Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara

B. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara

Pada masa Khulafaur-Rasyidin, Islam sudah me- rupakan tatanan yang sempuma, keseluruhan yang bulat,

Masa Khulafaur Rasyidin yang mendasarkan diri pada himpunan postulat-postulat jelas

yang pasti. Baik semua ajaran utamanya maupun aturan- aturan tindakanya yang terinci, dan peraturan-peraturan yang diletakkan diberbagai sektor kehidupan manusia. Pada hakekatnya Islam merupakan renungan, pengembangan dan pencerminan prinsip-prinsip pertamanya. Berbagai tahap kehidupan secara pasti Islam dan kegiatannya mengalir dari postulat-postulat dari dasar secara pasti. Oleh karena itu, aspek manapun dari ideologi yang ingin dikaji pertama kali yang harus dilakukan adalah melihat akarnya serta prinsip- prinsip dasarnya. Hanya dengan tindakan ini Islam dapat dipahami secara pasti dan memuaskan. Tetapi persoalan politik telah mengotori ajaran Islam yang suci dan dan transendental. Islam telah kehilangan makna aslinya, terlebih lagi dalam sejarah Islam dari kurun waktu yang lalu hanya dipenuhi dengan pergolakan politik, sehingga nilai-nilai dan peradaban Islam pun ikut mengalami nasib yang me- nyedihkan akibat persoalan politik yang tiada henti.

Persoalan politik sama tuanya dengan usia manusia. Sejak lahir ke dunia dan terlibat dalam segala urusan mondial, manusia telah bergumul dengan persoalan politik dalam rangka memenuhi ambisi dan obsesi biologis maupun spiritualnya. Perbenturan obsesi dan ambisi itu merupakan cikal bakal rekadaya manusia merumuskan langkah-langkah strategi dalam proses perjuangan menegakkan eksistensi kehidupannya. Arus kompetisi, sejak tingkat paling elementer sampai berskala global, juga bermuara dari realitas ini. Atas dasar itu pula, secara simbolik manusia sering disebut sebagai makhluk yang sutra berpolitik (zon politicos atau homo politikus). Politik ibarat sebuah produk yang lahir begitu saja seiring dengan arus kompetisi kehidupan manusia. Politik Persoalan politik sama tuanya dengan usia manusia. Sejak lahir ke dunia dan terlibat dalam segala urusan mondial, manusia telah bergumul dengan persoalan politik dalam rangka memenuhi ambisi dan obsesi biologis maupun spiritualnya. Perbenturan obsesi dan ambisi itu merupakan cikal bakal rekadaya manusia merumuskan langkah-langkah strategi dalam proses perjuangan menegakkan eksistensi kehidupannya. Arus kompetisi, sejak tingkat paling elementer sampai berskala global, juga bermuara dari realitas ini. Atas dasar itu pula, secara simbolik manusia sering disebut sebagai makhluk yang sutra berpolitik (zon politicos atau homo politikus). Politik ibarat sebuah produk yang lahir begitu saja seiring dengan arus kompetisi kehidupan manusia. Politik

Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk perdebatan besar yang terfokus pada masalah religi politik tentang imamah dan kekhalifahan. Di Madinah pa- gan yang terpilih Nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah terutama setelah tahun pertama, terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik. Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu poosisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang ketuhanan, namun juga sekaligus pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau Piagam Madinah. (John Williams, 1971: 12-15). Dalam dokumen tersebut terdapat langkah penting perdana bagi terwujudnya sebuah badan peme- rintahan Islam atau Ummah. Menurut piagam itu, konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologi. Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi prinsip paling menghormati dan menghargai antara o- rang-orang Islam dan orang-orang yang mengikuti, bergabung dan berjuang bersama mereka. Mereka yang dimaksudkan dalam pembukaan dipiagam itu adalah masyarakat Yahudi Madinah.

Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat (pasal I) yang secara fisik dan politik berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal I dan 39). Tidak ada kekhawatiran mengenai siapa yang harus memegang tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pasal 23, 36 dan

Masa Khulafaur Rasyidin

42 secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhammad SAW. sebagai hakim terakhir serta sumber segenap kekuatan (wewenang) dan kekuasaan.

Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M, sampai saat wafatnya pada tanggal 6 Juni 632 M, Muhammad berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah bagi negara Is- lam yang baru lahir saat itu. Sebagai Nabi, beliau telah meletakkan prinsip-prinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai khutbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan membagikan rampasan perang. Wafatnya Nabi yang tidak disangka-sangka menjadi sebab lar utnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang krisis peng- gantinya. Nabi memang tidak menyampaikan wasiat tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang menjadi picu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin ummat Islam.

Abu Bakar sahabat Nabi yang paling karib dan pendukung dakwahnya yang paling awal meski bukan keluarga Nabi (bukan berasal dari keluarga Nabi), tampil sebagai calon kuat setelah sebelumnya muncul protes dari para penentangnya yang melibatkan para pemimpin terkemuka Madinah. Untuk menangkal manuver-menuver warga Madinah dalam berbagai kekuatan/kekuasaan, Abu Bakar menghendaki agar prioritas kepemimpinan setelah Nabi dipegang oleh suku Quraisy. Takala tokoh-tokoh utama Quraisy memberikan dukungannya kepada Abu Bakar, penduduk Madinah pun mengikuti jejak mereka dengan suka cita. Masa 30 tahun berikutnya dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin (The Right Guided Successors ) yang terdiri dari para Abu Bakar sahabat Nabi yang paling karib dan pendukung dakwahnya yang paling awal meski bukan keluarga Nabi (bukan berasal dari keluarga Nabi), tampil sebagai calon kuat setelah sebelumnya muncul protes dari para penentangnya yang melibatkan para pemimpin terkemuka Madinah. Untuk menangkal manuver-menuver warga Madinah dalam berbagai kekuatan/kekuasaan, Abu Bakar menghendaki agar prioritas kepemimpinan setelah Nabi dipegang oleh suku Quraisy. Takala tokoh-tokoh utama Quraisy memberikan dukungannya kepada Abu Bakar, penduduk Madinah pun mengikuti jejak mereka dengan suka cita. Masa 30 tahun berikutnya dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin (The Right Guided Successors ) yang terdiri dari para

Masalah perebutan kekuasaan telah mulai menguncup tajam selama masa pemerintahan khalifah ke-3, Usman. Ia dipilih oleh sekelompok dewan pemilih yang terdiri enam sahabat Nabi terkemuka yang dibentuk khalifah sebelumnya Umar. (Amir Siddiiqi, 1982 : 46) Kericuhan itu bermuara pada sekelompok pejabat pemerintahan yang didasarkan pada favoritisme dan nepotisme. Cara ini melahirkan rasa tidak puas dan keresahan pada sebagian anggota masyarakat yang kemudian berkembang menjadi pertikaian masal dan memuncak pada kemathian Usman. Ali, kemenakan Nabi dan rival Usman dalam perebutan kursi kekhalifahan kemudian dinobatkan sebagai khalifah dan mampu meraup kesetiaan dari sebagian besar ummat. Meski begitu, ia juga diharapkan dengan oposisi kuat yang terdiri dari unsur masyarakat, terutama dari anak keturunan Umayyah yang pernah mengambil keuntungan pada masa Usman, lebih dari itu, istri Nabi sendiri, Aisyah diiringi dengan sebagian sahabat karib Nabi, menyuarakan sikap anti Ali, maka periode ini tidak terhindar dari kekerasan dan perang sipil yang berakhir dengan terbunuhnya Ali dan kehadiran Dinasti Umayyah yang memerintah sejak tahun 661 – 749 M.

Selama masa pergolakan inil lahir ragam fraksi politik yang membentuk spektrum pemikiran politik Islam. Seusai perang Siffin (657 M) antara Ali dan pemimpin Umayyah, Muawiyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan memberontak kepadanya. Kelompok muslim yang puritan ini kemudian dikenal dengan khawarij atau Kharijites (para

Masa Khulafaur Rasyidin pembangkang dan pemberontak). Mereka memprotes

perjanjian damai antara Ali dan Muawiyah. Mereka percaya bahwa dengan menerima prinsip kompromi sebenarnya Ali telah kehilangan sebagai status resminya sebagai pemimpin ummat yang adil. Bahkan mereka bersikap lebih keras dengan mengkafirkan Ali karena tindakannya dianggap sebagai dosa besar sehingga pelakunya mesti bertaubat nasuha. Kaum khawarij lalu menyimpulkan bahwa Islam akan terjaga baik bila tiga orang yang bertanggung jawab atas terjadinya, perang itu dienyahkan yaitu Ali, Muawiyah dan Amir bin Ash (penasehat Muawiyah) dan penyaji kerangka pemikiran perjanjian itu. Masa sesudah itu menjadi saksi bahwa Ali saja yang terbunuh, sedangkan dua sasaran yang lain terhindar dari maut. (E.A. Belyaev, 1969: 148). Muawiyah bahkan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan basis pemerintahan di Syria. Peristiwa ini menandai akhir peristiwa politik yang didasarkan pada pemilihan dan merupakan awal kehidupan sistem warisan dalam pemerintahan Islam.

Untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, Bani Umayyah harus menghadapi oposisi tangguh yang muncul dari sebagian ummat Islam dan sahabat Nabi, di Madinah dan Mekkah yang tidak saja mengecam cara Muawiyah merebut kekuasaan tetapi juga mencaci sistem dinasti yang dianggap sebagai pemutar balikkan cara pemerintahan Islam yang ideal. Sebenarnya pemerintahan yang turun temurun yang tidak dikenal bangsa Arab pada umumnya dan tidak ada jalan untuk menerimanya kecuali jika sang penguasa meng- gunakan cara yang tiranik. (Watt, 1968: 28 dan 101) Diantara penentang keras rezim Umayyah itu adalah golongan Syiah. Mereka menentang Bani Umayyah karena tidak saja prilaku politik yang diterapkan pada kaum Syiah dan bukan Syiah,

namun lebih dari itu tangan tersebut merupakan ungkapan kepercayaan yang mendalam bahwa kursi kepemimpinan setelah Nabi hanya berhak diserahkan pada Ali, kemenakan dan menantunya, bukan Abu Bakar. Menurut kepercayaan Syiah, hanya anggota ahl al-Bait (keluarga Nabi) yang memenuhi syarat untuk menjadi khalifah atau Imam. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa Ali tidak pernah menggugat kekhalifahan Abu Bakar, dan tidak menentang Umar atau Usman. Ia menjadi khalifah setelah Usman terbunuh karena didukung oleh sekelompok sahabat utama Nabi. Proses pemilihan itu kemudian dikuduskan dalam masyarakat melalui sumpah setia atau bai’ah. Meskipun demikian Syiah, sebagai suatu ideologi mulai berkembang seusai pembantaian tentara Umayyah terhadap putranya, Husain di Karbala. Kisah tradisional menuturkan bahwa Husain dihubungi para pendukung Ali di Kufah yang meminta kedatangannya di Irak untuk memimpin pemberontakan terhadap rezim Umayyah. Ketika is bergerak menuju Kufah yang diiringi sejumlah pasukan yang terdiri dari para kerabat (sahabat) dan pendukungnya, bala tentara Umayyah mencegat mereka di Karbala dan membantai Husain dan seluruh pengiringnya. (E.A. Belyaev, 1969: 165) Tragedi itu membarakan dendam kaum Syiah yang menganggap Husain sebagai martir luar biasa disamping memperkokoh kepercayaan ideologis mereka terhadap peran Ali dan anak turunnya serta arti kepemimpinan (Imamah).

Di samping khawarij dan Syiah, ada segolongan ummat Islam yang membentuk mayoritas ummat yang dikenal sebagai penganut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Sunni). Sekitar abad ke-11, pandangan mereka tentang kekhalifahan ditampilkan oleh para ahli hukumnya yang memainkan peran

Masa Khulafaur Rasyidin dalam pemerintahan. Teori Sunni tentang pemerintahan

(dikemukakan oleh para fukaha kebanyakan) merupakan deskripsi sejarah negara Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa sesudahnya serta bukan merupakan evaluasi kritis terhadap apa yang disebut dengan negara Islam.

Istilah negara atau Daulah tidak disinggung dalam al- Qur’an dan Sunnah, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat ditemukan dalam al-Qur’an. (Majid Khadduri, dalam Khalid Ibrahin Jindan, 1994: 49) Seperti, al-Qur’an menjelaskan seperangkat atau sangsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau selur uh perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara. Termasuk didalamnya adalah keadilan, persaudaraan, pertahanan, kepatuhan dan kehakiman. Dalam al-Qur’an bisa juga ditemukan hukum-hukum yang bersifat umum atau hukum yang secara langsung menyinggung masalah pembagian harta rampasan perang atau upaya untuk menciptakan perdamaian. (Al-Raisy, dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 50) subyek-subyek aneka ragam hukum maupun petunjuk-petunjuknya itu tidak lain adalah ummat Islam yang diisyarat al-Qur’an sebagai suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lain yang berbeda karena kebajikan yang mereka miliki. Ummat Islam adalah suatu masyarakat politik yang sanggup mencukupi diri sendiri.

