Menerjemahkan Puisi

9.3 Menerjemahkan Puisi

Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri-ciri yang dimiliki oleh bentuk-bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Tetapi kalau dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda dari jenis-jenis yang lain, seperti drama, cerpen dan novel. Dalam puisi keindahan tidak hanya dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi di sana penyair mencipta ritme, irama, serta emosi-emosi yang khas dengan cara membuat ungkapan-ungkapan yang khas pula, yang kadang kala ditulis dengan tidak mengikuti kaidah yang umum. Di samping itu, puisi juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasannya dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri-ciri yang dimiliki oleh bentuk-bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Tetapi kalau dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda dari jenis-jenis yang lain, seperti drama, cerpen dan novel. Dalam puisi keindahan tidak hanya dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi di sana penyair mencipta ritme, irama, serta emosi-emosi yang khas dengan cara membuat ungkapan-ungkapan yang khas pula, yang kadang kala ditulis dengan tidak mengikuti kaidah yang umum. Di samping itu, puisi juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasannya dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan

Seperti dalam terjemahan-terjemahan jenis lain, penerjemah dalam terjemahan puisi juga berperan sebagai jembatan penghubung antara pengarang dengan pembaca. Kalau pembaca tidak menguasai bahasa Inggris misalnya, maka dia tidak bisa memahami dan menikmati karya penyair Inggris atau Amerika. Untuk itulah seorang penerjemah diperlukan. Tetapi mengingat betapa uniknya puisi seperti yang diuraikan di atas, muncullah pertanyaan, "Mungkinkah menerjemahkan puisi?

Seperti seorang pelukis yang melukiskan suara hatinya dengan bahan-bahan cat yang berwarna-warna, seorang penyair mencipta puisi untuk menuangkan suara jiwanya dengan bahan kata-kata. Tentu saja kata-kata ini adalah hasil pemilihan yang cermat dengan memperhatikan efek bunyi tertentu untuk mengungkapkan emosi tertentu serta makna dan pesan tertentu pula. Seperti halnya cat atau bahan pewarna, kata-kata adalah milik semua bahasa dan dapat dipakai oleh semua orang. Dengan kata lain, semua bahasa mempunyai satuan bunyi yang disebut kata. Dan semua kata-kata dalam segala jenis bahasa di dunia ini, termasuk Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia, sama-sama bisa dipakai untuk menulis puisi, mengungkapkan perasaan, dan menyampaikan pesan. Jadi, suatu pesan yang disampaikan dalam Bahasa Inggris, mungkin sekali bisa disampaikan juga dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena inilah, menurut Theodore Savory (1969: 75), terjemahan puisi yang memadai masihlah mungkin dilakukan.

9.3.1 Jenis-jenis Terjemahan Puisi

Ada beberapa metode yang biasa diterapkan oleh para penerjemah puisi. Andre Lefevere (dalam Bassnett-McGuire, 1980: 81-82) mencatat tujuh metode terjemahan puisi yang biasa digunakan oleh para penerjemah Inggris dalam menerjemahkan puisi-puisi karya Catullus. Ketujuh metode tersebut adalah:

1. Terjemahan Fonemik Metode terjemahan ini berusaha mencipta kembali suara dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Dan dalam waktu bersamaan, penerjemah berusaha mengalihkan makna puisi asal kedalam BSa. Menurut kesimpulan Lefevere, meskipun hasil 1. Terjemahan Fonemik Metode terjemahan ini berusaha mencipta kembali suara dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Dan dalam waktu bersamaan, penerjemah berusaha mengalihkan makna puisi asal kedalam BSa. Menurut kesimpulan Lefevere, meskipun hasil

2. Terjemahan Literal Terjemahan dengan metode ini menekankan proses penerjemahan dari kata ke kata dalam BSa. Kebanyakan terjemahan puisi dengan cara ini betul-betul menghilangkan makna dalam puisi aslinya. Selain menghilangkan makna, struktur frasa dan kalimatnya akan melenceng jauh dari struktur dalam BSa.

3. Terjemahan Irama Terjemahan irama (metrical translation) adalah penerjemahan puisi dengan penekanan utama pada pencarian atau pereproduksian irama atau matra puisi aslinya dalam puisi hasil terjemahannya. Strategi terjemahan jenis ini biasanya akan menghasilkan terjemahan yang mengacaukan makna dan juga memporak-porandakan struktur BSa karena secara umum tiap-tiap bahasa mempunyai sistem tekanan dalam pelafalan kata yang berbeda-beda.

