Sejarah Peradaban Islam Jilid 1

Rianawati

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Sejarah & Peradaban Islam All rights reserved @ 2010, Indonesia: Pontianak

Rianawati

Seting Zulfian &Fahmi Ichwan

Publishing STAIN Pontianak Press (Anggota IKAPI)

STAIN Pontianak Press Jl. Letjen Soeprapto No. 19 Pontianak 78121 Telp./Fax. (0561) 734170

Cetakan Pertama, Desember 2010

Rianawati

Sejarah & Peradaban Islam Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2010 iv+201 page. 15 cm x 21 cm

Kata Pengantar

Alhamdulillah, akhirnya Diktat Sejarah dan Peradaban Islam ini dapat diselesaikan dalam bentuk Buku Daras. Buku ini semula merupakan catatan-catatan kecil setiap kali memberikan mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dimulai tahun 2000, di tingkat S1. Diktat Sejarah dan Peradaban Islam ini, disusun sepenuhnya berdasarkan sillabus Fakultas Tarbiyah. Mengenai isi dan jabaran dari uraian sillabus tersebut dimungkinkan terjadi perbedaan, ini lebih disebabkan karena setiap dosen memiliki titik tekan atau sudut pandang yang berbeda. Namun secara umum tetap mengacu pada sillabus yang ada.

Buku Daras ini diharapkan akan menjadi referensi bagi mahasiswa S1 khususnya Fakultas Tarbiyah. Dan diharapkan Buku Sejarah Peradaban Islam dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh mahasiswa dalam menggali khazanah historis keilmuan dari peristiwa-peristiwa masa lampau sehingga melalui kajian-kajian Sejarah Peradaban Islam dapat membuka wawasan berpikir mahasiswa tentang sejarah dakwah dan perkembangan keilmuan Islam, sains dan teknologi, pendidikan, social kemasyarakatan, perekonomian, politik, perkembangan hukum, kebudayaan, dan pertahanan keamanan, serta hasil-hasil peradabannya baik peristiwa yang terjadi di kawasan Timur Tengah, Eropa,

iii

Afrika dan Asia. Seluruh catatan mata kuliah Sejarah dan Peradaban Islam yang ada dalam Buku Daras ini, masih sangat terbuka untuk mendapatkan penyempurnaan. Ini disadari, karena dinamika ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan ilmu-ilmu sosial selalu mengalami interpretasi baru. Oleh karena itu, kritikan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan isi buku ini.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah, kawan- kawan para dosen dan pihak-pihak lain yang telah memberikan saran, kritik dan masukan, sehingga Buku Daras ini dapat diselesaikan.

Billahit Taufiq wal Hidayah Assalamu’alaikum Wr. Wb

Pontianak, 16 Nopember 2010

Penulis

iv

Daftar Isi

Bab I

Pengantar Sejarah Peradaban Islam

A. Sejarah Peradaban Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan

B. Dasar-Dasar Peradaban Islam

C. Periodesasi Perkembangan Peradaban Islam

Bab II

Arab Pra Islam

A. Sistem Politik dan Kemasyarakatan

B. Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan

Bab III

Masa Nabi

A. Pendahuluan

B. Fase Mekkah: Sistem Dakwah

C. Fase Madinah

Bab IV

Masa Khulafaur Rasyidin

A. Tsaqifah Bani Saidah

B. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara 46

C. Sistem Pergantian Kepala Negara

D. Khalifah dan Imam

Bab V

Masa Abu Bakar Al-Siddiq Dan Umar Bin Khattab

A. Riddah

B. PengembanganIslam Sebagai Kedaulatn Politik 82

Bab VI

Masa Utsman Bin Affan

A. Kehidupan Awal

B. Pemilihan Sebagai Khalifah 100

C. Perluasan Wilayah dan Pembengunan Angkatan Laut

D. Tuduhan Atas Kebijaksanaan Khalifah Utsman 102

E. Penilaian atas Pemerintahan Khalifah Utsman 107

Bab VII

Ali Bin Abi Thalib

A. Kehidupan Awal 109

vi

B. Ali ra Sebagai Khalifah 110

C. Masalah Yang Timbul 112

Bab VIII

Masa Umayyah Timur

A. Kebijakan dan Orientasi Politik 117

B. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)

C. Sistem Sosial (Arab dan Mawali) 123

D. Sistem Militer 124

E. Pembangunan Peradaban 128

F. Sistem Fiska 131

G. Sistem Peradilan 133

H. Perkembangan Intelektual, Bahasa dan Sisitem Arab 134

I. Sistem Pergantian Kepala negara 135 K. Keruntuhan Ummayah di Timur

Bab IX

Islam Di Andalusia

A. Dakwah Islam dan Gerakan Pembebasan 141

B. Perkembangan politik dan Masa Keamiran 144

C. Masa Kekhalifahan 147

Bab X

Dinasti Abbasiyah

A. Pembentukan Dinasti Abbas 173

B. Kedudukan Khalifah 178

C. Sistem Politik, Pemerintahan, Bentuk Negara (Buwaihi dan Saljuk) Dan Tali lkatan Persatuan antara Baghdad dengan Dinasti Buwaihi dan Saljuk

D. Sistem Sosial 195

E. Perkembangan Intelektual: Keagamaan, Kedokteran Pendidwan, Sains, Teknologi, Astronomi, Matematika, Filsafat dll

197 Daftar Pustaka

viii

Bab I Pengantar Sejarah Peradaban Islam

A. Sejarah Peradaban Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan

Sejarah menurut definisi yang paling umum dapat diartikan masa lampau umat manusia. Apa yang tercakup dalam definisi tersebut sebenarnya baru menunjukkan sebagian dari pengertian sejarah; ia baru menunjukkan kepada apa yang betul-betul terjadi dimasa lampau.

