggunakan bahasa Kopti. Diwan Syria menggunakan bahasa Grik. Diwan Irak dan Iran menggunakan bahasa Parsi dan Diwan Pesisir Afrika menggunakan bahasa latin.

Khalif Abdul Malik memerintahkan kesatuan bahasa yaitu bahasa Arab. Surat menyurat resmi antara rakyat dan pemerintah dan sesama badan-badan pemerintahan diwajibkan mempergunakan bahasa Arab.

Berkat jasa Khalif Abdul Malik lambat laun bahasa Arab menjadi bahasa umum (Lingua franca) di sekitar Lautan Tengah dalam wilayah luas ke Timur sampai perbatasan Tiongkok. Bahkan bahasa Arab menjadi bahasa Diplomatik Berkat jasa Khalif Abdul Malik lambat laun bahasa Arab menjadi bahasa umum (Lingua franca) di sekitar Lautan Tengah dalam wilayah luas ke Timur sampai perbatasan Tiongkok. Bahkan bahasa Arab menjadi bahasa Diplomatik

I. Sistem Pergantian Kepala negara

Sistem Monarkhi adalah sistem pergantian kepala negara berdasarkan pewarisan. Bila seorang raja meninggal maka ia digantikan oleh anaknya, tanpa memerlukan baiat dari rakyat. Raja bersikap otoriter tanpa berdasarkan undang- undang dan tidak bertanggung jawab pada siapapun. Rakyat tidak diberi hak kemerdekaan dalam mengeluarkan pendapat. (M. Yusuf Musa, 1963: 204)

Khalifah Muawiyah I dipandang sebagai khalifah yang pertama kali dalam sejarah Arab Islam yang menjadikan jabatan khilafah sebagai suatu warisan. Dia langsung menunjuk puteranya Yazid menjadi khalifah.

Dalam pemerintahan Bani Umayyah, Muawiyah menjadi khalifah dengan mempergunakan kekuatan, bukan ditunjuk oleh Khulafaur-Rasyidin sebelumnya. Yazid menerima jabatannya sebagai khalifah adalah warisan dari Ayahnya Muawiyah bukan berdasarkan lembaga Ahlul Halli wa aqdhi’.

Muawiyah ibn Yazid pada tahun 64 H/684 M dalam usia 23 tahun naik menjabat khalifah menggantikan ayahnya Khalid Yazid bin Muawiyah (60-64 H/681¬684 M). Ia merupakan khalifah yang ke-3 dalam Daulah Bani Umayyah.

Masa Umayyah Timur Demikian selanjutnya sistem pergantian kepala negara

dilakukan berdasarkan keturunan. (Joesoef Sou’yb, 1977: 43-77)

J. Pemberontakan al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair

Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya umuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syia’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ini pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damascus, sedang tubuhnya di kubur di Karbela (Hasan Ibrahim Hasan, 1989:69)

Perlawan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 – 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawalli, yaitu umat Islam bukan Arab berasal dari Per- sia, Armenia dm lain-lain, yang pada masa Bani Umayyah Perlawan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 – 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawalli, yaitu umat Islam bukan Arab berasal dari Per- sia, Armenia dm lain-lain, yang pada masa Bani Umayyah

Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Mekah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi dia baru menyatakan diri secara terbuka sebagai khalifah, setelab Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damascus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Mekah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M (Montogomery, 1990:24).

K. Keruntuhan Ummayah di Timur

Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah yang berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al- Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ke- tentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya. Hisyam ibn Abd

Masa Umayyah Timur al-Malik (724 – 743 K. Bahkan dizaman Hisyam ini muncul

satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan mer upakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.

Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khlaifah- khalifah Bani Umayyah yang bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Musli al-Khurasani. Marwan Bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, khalifah terakhir Bani Umayyah melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah :

1. Sistem pergantian khalifah menurut garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menye- babkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana (Philip K. Hitti, 1970:281)

2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij terus menjadi 2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij terus menjadi

3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antar suku Arabia semakin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dank kesatuan. (Syed Amer Ali, 1981:170). Disamping itu sebagian besar golongan Mawali, terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah (Montgomery, 1990:28).

4. Lemahnya pemerintah Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu golongan agama banyak yang kecewa, karena perhatian penguasa terhadap per- kembangan agama sangat kurang.

5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan bar u yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas- duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.