4. Terjemahan Puisi ke Prosa Dalam terjemahan dari puisi menjadi prosa ini terdapat beberapa kelemahan, seperti hilangnya makna, musnahnya nilai komunikatif antar penyair dan pembaca, serta yang paling kentara, hilangnya pesona puisi aslinya yang telah dibangun dengan susah payah dari bahan-bahan pilihan kata dan bunyi serta ungkapan-ungkapan tertentu.

5. Terjemahan Bersajak Dalam metode terjemahan ini, penerjemah mengutamakan pemindahan rima akhir larik puisi aslinya ke dalam puisi terjemahannya. Hasil terjemahan ini adalah sebuah terjemahan yang secara fisik kelihatan sama tetapi menilik maknanya, hasilnya tidak memuaskan.

6. Terjemahan Puisi Bebas Dalam terjemahan dengan metode ini mungkin penerjemah bisa mendapatkan ketepatan padanan kata dalam BSa dengan baik, dan kadar kesastraannya pun bisa dipertanggungjawabkan. Di lain pihak, masalah rima dan irama dalam jenis terjemahan ini cenderung diabaikan. Dengan demikian, secara fisik, mungkin puisi hasil terjemahan ini kelihatan berbeda dari puisi aslinya, tetapi dalam hal makna, puisi ini terasa sama.

7. Interpretasi Interpretrasi di sini tidak sama dengan intepretasi yang artinya terjemahan lisan seperti yang sudah dibahas di dalam Bab. Dalam jenis terjemahan interpretasi ini Lefevere mengajukan dua jenis terjemahan yang masing-masing disebutnya versi dan imitasi. Suatu versi puisi dalam BSa mempunyai isi atau makna yang sama bila dibandingkan dengan puisi aslinya dalam BSu tetapi bentuk "wadag"nya telah berubah sama sekali. Sedangkan dalam imitasi, penerjemah betul- betul telah menuliskan puisinya sendiri dengan judul dan topik serta titik tolak yang sama dengan puisi aslinya.

Kalau disimak, dalam kajiannya tersebut rupanya Lefevere ingin menegaskan kembali pendapat Anne Cluysenaar. Anne Cluysenaar (dalam Bassnett-McGuire, 1980: 82) menyatakan bahwa kelemahan metode- metode terjemahan puisi umumnya disebabkan oleh adanya penekanan pada satu atau beberapa elemen puisi dalam proses penerjemahannya. Dari sini jelas bahwa metode penerjemahan yang demikian akanlah mengorbankan elemen-elemen puisi yang lain. Oleh karena puisi tersusun dari elemen-elemen tadi yang tertata secara seimbang, maka pengorbanan salah satu atau beberapa elemen dalam penerjemahannya tentu akan merusak keseimbangan yang telah dibangun dengan susah payah oleh si penyair. Dengan demikian proses tersebut juga merusak puisi secara keseluruhan.

Secara garis besar, ketujuh metode penerjemahan puisi di atas ternyata mengarah pada dua kutub yang saling menjauh. Dalam metode terjemahan literal, metrikal (irama) dan terjemahan bersajak, penerjemah mementingkan segi bentuk luar dan karenanya rela mengorbanan maknanya. Umumnya kalangan penerjemah ini percaya bahwa unsur Secara garis besar, ketujuh metode penerjemahan puisi di atas ternyata mengarah pada dua kutub yang saling menjauh. Dalam metode terjemahan literal, metrikal (irama) dan terjemahan bersajak, penerjemah mementingkan segi bentuk luar dan karenanya rela mengorbanan maknanya. Umumnya kalangan penerjemah ini percaya bahwa unsur

Sedang metode terjemahan puisi ke prosa, puisi bebas, dan interpretasi lebih meletakkan tekanan pada pengabadian makna atau pesan dari puisi aslinya, karena unsur inilah yang merupakan jiwa puisi, unsur yang membuat puisi menjadi bermakna bagi pembacanya. Salah seorang pendukung pendapat ini, Popovic (Basnett-McGuire, 1980: 82), mengatakan bahwa penerjemah puisi mempunyai hak untuk bebas merdeka dari penyair aslinya asalkan kebebasan itu diabdikan sepenuhnya untuk menghidupkan kembali puisi asli itu di dalam BSa. Seorang penyair Inggris, Ezra Pound (dalam Bassnett-McGuire, 1980: 83), malah lebih ekstrim lagi. Dalam rangka menjawab kritik tentang terjemahannya atas "Homage to Sextus Propertius" dia mengatakan bahwa tujuannya menerjemahkan puisi tersebut adalah untuk menghidupkan kembali "seseorang" yang telah mati. Tentu saja seseorang yang dimaksud di sini adalah si penyair asli yang memang telah mati.