Agar sesuai dengan pengertian yang sebenarnya, yaitu sejarah sebagai suatu ilmu terdapat pembatasan-pem- batasan tertentu tentang peristiwa masa lampau itu. Menurut Taufik Abdullah ada empat hal yang membatasi peristiwa masa lampau itu sendiri (Taufik Abdullah dan Abdurrahman, 1985:x-xii); Pertama, pembatasan yang menyangkut dimensi waktu. Salah satu konsensus dalam ilmu sejarah menyatakan bahwa zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis telah ditemukan, sedangkan yang sebelumnya disebut prasejarah. Zaman sejarah itu bagi

banyak bangsa masih terlalu panjang, sehingga diperlukan periode-periode yang dianggap merupakan suatu kesatuan tertentu berdasarkan beberapa patokan yang telah ditentukan, baik secara konvensional dan umum diterima maupun secara individual, yaitu sesuai dengan sasaran perhatian sejarawan. Setiap periode yang dikenalkan pada unit-unit sejarah tertentu, mengisyaratkan akan adanya suatu karakteristik yang dominan. Kedua, pembatasan yang menyangkut peristiwa. tidak semua peristiwa di masa lalu dipandang sebagai sejarah. Menurut Taufik Abdulah, kecender ungan yang makin umum sekarang adalah pemusatan pada peristiwa yang menyangkut manusia, atau tindakan dan perilaku manusia, lebih dari itu ada yang berpendapat bahwa sejarah ada peristiwa yang disengaja atau tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu peristiwa alam hanya berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi peristiwa yang disengaja. Dengan kata lain, peristiwa alam hanyalah wadah dalam berbagai tindakan manusia terjadi. Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat. Sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa tertentu, pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu. Keempat, pembatasan yang menyangkut seleksi. Tidak semua peristiwa dimasa silam dalam kategori sejarah. Peristiwa-peristiwa itu baru merupakan kepingan-kepingan yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Semua itu baru bisa dianggap sejarah, kalau masing- masing terkait atau bisa dikaitkan dalam satu konteks historis, yaitu suatu kepingan-kepingan yang merupakan bagian dari suatu proses, atau dinamika yang menjadi perhatian para sejarawan.

Pengantar Sejarah Peradaban Islam Peradaban Islam sendiri adalah merupakan terjemahan

dari kata Arab Al-Hadharah al-Islamiyah. Kata Arab ini sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ke- budayaan Islam. Kebudayaan dalam bahasa Arab adalah al- tsaqafah . Di Indonesia juga di Arab dan di Barat, istilah kebudayaan disinonimkan dengan peradaban. Dalaim ilmu Antropologi kedua istilah itu dapat dibedakan, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan kepada seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban lebih terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. (Effat al-Sharqawi, 1986:5)

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya (Koentjaraningrat, 1985:5). Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah. Menurutnya peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu penge- tahuan yang maju dan kompleks. Jadi kebudayaan menurut definisi pertama adalah wujud ideal dalam definisi Koentjaraningrat, sementara menurut definisi terakhir, kebudayaan mencakup peradaban, tetapi tidak sebaliknya.

Peradaban Islam di wahyukan kepada Nabi Mu- hammad saw, telah membawa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Ia dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. HAR Gibb di dalam bukunya Whither Is- lam menyatakan, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization ”. Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam.

Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi dalam Islam tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.

Sejarah Peradaban Islam (SPI) sebagai ilmu penge- tahuan adalah bagaimana menuangkan peradaban Islam masa lampau ke dalam karya tulis.

Penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi peristiwa yang terjadi dimasa lampau. Penulisan itu bagaimanapun baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karma tanpa penelitian penulisan menjadi rekontruksi tanpa pembuktian. Baik penelitian maupun penulisan mem- butuhkan ketrampilan. Dalam penelitian dibutuhkan

Pengantar Sejarah Peradaban Islam kemampuan untuk mencari, menemukan dan menguji

sumber-sumber yang benar. Sedangkan di dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat fragmatis itu ke dalam suatu uraian yang sistematis, utuh dan komunikatif. Kesemuanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi historis yang baik. Sehingga sejarah yang dihasilkan bukan saja dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, yang terkait pada pertanyaan pokok, tentang apa, siapa, dimana, dan apabila, tetapi juga mengenai bagaimana serta mengapa dan apa jadinya. Jawaban terhadap pertanyaan elementer dan mendasar itu adalah fakta sejarah dan memungkinkan unsur adanya sejarah. Sedangkan jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana” adalah suatu rekonstruksi yang berusaha menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu deskripsi yang disebut “sejarah” dan secara teknis disebut “keterangan sejarah’. Adapun jawaban terhadap pertanyaan “mengapa” dan apa “jadinya”, yang menyangkut kausalitas adalah hasil puncak yang bisa diharapkan dari studi sejarah tersebut, yang biasa disebut dengan studi sejarah kritis. Hasil dari penulisan sejarah disebut historiografi. Dengan demikian, historiografi berarti penulisan sejarah yang didahului oleh penelitian (analisis) terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam. Penelitian dan penulisan sejarah itu berkaitan pula dengan latar belakang teoritis, latar belakang wawasan, latar belakang metodologis penulisan sejarah, latar belakang sejarawan/ penulis sumber sejarah, aliran penulisan sejarah yang digunakan dan lain sebagainya.

Perkembangan Sejarah Peradaban Islam sebagai suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum yang berlangsung sangat cepat. Dalam Perkembangan Sejarah Peradaban Islam sebagai suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum yang berlangsung sangat cepat. Dalam

Puncak dari perkembangan budaya dan peradaban Is- lam itu terjadi pada abad ke 9 dan ke 10 M. Ketika itu cendikiawan-cendikiawan Islam bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi juga menambahkan ke dalam hasil-hasil penelitian yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat. Pada masa ini pula ilmu-ilmu kenegaraan dalam Is- lam disusun seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah Ilmu Sejarah Peradaban Islam lahir dan berkembang.

Ketika umat Islam sudah sampai mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah, tidak ada bangsa lain pada waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Mereka memandang sejarah sebagai ilmu yang bermanfaat. Tokoh-tokoh sejarawan menulis ribuan buku dengan judul yang berbeda-beda yang menggambarkan isinya. Pertama-

Pengantar Sejarah Peradaban Islam tama, karya sejarah yang paling banyak dikarang adalah

dengan tujuan mengambil manfaat dan teladan, karena mereka mendapatkan hal yang sama di dalam al-Qur’an tentang kisah-kisah umat-umat yang telah lalu. Oleh karena itu, karya sejarah pertama berisi penciptaan bumi turunnya nabi Adam, kisah para nabi, riwayat hidup nabi Muhammad dan lain-lain. Karya-karya seperti itu sebagian besar sangat panjang dan isinya berulang-ulang.

Sejarawan muslim juga mengaitkan sejarah dengan berbagai disiplin ilmu seperti sastra, politik, sosial, fiqih, geografi dan rihlah (kisah-kisah perjalanan).

Posisi Sejarah Peradaban Islam sebagai suatu ilmu di dalam jajaran ilmu-ilmu lainnya, baik agama maupun umum, dalam prakteknya di lembaga-lembaga pendidikan Islam, pendapat yang menyebutkan sebagai ilmu yang bersifat elementer, mungkin lebih dominan. Hal ini terbukti SPI hanya masuk dalam bagian pendidikan dasar dan menengah Islam pada zaman klasik dan pertengahan, tidak di perguruan tinggi. Meskipun demikian, hal itu juga tidak berarti kemudian dalam perkembangannya SPI menjadi ilmu yang tidak penting karena ternyata karya-karya sejarah terus bermunculan dan secara sistematis tetap dibaca oleh sarjana- sarjana yang mempunyai minat terhadap SPI.

Ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam arah Islam; pertama, Al-Qur’an, kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk mem- perhatikan sejarah. Kedua, Ilmu Hadits, ajaran Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an yang berkenaan dengan muamalat bersifat umum hanya dalam garis besarnya saja. Penulisan hadits inilah yang merupakan perintis jalan menuju perkembangan Ilmu Sejarah Peradaban Islam.

Di samping dua faktor utama tersebut, perkembangan penulisan sejarah Islam dan Hadits itu menurut Husein Nashar, terdapat faktor-faktor yang kebangkitan gerakan sejarah dengan lebih cepat lagi. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Khalifah membutuhkan suatu pengetahuan yang dapat membimbing mereka menjalankan roda pemerintahan, sementara hal itu tidak mereka dapatkan satu warisan budaya mereka.

2. Orang-orang asing yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam membanggakan diri mereka (merasa lebih super) terhadap orang-orang Arab dengan mengungkapkan sejarah dan peradaban mereka di masa lalu. Hal yang demikian itu membuat orang-orang Arab menulis sejarah mereka agar dapat mempertahankan diri dari sikap superioritas bangsa-bangsa asing.

3. Sistem pemerintahan, terutama sistem keuangan dalam pemerintahan Islam, termasuk salah satu pendorong berkembang dan tersebarnya penulisan sejarah.

4. Gerakan menulis ilmu-ilmu yang lain yang sudah dikenal oleh bangsa Arab, seperti Kimia, Fiqih, Kedokteran dan lain-lain

5. Berkembangnya apa yang sudah ada pada kebudayaan Arab sebelumnya, yaitu penulisan silsilah dan al-Ayyam.

B. Dasar-Dasar Peradaban Islam

Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi dalam Islam, tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi (non samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan.

Pengantar Sejarah Peradaban Islam Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa

manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan. Dalam mengambil tema “peradaban”, tidak berarti bahwa masalah-masalah yang menyangkut “kebudayaan” Islam menjadi tidak penting dalam studi Islam Arab Islamiyah), bahkan penting sekali, karena ia merupakan landasaannya. Akan tetapi, meskipun tidak seluruhnya dibahas secara historis, semuanya tercakup dalam dirasah Islamiyah . Di dalam Islam, sumber nilai adalah al-Qur’an dan hadits yang dipelajari dalam buku Dirasah Islamiyah I (al- Qur’an dan Hadits). Hukum yang juga dalam wujud ideal kebudayaan dibahas dalam Dirasah Islamiyah III (Hukum lzah dan Pranata Sosial). Aspek ide, gagasan dan pemikiran terkandung di dalam Islamiyah IV (Ilmu Kalam, Falsafah Islam dan Tasawuf/Akhlaq) dan Dirasah (pemikiran Mo- dem Dalam Islam).

C. Periodesasi Perkembangan Peradaban Islam

Perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik (650 – 1250 M), periode pertengahan (1250 – 1800 M) dan periode modern (1800 - sekarang).

Pada periode klasik, pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa yang satu, bahasa Arab, sebagai bahasa administrasi. Semua ungkapan-ungkapan budaya juga diekspresikan melalui bahasa Arab, meskipun ketika itu bangsa-bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu kebudayaan dan peradaban. Apalagi orang-orang non muslim juga banyak menyumbangkan karya Pada periode klasik, pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa yang satu, bahasa Arab, sebagai bahasa administrasi. Semua ungkapan-ungkapan budaya juga diekspresikan melalui bahasa Arab, meskipun ketika itu bangsa-bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu kebudayaan dan peradaban. Apalagi orang-orang non muslim juga banyak menyumbangkan karya

Pada periode pertengahan dan periode modern, sudah terdapat kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam. Pada masa pertengahan umat Islam masih memandang, bahwa tanah airnya adalah satu, yaitu wilayah kekuasaan Islam, agama masih dilihat sebagai tanah air dan ke- warganegaraan. Hal itu bukan saja karena terjadi desintegrasi kekuatan politik Islam ke dalam beberapa kerajaan dalam wilayah yang sangat luas, tetapi karena ungkapan-ungkapan kebudayaan dan peradaban tidak lagi diekspresikan melalui satu bahasa. Bahasa administrasi pemerintahan Islam sudah berbeda-beda, seperti Persia, Turki, Urdu di India dan Melayu di Asia Tenggara. Bahkan peran Arab sudah jauh menurun. Tiga kerajaan besar Islam pada periode pertengahan tidak satupun dikuasai oleh bangsa Arab. Apalagi karena Islam disebarkan dengan cara damai, maka Islam dengan sangat toleran memperlakukan kebudayaan setempat, sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran. Bahkan pada mulanya yang juga masih terlihat hingga sekarang. Ajaran- ajaran Islam yang berkembang di berbagai aspek dipengaruhi oleh kebudayaan lokal. Namun sejak periode pertengahan, sudah terdapat kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam disebut dengan kebudayaan Islam dan perdaban Islam.

Kajian tentang “Peradaban” Islam, bahwa kebudayaan Islam tidak lagi satu, sudah terdapat beberapa peradaban Islam. Akan tetapi nampaknya “peradaban-peradaban” Is- lam yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai waktu belum lama ini terbatas pada empat “peradaban” Islam yang dominan. Semuanya sangat dengan empat kawasan itu, yaitu:

Pengantar Sejarah Peradaban Islam

1. Kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Spanyol Islam).

2. Kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara- negara Islam Asia Tengah).

3. Kawasan pengaruh kebudayaan Turki

4. Kawasan pengaruh kebudayaan India-Islam Pada periode klasik peran Arab sangat menonjol,

karena memang Islam hadir disana. Pada periode pertengahan muncul tiga kerajaan besar Islam yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Kerajaan-kerajaan Islam yang lain, meski ada juga yang cukup besar, tetapi jauh lebih lemah bila dibandingkan dengan tiga kerajaan tersebut.

Bab II Arab Pra Islam

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk bangsa/ras Caucasoid dalam sub ras Mediterania, yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Ar menia, Arabia dan Irania (Koentjoroningrat dalam Ali Mufradi, 1997: 5). Bangsa hidup berpindah-pindah karena tanahnya dari gurun pasir dan sedikit turun hujan. Bangsa Arab disebut juga disebut juga bangsa Badawi, Badawah, atau Badui yang menggembalakan ternaknya. Mereka mendiami wilayah Jazirah Arabia.

Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah. Bangsa Arab dibagi menjadi dua , yakni Qahtan dan Adnan, Qahtan berdiam di Yaman, tetapi hancurnya bendungan Ma’rib (120 SM), kemudian mereka berimigrasi ke utara dan mendiami kerajaan Hirah dan Ghassan. Sedangkan Adnan adalah keturunan Islami ibn Ibrahim yang banyak mendiami Arabia dan Hijaz (Hasan Ibrahim Hasan, 1989:17)

Mekah selalu ramai didatangi oleh para haji pada bulan- bulan haji, suku Amaligah adalah suku yang berkuasa sebelum lahirnya Ismail, kemudian datang suku Jurhum ke Mekah yang bersamaan dengan kelahiran Ismail. Suku Jurhum kemudian digantikan oleh suku Khuza’ah (207 SM). Dan kemudian suku Khuza’ah dibawah pimpinan Qusai. Ia mengatur urusan Ka’bah, setelah wafatnya (480 M) dan digantikan oleh anaknya Abdud Dar. Tetapi sepeninggal Abdud Dar terjadi perselisihan antara cucu­cucu dan anak- anak saudaranaya Abdul Manaf pertentangan itu diselesaikan dengan membagi kekuasaan yakni, pengaturan air dan pajak atas Mekah diserahkan kepada Abduh Syam. Penjagaan Ka’bah diserahkan pada cucu Abdud Dar, sedangkan Abduh Syam menyerahkan lagi urusannya kepada saudaranya yang bernama Hasyim, tetapi anak Abduh Syam, Umaiyah, berlaku sombong kepada pamanya Hasyim. Urusan­urusan itu Akhirnya dipegang oleh anak Hasyim, yaitu Abdul Muthalib, kakek Nabi saw. Ia adalah orang yang terhormat dalam memegang tampuk pemerintahan Mekah, sehingga ia dapat bertahan selama 59 tahun di kota itu. (Syalabi, 1995:26- 35)

A. Sistem Politik dan Kemasyarakatan

Menjelang era Islam, Arabia merupakan wilayah pinggiran bagi masyarakat imperial Timur Tengah dalam posisinya sebagai negara yang perkembangannya sebanding perkembangan negara-negara zaman kuno dan tidak terlibat dengan perkembangan negara-negara lain di wilayah ini. Arabia merupakan komunitas besar yang secara khusus tetap memperhatikan pengaruhnya, sementara institusi perkotaan, kerajaan, keagamaan tidak mengalami perkembangan,

Arab Pra Islam sekalipun semua institusi tetap berlangsung. Sedangkan dunia

imperial pada umumnya merupakan masyarakat agrikultural, Arabia bertahan sebagai masyarakat menggembala (pasto- ral). Ketika dunia imperial pada umumnya merupakan wilayah perkotaan, Arabia bertahan sebagai negeri perkemahan dan oasis. Ketika masyarakat imperial mengembangkan keyakinan monotheistik, masyarakat Arabia pada umumnya sebagai warga papan. Ketika dunia imperial

Abdud Dar terjadi perselisihan antara cucu­cucu dan anak- pada umumnya secara politik terorganisir secara baik, maka Arabia secara politik tercerai berai.

Pada sisi lain selalu terasing dari pergaulan dan berada di bawah pengaruh kuat wilayah-wilayah imperial. Secara fisik tidak ada batas yang jelas antara Arabia dan Timur Tengah. Tidak terdapat batas etnis dan demografis yang jelas yang dapat mengisolasi Arabia dari wilayah lain. Juga tidak

berlaku sombong kepada pamanya Hasyim. Urusan­urusan ada dinding pembatas atau batasan politis yang menonjol. Pelan tapi pasti, Arabia berpindah ke Timur Tengah dan kemudian mereka menjadi bagian penduduk pesisir Arabia Utara dan Syria. Bangsa Arab yang hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik, kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat di sekitarnya. Lebih lanjut Arabia dihubungkan dengan beberapa wilayah lain oleh sejumlah propagandis keliling yang menyebarkan ajaran monotheis dikalangan masyarakat pagan jazirah ini oleh sejumlah pedagang yang membawa tekstil, perhiasan dan bahan-bahan makanan seperti tepung dan minuman anggur ke dalam Arabia dan menimbulkan selera kebutuhan akan barang-barang mewah dan oleh agen-agen penguasa kerajaan yang secara diplomatik dan politik turut mencampuri hak-hak perdagangan mereka, melindungi masyarakat keagamaan dan memperluas interest berlaku sombong kepada pamanya Hasyim. Urusan­urusan ada dinding pembatas atau batasan politis yang menonjol. Pelan tapi pasti, Arabia berpindah ke Timur Tengah dan kemudian mereka menjadi bagian penduduk pesisir Arabia Utara dan Syria. Bangsa Arab yang hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik, kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat di sekitarnya. Lebih lanjut Arabia dihubungkan dengan beberapa wilayah lain oleh sejumlah propagandis keliling yang menyebarkan ajaran monotheis dikalangan masyarakat pagan jazirah ini oleh sejumlah pedagang yang membawa tekstil, perhiasan dan bahan-bahan makanan seperti tepung dan minuman anggur ke dalam Arabia dan menimbulkan selera kebutuhan akan barang-barang mewah dan oleh agen-agen penguasa kerajaan yang secara diplomatik dan politik turut mencampuri hak-hak perdagangan mereka, melindungi masyarakat keagamaan dan memperluas interest

Jadi peradaban Timur Tengah merembes ke Arabia, sebagaimana terjadi dimana saja, dimana kerajaan besar yang mempertahankan wilayah perbatasan dengan masyarakat yang secara politik dan kultural kurang terorganisir.

Orang-orang yang berpindah-pindah ini hidup dalam ikatan kelompok kerabatan, keluarga patriakal yang terdiri seorang ayah, anak laki-lakinya dan keluarga mereka. Keluarga-keluarga ini selanjutnya berkelompok menjadi sebuah klan yang terdiri dari ratusan rumah tenda, yang mana secara bersama mereka pindah, memiliki yang rumput dan bertempur sebagai satu kesatuan di medan peperangan. Secara bersama mereka berpindah memiliki padang rumput dan bertempur sebagai satu masing-masing di medan peperangan. Secara fundamental, masing-masing klan merupakan dualisme kesatuan yang mandiri. Selur uh kesetian terserap oleh kelompok yang bertindak sebagai sebuah kolektifitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk menghadapi tanggungjawab bersama.

