PengembanganIslam Sebagai Kedaulatn Politik

B. PengembanganIslam Sebagai Kedaulatn Politik

1. Perluasan Wilyah Negara Setelah khalifah Abu Bakar wafat pada hari Senin,

pada tanggal 23 Agustus 624 M (63 tahun) dengan khalifannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari, akhirnya Umar ibn Khatab dengan nama lengkapnya Umar Ibn Khattab Ibn Nufail keturunan Abdul ‘Uzza al-Quraisy dari suku ‘Adi menggantikan Abu Bakar menjadi khalifah. Ia dilahirkan di Mekah 4 tahun setelah sebelum kelahiran nabi saw. Dia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih, adil dan pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya dan berdagang ke Syria. Umar masuk Islam tahun ke lima setelah kenabian dan menjadi salah satu sahabat nabi terdekat. Ia ikut berkorban dan menjadi pelindung nabi saw dan Agama Is- lam serta ikut berperang dalam peperangan yang besar bersama nabi saw.

Ketika para pembakang telah dikikis habis oleh khalifah Abu Bakar dan ekspansi miiter yang berhasil menguasai wilayah Irak, Palestine, Irak dan Romawi Timur. Selanjutnya, pada masa Umar ibn Khatab, wilayah yang ditaklukkan adalah Suriah diikuti dengan penguasaan kota Damascus (635 M) ibukota Suriah.

Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukkan Suriah dimasa khalifah Umar tidak terlepas dari rentetan

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar

telah mengirim pasukan besar di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah ke front Suriah. Ketika pasukan terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid ibn Al-Walid untuk memimpin pasukan ke front Irak yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan Irak, diperintahkan segera membantu di front Suriah. Dengan gerakan cepat Khalid menyeberangi gurun pasir yang luas ke arah Suriah. Dan ia bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam situasi perang tersebut khalifah Abu Bakar wafat dan digantikan dengan Umar. Pada masa Umar inilah Khalid ibn al-Walid diberhentikan dan digantikan oleh Abu Ubaidah al-Jarrah. Damascus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari, selanjutnya pasukan tersebut melakukan penaklukkan ke Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Alepo, Surahbil dan ‘Amr, Baysan sampai Yerusalaem di Palestine. Kota suci ketiga dan dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan muslim selama 4 bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukan dengan syarat harus Umar sendiri yang menerima kota suci, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja.

Dari Suriah, pasukan Muslim melanjutkan langkah ke bumi Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian Utara. Seluruh kota-kota di Mesir termasuk Babylon dapat ditaklukkan pada tahun 20 H.

Pemimpin Romawi di Mesir, setelah melihat kesung- guhan dan ketangguhan pasukan Muslim dalam menak- lukkan seluruh kota Mesir, mengajak perjanjian damai. Perjanjian damai tersebut berisi :

a. Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak a. Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak

b. Gencatan senjata berlangsung selama 7 bulan

c. Bangsa Arab tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang Iskandariah dan menjauhkan diri dari permusuhan.

d. Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja dan tidak boleh mencampuri umat Kristen.

e. Pasukan harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda uang dan mereka akan membayar pajak perorang selama satu bulan.

f. Umat Yahudi harus tetap tinggal di Iskandariah.

g. Umat Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sipil sebagai sandera sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.

Dengan Suriah sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia Utara, Georgia dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat ke Asia Kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa’ad Ibn Abi Waqqas untuk menundukkan Persia. Kemenangan yang diraih memudahkan tentara muslim masuk ke dataran Euphrat dan Tigris. Ibu kota Persia, Ctesiphon (Madain) yang letaknya di tepi sungai Tigris pada tahun itu juga direbut. Setelah dikepung dua bulan, Yazdagrid III, raja Persia melarikan diri. Pasukan Islam mengepung Nahrawan dan,menundukkan Ahwaz tahun 22 H. Tahun 641 MJ22 H, seluruh wilayah Persia jatuh ke tangan Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahrawan. Isphahan juga ditaklukkan demikian pula Jurjan/Georgia, Tabristan dan Azarbaijan. Orang-orang yang jumlahnya jauh lebih besar dari tentara

