Menerjemahkan Prosa Fiksi
9.2 Menerjemahkan Prosa Fiksi
Yang disebut prosa fiksi adalah tulisan hasil rekanaan semata yang mengandung cerita. Secara sederhana, kalau tulisan ini panjang disebut novel, dan kalau pendek serta dimaksudkan untuk diselesaikan dengan sekali baca disebut cerita pendek.
Tetapi secara umum kedua jenis prosa ini mempunyai kesamaan karakteristik; selain isi ceritanya hanya hasil rekaan semata, keduanya punya plot, punya pelaku, dan menggunakan bahasa yang lugas, tidak sepadat serta sehemat puisi. Tentu saja ini batasan cerpen dan novel konvensional. Karena karakteristik dan sifat-sifat yang relatif sama, maka cara menerjemahkannya pun relatif sama juga.
Menurut Peter Newmark (1988), masalah-masalah yang Menurut Peter Newmark (1988), masalah-masalah yang
Selain masalah tersebut di atas, perlu diperhatikan juga ciri-ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis. Dengan demikian, penerjemah tidak akan salah memahami naskah aslinya, terutama dalam hal gaya penulisannya.
Sementara orang memandang bahwa menerjemahkan cerpen atau novel lebih mudah daripada menerjemahkan puisi karena kata-kata yang digunakan tidak sehemat dan seterpilih kata-kata puisi. Keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu tergantung pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada alur cerita dan pengembangan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita itu. Pendapat ini memang tidak salah. Hanya saja kalau tidak hati-hati, penerjemah bisa saja terjerumus ke dalam penerjemahan kalimat per kalimat, yang kalau dibaca sepintas terlihat bagus dan runtut, tetapi secara keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Mengapa demikian? Menurut Basnett-McGuire (1980), penerjemah yang melakukan kerja seperti hipotesis di atas memang sudah bekerja keras untuk menghasilkan naskah dalam BSa yang enak dibaca. Tetapi ternyata dia gagal untuk menemukan hubungan antara tiap-tiap kalimat yang diterjemahkannya dengan struktur cerpen atau novel secara keseluruhan. Akibatnya banyak pesan yang tak tersampaikan.
Menurut Wolfgang Iser (dalam Basnett-McGuire, 1980), dalam sebuah cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan sesuatu diluar apa yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul. Dengan cara demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk terus diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menggarap kalimat-kalimatnya itu sebagai kalimat-kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan makna dari tiap-tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan kehilangan dimensi, kedalaman dan keluasan makana yang ingin disampaikan oleh Menurut Wolfgang Iser (dalam Basnett-McGuire, 1980), dalam sebuah cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan sesuatu diluar apa yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul. Dengan cara demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk terus diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menggarap kalimat-kalimatnya itu sebagai kalimat-kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan makna dari tiap-tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan kehilangan dimensi, kedalaman dan keluasan makana yang ingin disampaikan oleh
1. pengaruh budaya bahasa sumber (BSu) dalam teks asli. Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar, dan tema.
2. Tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam operasionalnya, masalah ini berada dalam proses penerjemahan nama diri, baik nama karakter atau nama tempat, yang mungkin tidak dikenal dalam bahasa sasaran (BSa). Selain itu penerjemahan aturan-aturan BSu pun potensial sekali untuk menjadi masalah. Belum lagi masalah idiolek penulis, dialek karakter, dan lain-lain. Sebagai contoh, dialek orang kulit hitam rendahan seperti tokoh Huckelberry Finn itu bagaimana harus diterjemahkan?
Selain proses penerjemahan hal-hal di atas, perlu pula diperhatikan ciri-ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis. Dengan demikian, penerjemah tidak akan salah memahami naskah aslinya, terutama dalam hal gayanya.
Kalau begitu bagaimana sebaiknya menerjemahkan cerpen atau novel? Sebelum kita membicarakan prosedur operasionalnya, marilah kita simak usulan Hilaire Belloc tentang aturan umum dalam menerjemahkan cerpen atau novel.
Menurut Belloc, seperti yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1980: 116), ada enam aturan umum bagi penerjemah naskah prosa fiksi:
1. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat saja, tetapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya atau pun karya terjemahannya. Ini berarti penerjemah harus menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit yang integral, meskipun saat menerjemahkannya ia mengerjakan bagian per bagian saja.
Inti dari peraturan pertama ini sebenarnya berbicara tentang unit terjemahan terkecil dalam cerpen atau novel. Dan masalah ini, menurut Basnett-McGuire, memang masalah pokok terjemahan prosa fiksi. Dalam terjemahan puisi dengan mudah penerjemah bisa membagi puisi itu menjadi unit-unit terjemahan dalam baris-baris. Kalau baris-baris ini terasa tidak sesuai pasti bisa dibagi dalam bait-bait.
Memang betul bahwa novel terbagi menjadi beberapa bab yang berturutan. Tetapi struktur cerita yang sebenarnya tidak mesti linier seperti bab-bab tersebut. Kadang-kadang banyak kilas balik yang terselip di dalam bab-bab itu. Sehingga kalau penerjemah menganggap kalimat-kalimat tersebut sebagai unit terjemahan terkecil dan menerjemahkannya tanpa menghubungkannya dengan struktur keseluruhan cerita, maka kemungkinan besar dia akan menghasilkan terjemahan yang dangkal, tanpa dimensi sama sekali. Justru dimensi inilah yang membuat sebuah cerita menjadi berbobot.
2. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Di sini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata-kata yang dipergunakan tidak sama persis. Sebagai contoh idiom kambing hitam dalam Bahasa Indonesia mempunyai padanan scape goat dalam Bahasa Inggris, dan bukan black goat. Contoh lain adalah ekspresi "It doesn't pay". Dalam menerjemahkan ekspresi itu, penerjemah tentu tidak bisa menerjemahkannya menjadi "Itu tak bisa membayar", tetapi "Itu tak ada gunanya" tentu lebih benar. Jadi, dalam kasus seperti ini penerjemah perlu mencari padanan dari idiom atau ekspresi dari BSu di dalam BSa. Kalau memang betul-betul tidak ada padanannya, barulah idiom itu bisa diterjemahkan.
3. Penerjemah harus menerjemahkan "maksud" menjadi "maksud" juga. Kata "maksud" di sini menurut Belloc berarti muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa saja muatan emosi dalam ekspresi BSu-nya lebih kuat daripada muatan emosi dari padanannya dalam BSa, atau ekspresi tertentu terasa pas dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa, bila diterjemahkan literal. Oleh karenanya, sering kali penerjemah prosa fiksi terpaksa menambahkan kata-kata yang sebenarnya tidak ada dalam teks asli untuk menyesuaikan "maksud"nya di dalam BSa. Tetapi bagaimanapun, sebisa mungkin penerjemah menahan diri untuk tidak cepat menambah atau mengurangi hal-hal dalam teks aslinya. Untuk itulah, penerjemahannan "maksud" ini perlu diperhatikan. Sebagai contoh di sini penulis ambilkan dari contoh yang diajukan Suryawinata (1989). Penulis tersebut mencontohkan suatu situasi sewaktu seorang suami sedang marah-marah pada istrinya dan 3. Penerjemah harus menerjemahkan "maksud" menjadi "maksud" juga. Kata "maksud" di sini menurut Belloc berarti muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa saja muatan emosi dalam ekspresi BSu-nya lebih kuat daripada muatan emosi dari padanannya dalam BSa, atau ekspresi tertentu terasa pas dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa, bila diterjemahkan literal. Oleh karenanya, sering kali penerjemah prosa fiksi terpaksa menambahkan kata-kata yang sebenarnya tidak ada dalam teks asli untuk menyesuaikan "maksud"nya di dalam BSa. Tetapi bagaimanapun, sebisa mungkin penerjemah menahan diri untuk tidak cepat menambah atau mengurangi hal-hal dalam teks aslinya. Untuk itulah, penerjemahannan "maksud" ini perlu diperhatikan. Sebagai contoh di sini penulis ambilkan dari contoh yang diajukan Suryawinata (1989). Penulis tersebut mencontohkan suatu situasi sewaktu seorang suami sedang marah-marah pada istrinya dan
A: The problem is nobody will drive.
B: It's a cake. I got my license yesterday. (dari Batman: The Knightfall)
4. Penerjemah harus waspada terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam Bsu dan Bsa, tetapi sebenarnya sangat berbeda.
Sebagai contoh kalimat "I won't be long" dalam bahasa Inggris sekilas sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia "Saya tak akan panjang." Setelah didimak lagi ternyata bukan itu padanannya dalam bahasa Indonesia. Padanannya adalah "Saya tak akan lama." Contoh lain adalah kalimat bahasa Inggris, "It doesn't pay." Meskipun sekilas kalimat ini sama dengan kalimat bahasa Indonesia, "Hal itu tidak membayar," tetapi padanan yang betul adalah "Itu tak ada gunanya."
Selain struktur kalimat, ada kalanya kata-kata pun menjadi masalah bila penerjemah tidak teliti. Kata "map" dalam bahasa Inggris bukanlah "map" dalam bahasa Indonesia, tetapi "peta." Contoh lainnya adalah:
"Map" (Indonesia) sama dengan "folder" bukan "map" (Inggris). "Fabric" (Inggris) sama dengan "serat kain" (Indonesia) bukan "pabrik".
Sedangkan kata "pabrik" dalam bahasa Indonesia sama dengan "factory, mills, plants" dalam bahasa Inggris.
5. Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari BSu ke dalam BSa dengan tegas. Lebih jauh Belloc mengatakan bahwa inti dari kegiatan menerjemahkan cerita fiksi adalah kebangkitan kembali "jiwa asing" dalam tubuh "pribumi". Tentu saja yang dimaksud dengan "jiwa asing" ini adalah makna cerita dalam
BSu dan "tubuh pribumi" ini adalah bahasa sasarannya (BSa).
6. Meskipun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah, tetapi pada langkah keenam, Belloc (dalam Basnett-McGuire, 1980) mengatakan bahwa penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan "hiasan-hiasan" yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah sekali pun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan "jiwa asing" tadi, bukan mempercantiknya, apalagi memperburuknya.
Dengan keenam prinsip utama di atas, rasanya Belloc ingin menekankan
prosa fiksi perlu mempertimbangkan bahwa naskah merupakan satu keseluruhan yang berstruktur, di samping dia juga mempertimbangkan pentingnya hal-hal yang berhubungan dengan gaya dan tata kalimat. Belloc juga mengakui bahwa ada kewajiban moral bagi para penerjemah untuk setia pada naskah aslinya. Tetapi dia juga merasa bahwa penerjemah juga punya hak untuk menambah atau mengurangi kata-kata dalam naskah asli dalam proses penerjemahannya agar hasil terjemahannya nanti sesuai dengan aturan-aturan idiomatik dan gaya bahasa BSa.
Dengan demikian jelas sekali bahwa dalam penerjemahan prosa fiksi (cerpen/novel), penerjemah mementingkan makna, pesan, kemudian gaya, persis seperti apa yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1982). Sebagai contoh utuh penerjemahan prosa fiksi ini, lihat lampiran 2.