Sistem Politik, Pemerintahan, Bentuk Negara (Buwaihi dan Saljuk) Dan Tali lkatan Persatuan antara Baghdad dengan Dinasti Buwaihi dan Saljuk

C. Sistem Politik, Pemerintahan, Bentuk Negara (Buwaihi dan Saljuk) Dan Tali lkatan Persatuan antara Baghdad dengan Dinasti Buwaihi dan Saljuk

1. Dinasti Buwaihi Pembentukan dinasti Buwaihi dipelopori oleh tiga

bersaudara, yaitu Ahmad, Ali dan Hasan. Bapak dari ketiga pelopor tersebut adalah Abu Suja’ Buwaihi, dia adalah seorang nelayan di Dailan, hidupnya dalam keadaan miskin dan sangat prihatin. istrunya meninggal dunia, kemudian atas kebaikan hati seorang sahabatnya yaitu Syahriar Ibn Mustam al-Dailami memberi bantuan dan sekaligus mendidik ketiga anak itu. (Ibn al-Atsir, 1965: 265)

Melihat dari segi keturunannya Abu Saja’ Buwaihi ini berasal dari keturunan penguasa Sasania (Persi) lama. Ia sendiri pemimpin kelompok yang suka berperang, yang umumnya terdiri dari orang-orang dataran tinggi Dailan di pegunungan pantai selatan laut Kaspia. Dia mengabdi pada kerajaan Samania (Philip K. Hitti, 1975: 470)

Abu Suja’ Buwaihi mempunyai reputasi yang cukup tinggi di lingkungannya, ketika anaknya yang miskin mendapat pelajaran militer di bawah asuhan Makan ibn Kali.

Dalam bidang militer ini karir mereka semakin menanjak terutama Ali dan Hasan (Hasan Ibrahim Hasan, 1979:482). Ketika kedudukan mereka bertambah kuat, mereka melepaskan diri dari Makan Ibn Kali dan meng- gabungkan diri dengan Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy (Muhami-nad Musfir al-Zahrani, 1980:42). Mardawij menghormati mereka dan kemudian mengangkat Ali ibn Buwaihi menjadi gubernur al-Haraj kota Persia yang terletak antara Ashbahan dan Hamdzan. Sedangkan Hasan dan Ahmad diberikan jabatan penting lainnya (Muhammad Musfir al-Zahrani, 1980:42).

Dengan kelebihan bidang kemiliteran, administrasi dan kesupelannya dalam pergaulan dengan pengikut-pengikutnya Ali ibn Buwaihi semakin kuat kedudukannya, dalam mempersiapkan bala tentara yang tidak tergoyahkan, sehingga sebagian besar daerah-daerah Persia dapat ditundukkan di bawah kekuasaannya dan kota Syiraz dijaclikan pusat pemerintahan.

Ketika Mardawij wafat, kekuasaan Bani Buwaihi, meliputi seluruh Persia, Ray, Ashbahan dan daerah-daerah lainnya. (Ibn Atsir, 1965:323)

Selanjutnya untuk memperoleh legitimasi Syar’iyyah, Ali ibn Buwaihi menulis surat kepada Khalifah Abbasiyah, al-Ra- dii ibn Allah (993 –940 M), meminta pengakuan resmi terhadap kekuasaan Bani Buwaihi di daerah-daerah yang ditaklukan itu dan khalifah mengabulkannya. (Maskawaih, tt:300)

Ali ibn Buwaihi merasa tidak puas terhadap daerah- daerah yang dikuasainya, ekspansi pun berlanjut ke Irak, Ahwaz dan Wasith. (M. Musfir al-Zahrani, 1980:20-21). Dari Wasith tentara dinasti Buwaihi bergerak menjarah Baghdad (945 M) (ibn al-Atsir, 1965:449)

Dinasti Abbasiyah Kesempatan memasuki Baghdad terbuka ketika terjadi

pertentangan antara khalifah Mushtasqi Lillah dengan Amir al-Umara’ (Tuzun), ketika itu khalifah menulis surat meminta agar tentara bani Buwaihi bergerak menuju Baghdad untuk membantunya. Ahmad ibn Buwaihi membacakan surat khalifah tersebut, ketika ia memasuki kota Baghdad dihadapan rakyat dengan tujuan untuk memperoleh dari rakyat dan legitimasi Syar’iyyah.