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab Islam dikalahkan dengan kerugian yang besar . (Hasan dalam

Ali Mufrodi, 1997: 56)

2. Pemerintahan Negara Dalam mengorganisir imperium Islam yang baru,

khalifah Umar memperkenalkan sebuah kebijaksanaan Islami. Di Mekah dan Medinah, ia merangkul sahabat nabi dari kalangan Mekah dan Anshar, penolong dari warga Medinah. Di pusat-pusat perkampungan militer ia merangkul klan-klan yang turut mendukung Madinah selama berlangsung peperangan menghadapi kekuatan Mekah dan mereka turut terlibat dalam penaklukan Irak. Dari kalangan mereka ini, Umar mengangkat gubernur, jendral dan pegawai peme- rintahan. Mereka diberi tunjangan yang tinggi dan diijinkan untuk menguasai Sawafi (lahan pertanian yang ditinggalkan oleh kuasa Sasania)

Sejalan dengan upaya mengkonsolidasikan kekuasaan, pihak Arab meningkatkan kekuasaan pada berbagai urusan sosial. Administrasi Arab berbeda antara propinsi satu dengan propinsi lainya, di Mesopotamia dan Sirya administrasinya seragam karena pihak Arab menolak upeti yang ditawarkan. Di wilayah ini pemerintahan Arab memisahkan administrasi perkotaan dan perkampungan dan memberikan Cup de grace, kepada pemerintahan kota yang lama. Sejak masa klasik wilayah sekitar laut tengah terbagi menjadi sejumlah daerah otonom, yang menangani urusan pemerintahannya sendiri.

Bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas, pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Khalifah Umar Bin Khattab telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pernerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus Bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas, pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Khalifah Umar Bin Khattab telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pernerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus

Khalifah juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahan dengan membangun jaringan pe- merintahan sipil yang paripurna. (Mahmudunnasir: 184). Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekhalifahan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tidak ada istana atau pakaian kebesaran, sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khalifah memang merupakan penjelmaan hidup prinsip-prinsip egaliter dan demokratis yang harus dimiliki oleh setiap kepala negara.

Inti dari semua peraturan di masa Umar adalah musyawarah. Tokoh-tokoh sahabat dikumpulkannya sebagai stafnya untuk berunding dan meminta pendapatnya. Musim haji dijadikan sebagaim moment untuk meninjau pendapat- pendapat di daerah yang jauh dari pusat. Pada musim itu datang para pejabat dan petugas untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugasnya. Sebelum Umar menetapkan suatu peraturan bagi pejabat maka dia telah menetapkan peraturan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain bahwa memerintah itu adalah ujian bagi penguasa dan ujian bagi rakyat. Pemerintahan baginya adalah kekerasan tapi bukan kekerasan yang sewenang-wenang dan pemerintahan dengan kelembutan tapi bukan kelembutan dengan kelemahan.

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab Dalam masalah keadilan pada masa Umar sangat ketat. Umar

membangun pengadilan dan memilih orang-orang yang adil dan mampu untuk melaksanakannya. Umar tidak perlu menyusun undang-undang sebagai pegangan para hakim. Karena undang-undang itu semuanya terdapat dalam Al- Qur’an.

3. Sistem Penggajian Pengeluaran-pengeluaran harta negara wajib dimulai

dengan menyalurkannya menurut urutan mana yang lebih penting bagi kemaslahatan kaum muslimin. Diantara mereka yang berhak menerima harta negara atau berhak mendapat gaji dari pemerintah adalah kaum militer, yakni orang-orang yang bertugas sebagai penakluk dan berjihad. Mereka itu adalah yang paling berhak mendapat gaji dari pemerintah. Orang-orang yang berhak lainnya atas harta negara atau berhak mendapat gaji adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan pimpinan seperti para pembesar, hakim-hakim jaksa-jaksa), ulama-ulama, para pegawai yang bertugas untuk mengumpulkan, memelihara dan membagikan harta benda negara (gaji-gaji), para pegawai yang lain sampai pada para Imam shalat, Muadzin dan lain-lain.