Arab Pra Islam Jika seorang warga teraniaya, maka hal itu menjadi tanggung

jawab klan. Sebagai konsekuensi solidaritas kelompok, yang disebut ASABIYAH, klan Badui memandang dirinya sendiri sebuah kebijakan yang penuh dan tidak menganggap tidak ada otoritas eksternal. Sebuah klan dipimpin oleh Syaikh yang biasanya dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari salah satu keluarga berpengaruh dan ia senatiasa bertindak setelah meminta saran-saran mereka. Mereka menyelesaikan perselisihan internal sesuai dengan tradisi kelompok, namun ia tidak berhak mengatur atau memerintah. Syaikh haruslah seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya; ia haruslah seorang yang berprilakui adil dan bijak– sabar, pemaaf dan rajin bekerja. Di atas segalanya, ia haruslah seorang yang memiliki keputusan yang adil untuk menghindarkan pertentangan dikalangan pengikutnya.

Klan ini menggambarkan corak mental orang-orang Badui. Syair mengekspresiakan sebuah perjuangan untuk nama baik dan keamanan kelompok; tanpa klan seorang tiada memiliki tempat di dunia ini. Bahasa Badui tidak menawarkan kesempatan mengekspresikan individual atau personalitas. Term wajib sekalipun diberlakukan untuk pimpinan benar- benar merupakan sebuah konsep yang menunjukkan kepada persona kelompok bukan menunjuk kepada individu syaikh sebagai sebuah pribadi.

Hanya pada wilayah-wilayah perbatasan sejumlah monarkis dan kerajaan mengambil bentuk. Di Arabia Selatan, otoritas raja pertama kali berdiri sekitar 1000 SM dan berakhir hingga datang era Islam. Kerika abad V SM, Yaman teorganisir menjadi kerajaan dengan elit monarkis dan tuan tanah. Sebuah agama Pantheon dan mengorganisir kuil-kuil Hanya pada wilayah-wilayah perbatasan sejumlah monarkis dan kerajaan mengambil bentuk. Di Arabia Selatan, otoritas raja pertama kali berdiri sekitar 1000 SM dan berakhir hingga datang era Islam. Kerika abad V SM, Yaman teorganisir menjadi kerajaan dengan elit monarkis dan tuan tanah. Sebuah agama Pantheon dan mengorganisir kuil-kuil

Di wilayah utara, kerajaan-kerajaan yang ada kurang terlembagakan. Misalnya kerajaan Nabatean kuna (abad keenam - 106 SM) diperintah oleh seorang raja yang mengklaim dan menerima otoritas ketuhanan dan memiliki beberapa administrasi yang memusat, tetapi benar-benar tergantung kepada dukungan koalisi klan dan kepada suku. Pada tahun 85 SM, sebuah kerajaan baru yang beribukota di Petra menguasai sebagian besar Yordania dan Syria. Kerajaan ini menjalin perdagangan dengan Yaman, Mesir, Damascus dan kota-kota pesisir Palestine. Kerajaan ini berakhir pada 106 M, ketika ia dihancutkan oleh pasukan Romawi. Palmyra menggantikan Petra, memperluas kekuasaan atas seluruh wilayah padang pasir dan sejumlah wilayah perbatasan sekitar.

Sebagai pusat kota urban, pengembangan sejumlah kuil, jaringan perdagangan yang luas, pengaruh budaya Hellenistik yang kuat menandai kehebatan warga Palmyra. Kerajaan ini menangani urusan diseluruh penjuru Jazirah Arabia dan memberikan orang Badui pedalaman padang pasir ekonomi dan politik menjadi kerangka kerja politik dan budaya perbatasan. Kalangan nomad menjalin ikatan perdagangan dengan beberapa wilayah perkampungan di tengah-tengah dan sesekali membentuk koalisi politis tyang lebih luas yang disponsori oleh kekuasaan pinggiran.

Pekan Raya sejak semula memberikan keuntungan ekonomi bagi Mekah warga yang dikenal sebagai kaum Quraisy, yang menguasai kota Mekah sejak abad kelima.

Arab Pra Islam Menjadi penduduk yang ahli dalam perdagangan eceran.

Pada abad keenam mereka mendirikan sebuah tempat untuk memasarkan rempah-rempah, lantaran kesulitan jalur lain yang menyulitkan lalu-lintas menuju ke seluruh Arabia.

Kegagalan pemerintahan perbatasan, di hampir seluruh Arabia dalam menjaga pemerintahan yang efektif atas pusat Jazirah ini mengakibatkan perkembangan proses baduisasi. Masyarakat Badui yang hidup bebas dari tekanan politik dan perdagangan, maka ketika mereka tertekan oleh sejumlah kerajaan perbatasan, mereka menyiapkan jalan keluar menuju wilayah subur di Arabia Selatan.

Pada abad keempat, kelima dan keenam, berlangsung migrasi masyarakat Badui secara besar-besaran menuju padang Arabia Utara dan sampai ke perbatasan beberapa wilayah subur. Konflik antara suku dan klan berlangsung secara gencar di Arabia. Interes masyarakat kampung secara progesif mengembangkan interes pertanian. Irigasi Badui yang memasuki wilayah pinggiran di Yaman dan wilayah perbatasan antara Iraq dan Syria kembali kepada kehidupan padang rumput. Gerombolan kelompok Badui mengganggu karavan dagang dan masyarakat yang menetap terdesak ke dalam sistem kehidupan perkampungan. Sudan barang tentu proses Baduisasi Arabia tidak berlangsung secara serta merta, melainkan berlangsung secara bertahap dan kumulatif.

Konfrontasi antara kekuatan masyarakat kecil dan masyarakat konfederasi dagang dan agama secara kultural dan politik tercermin dalam kehidupan masyarakat Arabia akhir abad keenam. Sebagai yang terlibat dalam kehidupan politik diwarnai ketegangan beberapa tipe organisasi politik dan ekonomi yang berbeda. Kehidupan kultural dengan ketidakserasian pandangan menangani kehidupan manusia, Konfrontasi antara kekuatan masyarakat kecil dan masyarakat konfederasi dagang dan agama secara kultural dan politik tercermin dalam kehidupan masyarakat Arabia akhir abad keenam. Sebagai yang terlibat dalam kehidupan politik diwarnai ketegangan beberapa tipe organisasi politik dan ekonomi yang berbeda. Kehidupan kultural dengan ketidakserasian pandangan menangani kehidupan manusia,

Syair dan kultur keagamaan klan masih mem- pertahankan sebuah elemen Badui. Sedikit atau banyak Badui Arabia merupakan masyarakat animis dan politheis, yang mana mereka meyakini bahwa seluruh obyek alam dan peristiwanya mer upakan kehidupan roh yang dapat membantu atau mengganggu kehidupan manusia. Alam bagi bangsa Arab diwarnai alam kehidupan Jinn, yang harus dijinakan dan dikuasai dengan magis. Melaui praktik magis orang Badui memungkinkan memastikan nasibnya, namun mereka tidak berhubungan baik dengan Jinn. Mereka merupakan suku lain telah memasukkan eksistensinya. Masyarakat Badui juga menyembah nenek moyang bulan dan bintang, juga dewa-dewa yang berupa batu atau pohon besar yang mempati tempat-tempat keramat yang dijaga kesu- ciannya.

B. Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan

Agama kerajaan dan konfederasi lainnya juga bersifat politheistik, keyakinan mereka mengekspresikan konsep-konsep yang lebih tinggi mengenai Tuhan, jagad raya alam manusia. Tempat-tempat suci (al-haram) dan kuil-kuil kerajaan diperuntukkan untuk penyembahan. Ka’bah masyarakat Mekah, misalnya merupakan tempat sejumlah dewa yang memiliki susunan hirarki. Dewa-dewa ini tidak lagi dikenali secara sederhana dengan alam, mereka dipahami sebagai pribadi yang khas yang terlepas dari kekuatan-kekuatan alamiah, sebagai wujud yang maha berkehendak, sebagai wujud yang berkuasa. Beberapa dewa mestilah dipuja dengan persembahan kurban; seorang dapat berkomunikasi dengan mereka sebagai pribadi.

Arab Pra Islam Dalam lingkungan tempat-tempat suci, tumbuhlah

konsep-konsep baru mengenai indentitas kolektif pekan perdagangan dan perayaan keagamaan tahunan di Mekah dan ada tempat-tempat penziarahan lainnya menghadirkan banyak keluarga dan suku-suku Jazirah. Mereka berkumpul untuk memanjatkan persembahan rakyat dalam peribadatan umum, memungkinkan mereka melaksanakan bentuk peribadatan masing-masing dan membakukan bahasa dan adat yang digunakan untuk berhubungan satu dengan yang lainnya. Kesadaran terhadap keyakinan agama dan pola kehidupan, pengakuan terhadap keluarga dan suku-suku aristokratik, lembaga kesepakatan yang mengatur perihal kehidupan padang rumput, peperangan, perdagangan, prosedur sumpah setia dan arbitrase, merupakan pertanda perkembangan identitas kolektif yang melampaui klan indi- vidual.

Dalam pengertian lain, terdapat persamaan yang menonjol antara konfederasi masyarakat Mekah dan keceraiberaian kehidupan klan Badui. Mentalitas Badui dan politheisme warga Mekah melahirkan pandangan yang sama mengenai pribadi, masyarakat dan jagad raya. Pandangan ini tidak melahirkan konsep yang koheren mengenai wujud manusia sebagai sebuah entitas. Bahasa Arab kuna tidak hanya mengenal sebuah istilah tunggal yang berarti ‘pribadi” (person), Qalb (heart), ruh (spirit), nafs (soul), wajah (face), merupakan sejumlah istilah yang satupun tidak ada yang sesuai dengan konsep sebuah kepribadian yang utuh. Kemajemukan dewa mencermikan dan melambangkan keceraiberaian pandangan mengenai manusia, masyarakat dan kekuatan-kekuatan yang menguasai jagad raya. Masyarakat pagan memndang diri tanpa sebuah pusat, Dalam pengertian lain, terdapat persamaan yang menonjol antara konfederasi masyarakat Mekah dan keceraiberaian kehidupan klan Badui. Mentalitas Badui dan politheisme warga Mekah melahirkan pandangan yang sama mengenai pribadi, masyarakat dan jagad raya. Pandangan ini tidak melahirkan konsep yang koheren mengenai wujud manusia sebagai sebuah entitas. Bahasa Arab kuna tidak hanya mengenal sebuah istilah tunggal yang berarti ‘pribadi” (person), Qalb (heart), ruh (spirit), nafs (soul), wajah (face), merupakan sejumlah istilah yang satupun tidak ada yang sesuai dengan konsep sebuah kepribadian yang utuh. Kemajemukan dewa mencermikan dan melambangkan keceraiberaian pandangan mengenai manusia, masyarakat dan kekuatan-kekuatan yang menguasai jagad raya. Masyarakat pagan memndang diri tanpa sebuah pusat,

Agama-agama monetheistik mengemukakan sesuatu yang lain. Mereka diperkenalkan kepada masyarakat Arabia oleh pengaruh-pengaruh asing dan oleh warga menetap yang beragama Yahudi dan Kristen oleh propaganda dan pedagang keliling dan oleh tekanan kaum imperium Bizantium dan Abyssinia, sekitar abad keenam monotheisme telah memiliki model tertentu. Sejumlah orang kafir telah mengenal agama- agama monotheisme, sedang sejumlah lainnya , yang di dalam al-Qur’an disebut sebagai hanif, merupakan kelompok beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi mereka belum memeluk keyakinan tertentu. Orang-orang Kristen yang banyak tinggal di beberapa oasis kecil di Yaman dan dibeberapa wilayah perbatasan sebelah utara, yang mana mereka mer upakan kelompok minoritas yang sangat berpengaruh, dan masih banyak lagi orang-orang yang terasa lebih berkuasa, lebih berpengalaman dan lebih berbudaya, baik melalui kekuatan ajaran dan kekuatan ungkapan ungkapan mereka. Agama baru ini mengajarkan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan perihal moral dan spritual alam ini yang membuat semua manusia bernafas, apapun ras atau klan mereka dan Tuhan yang memberi petunjuk mereka mencapai kebahagiaan.

Jadi jelaslah bahwa monotheisme sangat berbeda dari politheis dalam kesatuan jagad raya ini dan kegunaan pengalaman hidup manusia, jikalau politheis hanya mampu melihat sebuah alam yang bercerai berai yang terdiri dari kekuatan yang tak terkendali, sebaliknya monotheis memandang jagad raya ini sebagai sebuah totalitas yang dicipta dan diatur oleh sebuah wujud tunggal yang

Arab Pra Islam merupakan segala sumber dari segala materi dan spirit (jiwa).