Ketika Bani Buwaihi memasuki baghdad, Tuzun telah mengalahkan khalifah al-Musttaqi Lillah. Akan tetapi akhirnya Tuzun dapat dikalahkan oleh Bani Buwaihi. Untuk jasa-jasa tersebut Khalifah al-Mustaqfi Billah menggantikan khalifah Muttaqi Lillah. Serta memberikan kepercayaan kepada Ali untuk memegang kekuasaan di Ahwaz dan Hasan di Ashbahan, Hamzan dan sebagian kota Irak yang berpenduduk ‘Ajam sedangkan Ahmad memegang kekuasaan di Kirman dan Markam. (Hasan Ibrahim Hasan, 1979: 43)

Ketika Muizz al-Daulah melepas kekuasaan al- Mustaqfi Billah, sebenarnya ia bermaksud mengembalikan keuasaan kepada golonganAlawyyin. Akan tetapi kemudian ia mengurungkan maksudnya setelah mendapat saran dari pembantu ahlinya. (Hasan Ibrahim Hasan, 1975: 43) Akhirnya sebagai pengganti dari khalifah al-Mustaqfi Billah ia mengangkat Abu al-Qasim Adlal ibn Muqtadir dengan gelar al-Mufti. Demikian jelas hal ini menunjukkan betapa lemahnya kedudukan khalifah di masa Dinasti Buwaihi. Para ahli sejarah meng gambarkan bahwa khalifah hanya merupakan simbol keagamaan, tidak memiliki kekuasaan selain hanya nama saja, sedang kekuasaan mengatur negara sepenuhnya berada di tangan Amir Buwaihi. (M. Musfir al- Zahrani, 1980: 24)

Apa yang dilakukan Dinasti Buwaihi terhadap khalifah Abbasiyah bukanlah perlakuan tanpa preseden. Sebelum Dinasti Buwaihi memegang kekuasaan di Baghdad, perlakuan yang sama juga diperbuat oleh Amir al-Umara’ di masa kekuasaan pengawal-pengawal Turki. Dengan demikian kelemahan-kelemahan khalifah Abbasiyah bukan secara langsung disebabkan oleh kehadiran Diansti Buwaihi, tetapi oleh berbagai peristiwa yang lama dan yang paling utama adalah kelemahan yang ada dalam diri khalifah sendiri. (M. Musfir al-Zahra, 1980: 23)

Dengan strategi politis yang rapi, kekuasaan dinasti Buwaihi menjadi faktor yang amat menentukan kembalinya daerah-daerah Islam yang telah melepaskan diri dari Baghdad ke dalam otoritas Baghdad. Dinasti-dinasti kecil di wilayah Basrah di bawah kekuasaan al-Baridi, wilayah Syam dan Irak Utara di bawah keuasaan otoritas Hamdan, Siria, dinasti Samaniyah dan Ikhsidiyah dapat dikembalikan kepada Baghdad oleh Dinasti Buwaihi. Dengan demikian semakin luaslah daerah-daerah yang dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang membentang dari Ray, Ashbahan, Karman kemudian menyeberang ke Persia, ke daerah Oman sampai Bahraen. Selanjutnya menuju Bashrah sampai ke hulu al Furat terus Mautsul dan akhirnya sampai ke hulu al-Dajlah. Selanjutnya wilayah yang membentang dari Tiplis ke Jurjan melintas laut Qazwin. Bahkan pada masa adl al-Daulah terbentang dari Ashbahan ke Syria dari laut Qazwin sampai ke Teluk Persia. (Ali K.A. tt:166)