Lebih dari itu berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat di kalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi dalam bentuk negara. Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa negara dan Lebih dari itu berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat di kalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi dalam bentuk negara. Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa negara dan

Dr. Wahid Ra’fat mendefenisikan bahwa negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu di belahan bumi ini, yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya dan kemaslahatan umum. Sedangkan Dr. Abdul Hamid al-Mutawalli mendefenisikan bahwa negara adalah suatu institusi abstrak yang terwujudkan dalam sebuah konstitusi untuk suatu masyarakat yang menghuni wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan umum. (Al-Madadi, dalam Dr. Muhammad Kamil Lailah, 223-225 dalam Dr. M. Yusuf Musa, 1963: 25)

Dalam sejumlah defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa negara adalah sekumpulan manusia yang secara tetap mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki institusi abstraknya sendiri serta sistem yang dipatuhi dari para pemegang yang ditaati serta memiliki kemerdekaan politik.

Masa Khulafaur Rasyidin Unsur yang harus ada bagi wujud dan berdirinya bagi sebuah

negara adalah adanya bangsa yang mendiami wilayah tertentu dan adanya institusi abstrak yang diterima baik oleh bangsa tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, serta adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi identitas bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada bangsa lain. (Dr. Usman Khalil, dalam Dr. M. Yusuf Musa, 1963: 25)

Islam dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan kepada negara dan rakyat serta hak-hak dan kewajibannya, begitu pula dengan berbagai peraturannya. Pada masa Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah terbentuk sebuah negara Islam. Menurut Dr. R. Gibb, sejak zaman Rasulullah dan para sahabat Islam bukan semata-mata berkaitan dengan akidah keagamaan individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri yang memiliki pemerintahan sendiri serta memiliki konktitusi dan sistem pemerintahan secara khusus.

Rasulullah datang membawa agama baru yang berbeda sama sekali dengan tradisi bangsa Arab. Sesungguhnya negara pertama bagi bangsa Arab dan kaum muslimin adalah di Madinah. Nabi memproklamirkan kejadian raksasa ini kepada segenap ummat manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya langkah pertama yang diambil Rasulullah sesudah hijrah sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Ishak yaitu beliau Rasulullah telah menetapkan Piagam Perjanjian antara Muhajirin dan Anshar serta mengajak bangsa Yahudi membuat persetujuan dengan mereka, mengakui hak keagamaan Yahudi dan pemilikan harta serta menetapkan syarat bagi mereka dan memberi jaminan kepada mereka.

Bentuk negara Islam pada periode Rasulullah bersifat Theokratis. Theokratis adalah suatu bentuk pemerintahan yang berada dalam cengkraman kekuasaan Tuhan, yakni mengakui Tuhan sebagai penguasa mutlak dalam tata pergaulan masyarakat serta menerima wahyu-Nya yang telah ditafsirkan oleh para wakil-Nya sebagai dasar bangunan negara atau masyarakat. (Detlev H. Khalid, dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 73).

Bila dikaitkan dengan tempat kekuasaan dan peranan syariah dalam negara Islam, defenisi Khalid seperti menyuarakan gambaran yang sebenarnya tentang negara Is- lam. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam pemer- intahan teokrasi, Nabi adalah sebagai mediator atau utusan Allah yang menyampaikan kepada masyarakat perintah- perintah, janji-janji, peringatan-peringatan, Ridha dan murka- Nya. Jadi segala prilaku atau barang yang dihalalkan adalah apa yang pun yang memang ditentukan halal oleh Allah dan Nabi. Sedang apa saja yang dilarang keduanya jelas merupakan prilaku atau barang haram. Tak seorang pun diijinkan melanggar ajaran Nabi Muhammad SAW. Itu pula ajaran yang harus dijalankan pada penguasa. (Ibn Taimiyah, dalam Khalid Ibrahim Jindan, 1994: 73)

Dengan demikian pada periode Rasulullah memang sistem pemerintahannya bersifat theokrasi karena Rasulullah langsung ditunjuk oleh Allah untuk menjalankan tugasnya baik sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara dan Nabi dalam menjalankan tugasnya beliau bertanggung jawab kepada Allah.