Jikalau politheis memandang sebuah masyarakat sebagai orang-orang yang terbagi menjadi klan dengan komunitas dan dewa masing-masing, sebaliknya monotheis me- nginginkan sebuah masyarakat bersaudara dalam keimanan untuk mencapai keselamatan. Jikalau dalam pandangan politheis keberadaan manusia sebagai rentetan kekuatan yang berbeda-becla tanpa pusat moral dan fisik, sebaliknya dalam pandangan monotheis manusia merupakan sebuah moral, makhluk purposive yang tujuan utama hendak dicapainya adalah ganjaran (pahala). Dalam pandangan agama monotheis, Tuhan, manusia dan alam merupakan bagian dari sesuatu yang tunggal, yang semuanya mengandung makna yang utuh.

Di manapun juga konfrontasi pandangan seperti ini tidak jauh berbeda dengan yang berkembang di Mekah. Mekah merupakan satu diantara tempat-tempat yang paling kompleks dan paling heterogen di Arabia. Masyarakat ini telah berkembang dalam batas-batas klan dan suku untuk memperkuat kompleksitas politik dan ikatan ekonomi. Mekah memiliki sebuah dewan klan (mala), sekalipun dewan ini hanya menangani sebuah otoritas moral dengan tidak disertai kemerdekaan bertindak. Mekah merupakan satu diantara beberapa tempat di Arabia yang memiliki sesuatu yang mengambang, warga individual yang terusir dari kesukuan, sejumlah pengungsi dan pedagang asing. Kehadiran orang-orang yang berbeda dan klan; orang-orang yang tidak memiliki klan, orang asing, orang-orang yang memiliki ikatan agama lain, beberapa pandangan yang berbeda mengenai tujuan hidup dan tata nilai menjadikan Mekah terlepas dari agama kesukuan dan konsep-konsep moral yang lama.

Konsep baru mengenai kebajikan pribadi dan status sosial serta hubungan sosial yang baru mendukung semakin kompleksnya masyarakat ini. Pada sisi yang positif, aktifitas perdagangan yang bersifat imperatif, kontak dan identifikasi Arabia yang luas melahirkan individu-individu yang bebas dari tradisi klan mereka dan memungkinkan mengembangkan kesadaran diri, semangat kritis, yang menjadikan mereka mampu bersikap dengan tata nilai baru, dan memungkinkan mereka mengukuhkan sebuah Tuhan universal dan etika universal. Pada sisi negatif, masyarakat tersebut terancam oleh kompetisi ekonomi, konflik sosial dan kerancuan moral. Aktifitas komersial melahirkan stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan dan perbedaan yang tidak dapt dipadukan antara situasi individual dan kesetiaan klan yang bersifat imperatif Al-Qur’an tidak menghenclaki pergantian nilai-nilai luhur yang bercorak kesukuan dengan ambisi, tamak, arogansi dan hedonisme. Mekah yang memberikan beberapa standar tata politik dan perniagaan kepada Arabia, telah kehilangan identitas moral dan sosialnya.

Arabia dalam keadaan terbagi: sebuah masyarakat yang di tengah eksperimen pembentukan politik terancam oleh anarki; klan yang kuat dan kekuasaan kesukuan mengancam stabilitas pertanian, aktifitas komersial dan ikatan politik. Ia merupakan sebuah masyarakat yang telah terjamah oleh sejumlah pengaruh kerajaan, namun tidak disertai dengan pernerintahan pusat; ditandai dengan agama monotheistik yang tidak disertai dengan pembentukan gereja, rentan terhadap pengaruh ide-ide Timur Tengah, namun tidak menyerap ide-ide tersebut. Arabia sedang berusaha menemukan posisinya dalam dunia Timur Tengah. Segala sesuatunya dalam keadan yang ruwet. Tidak ada sesuatu yang

Arab Pra Islam bersifat pasti. Di tempat inilah Muhammad lahir, tumbuh

berkembang, menympaikan al-Qur’an dan di tempat ini pula ia menjadi Nabi Islam.

Bab III Masa Nabi

A. Pendahuluan

Kenabian merupakan suatu fenomena yang luar biasa dan di atas segala keistimewaan Nabi Muhammad adalah Nabi secara permanen berpengaruh dalam mengubah kehidupan rakyatnya dan meninggalkan suatu warisan diantara agama-agama besar dunia. Jadi untuk memahami kehidupan Muhammad dan perkembangan Islam, kita harus memahami visi keagamaan dan kaitannya dengan prilaku keduniaan Muhammad.

Dibandingkan dengan sejarah pendiri agama-agama besar lainnya, sumber-sumber ilmu pengetahuan, mengenal kehidupan nabi Muhammad lebih banyak. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslim yang diyakini sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad melaui malaikat Jibril, wahyu yang berisikan firman dan kehendak Allah, sumber tertinggi bagi keyakinan Islam, inspirasi dalam Dibandingkan dengan sejarah pendiri agama-agama besar lainnya, sumber-sumber ilmu pengetahuan, mengenal kehidupan nabi Muhammad lebih banyak. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslim yang diyakini sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad melaui malaikat Jibril, wahyu yang berisikan firman dan kehendak Allah, sumber tertinggi bagi keyakinan Islam, inspirasi dalam

Hadits atau perkataan Nabi Muhammad merupakan sumber kedua bagi pengetahuan terhadap kehidupan dan ajaran nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan al-Qur’an, sebagian besar Hadits, merupakan prilaku Muhammad sendiri, sekalipun ia terilhami oleh wahyu, karenanya hadits sangat berbeda dengan al-Qur’an

Al Qur’an diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari usia Nabi Muhammad tahun 610 sampai 632. Karena ia berhadapan dengan sebuah zaman, maka al Qur’an juga menghadapi lingkungan historikal yang spesifik. Sejumlah ahli Tafsir memberikan informasi mengenai peristiwa- peristiwa yang menyertai turunya ayat-ayat partikular. Ayat- ayat al-Qur’an mengutarakan perdebatan Nabi Muhammad dengan orang-orang Mekah dan penyelesaian Muhammad terhadap problem politik dan sosial di Madinah dan memberikan petunjuk yang kongkrit mengenai permasalahan ritual, moral, legal dan urusan politik.

Al-Qur’an memperlihatkan bagaimana visi Nabi Muhammad berkembang sebagai respon langsung terhadap lingkungan nyata setempat. Dalam biografi Muhammad, tidak ditemukan bahwasanya ia menyebarkan sebuah sistem keyakinan yang bersifat paket. Ia cenderung sebagai hakim daripada seorang legislimator, cenderung sebagai penasehat

Masa Nabi daripada seorang teoritikus. Nabi Muhammad sebagai seorang

penerima wahyu, memberikan petunjuk bar u dalam kehidupan, sebuah petunjuk yang memiliki sejumlah implikasi dan posibilitas yang pernah berlaku sebelumnya.