Perubahan-perubahan di Baghdad tidak saja terjadi dibidang poltik dan kekuasaan tetapi juga menyangkut di bidang agama. Jika sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa pars Menteri dan pejabat lainnya beragama sesuai dengan mazhab

Dinasti Abbasiyah khalifah maka sekarang hal itu tidak berlaku. Bani Buwaihi

yang sedang berkuasa bermazhab Syiah, sementara khalifah adalah pengikut Sunni dan rakyat pada umumnya akan tetapi karena pemegang kekuasaan yang hakiki adalah Bani Buwaihi, maka pengikut-pengikut Syiah memperoleh angin segar dalam menjalankan agama sesuai dengan mazhab Syiah, bahkan rasa bangga itu kemudian itupun muncul. Bani Buwaihi memberikan kebebasan kepada pengikut Syiah untuk meperingati hari-hari besar Syiah. Lebih lanjut di Najel’ dan Karbala dibangun sebuah masuluum yang dinamakan Mushaad yang mengagungkan Ali Ibn Thalib dan putranya Husain. (Philip K. Hitti, 1975: 472)

Sekalipun demikian besar perhatian Dinasti Buwaihi terhadap syiah namun ia menunjukkan toleransi terhadap golongan Sunni. Ketika Muiz al-Daulah wafat, tahun 966 M, ia digantikan oleh putranya Bakhtiar dengan Izz al- Daulah. Sejarah mencatat bahwa Izz al-Daulah bukanlah orang yang cakap untuk menjabat sebagai Amir al-Umara. Ia suka berfoya-foya dan tidak memperhatikan kepentingan pemerintahan. (Ali K, 1996:267)

Pada tahun berikutnya 967 M, terjadi pemberontakan oleh saudaranya sendiri, yaitu Amir Habbasyi yang menjabat sebagai al-Wali wilayah Bashrah. Ia berhasil menawan Amir Bakti Bakhtiar yang menjabat Amir al-Umara. Untuk menyelesaikan sengketa itu Amir Rukn al-Daulah sebagai paman Izz al-Daulah segera datang ke Isfahan dengan pasukannya untuk menyelesaikan sengketa itu dan ia berhasil membebaskan Izz al-Daulah. Namun selanjutnya semakin merajalela dan membuat masalah dengan penguasa di sekitar Baghdad, sehingga sering terjadi pertempuran-pertempuran yang semakin memperlemah posisi pasukan Islam waktu itu.

Juga muncul lontaran-lontaran keji kepada para perwira- perwira Turki yang ikut memerangi tentara Bizantium, sehingga Emir Sabaktikin menyerbu gedung kediaman gedung Amir Izz al-Daulah dengan menyita seluruh harta kekayaannya dan langsung menduduki pucuk pimpinan di ibukota.

Tiga tahun setelah itu Rukn al-Daulah wafat, momen- tum ini digunakan oleh Adud al-Daulah untuk mengulangi serangan kepada Baghdad dan Izz al-daulah lari ke Moso. Adud al-Daulah akhirnya berkuasa di Baghdad sampai ia wafat pada tahun 983 M. Setelah wafatnya Adud al-Daulah tidak ada lagi pengganti dirinya karena tiga putranya memecat khalifah al-Tha’i tahun 991 M dan mereka pun saling berebut kekuasaan.

Disamping perpecahan dari dalam dan pertentangan sendiri serta adanya sikap kecenderungan Buwaihi terhadap Sy’iah, sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian yang mendalam kepada penganut Sunni dan keadaan ini ditambah lagi dengan merosotnya perekonomian dan Akhirnya dinasti-dinasti kecilpun memisahkan diri dari Dinasti Buwaihi, sehingga diansti Buwaihi berada diambang kehancuran. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tughril Bek, seorang jendral dari Bani Saljuk menyerang Baghdad dan merebut kekuasaan dari Dinasti Buwaihi.

