Sistem Pergantian Kepala Negara

C. Sistem Pergantian Kepala Negara

Sistem pergantian Kepala Negara pada periode khulafaur-Rasyidin berdasarkan beberapa pemikiran para ulama sebagai berikut :

Pertama , Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash baik di dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah yang menentukan kepala negara, atau menetapkan cara penen- tuannya. Kecuali nash-nash umum yang bertalian dengan kekuasaan dan pengangkatan seorang penguasa daerah. Baik adalah kekuasaan besar maupun keuasaan kecil.

Jika ada sebuah prinsip yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, niscaya para sahabat mengumumkannya ketika Nabi saw wafat. Perselisihan di antara para sahabat waktu itu adalah sekitar masalah siapa

Masa Khulafaur Rasyidin yang berhak diantara mereka menjabat kekhalifahan, bukan

sekitar masalah prinsip. Sehingga orang yang terlambat membaiat Abu Bakar tidaklah mengumumkan suatu prinsip tandingan yang mereka yakini disyari’atkannya kepada manusia banyak.

Jika mereka mengerti suatu kaidah atau prisip yang diumumkan Rasulullah saw tentu mereka tak akan tinggal diam. Karena diamnya mereka mereka merupakan suatu penghianatan kepada Allah dan RasulNya. Begitu juga diam tidak memberi nasehat. Setiap perkara pengutamaan si fulan atau pengangguhan si fulan adalah melalui ijtihad pribadi di dalam memilih dan mengutamakan (seseorang).

Begitu juga ahlu sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash yang menentukan siapa yang berhak mengganti Rasul saw. Sekalipun sebagian mereka bahwa ada isyarat tersembunyi dan beberapa qarinah (pertalian) yang menunjukkan penetapan atas diri Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw. Ini adalah masalah yang tidak disepakati melalui kesimpulan yang dapat diterima atau ditolak.

Kedua , jika memang di dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah tidak ada suatu penetapan cara penentuan (kepala negara), kita kembali saja kepada aplikasi keilmuan yang selesai di masa mayoritas sahabat dan generasi pertama diantara mereka di dalam memilih khalifah. Agar kesimpulan aplikasi dianggap sebagai ijma’ para sahabat, suatu prinsip dapat dijadikan pegangan dalam membahas tema ini. Disamping pegangan kita terhadap nash-nash umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ketiga , dari cara terpilihnya Abu Bakar dan ketiga khalifah sesudahnya dapatlah diuraikan beberapa prinsip sebagai berikut :

Prinsip pertama , Pemilihan mayoritas ahlu halli wa ‘aqd dan kaum cerdik pandai di masyarakat terhadap orang yang mereka pandang cakap menduduki jabatan khalifah dan memerintah orang-orang mukmin. Dan pembai’atan mereka kepadanya. Serta pencalonnya sebelum menjadi seorang khalifah yang melaksanakan pemerintahan untuk mengurus wasiat (khalifah sebelumnya). Akan tetapi tidaklah terlaksana dengan wasiat ini, tetapi dengan wasiat (pesan) kaum muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang menga- manatkan kepada orang sesudahnya.

Prinsip kedua , bai’at mayoritas umat Islam kepada khalifah yang dicalonkan. Mereka rela kepadanya dan menerima kekhalifahannya dan persetujuan mayoritas mereka atasnya. (Baca M. al-Mubarak, 1995: 82-83)

Peraturan tentang pemilihan kepala negara pada masa sahabat atau khulafaur-Rasyidin tidak dibahas di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun al-Hadits. Oleh karena itu pemilihan kepala negara pada masa sahabat berdasarkan suara yang terbanyak, melalui lembaga ahlu halli wa ‘aqd yang terdiri dari sahabat yang terpandang, baik ditinjau dari ke- sholehannya maupun dari intelektualitasnya.

Sedangkan kepala negara yang akan dipilih harus memiliki dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan menjadi standar pada masa itu.

Setelah mereka sepakat siapa yang dipilih, maka selanjutnya diadakan Piagam bai’at yang harus dilaksanakan oleh kepala negara yang terpilih. Di bawah ini secara umum dipapar bagaimana proses pemilihan Kepala Negara.

a. Ahlu al-Halli wa-al’Aqd Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala

negara disebut ahlul halli wal-agdi atau ahlul ikhiyar. Al-

Masa Khulafaur Rasyidin Qadhi Abu Ya’la telah menetapkan beberapa syarat

kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd. Pertama, syarat moral (akhlaq), yaitu keadilan, merupakan derajat keistiqamahan (dapat dipercaya dalam hal amanah dan kejujuran). Kedua, ilmu yang dapat mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah.