Umar membagi gaji pada 4 katagori:

a. Gaji untuk orang yang terdahulu mendapatkan harta negara.

b. Orang-orang yang menggunakannya untuk manfaat kaum muslimin, seperti para pemimpin dan alim ulama, yang menggunakan harta itu untuk kepentingan agama dan dunia.

c. Orang-orang yang dibebani tugas-tugas yang berat tetapi mulia, seperti orang-orang yang berjihad di jalan Allah,

(prajurit, opsir, dan penasehat-penasehat militer).

d. Orang-orang yang mempunyai kebutuhan yang besar. (Ibnu Taimiyah, 1989: 73-74)

Umar tidak membenarkan Baitul Mal menetapkan gajinya, kecuali untuk makanan pokok baginya dan keluarganya bila diperlukan. Jika Umar mendapatkan pendapatan lain, maka gaji yang diberikan Baitul Mal tidak diambilnya. “Ketahuilah, saya menempatkan diri saya terhadap harta Allah (harta Baitul Mal) seperti kedudukan wali anak yatim. Jika saya dalam keadaan cukup, maka saya tidak mengambilnya, dan jika saya fakir, maka saya memakannya secara ma’ruf dan sedikit mungkin, sepertinya makannya binatang ternak di padang pasir yang mengunyah makanan dengan gigi depannya dan bukan dengan gerahamnya”.

Ketika Umar ra. ditanya mengenai apa yang halal dari harta Allah, dia menjawab: “Sesungguhnya tidaklah halal bagi Umar dari harta Baitul mal, melainkan sekedar dua helai pakaian: pakaian musim dingin dan pakaian musim panas, biaya naik haji dan umrah, makanan pokok bagi saya dan keluarga saya seperti seorang biasa dari orang Quraisy yang terkaya dan tidak pula yang termiskin, selain itu saya adalah sama dengan kaum muslimin.”

Umar sangat memperhatikan kesejahteraan pejabat- pejabat dan pegawai-pegawainya, dia menetapkan untuk Wali Kufah seperti Amnar bin Yasir sebesar 600 dirham perbulan dan sama juga untuk pegawai-pegawainya serta masih ditambah dengan tunjangan separoh kambing dan setengah karung sama seperti yang Umar peroleh.

Umar menetapkan gaji Abdullah bin Mas’ud 100 dirham dan ditambah dengan tunjangan seperempat ekor

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab kambing sebagai guru agama dan kepala Baitul Mal di kufah,

dan untuk Utsman bin hanif 150 dirham ditambah dengan seperempat ekor kambing beserta tunjangan tahunan 5000 dirham ... demikianlah seterusnya, penetapan gaji ber- dasarkan luas wilayah kekuasaan dan anggaran belanja.

Umar melarang pejabat untuk menampakan keme- wahan dan kesombongan yang dapat menjauhkan mereka dari rakyat (Abbas Mahmoud al-akkad, 1978:154).

4. Harta Rampasan Perang (Ghanimmah) Harta-harta yang menjadi milik Negara, yang dijelaskan

oleh Al-Qur’an maupun al-Sunnah, ada 3 jenis yaitu Ghanimah (harta rampasan), Sedekah dan Fay’.

Ghanimah yaitu harta yang didapat dari hasil pertempuran dengan kaum kafir, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Surat al-Anfal. Disebut Ghanimah karena menambah harta kekayaan kaum muslimin. Umar Bin Khattab mengatakan bahwa Ghanimah diper untukkan bagi orang-orang yang berangkat ke gelanggang perang, yaitu orang yang siap bertempur. Wajib membagikan harta rampasan perang diantara mereka dengan cara yang adil dan tidak boleh pilih kasih kepada seseorang berdasarkan pangkatnya, kebangsawanannya atau karena memandang mulianya seperti Nabi Muhammad SAW.

Harta-harta rampasan perang itu senantiasa dibagi- bagikan. Imam diperbolehkan memberikan sedikit lebih dari seperlima kepada pasukan-pasukan yang banyak jasanya, atau bagi pemanjat bukit tinggi atau menerobos depan pertahanan musuh sehingga musuh terbunuh atau bercerai berai.