2. Dinasti Saljuk Salajikah adalah sekelompok suku yang berasal dari

Oghus (Ghuzz atau Okus) (H.A. R. Gibb, 1970: 192) yang menguasai seluruh Asia Barat dan kekhalifahan Bani Abbas abad XI M, kemudian mereka terpecah menjadi beberapa keturunan sesuai dengan tempat di mana mereka berkembang

Dinasti Abbasiyah yaitu Kirman, Iran, Suria dan Rum (Asia Kecil).

Nama Saljuk diambil dari nama seorang pemimpin mereka yang bemama Saljuk Ibn Tuqaq (Muhammad Khudary Bek, 1945: 412). Saljuk adalah seorang pemuka suku bangsa Turki yang berasal dari Turkistan. (Harun Nasution, 1985: 77) Tuqaq, ayah Saljuk adalah orang yang disegani orang-orang dari keluarga Ghuzz (Oghuz) yang mendiami wilayah wilayah Imperium Uighur. (Harun Nasution,dkk , 1988: 820) Luas wilayah tersebut berbatasan dengan Tiongkok di sebelah Timur sampai Laut Kirz dan terns memanjang ke daerah Mawaraannahar, terutama mereka mendiami Turkistan Timur. (Harus Nasution dkk, 1988: 821) Kemudian Saljuk diangkat sebagai panglima dimasa Imperium Uighur yang menempati bagian Selatan Lembah Tarim dengan Kashgar sebagai ibu kotanya. (Harun Nasution dkk, 1988: 821) Karena ketinggian cita-citanya dan kecerdasan akalnya, maka rakyatnyapun makin Saljuk di bawah kekuasaan Khalifah bani Abbas di tahun 1040 M (Harun Nasution, 1988:822).

Kemudian mereka meneruskan serangan ke Iran dan sekitarnya sampai jatuhlah Persia ke dalam Dinasti Saljuk. Kemenangan yang diperoleh dari beberapa wilayah tersebut, Tughril maklin menclapat kedudukan yang kuat.

Ibukota dinasti Saljuk yang tadinya berpusat di Samarkhan dipindahkan ke Nisapur, tidak jauh dari kota Baghdad. Setelah itu perang mulai diarahkan ke negeri-negeri Nasrani dan berhasil direbut anatoli dan Armenia.

Kelemahan Sultan Abdurrahim Amir al-Umara, dinasti Buwaihi di masa khalifah al-Qaim, yang tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatasi keadaan di negerinya, membuat panglima al-Basasir memutuskan hubungan dengan khalifah Kelemahan Sultan Abdurrahim Amir al-Umara, dinasti Buwaihi di masa khalifah al-Qaim, yang tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatasi keadaan di negerinya, membuat panglima al-Basasir memutuskan hubungan dengan khalifah

Di tahun 1031 al-Basasiri bertindak kejam dengan memungut pajak yang tinggi terhadap peclagang sehingga menjatuhkan nama khalifah Abbas dan disamping itu ia memaksakan faham Syiah kepada ummat muslim.

Dalam situasi seperti ini, khalifah al-Qaim menulis surat kepada Tughril untuk meminta bantuan untuk mengatasi hal ini. Tapi al-Basasiri mengetahui tindakan al- Qaim lalu ia menangkap al-Qaim dan menguasai Baghdad dan tunduk dibawah kekuasaan khalifah Fathimiyah di Mesir. (Harun Nasution dkk, 1988: 822). Kemudian Tughril dan pasukannya datang ke kota Baghdad dan membunuh al- Basasiri. Setelah itu al-Qaim dibebaskan dan dikembalikan ke tahtanya. Akhirnya Tughril dapat menguasai Baghdad dan seluruh wilayah Daulah Bani Abbas dari Sultan Buwaihi yang terakhir (al-Malikurrahim) tanggal 19 Desember 1055 M dan tercatat sebaga permulaan masa Daulah Bani Saljuk dalam khalifah Bani Abbas di Irak (Harun Nasution, 1988: 822)

Aliran Sunni yang dianut Saljuk merupakan senjata utama yang memudahkan Tughril mendapat dukungan ummat Islam dan pemerintah Baghdad. Nama Tughril disebut dalam Khotbah Jum’at setelah nama al-Qaim.