Seakan-akan antara dua syarat terakhir ada kekaburan dan kesamaran, sekalipun nampak bahwa yang dimaksud dengan syarat kedua adalah ilmu teoritis. Seolah-olah merupakan suatu persyaratan penguasaan terhadap derajat tertentu daripada kebudayan (wawasan). Khususnya wawasan kefiqihan perundang-undangan. Ketiga, lebih dekat kepada persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan.

Para fuqaha tidak menyebutkan cara untuk menen- tukan atau menetapkan mereka itu. Sekalipun mereka menyebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan tema itu. Ahlul halli wal ‘aqd tidak memberikan persyaratan, berasal dari penduduk satu negeri dengan sang Imam, yaitu penduduk ibu kota Sekalipun pada prakteknya mereka lebih dahulu dari yang lain dan pada umumnya orang yang layak menduduki kekhalifahan ada di ibukota. (Al-Ahkam as- Sulthaniyyah oleh Abu Ya’la, hal 4)

Al-Qadhi Abu Ya’la di dalam kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah membahas masalah lain yang penting, yaitu : “Apakah boleh bagi seorang khalifah mengangkat Ahlu ikhtiyar sebagaimana ia mengangkat ahlul ahd (para pengganti)?” Jawabannya adalah: Ada yang berpendapat boleh, karena ia merupakan diantara hak-hak kekha- lifahannya. Sedangkan qiyas madzhab kita berpendapat tidak boleh.”

Pendapat al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa tidaklah diperkenankan bagi khalifah menentukan (me- ngangkat) orang-orang yang akan memilih khalifah sesudahnya adalah pendapat yang benar. Sesuai dengan maksud pembuat syari’at. Maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa cara menetapkan adalah suatu perkara yang diserahkan kepada kebijaksanaan setiap masa dan negeri. (Baca pendapat Abu Ya’la dalam M. al-Mubarak. 1995: 94- 85)

Pemilihan anggota dalam lembaga ahlu al-Halli wa al- ‘Aqd telah disepakati berdasarkan kebijaksanaan sesuai dengan zaman dan pada tiap negara masing-masing wilayah.

b. Mayoritas dan Minoritas Inti dari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la adalah bahwa

imamah, tidaklah terlaksana, kecuali bersama mayoritas ahlul halli wal’aqh. Diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanibal “bahwa imam itu baru eksis kalau seluruh ahlu halli wa-al ’aqd mendukungnya” Kemudian ia berkata: Ini pada lahirnya terlaksana dengan persetujuan mereka.”

Menurut Abu Ya’la, kepala negara yang dipilih harus berdasarkan dukungan dan persetujuan pendapat mayoritas dari anggota lembaga Ahlu al-Halli wa al-’Aqd.

c. Bai’ah Bentuk Pemilihan Sisi penting politik yang terkait dengan ummah dalam

teologi dan sejarah Islam barangkali tercermin dalam gaya pemimpin negara Islam yang terpilih. Idealnya, pemimpin negara Islam yang juga pemimpin masyarakat adalah seorang yang terpilih diantara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan pada orang tertentu, maka

Masa Khulafaur Rasyidin permasalahannya dikembalikan kepada seluruh jajaran

ummah yang hendak meberikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses yang kedua ini disebut bai’ah.

Pengangkatan khalifah Abu Bakar sebagaimana yang kita ketahui adalah dari prakarsa cepat Abu Ubaidah bin Jaffah dan Umar bin Khathab untuk membaiat beliau, sehingga perselisihan antara kaum Anshar dan Muhajirin tidak meruncing. Akan tetapi pengangkatan beliau pada dasarnya tidak berpijak pada tindakan semacam itu, namun apa yang sebenarnya dilakukan oleh kedua orang tersebut di atas hanyalah bersifat pencalonan diri Abu Bakar untuk jabatan khalifah. Dan yang sebenarnya menjadi dasar pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah adalah adanya bai’at umat kepada beliau, termasuk orang-orang yang adil, berilmu, berfikiran, dan anggota ‘Ahlul Halli wal Aqdi’. Dengan adanya mereka membaiat beliau inilah kemudian umat mengikuti pendapat mereka.