Imam yang telah mengumpulkan ghanimah dan membagi-bagikannya tidak boleh dia mengambil sedikitpun Imam yang telah mengumpulkan ghanimah dan membagi-bagikannya tidak boleh dia mengambil sedikitpun

Pembagian yang adil adalah sebagian untuk pasukan jalan kaki, dan tiga bagian untuk pasukan yang menunggang kuda perang (sebagian untuk orangnya dan dua bagian kudanya)

Pada masa Rasulullah dan Abu Bakar belum ada suatu Departemen yang khusus mengurus harta-harta yang sudah menjadi kepunyaan pemerintah dan harta-harta yang dibagi- bagikan. Tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, bertimbun- timbun harta milik negara dan daerah kekuasaan Islam bertambah luas, maka pada masa ini dibentuklah departemen yang mangurus harta benda peperangan dan lainnya. Didirikan pula instansi-instansi militer yang lebih lengkap dari yang lainnya.

Di daerah-daerah terdapat pula instansi-instansi urusan pajak, harta sitaan dan harta milik negara. Nabi Muhammad selalu mengawasi para kepala daerah dalam mengurus soal harta sedekah (zakat), fay’ dan lainnya. Pada masa Nabi ada tiga macam peraturan yang diterapkan mengenai harta: Pertama , Yang berhak Imam memegangnya (pemerintah). Kedua , dilarang mengambil harta-harta dengan ijmak, seperti harta-harta orang yang dijatuhi hukum pidana. Ketiga, Harta yang dipersengketakan yang memerlukan pemecahan teliti,

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab seperti harta orang yang karib dari yang meninggal dunia

tetapi tidak termasuk ahli waris. (Ibnu Taimiyah, 1989: 53 dan 62)

5. Sistem Pertanahan Di Iraq dan di Mesir yang diperintah dengan birokrasi

sentral, pihak Arab sekedar menerapkan sistem administrasi yang ada pada rezim lama. Di Iraq, khalifah Umar merampas tanah-tanah yang semula dikuasai oleh penguasa Sasania, demikian pula sejumlah properti dikalangan bangsawan yang melarikan diri pada saat kekalahan Kaisar Sasania dan menjadikannya sebagai sebagian dari kekuasaan khalifah. Di Mesir, pihak Arab menyederhanakan sistem administrasi dengan menghapus otonomi kekayaan fiskal dan sejumlah kota praja sebagai unit administrasi yang mandiri. Di Khurasan dan beberapa wilayah Iran lainnya, merupakan satu-satunya yang paling bebas dalam pemerintahan dan penerapan pajak, di mana mereka benar-benar berkuasa penuh atas warga setempat.

Dalam setiap wilayah propinsi, pihak Arab mengadopsi sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya. Di Irak mereka mengadopsi sistem Sasania dalam pengumpulan pajak tanah (kharaj) dan pajak jiwa (Jizyah) sekaligus. Pertanahan ditertibkan dan pajak ditetapkan untuk setiap jarib (sekitar 2400 meter persegi). Tarif pajak untuk setiap jarib bergantung pada kualitas tanah, jenis pertanian dan target produksi panen dan penaksiran nilai produksi masing-masing. Keragaman tarif pajak juga bergantung dari jarak pasar, penyediaan air dan pola irigasi, transportasi dan sebagainya.

Di Syria dan Mesopotamia, pajak tanah berdasarkan iugum atau luas tanah yang dapat dikerjakan oleh seorang Di Syria dan Mesopotamia, pajak tanah berdasarkan iugum atau luas tanah yang dapat dikerjakan oleh seorang

Dengan ditaklukkanya Bizantium dan Sasania, maka orang-orang Arab Badui banyak yang berimigrasi ke negara taklukkan. Komunitas muslim di Madinah telah berusaha untuk menyalurkan migrasi Badui. Warga Madinah memutuskan dua kebijakan pokok pada pemerintahan pasca- penaklukkan. Pertama, kelompok Badui dihindarkan dari penghancuran masyarakat pertanian. Kedua, elite baru harus bekerja sama dengan pimpinan atau kalangan bangsawan warga taklukkan. Untuk mencegah penyerbuan Badui secara semena-mena dan menghindarkan pengrusakan tanah pertanian yang produktif serta untuk memisahkan pasukan dari warga taklukkan, orang-orang Badui ditempatkan pada perkempungan militer (Amshar).