Daulah Bani Abbas banyak mengalami perubahan dan kemajuan setelah berada ditangan Bani Saljuk. Baghdad dijadikan sebnagai kota spiritual (sebagai tempat kediaman khalifah dan para cendikia/ulama) sedangkan ibu kota negara dipilih mula-mula Naisaburi, kemudian dipindahkan ke Ray.

Dinasti Abbasiyah (Ahmad Syailabi, 1978: 431) dengan maksud menjaga

wibawa khalifah sendiri, sebagai penguasa tertinggi yang tetap diakui dan ditaati. Sedangkan jabatan wazir untuk pembantu khalifah diadakan (Ahmad Syailaby, 1978: 432) yang pada Dinasti Buwauhi tidak ada.

Daerah-daerah dipimpin oleh pimpinan yang bergelar Sultan dan dibantu oleh Wazir dan dibantu oleh wazir dengan gelar Khazajah Barzak (Ahmad Syailaby, 1978: 432) Wazir Sultan lebih luas kekuasaannya dibanding wazir khalifah dalam menjalankan pemerintahan.

Dimasa Tughril wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk terbentang dari Thian Shan disebelah Timur sampai ke perbatasan imperium Romawi disebelah Barat, meluas ke wilayah Iran Selatan bekas kekuaasaan Dinasti Buwaihi. (Harun Nasution, 1988: 823)

Setelah menguasai Baghdad, Tughril tidak mengadakan perluasan wilayah lagi. Ia hanya mengatur pemerintahan, kemananan dan kemakmuran rakyat. Perluasan wilayah selanjutnya diteruskan oleh sultan-sultan setelah Tughril. Ia wafat tahun 1065 M (harun Nasution dkk, 1978: 823) dan digantikan oleh Alp Arselan (1065-1073 M) dengan dibantu oleh wazirnya Nizam al-Muluk.

Selama pemerintahannya, Alp Arselan banyak memadamkan pemberontakan di daerah taklukkan dan mengadakan ekspansi ke Barat. Pemberontakan di Hirrah, dan Kirman dapat dipadamkam. Kemudian ekspansi ke Barat dapat merebut kota pesisir laut Tengah (Aleppo, Hints dan Yerussalem) Juga dapat merebut Mekkah dan Madinah dari tangan Daulah Fathimiyah. (Hasan Ibrahim Hasan, 1967:

21) Alp Arselan juga dapat merebut Antioeh di Asia Kecil dari tangan Bizantium. Dia dapat mengalahkan 200.000 21) Alp Arselan juga dapat merebut Antioeh di Asia Kecil dari tangan Bizantium. Dia dapat mengalahkan 200.000

Di tangan Malik Syah aliran Sunni berkembang pesat. Keberhasilan yang dicapai tidak terlepas dari kecerdikan Nizam al-Muluk yang menjadi wazir. Dimasa tiga Sultan inilah Daulah Bani Abbasyiah mendapat kemajuan dan Dinasti saljuk mengalami masa keemasan. Mereka adalah Tughril, Alp arselan dan Malik Syah. (H.A.R. Gibb, 1970: 194) Fase kedua adalah zaman Sanjar dan saudaranya. (H.A.R. Gibb, 1970: 194)

Fase yang terakhir ini dimulai dengan wafatnya Malik Syah (1092-1157M) Malik Syah mempunyai empat orang putra, Muhammad, Sanjay dan Mahmud. (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 36). Setelah Malik Syah wafat, mulai terjadi perebutan kekuasaan antar saudara, Mahmud (Didukung khalifah al-Muqtadi) dan Barkiyaruq. (didukung oleh Nizam al-Muluk) (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 37)

Karena perselisihan-perselisihan seperti inilah akhirnya pemerintahan Bani Saljuk terbagi menjadi lima daerah, masing-masing daerah dipimpin oleh penguasa yang bergelar ayah (Malik) dan para Malik ini harus tunduk pada Sultan walaupun setiap malik memiliki hak otonomi dalam

Dinasti Abbasiyah mengatur urusan daerah masing-masing. (Ahmad Syalaby,

1978: 434) Kelima daerah ini adalah:

1. Saljuk Besar didirikan oleh Tughril Bek berkuasa selama

93 tahun (1093-1127 M), menguasai Khorasan, Ray, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz, berpusat di Baghdad .