Begitu juga dalam pengangkatan Umar. Tatkala Abu Bakar Ash-Shiddiq telah merasakan begitu dekat ajalnya, maka beliau menyerahkan kembali baiat yang pernah diterimanya dari kaum muslimin dan meminta kepada sebagian dari warga umat untuk berkumpul dan memilih penggantinya guna mengurus kepentingan kaum muslimin, akan tetapi mereka menyerahkan urusan ini kepada Abu Bakar dan mengangkatnya beliau sebagai wakil untuk memilihkan iman buat mereka, karena mereka ternyata tidak memperoleh kata sepakat untuk menunjuk salah seorang dari kalangan sendiri sebagai pengganti khalifah.

Jadi Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para tokoh dan orang-orang ahli pikir diantara kaum muslimin dalam pengangkatan Umar. Setelah mereka menyepakatinya, Jadi Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para tokoh dan orang-orang ahli pikir diantara kaum muslimin dalam pengangkatan Umar. Setelah mereka menyepakatinya,

Pembai’atan yang dilakukan terhadap Abu Bakar maupun Umar pada dasamya adalah pemilihan dan musyawarah. Mekanismenya adalah memilih salah seorang diantara 6 orang anggota panitia pemilihan khalifah yang diangkat oieh Umar.

Begitu pula pemilihan Abdurrahman bin ‘Auf terhadap Utsman pada dasarnya adalah sama. Namun pengangkatan Utsman sebagai khalifah selanjutnya sebenarnya hanyalah berdasarkan bai’at umat. Ketika Abbas bin Abdul Muthalib berkata kepada Ali bin Thalib. Sekiranya benar riwayat yang diketengahkan oleh pengarang buku “Al-Ahkamus Sul- thaniyyah” : Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu.” Kemudian orang banyak mengatakan: “Paman Rasul saw telah membai’at keponakan laki-lakinya. Sehingga tidak akan ada dua orang sekalipun yang memperselisihkanmu.” Hal semacam ini tidak lain merupakan pencalonan oleh Abbas terhadap Ali. Kemudian untuk selanjutnya terserah kepada umat dan para tokohnya.

Masa Khulafaur Rasyidin Proses pengangkatan khalifah, dapat berjalan

berdasarkan bai’at yang dilakukan secara ridha dan bebas oleh umat. Dan bahwa penunjukkan oleh khalifah sebelumnya hanyalah bersifat pencalonan seseorang yang dianggapnya patut sebagai penggantinya. Jika umat menyetujui pencalonannya, maka mereka membai’at, tetapi jika tidak setuju, maka mereka punya hak untuk membai’at orang lain.

Ketika selesai pemilihan mayoritas ahlul halli wal’aqdi terhadap kepada negara, tibalah sekarang pada tahap pembai’atan atau piagam perjanjian. Al-Qadhi Abu Ya’la menyebutkan bentuk piagam perjanjian ini. Orang yang membai’at mengatakan : “Kami membai’atmu dengan penuh kesungguhan. Kami senang engkau menegakkan keadilan dan memperlakukan kami secara adil dan menunaikan kewajiban-kewajiban keimanan” (Abu Ya’la dalam M. al- Mubarak, 1995 : 86-87) Contoh pembaiatan yang terjadi pada, masa sahabat atau Khulafaur-Rasyidin di bawah ini adalah:

1. Abu Bakar

Ketika mengatakan bahwa Umar dan Abu Ubaidah adalah dua calon kuat pengganti Rasulullah, maka ketika itu juga Umar dan Abu Ubaidah berkata, “Tidak, Demi Al- lah kami tidak meninggalkan anda untuk memegang kepemimpinan ini. Andalah seorang Muhajir yang paling mulia, orang kedua yang bersembunyi di gua Tsur itu dan pengganti Rasullah SAW dalam mengimami shalat, sedangkan shalat adalah perkara agama yang paling utama. Oleh sebab itu, siapakah yang patut mendahului anda atau meninggalkan anda untuk memegangi kepemimpinan ini? Ulurkan tangan anda, kami akan membaiat anda”

Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu Bakar, serta merta Basyir bin Sa’ad mendahului mem- bai’atnya. Kemudian suku Aus seluruhnya menghampiri Abu Bakar, lalu membaiatnya. Hal ini terjadi ketika mereka melihat tindakan Basyir. Seruan suku Quraisy dan tuntutan suku Khazraj untuk mengangkat Sa’adbin Ubaidah sebagai Amir gagal untuk mendapatkan jabatan kekhalifahan

Kemudian Aslam dan rombongannya datang meng- hadap, sehingga memenuhi jalan masuk, lalu mereka membaiat Abu Bakar. Lalu datang manusia dari setiap penjuru untuk membaiatnya juga. Selanjutnya mereka menentukan tempat untuk membaiatnya. (Tsaqifah Bani Saidah) lalu semua datang untuk membaiatnya termasuk Ali bin Abi Thalib, walaupun bai’at darinya setelah enam bulan baru terlaksana itupun karena desakan Umar. (M. Yusuf Musa, 1990: 105¬106)

2. Umar Bin Khatab

Ketika Abu Bakar merasakan ajalnya hampir dekat, ia lalu megumpulkan rakyatnya, lalu berbicara kepada mereka, “Kalian telah mengetahui apa akan terjadi pada diriku karena itu kalian harus memilih Amir kalian diantara orang-orang yang kalian cintai. Maka sekiranya kalian memilih amir disaat aku masih ada, hal semacam itu lebih patut untuk membuat kalian tidak berselisih sepeninggalku.”

Ketika ummat Islam tidak memperoleh kesepakatan untuk memilih salah seorang diantara orang-orang yang pa- ling mereka cintai, maka mereka mempercayakannya kepada Abu Bakar orang yang menurut pandangannya berguna bagi mereka dan agama. Lalu ia meminta tempo sampai dapat memikirkan orang yang baik untuk Allah, Agama-Nya dan ummat. Pada saat ini, ia meminta kepada para cerdik pandai

Masa Khulafaur Rasyidin dan tokoh-tokoh sahabat memberikan pendapat mereka

untuk menentukan siapa pengganti dirinya. Sebagai penuturan Ibnu Sa’ad, Abu Bakar memanggil satu persatu sahabat ke dalam kamarnya dan meminta pendapat mereka tentang Umar. Baik kepada Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Said bin Za’id, Abul A’war, Usaid bin Hudlair dan orang-orang lain dari kaum muhajirin dan Anshar juga ditanyai oleh Abu Bakar tentang diri Umar, mereka semua sepakat bahwa Umar adalah lebih baik dari pandangan Abu Bakar.

Dalam riwayat Thabari disebutkan bahwa orang yang masuk ke tempat Abu Bakar dan protes terhadap pen- gangkatan Umar sebagai adalah Abu Thalhah bin Ubaidillah. Lalu Abu Bakar berkata kepadanya, ‘Apakah anda menakuti aku dengan Allah, bila aku kelak menghadap Allah, Tuhanku, lalu aku dimintai pertanggungjawaban, maka aku akan menjawab, ‘Aku angkat khalifah untuk hamba-Mu dari hamba-Mu yang terbaik’. (Tarikhulqul Umam wal Mulk dalam M. Yusuf Musa, 1990:107-109).

Selanjutnya Thabari meriwayatkan bahwa setelah Abu Bakar selesai bermusyawarah lalu dia memanggil Utsman bin Affan, ia meminta kepada Utsman menuliskan statemennya tentang pengangkatan khalifah pengganti dirinya, yaitu Umar bin Khatab Kemudian Abu Bakar menyuruh Utsman diserta Umar dan Usain bin Said al Quradhi, lalu Utsman mengumumkan kepada orang banyak, maka kalian membai’at orang yang tercantum dalam tulisan ini mereka menjawab, ya !”, bahkan sebagian mereka (Ali) berkata, kami telah mengetahuinya’. Kemudian mereka menyetujui, mengesahkan dan membai’atnya (Ibnu Saad dalam M. Yusuf Musa, 1990:109-110).

Selanjutnya Ibnu saad menyebutkan bahwa Abu Bakar, kemudian memanggil Umar untuk membai’atnya dan memberikan nasehat kepadanya. Demikianlah Umar bin Khatab, memegang kekuasaan pemerintahan setelah Abu Bakar setelah mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh Muhajirinn dan Anshar serta seluruh kaum muslimin dengan bai’at terbuka.

