Ali ra Sebagai Khalifah

B. Ali ra Sebagai Khalifah

Pemilihan Ali sebagai khalifah, tidaklah sebagaimana pemilihan khalifah-khalifah sebelumnya. Abu Bakar dipilih sebagai khalifah atas keridhaan para sahabat yang berkumpul di Madinah dan setelah meninggalnya Abu Bakar. Pemilihan khalifah berikutnya juga tidaklah menimbulkan perselisihan dan beda pendapat yang menghawatirkan, karena Abu Bakar memberikan kepecayaan urnuk memimpin Islam kepada Umar, para sahabat menyetujui. Dan setelah Umar meninggal pemilihan khalifah kepada Utsman terjadi atas kesepakatan Dewan Musyawarah yang dianjurkan oleh khalifah Umar.

Sedangkan setelah meninggalnya, sebagian para pemberontak yang diketuai oleh Abdullah bin Saba menghendaki Ali sebagai khalifah, sedang sebagian besar sahabat telah terpencar di berbagai wilayah Islam dan hanya sedikit saja sahabat yang masih tinggal di Madinah. Dan sebagian sahabat masib ragu-ragu untuk membai’at Ali sebagai khalifah, seperti Sa’adah bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Umar, sedang sebagian daripada tokoh kaum Anshar malah tidak memberikan dukungannya terhadap Ali seperti Hasan bin Sabit, Musailmah bin Mukhlid dan Abi Sa’id al Khudri. Terpilihnya Ali sebagai khalifah atas suara mayoritas, meskipun tanpa dukungan sebagian sahabat yang berada di Madinah (Hasan Ibrahim hasan, 1970:272).

Semasa Ali menjadi khalifah ummat Islam, ia mendapat tantangan yang sangat berat yang merongrong wibawanya sebagai khalifah. Akibat fitnah dan hasutan kaum munafik

Ali Bin Abi Thalib yang sejak lama ingin merusak Islam dan dalam. Dengan

hati yang tabah, Ali menghadapi persoalan yang sangat berat ini. Kalaupun ia tidak dapat berbuat banyak, bukan berarti karena kasalahan dan kecurangannya, tetapi situasi yang dihadapinya memang sangat sulit dan sukar.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Kurdi Ali (H. Zainal Abidin Ahmad, 1977: 167-168) mengenai sistem pemerintahan Ali adalah sama dengan sistem yang dijalankan oleh khalifah-khatifah yang sebelumnya. Dia mengangkat para pembesar. Mereka menjalankan kebijaksanaan dan kemudian Ali menyelidiki dan menyelesaikan persoalan mereka. Dia memerintahkan agar para pejabat harus hidup sederhana dan berhati ramah kepada rakyat serta menetapkan rencana kerja yang harus mereka lakukan.

Dalam menghadapi kasus pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah Ali bin Abi Thalib ketika dilantik, maka perintah pertama yang dikeluarkannya adalah menyelidiki dan mencari siapa pembunuh Utsman bin Affan. Maka ia membentuk Panitia Negara untuk menangani kasus pembunuhan Utsman bin Affan.

Tetapi sayang, anggota delegasi dari ketiga kota yang berdemonstrasi ke Madinah (Mesir, Kufah dan Basrah), mereka semua mengakui bertanggung jawab atas pem- bunuhan Utsman bin Affan. Dalam jumlah 1500 orang tersebut Ali kebingungan dalam menetapkan siapa pembunuhnya. Akhirnya usaha untuk mencari pembunuh Ustman bin Affan kandas dan Panitia Negara dibubarkan dan usaha menghukum pembunuh dihentikan.

Bekas Gubernur Syam, Muawiyah, Thalhah, Zubair dan Aisyah mendesak agar Ali mencari pembunuh khalifah

Ustman bin Affan. Tetapi Ali tidak bisa menyelesaikan kasus tersebut bila masyarakat tidak tentram dan ur usan pemerintahan belum berjalan lancar dan segala hak rakyat belum dilakukan.

Khuda Bakhsh (Zainal Abidin Ahmad, 1977: 170) menyatakan bahwa ada 3 faktor buruk yang semakin memperburak situasi pemerintahan Ali bin Abi Thalib:

1. Adanya reaksi dari pihak kaum anti Islam atau disebutkan perang Saudara.

2. Hidupnya kembali semangat Arab Jahiliyah, yaitu keluarga dan kabilah

3. Tumbuhnya partai-partai politik agama. Ketiga faktor diatas telah menyebabkan pecahnya

perang dikalangan Islam sendiri. Khalifah sangat kewalahan dalam menghadapi persoalan ini. Khafifah Ali merasa tidak aman menetap di Madinah sebagai ibu kota, oleh karena itu pada tahun 36 H/Januari 657 M (belum cukup setahun ia memerintah), dia memindahkan Ibu Kota Negara ke Kufah. (Zainal Abidin Alimad, 1977: 170)