2. Saljuk Kirman, berasal dari keluarga Qawarm Beg Ibn Daud Ibn Mikail Ibn Saljuk, saudara Alp arselan, berkuasa 150 tahun (1041-1188 M) menguasai Kimura sampai batas Insia.

3. Saljuk Irak dan Kurdistan, berkuasa selama 79 tahun (1117-1194 M) menguasai Mesopotamia Utara sampai ke Kurdistan.

4. Saljuk Soria, berkuasa selama 39 tahun (1078-1117 M) menguasai Haab, Damsyik, Hams dan Yerussalem sampai ke perbatasan Mesir.

5. Saljuk Rum di Asia Kecil, berasal dari keturunan Qultumhs Ibn Israel Ibn Saljuk, berkuasa selama 230 tahun berakhir tahun 1300 M. Setelah itu is jam ke tangan Turki, Mon- gol dan Usmani. (Muhammad Khudari Bek, 1945: 418- 420)

Keberhasilan Saljuk dalam membangun militer yang kuat terbukti dengan banyaknya daerah yang ditaklukkan disebabkan oleh keberhasilan mereka dalam menggabungkan antara administrasi militer dengan sifat suka tempur yang dimiliki oleh suku-suku yang bergabung dengannya.

Adminstrasi negara juga diperbahar ui dengan dibentukknya berbagai badan pengurus, yakni Dewan Menteri (al-Wuzara’) dipimpin oleh al-Sayyid al-Akbar sebagai penesehat seluruh aparat pemerintahan.

Kantor bendahara dipimpin oleh Mustaufi yang mengurusi keuangan negara. Kantor Sekretariat (Dewan al-

Tagra) mengurusi administrasi negara secara umum. Kantor penasehat dipimpin al-Musyrif dan kantor militer dipimpin oleh seorang Jenderal yang mengurusi administrasi militer, mengadakan latihan dan mengatur pengkat dan gaji. (Ahmad Kamal al-Din, 1975:209)

Kekuasaan Bani Saljuk atas Daulah Bani abbas berlangsung hanya sekitar seratus tahun lebih. Berawal dari khalifah ke-26 al-Qaim sampai khalifah ke-34 Ahmad al- Nasr Ibn al-Mustadli. (Ahmad Syalaby, 1978: 421)

Masa keemasan dicapai pada masa Alp Arselan dan perdana Menterinya Nizam al-Muluk. Setelah masa mereka berdua, Bani Saljuk mulai mengalami kemunduran ketika terjadi perebutan kekuasaan antara anak Malik Syah. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan ke- hancuran Bani Saljuk adalah:

1. Perebutan tahta sultan antara anak-anak Sultan Malik Syah yang merusak citra mereka terhadap daerah-daerah sehingga masing-masing daerah pun berusaha melepaskan diri dari pemerintahan pusat.

2. Tidak adanya tokoh yang kuat seperti Alp Arselan, Malik Syah dan Nizam al-Muluk. Sultan dan penguasa yang lemah untuk mempersatukan kelompok yang bertikai. Saljuk terdiri dari suku-suku yang liar dan sulit takluk pada penguasa. Hanya pemimpin yang ulung dan kuat dapat mengendalikan mereka. Barkiyaruq dan Sanjay belum cukup menangani mereka.

3. Timbulnya gerakan teroris yang ditunggangi oleh orang- orang Syiah Bathiniyah. Gerakan ini bernama Assasin yang diketuai oleh Hasan al-Shabah. Gerakan inilah yang membunuh Nizam al-Muluk.