3. Usman Bin ‘Affan

Ketika Abu Lu’ Luah seorang budak menikam Umar pada bulan Zulhijah tahun 13 H dan Umar merasakan dirinya telah mendekati ajal, maka Umar memilih panitia

6, untuk memilih khalifah pengganti dirinya, yaitu Ali dan Utsman (dari Bani Abdi Manaf), lalu Abdurrahman dan Sa’ad (keduanya adalah paman Rasulullah saw), Zubair (penolong Rasulullah dan putra bibinya) dan Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian besok harinya mengundang lima orang pertama, karena Thalhah saat itu tidak ada. Kemudian Umar menyerahkan kepada mereka ber - musyawarah.

Ketika Umar mejelang ajalnya, mengutus seorang kepada Abu Thalhah dan mengumpulkan 50 orang dari kalangan Anshar untuk bergabung dengan Majelis Sura (panitia 6). Setelah diadakan rapat, yang memakan waktu beberapa hari, maka terpilihlah Utsman bin Affan sebagai pengganti Abu Bakar

Dengan bai’at Abdurrahman bin Auf (anggota ahlul al Halli wal ‘aqd), maka sahlah pengangkatan Utsman sebagai khalifah dengan disusul oleh bai’at dari para sahabat yang lain.

Masa Khulafaur Rasyidin

4. Ali Bin Abi Thalib

Ibnu Sa’ad menuturkan secara ringkas takala khalifah Utsman terbunuh pada hari Jum’at, 18 Djulhijjah 35 H, maka Ali dibai’at oleh penduduk Madinah pada keesokan harinya untuk menjadi khalifah. Yang membai’at beliau adalah Thalhah dan Zubair dan sejumlah sahabat yang tinggal di Madinah.

Thabary dengan sanadnya sendiri meriwayatkan bahwa Muhammad bun Hanafiyah mengatakan bahwa saat terjadinya pembunuhan atas diri Ustman, tidak ada ada lagi yang berhak untuk menjadi khalifah selain Ali. Lalu Ali datang ke masjid bersama-sama orang-orang Madinah. (Muhajirin dan Anshar). Ali dibaiat oleh mereka pada hari pembunuhan atas diri Ustman.

Pada riwayat lain yang dituturkan oleh Thabary, bahwa Ali dibaiat pada hari ke-5 setelah wafatnya Ustman. Ali di baiat oleh penduduk di seluruh pelosok negeri termasuk wilayah Madinah dan Mesir, kecuali penduduk Syam, karena mereka dengan pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, melakukan penuntutan penyelesaian atas pembunuhan khalifah Ustman lebih dulu sebelum memberikan baiat.

Begitu juga Thalhah dan Zubair, dikatakan bahwa mereka berdua juga telah membaiat Ali baik secara sukarela ataupun terpaksa. Sedangkan mereka termasuk panitia enam yang dibentuk oleh khalifah Umar ketika pemilihan U.stman sebagai khalifah. (M. Yusuf Musa, 1990 : 98-125)

Dengan demikian pengangkatan imam atau khalifah hanya dapat dilakukan berdasarkan baiat ummat atau oleh wakil-wakil yang duduk di lembaga Ahlul halli wal ‘Aqdi dan kemudian memperoleh persetujuan ummat terhadap orang yang dibaiat.

Penunjukkan seseorang oleh khlaifah sebelumnya adalah hanya bersifat pencalonan. Seseorang akan sah menjadi khalifah bila mendapatkan baiat dari ummat. Hak pencalonan ini dimiliki oleh khalifah yang sedang berkuasa sebagaimana juga dimiliki oleh setiap orang Islam seperti pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah oleh Umar Bin Khathab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian bar u dibaiat oleh ummat. Demikian juga pencalonan Umar sebagai khalifah oleh Abu Bakar baru dibaiat oleh ummat. Begitu pula pencalonan Utsman sebagai khalifah oleh Abdurrahman bin ‘Auf lalu diikuti oleh bai’at ummat dan pencalonan Ali sebagai khalifah oleh Abbas bin Abdul Muthalib baru diikuti oleh baiat atau persetujuan oleh ummat yang lain. (M. Yusuf Musa, 1990: 125-128)