B. Fase Mekkah: Sistem Dakwah

Periode wahyu bermula semenjak tahun keempat puluh dari usia Nabi Muhammad. Ia dilahirkan pada tahun 570 M. Pada satu diantara keluarga besar dalam Bani Hasyim. Moyang Muhammad adalah penjaga sumur suci Zamzam di Mekah. Namun pada masa nabi klan ini, sekalipun terlibat dalam urusan perniagaan, namun tidak termasuk kelompok yang menguasai bidang-bidang yang bersifat menguntungkan dalam sistem perdagangan karavan. Ayah Muhammad meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia tumbuh dalam asuhan kakeknya dan kemudian dalam asuhan pamannya, Abu Thalib. Muhammad bekerja sebagai Caravaner dan pada usia

25 tahun, ia menikah dengan majikannya Khadijah, seorang janda kaya raya. Perkawinan mereka dikarunia empat anak perempuan dan beberapa anak laki-laki, seluruh anak laki- laki itu meninggal pada usia bayi.

Muhammad adalah seorang laki-laki yang berbakat dalam bidang keagamaan dalam usia sebelum turunnya wahyu ia suka mengasingkan diri pada sebuah pegunungan di luar kota Mekah untuk berdo’a dalam keheningan.

Sekitar tahun 610, ia menerima wahyu pertama, sejumlah wahyu datang kepadanya seperti cahaya terbit fajar. Firman pertama yang diwahyukan kepadanya adalah lima ayat pertama dalam surat al-‘Ala (surat ke 96). Kesadarannya terhadap kehadiran Tuhan melahirkan pesona, ketaqwaan dan keagungan.

Dalam tahun-tahun pertama, kandungan dari wahyu yang turun adalah mengenai satu-satunya yang Agung, yakni Allah, yang pada hari pengadilan akan menimbang setiap perbuatan manusia. Wahyu-wahyu yang pertama menekankan kekhawatiran perihal pengadilan hari akhir, anjuran bersikap saleh dan penuh kebajikan dan peringatan atas kelalaian terhadap tugas dan kewajiban dan kelalaian terhadap pembalasan hari akhir. Kebalikan dari pengabdian diri kepada Tuhan dan kekhawatiran akan ancaman dihari akhir adalah sikap kesombongan, membanggakan kekuasaan manusia dan pengrusakan terhadap segala sesuatu di dunia ini. Hal ini merupakan kebanggaan masyarakat mekah, yang mendarong mereka kepada dosa keserakahan, acuh terhadap nasib fakir miskin, acuh akan sikap kedermawanan dan acuh terhadap sikap kesejahteraan kelompok masyarakat lemah. Dalam rangka utuk menyebarkan ajaran-ajaran keluhuran dan kebajikan, Muhammad memperkenalkan ibadah ritual, ketaqwaan, eskatologia, keagungan etik dan shalat membentuk dasar-dasar Islam pada masa awal.

Selama tiga tahun semenjak turun wahyu pertama, Muhammad tetap bertahan sebagai pribadi sendiri yang menerima pesan-pesan Allah. Ia menyampaikan pe- ngalaman keagamaannya kepada sanak keluarga dan teman dekatnya, dan kekuatan inspirasi dan bahasa yang fasih yang disampaikannya meyakinkan sebagian mereka bahwasanya viai Muhammad merupakan wahyu Tuhan. Terdapat sekelompok kecil yang menerima seruannya dan mereka berkumpul mengelilinginya untuk men- dengarkan pembacaan wahyu al-Qur’an. Mereka adalah pemeluk Islam yang pertama dan termasuk di dalamnya adalah istrinya sendiri, khadijah, Abu Bakar dan Ali.

Masa Nabi Setelah tiga tahun, tibalah saatnya untuk me-

nyampaikan misi Islam secara terbuka, sekitar tahun 613, Nabi Muhammad menerima wahyu yang terkandung ungkapan “Bangkitlah dan sampaikanlah peringatan ini”. Maka sejak itu Muhammad mulai menyampaikan dakwah secara terbuka, sebuah langkah pertama untuk memasukkan gagasan agama ke dalam aktualitas sosial dan kehidupan politik. Satu hal yang penting adalah kelompok pengikut yang pertama adalah kalangan migran, kalangan miskin, warga klan yang lemah dan anak-anak dari kalangan klan kuat, dimana mereka merupakan kalangan yang paling kecewa terhadap pergeseran moral dan sosial Mekah dan mereka mem- buktikan pesan-pesan Nabi sebagai sebuah alternatif yang vital.

Pada tahun pertama dakwah Muhammad masih belum memuaskan. Terlepas dari kelompok pengikutnya yang berjumlah kecil, dakwah Muhammad berhadapan dengan oposisi dari segala penjuru. Dari keterangan al-Qur’an, suku Quraisy, kelompok pedagang yang mendominasikan Mekah, menentang keras wahyu Muhammad. Mereka melecehkan pemikiran aneh mengenai pengadilan hari akhir dan kebangkitan kembali setelah mati dan mereka menuntut mukjizat sebagi bukti kebenaran risalahnya. Jawaban Muhammad tiada lain hanyalah al-Qur’an itu sendiri, yakni wahyu yang memiliki keindahan bahasa yang unik, yang merupakan sebuah mukjizat dan sebuah pertanda wahyu. Namun kalangan Quraisy menuduh Muhammad sebagai kabin, ahli nujum, tukang ramal, yakni bentuk kekacauan tukang sihir atau orang gila. Kemudian datanglah penghinaan, penyiksaan terhadap Muhammad dan pengikutnya dan sebuah pemboikotan ekonomi yang mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan di pasar-pasar.

Perlawan yang nyata adalah didasari oleh latar belakang keagamaan, namun dakwah ajaran Muhammad sesung- guhnya merupakan sebuah ancaman keutuhan struktur keluarga dan komunitas yang akan berkaitan erat dengan keyakinan Quraisy yang berlangsung selama ini. Secara implisit wahyu Islam menantang seluruh institusi masyarakat yang tengah berlangsung saat itu penghambaan diri kepada berhala dan kehiduapan ekonomi yang bergantung pada tempat-tempat suci, nilai-nilai kesukuan tradisional, otoritas para tokoh Quraisy dan solidaritas klan yang dari solidaritas ini Muhammad berimaksud menggalang pengikutnya. Agama, keyakinan moral, struktur sosial dan kehidupan sosial membentuk sebuah sistem ide dan institusi yang tidak mudah digantikan dengan sesuatu yang lain. Menyerang mereka pada poin-poin yang sangat penting berarti menyerang keutuhan akar kemasyarakatan dan juga cabang-cabangnya. Jadi oposisi pihak Quraisy merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.