4. Timbul Dinasti-dinasti kecil yang diasuh oleh Atabec,

Dinasti Abbasiyah budak yang menjadi pembesar sultan yang membuat

persatuan Saljuk terpecah.

5. Jatuhnya Asia Kecil ke tangan Saljuk menumbuhkan rasa kebencian orang orang Eropa sehingga hal ini yang menyebabkan terjadinya perang salib.

6. Sebagai faktor kehancuran adalah timbulnya Dinasti Khawarizm yang dapat merebut Daulah Abbasiyah dari tangan Saljuk. Ketika Sanjay berkuasa di masa akhir pemerintahannya ia mendapat serangan yang mematikan. Tabun 1153 M, ia dijatuhkan oleh Ghuzz. (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 59) Dan terakhir ia ditewaskan oleh Khawarizm dan tahun 1157 jatuhlah Saljuk Besar. (Hasan Ibrahim Hasan, 1967: 59) Saljuk Kirman juga direbut tahun 19 M. Jauh sebelum keduanya ini jatuh Saljuk Suria telah dikuasai oleh Zanki.

Dari Khurasan, kelompok tawanan perang dari Anatolia, kelompok ilmuwan dari Alexandaria, Harran dan Jundishapur dan kelompok Kristen nestorian dari kampung- kampung dari seluruh penjuru Irak telah menjadikan Baghdad sebagai tempat tinggal mereka.

Pada saat itu Baghdad merupakan produk dari pergolakan, pergerakan penduduk, perubaban, ekonomi dan peralihan dari beberapa abad sebelumnya. Baghdad menjadi negeri bagi masyarakat Timur Tengah baru, menjadi kota heterogen dan kosmopolitan yang terdiri dari kelompok Arab dan non Arab yang bernaung dalam satu negara yaitu negara Arab dan Agama Islam.

Semenjak berkuasa diansti baru ini banyak mengalami problem yang telah menganggu seperti pembangunan institusi pemerintahan yang efektif dan memobilisasi dukungan dari Semenjak berkuasa diansti baru ini banyak mengalami problem yang telah menganggu seperti pembangunan institusi pemerintahan yang efektif dan memobilisasi dukungan dari

Supremasi kasta Arab kehilangan arti politiknya dan hanya dengan sebuah rezim koalisi, kesatuan antara elemen Arab dan non Arab, imperium ini dijalankan. Perkembangan Arab sebagai Lingua Franca, penyebaran Islam dan pengislaman sebagian penduduk, ekspansi aktivitas perdagangan yang amat pesat, pergolakan ekonomi dan demografi telah menjadikan masyarakat Abbasiyah terlepas dari kehidupan lama dimasa Dinasti Umayyah.

Mereka memegang sejumlah karir baru di berbagai kota yang memungkinkan perluasan sebuah rekruitmen per- sonal dan dukungan politik terhadap dinasti baru ini, sehingga dinasti ini bukan lagi dimiliki oleh orang Arab. Sekalipun mereka telah menaklukkan beberapa teritorial, tetapi impe- rium ini telah dimiliki selumh warga yang terlibat bersama dalam Islam dan dalam mengembangkan loyalitas politik, sosial, ekonomi dan loyalitas kultural yang memantapkan sebuah masyarakat baru Timur Tengah yang kosmopolitan.

Dinasti Abbasiyah Keterbukaan rezim Abbasiyah dalam hal pemerin-

tahan terlihat nyata. Banyak juru tulis yang tersebar dalam birokrasi Abbasiyah adalah orang-orang yang berasal dari Khurasan, yang telah memasuki pemerintahan pusat pada masa Umayyah. Kelompok Kristen Nestorian berperan secara kuat, dikarenakan merupakan mayoritas penduduk Irak. Kelompok minoritas seperti Yahudi terlibat dalam kegiatan perpajakan dan perbankan. Keluarga-keluarga Syi’ah juga sangat berpengaruh. Kelompok Arab tidak kehilangan semua kedudukannya. Sekalipun Abbasiyah adalah Dinasti Arab, bahkan keadilan dan kehidupan hukum Baghdad dan kota-kota besar lainnya berada di tangan orang-orang Arab, namun semua itu tidak lagi merupakan sebuah hak yang perseptif, melainkan bergantung pada loyalitas dinasti.