Amshar tidak hanya berperan sebagai kampung migran. Badui dan sebagai pengaturan militer, melainkan juga sebagai pusat distribusi tanah rampasan. Sebagai kelompok penakluk, bangsa Arab berhak atas gaji atau tunjangan yang dikeluarkan dari zakat yang dikumpulkan dari petani atau upeti yang dibayarkan oleh penduduk kota. Pada prinsipnya tidak ada pasukan atau klan Arab yang diperkenankan atau menguasai dan memiliki properti tanah. Tanah atau lahan taklukkan (fay’) dipandang sebagai hak milik permanen bagi komunitas, sejumlah penghasilan harus diserahkan kepada pihak penakluk dan bukan tanahnya. Pengaturan seperti ini dimaksudkan untuk melindungi lahan pertanian dari keterbengkalaian sekaligus untuk mendistribusikan tanah rampasan tanah secara bijak.

Para pejabat dan Gubernur diberi hak untuk memiliki sawafi (lahan pertanian yang ditinggalkan oleh warga Sasania). (Ira M. Lapidus, 1999 : 64-65)

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab

6. Sistem Kependudukan Di bawah tekanan peperangan, migrasi dan per-

ekonomian yang intensif mengubah asumsi dasar mengenai imperium yang dibentuk oleh penakluk Arab, bahwa penduduk arab dan non Arab haruslah dipisahkan, di mana penduduk Arab berperan sebagi sebuah elite militer sedang penduduk non arab sebagai produser dan pembayar pajak; dan menghilangkan sebuah asimilasi mutual antara warga penakluk dan warga taklukan di atas dasar sebuah komunitas dan identitas Islam yang baru. Kalangan warga yang menetap juga menciptakan tekanan bagi asimilasi bangsa Arab dengan masyarakat sekitar. Di Isfahan, Merw, Nishapur dan Balkan, tentara Arab mendiami perkampungan dan secara cepat mereka menjadi tuan-tuan tanah atau sebagai petani. Diantara 50.000 keluarga yang sebagian besar tinggal di Merw pada 670 M, hanya 15.000 yang tetap mengabdi dalam kegiatan militer sampai pada tahun 730 M. Sebagian besar militer Arab pada saat itu meninggalkan dinas kemiliteran mereka untuk melibatkan diri mereka dengan pekerjaan sebagaimana warga setempat. Di Azerbaijan kelompok arab yang datang dari Basrah dan Kufah menguasai jumlah tanah dan perkampungan dan menegakkan posisi mereka sebagai tuan-tuan tanah setempat yang bersifat aristokratis. Di Kiman kalangan migran Arab menuntut kembali tanah yang telah mereka lepaskan, mendirikan kampung-kampung dan sejumlah pemukiman baru dan menjadi warga petani. Di Iraq pemuka-pemuka Arab dari Basrah dan Kufah menjadi tuan tanah. Pada beberapa propinsi ini terbentuklah sebuah kelompok elite Arab pemilik tanah. Orang-orang Arab tersebut menolak melaksanakan tugas-tugas kemiliteran dan mereka hidup secara terasing dari warga lainnya dan ekonomian yang intensif mengubah asumsi dasar mengenai imperium yang dibentuk oleh penakluk Arab, bahwa penduduk arab dan non Arab haruslah dipisahkan, di mana penduduk Arab berperan sebagi sebuah elite militer sedang penduduk non arab sebagai produser dan pembayar pajak; dan menghilangkan sebuah asimilasi mutual antara warga penakluk dan warga taklukan di atas dasar sebuah komunitas dan identitas Islam yang baru. Kalangan warga yang menetap juga menciptakan tekanan bagi asimilasi bangsa Arab dengan masyarakat sekitar. Di Isfahan, Merw, Nishapur dan Balkan, tentara Arab mendiami perkampungan dan secara cepat mereka menjadi tuan-tuan tanah atau sebagai petani. Diantara 50.000 keluarga yang sebagian besar tinggal di Merw pada 670 M, hanya 15.000 yang tetap mengabdi dalam kegiatan militer sampai pada tahun 730 M. Sebagian besar militer Arab pada saat itu meninggalkan dinas kemiliteran mereka untuk melibatkan diri mereka dengan pekerjaan sebagaimana warga setempat. Di Azerbaijan kelompok arab yang datang dari Basrah dan Kufah menguasai jumlah tanah dan perkampungan dan menegakkan posisi mereka sebagai tuan-tuan tanah setempat yang bersifat aristokratis. Di Kiman kalangan migran Arab menuntut kembali tanah yang telah mereka lepaskan, mendirikan kampung-kampung dan sejumlah pemukiman baru dan menjadi warga petani. Di Iraq pemuka-pemuka Arab dari Basrah dan Kufah menjadi tuan tanah. Pada beberapa propinsi ini terbentuklah sebuah kelompok elite Arab pemilik tanah. Orang-orang Arab tersebut menolak melaksanakan tugas-tugas kemiliteran dan mereka hidup secara terasing dari warga lainnya dan