Sedangkan pada periode Khulafaur Rasyidin, para sahabat tetap menjalankan tugasnya, baik sebagai pemimpin negara maupun pemimpin agama. Namun, dalam pemi-

Masa Khulafaur Rasyidin lihannya para sahabat tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi mereka

dipilih oleh rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya mereka tetap bertanggung jawab kepada Allah sekaligus bertanggung jawab kepada rakyat.

Sistem pemerintahan Islam merupakan suatu sistem tersendiri yang tidak ada bandingannya sama sekali. Ia merupakan suau dalam Islam yang bersifat komplit dan mer upakan sistem yang bertujuan memelihara dan melindungi agama serta mengatur segala kepentingan ummat berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat sekaligus bagi kaum muslimin, bangsa Arab dan seluruh ummat manusia.

Islam menegakkan sistemnya atas musyawarah dan keadilan, menjamin kemerdekaan dan segala bentuk hak bagi setiap warganya dan bukan warganya yang tinggal di negara Islam. Juga memelihara serta melindungi masyarakat dan umat dari perbuatan zhalim, kekejaman dan permusuhan serta memberikan jaminan hidup terhormat dan mulia bagi semua orang. (Yusuf Musa, 1963:207)

Setiap negara mempunyai sistem pemerintahan yang mempunyai tujuan dan dasar-dasar. Tujuan pertama adalah adanya imamah yaitu untuk melaksanakan ketentuan agama sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan mem- perhatikan serta mengurus persoalan-persoalan duniawi, misalnya menghimpun dana dari sumber yang sah dan menyalurkannya kepada yang berhak, mencegah timbulnya kezaliman, semuanya itu dilakukan oleh manusia karena perintah agama. (Yusuf Musa, 1994: 174). Oleh sebab itu, tujuan dari sistem pemerintahan Islam sangat luas. Yusuf Musa, mengemukakan beberapa hal :

1. Memberikan penjelasan kegamaan yang benar dan 1. Memberikan penjelasan kegamaan yang benar dan

2. Mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan ummat dan saling tolong menolong sesama mereka dan memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh ummat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh.

3. Melindungi tanah air dari setiap agresi dan seluruh warga negara dari kezaliman, kedurhakaan dan tirani, mem- perlakukan mereka seluruhnya sama dalam memikul kewajiban dan memperoleh hak, tanpa adanya perbedaan antara amir dan rakyat, kuat dan lemah, kawan dan lawan.

Rasul dan sahabatnya telah melaksanakan kewajiban ini. Bila tujuan yang paling utama dari pemerintahan Islam adalah menjelaskan dan memelihara kemurnian agama, maka hal ini berarti, imam harus berlaku keras pada setiap orang yang dengan terang-terangan ingin melepaskan diri dari agama atau tidak mau mengakui suatu kewajiban yang Al- lah tetapkan di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya. Oleh karena itu pada awal masau pemerintahan Abu Bakar, Beliau memerangi orang- orang yang murtad dari agamanya setelah wafatnya Rasulullah.

Waktu itu banyak golongan bangsa Arab murtad dari Islam. Ada yang tidak mau menunaikan zakat, tetapi menerima kewajiban shalat. Akan tetapi Abu Bakar dengan ketat menghadapi mereka dan dengan sikap keras tidak mau

Masa Khulafaur Rasyidin menerima kehendak mereka. Beliau bahkan berpendapat

bahwa memerangi mereka adalah suatu hak yang fundamen- tal. Karena menerima sikap mereka yang tidak mau membayar zakat berarti melakukan suatu pemisahan yang tidak sah antara zakat dengan shalat. Disamping sikap semacam ini dapat dipandang suatu persetujuan terhadap kelemahan muslim sepeninggal Rasulullah SAW.

Pendirian Abu Bakar dalam hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap Islam dan kaum muslim. Pasukannya yang dikirim untuk memerangi semua kelompok kaum murtad memperoleh kemenangan dan Islam kembali jaya.

Contoh lain adalah Umar. Ketika beliau memegang jabatan khilafah mulai menjelaskan agama dan me- nempatkannya pada kedudukan yang tinggi dalam ke- bijakan-kebijakannya. Ia tidak pernah lupa menasehati para Gubernur dan para pegawainya mengenai kewajiban ini. Bahkan dalam satu khutbahnya beliau mengisyaratkan kewajiban tersebut seperti ucapannya, “Wahai manusia, demi Allah, aku tidak mengirimkan para pegawaiku kepada kalian untuk memukul diri kalian dan tidak untuk merampas harta kalian. Akan tetapi aku kirim mereka kepada kalian untuk mengajar agama kalian dan Sunnah Nabi kalian kepada kalian, dan seterusnya”, seperti tercantum pada riwayat Thabary dan para sejarawan lainnya.

Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar sebagai peng- gantinya berpendapat tetap perlu mengirimkan pasukan ini ke sasarannya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi beberapa orang sahabat berpendapat tidak perlu melanjutkan pengiriman pasukan ini. Namun pasukan ini tetap tinggal di Madinah, karena Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar sebagai peng- gantinya berpendapat tetap perlu mengirimkan pasukan ini ke sasarannya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi beberapa orang sahabat berpendapat tidak perlu melanjutkan pengiriman pasukan ini. Namun pasukan ini tetap tinggal di Madinah, karena

Umar sangat kuat kemauannya untuk memberikan hak-hak kaum muslimin. Dia berkata dalam salah satu khutbahnya,” Setiap orang mempunyai hak terhadap kekayaan, “Baitul Mal”, yang aku akan memberinya atau menghalanginya. Setiap orang tidak lebih berhak dari yang lainnya terhadap harta ini, kecuali budak. Dan hakku sama dengan orang-orang lain diantara mereka. Demi Allah, sekiranya harta “Baitul Mal” sisa niscaya penggembala ini (Umar) akan mendatangi orang yang tinggal di gunung Shan’a untuk memberikan haknya.”

Tekadnya untuk menjalankan pemerintahan yang adil sangat kuat, sehingga tekad ini membuat beliau tidak, sudi memberikan kepada salah seorang kerabatnya sesuatu yang bukan haknya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan, bahwa ipar Umar bin Khathab datang kepada Umar lalu menyampaikan keluhannya agar dia diberi harta dari Baitul Mal. Akan tetapi Umar menghardiknya seraya berkata, “Apakah engkau

Masa Khulafaur Rasyidin menginginkan aku menjumpai Allah sebagai orang yang

berkhianat?” namun orang ini kemudian diberi dari hartanya sendiri sebnyak 10 dirham.

Ibnul Jauzi dalam Sirah Umar bin Khathab, meri- wayatkan bahwa beliau membagikan pakaian kepada para wanita penduduk Madinah dan masih tersisa sepotong lain yang bagus. Lalu beberapa orang yang hadir berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, berikanlah kain ini kepada putri Rasulullah yang dibawah tanggungan anda.” Maksudnya Ummu Kaltsum, putri Ali yang menjadi istri Umar. Tetapi ia menjawab, “Ummu Shalait lebih berhak terhadap sepotong kain ini, karena ia termasuk orang yang membaiat Rasulullah dan kehilangan keluarga pada perang Uhud.”

Umar berkeinginan agar para Gubernur ataupun para pegawainya tidak berbuat aniaya kepada ummat yang lain. Untuk itu, ia melakukan pengawasan dari jauh dengan jalan menanyakan hal ihwal setiap Gubernur kepada orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya. Dan bilamana beliau menemukan tindakan sebagian Gubernurnya yang tidak disenanginya, maka saat itu juga Beliau menjatuhkan qishash kepada Gubernur yang bersangkutan sebagai tuntut balas terhadap pelanggarannya. Tindakannya dalam hal ini sudah populer. Tetapi pengawasan Umar terhadap para Gubernur dan pegawainya menyebabkan banyak pengaduan yang disampaikan kepadanya. Beliau senantiasa mengecek kebenaran setiap pengaduan kepadanya dan memutuskan perkaranya dengan adil. Dengan demikian semua orang aman dalam mendapatkan hak-hak mereka.

Keadilan yang ditagakkan oleh sistem pemerintahan Islam dan dipandang sebagai salah satu dasarnya yang kuat Keadilan yang ditagakkan oleh sistem pemerintahan Islam dan dipandang sebagai salah satu dasarnya yang kuat

“Sesunguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan baik serta memberikan kepada kerabat haknya dan mencegah perbuatan keji, munkar dan zalim. Demikian Dia menasehati kamu, mudah-mudahan kamu menjadi ingat”.

Dalam Qs., 4:58 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan

amanat kepada yang berhak. Dan jika kamu menghukum diantara manusia, hukumlah dia dengan adil.”