Perpindahan kepada agama baru (Islam) tidak merusak ikatan kekeluargaan, perwalian dan kedaerahan. Jadi kebijakan Abbasiyah merekrut kelompok bangsawan yang mengabaikan latar belakang etnis, tidak hanya mengakhiri berbagai konflik yang telah menghancurkan dinasti Umayyah, tetapi kebijakan tersebut merupakan prasyarat yang sangat esensial untuk membangun sebuah pemerintahan yang memusat. Bahkan ketika pemerintahan yang efektif telah dibangun berdasarkan komunikasi yang simpatik antara pejabat pusat dari pemerintah daerah diperlukan rekruitmen yang lebih luas demi mencapai pemerintahan yang efektif. Pada saat itu pemerintahan Abbasiyah dibentuk oleh sebuah koalisi propinsial dan elit kota pusat yang menyetujui konsep umum dan tujuan kekuasaan politis dinasti Abbasiyah, dan yang diorganisir melalui institusi birokratis dan institusi politis lainnya untuk menjalankan pemerintahan mereka terhadap masyarakat Timur Tengah.

Jadi imperium Abbasiyah sebagai sebuah sistem politik haruslah dipahami menurut item-item organisasinya, dinamika sosialnya, konsep-konsep politiknya dan menurut term oposisinya. Sebagai sebuah imperium, Abbasiyah merupakan sebuah rezim yang memerintah sebuah teritorial yang sangat luas, terdiri dari sejumlah komunitas kecil. Setiap komunitas tersebut dipimpin oleh kalangan bangsawan masing-masing. Kepala kelompok, tuan tanah dan tokoh- tokoh kekayaaan dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya, yang secara karakteristik telah bersekutu dengan kelompok su- perior dan ahli-ahli yang berpengaruh dalam pemerintahan pusat dan lokal. Organisasi pemerintahan, sistem, komunikasi dan pengumpulan pajak merupakan bentuk- bentuk birokratis, tetapi mekanisme sosial yang menjadikan sistem kerja organisasi Abbasiyah merupakan kontak antara pejabat-pejabat pusat dan elit lokal. Birokrasi tersebut memobilisir pengaruh sosial dan sejumlah keahlian tokoh- tokoh penting di seluruh penjuru imperium dan menjadikan aset ini sebagai penentu di Baghdad. Birokrasi tersebut menyatukan kalangan elite pusat dan lokal untuk mem- perkokoh sebauh rezim yang koheren. Sistem persekutuan ini didasarkan pada sebuah konsep imperium sebagai sebuah produk dari kehendak Tuhan. Melalui kehendak Tuhan, beberapa khalifah yang berkuasa menghendaki ketaatan warganya secara penuh, rasionalisasi politik ini, yang menghadirkan term Islam dan term Timur Tengah pra Is- lam, mengesahkan koalisi kalangan elite yang dengannya imperium Abbasiyah dijalankan.

Namun tidak semua masyarakat dan semua propinsi imperium ini patuh terhadap peraturan imperial. Masyarakat pegunungan, penghuni perkampungan yang semi menetap,

Dinasti Abbasiyah kelompok petani, nomad dan beberapa segmen dari warga

kota termasuk termasuk kelas atas dan kelas bawahan menolak sistem Abbasiyah tersebut. Mereka menolak legitimasi Abbasiyah dan melancarkan pemberontakan terhadapnya, sekalipun mereka tidak berhasil meng- gulingkannya. Mereka sentuanyajuga tidak dapat ditumpas. (Baca Ira M. Lapidus, 103-122 :1999)