Lebih jauh, kota-kota tentara merupakan pusat perubahan sosial. Di luar garis kekerabatan dan garis nasab warga Arabia, secara sosial masyarakat semakin terbagi menjadi beberapa tingkatan, pekerjaan yang berbeda-beda dan secara komunal mengorganisir masyarakat Arab perkotaan yang telah berasimilasi dengan warga non Arab untuk menjalani sebuah pola bar u dari komunitas kosmopolitan. Basrah misalnya, yang didirikan sebagai kamp perkampungan untuk kelompok migran tentara Badui, menjadi sebuah pot peleburan berbagai warga. Pada saat pendirian kota Basrah masing-masing klan besar atau kelompok kesukuan memiliki daerah masjid, perkuburan dan tempat-tempat pertemuan sendiri, meskipun demikian secara terus-menerus, tempat tinggal tenda digantikan oleh gubuk- gubuk yang terbuat dari alang-alang. Tenda-tenda tersebut diperkuat dari dinding yang terbuat dari tanah, dan selanjutnya digantikan oleh bangunan rumah bata yang terbuat dari tanah liat orang-orang Badui yang kebiasaannya berpindah tempat, merasa hidup mereka tidak cocok dalam bangunan bata tersebut.

Sistem militer dan administratif juga menimbulkan perubahan yang mencolok. Sistem tersebut yang merupakan

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab unit alamiah dari masyarakat Arabia yang disusun kembali

ke dalam kelompok-kelompok artifisial untuk menye- ragamkan resimen dan untuk membiayai unit-unit yang mencapai 1000 laki-laki, klan-klan besar dibagi menjadi beberapa bagian dan klan yang lebih kecil disatukan. Pada tahun 670, puluhan ribu keluarga berpindah dari Basrah dan Kufa menuju perkampungan tentara, Merw di khurasan, dan seluruh kelompok yang tersisa segera diorganisir. Demikian juga para pendatang baru yang berdatangan secara terus- menerus untuk ikut ambil bagian dalam peperangan Arab barus diintegrasikan dalam sebuah basic unit. Namun demikian unit-unit militer tetap mempertahankan klan dan nama kesukuan mereka, dan agaknya mereka tetap mempertahankan sebuah kerabat inti, mereka tidak lagi mencerminkan struktur sosial masyarakat Arabia pra-Islam.

Pemukiman juga membawakan transformasi Badui dan tentara menjadi sebuah warga pekerja yang secara ekonomi terjadi perbedaan, pada saat yang sama pemukiman juga mendukung hancurnya perbedaan penduduk Arab dan non Arab. Tentara dan administrator dari rezim lama tergolong sebagai kelompok besar. Gubernur Arab memulangkan pasukan dari wilayah timur untuk bertugas sebagai polisi dan pengawal, jur u tulis, pengumpul pajak, dan manajer perkebunan, dan juga kepala-kepala kampung dan pemilik tanah bersama-sama menuju pemerintahan pusat. Selain itu, pedagang musiman, perdagangan jarak jauh, dan pekerja rendahan termasuk di dalamnya para pelayan tempat pernandian, tukang tenun dan pemintal berpindah ke kota baru. Budak tawanan dan budak belian, pekerja bangunan keliling, petani musiman dan buruh-buruh migran, mencari pekerjaan dan terlepas dari kekerasan alam desa, mereka Pemukiman juga membawakan transformasi Badui dan tentara menjadi sebuah warga pekerja yang secara ekonomi terjadi perbedaan, pada saat yang sama pemukiman juga mendukung hancurnya perbedaan penduduk Arab dan non Arab. Tentara dan administrator dari rezim lama tergolong sebagai kelompok besar. Gubernur Arab memulangkan pasukan dari wilayah timur untuk bertugas sebagai polisi dan pengawal, jur u tulis, pengumpul pajak, dan manajer perkebunan, dan juga kepala-kepala kampung dan pemilik tanah bersama-sama menuju pemerintahan pusat. Selain itu, pedagang musiman, perdagangan jarak jauh, dan pekerja rendahan termasuk di dalamnya para pelayan tempat pernandian, tukang tenun dan pemintal berpindah ke kota baru. Budak tawanan dan budak belian, pekerja bangunan keliling, petani musiman dan buruh-buruh migran, mencari pekerjaan dan terlepas dari kekerasan alam desa, mereka

7. Pelimpahan Wewenang Kepada Hakim Daerah Umar membangun pengadilan dan memilih orang-o-

rang yang adil dan mampu untuk melaksanakan keadilan. Umar juga juga tidak perlu menyusun undang-undang sebagai pegangan para hakim dalam, pengadilan. Karena undang- undang itu semua terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Tetapi dia perlu mendidik para hakim bagaimana mereka mengambil kebijaksanaan apabila suatu perkara kurang jelas bagi mereka.

Diperintahkan kepada hakim agar tetap berpedoman kepada al-Qur’an dalam menetapkan keputusan. Apabila tidak terdapat di dalam al-Qur’an, maka harus berpedoman kepada al-Sunnah. Jika perkara tersebut tidak terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka seorang hakim harus memutuskan perkara berdasarkan ijtihad mereka sendiri ataupun perkara tersebut ditangguhkan. Dalam hal ini Umar memberi contoh dengan ijtihad dan fatwa sendiri. Dia tidak memotong tangan pencuri pada minim kelaparan, karena memperhatiakn waktu dan keadaan, dia juga tidak memotong tangan anak yang mencuri harta tuannya, karena mem- perhatikan umurnya.

Diantara amanatnya kepada seorang qadi adalah bahwa seorang qadi harus memberikan perlakuan yang sama dalam memutuskan perkara. Sehingga orang kuat tidak dapat berbuat sewenang-wenang dan orang yang lemah tidak teraniaya terhadap keputusan yang diterimanya.

Bukti (saksi) har us dikemukakan oleh seorang pengadu. Keputusan yang telah diambil dan terjadi

Masa Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar Bin Khattab kekeliruan, maka harus dibatalkan karena kembali kepada

kebenaran adalah lebih baik daripada dalam kebatilan (kesalahan). Ketika hakim merasa raga dalam keputusannya, maka hakim tersebut harus melihat kembali dan meneliti kembali kitabullah dan sunnah Rasulullah.

Berikanlah kepada si penggugat haknya untuk membuktikan kebenarannya dalam waktu tertentu. Diantara wasiatnya yang lain biasakan lima perkara, sehingga agamamu selamat dan kamu akan mendapatkan keuntungan. Lima perkara tersebut adalah: pertama, apabila datang kepadamu dua orang yang berperkara, maka engkau harus me- mutuskannya, berdasarkan kesaksian yang adil atau sumpah. Kedua : dekatkanlah dirimu kepada orang kecil yang lemah sehingga hatinya berani dan lancar bicaranya. Ketiga: peliharalah hak orang perantau, jika kamu tidak me- meliaranya maka dia tidak akan kehilangan haknya dan kembali ke negerinya. Keempat, binalah kerukunan diantara manusia pada setiap waktu dan kelima: damaikanlah antara mereka, bila tidak cukup bukti untukmu menetapkan suatu keputusan.