Sementara itu Peter Newmark (1988) berpendapat bahwa pemberian penekanan pada salah satu unsur, baik makna atau pun bentuk, bisa saja terjadi meskipun yang paling sering adalah penekanan pada maknanya. Hal ini tergantung pada nilai puisi itu sendiri dan juga pendapat si penerjemah tentang puisi tersebut. Memang secara mandiri, puisi mempunyai watak sendiri, apakah dia lebih menonjolkan bentuk untuk mencapai keindahan ataukah mementingkan makna yang dikandungnya. Kalau puisi asli memang menonjolkan bentuk maka penerjemah harus mempertahankan bentuknya, tetapi bila puisi itu memang mementingkan makna yang dikandungnya, maka sudah selayaknya penerjemah mementingkan makna, sedang keindahan bentuk boleh menjadi nomor dua.

Tetapi nilai puisi seperti di atas bukan satu-satunya faktor penentu. Pendapat si penerjemah tentang puisilah yang kiranya lebih berperanan. Penerjemah bisa saja memandang bahwa yang terpenting dalam puisi itu adalah fungsi estetik. Untuk itu bentuk yang merupakan wahana keindahan itu harus terjaga dengan baik. Penerjemah yang lain memandang bahwa di dalam puisi fungsi ekspresiflah yang terpenting, sehingga makna yang terkandung di dalam puisi harus bisa tersampaikan secara utuh.

Penulis sendiri berpendapat bahwa penekanan-penekanan elemen-elemen tertentu seperti itu tidak perlu terjadi. Sekuat apapun fungsi estetik dalam sebuah puisi, pasti puisi itu mengandung makna yang tertata rapi dalam kata-kata terpilih. Karena keindahan dalam puisi adalah keberhasilan si penyair menghadirkan makna yang ingin disampaikan dengan bahasa yang indah. Keindahan kata-kata ini kadang-kadang begitu menonjol, tapi kadang-kadang sepertinya tidak begitu diperhatikan. Apapun alasannya, makna itu merupakan isi dan bentuk lahir itulah wadahnya. Wadah memang kadang dibuat sangat indah, tetapi kadang juga lusuh tak karuan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa makna masihlah yang utama, setelah itu gaya (bentuknya). Dan idealnya, dalam terjemahan, maknanya bisa terjaga utuh dan keindahan gayanya bisa ternikmati oleh pembaca BSa. Hal ini sejalan dengan pendapat Nida dan Taber bahwa menerjemahkan berarti mencari padanan dari BSu di dalam BSa, yang pertama dalam hal makna kemudian dalam hal gayanya.

Coba simak contoh berikut. Puisi aslinya ditulis oleh Sutrosno Martoatmojo dan terjemahannya dikerjakan oleh John McGlynn. BSu:

Salju

salju! salju! salju! salju! salju!

putih! putih! putih! putih! putih!

impian menjadi kenyataan, kenyataan cuma impian.

salju kuputihkan, putih kusaljukan.

(McGlynn, 1990: 28)

BSa:

Snow

snow! snow! snow! snow! snow!

white! white! white! white! white!

Dreams become reality Reality is only a dream

The snow I make white The white I make snow.

(McGlynn, 1990: 29)

Di dalam contoh di atas, baik gaya maupun makna bisa dialihkan dengan sempurna.

Ada kalanya penerjemah dihadapkan pada situasi yang sulit, dimana dia harus memilih salah satu antara dua hal yang sama-sama penting yakni makna atau gaya. Kesulitan ini hadir manakala penerjemah harus mencari padanan pasangan kata yang bersajak baik sekali dalam BSu, misalnya hound and wound. Dalam BSa memang ada padanan katanya yakni anjing dan luka, tetapi pasangan ini tidaklah seindah pasangan hound and wound. Ada pasangan yang sejenis dan cukup enak didengar dalam Bahasa Indonesia, misalnya kuda dan luka. Tetapi tentu saja maknanya sudah tidak sama. Dalam situasi sulit semacam ini penerjemah hendaknya ingat batasan terjemahan menurut Nida dan Taber (1982) yang menyatakan bahwa menerjemahan berarti mencari padanan teks asli dalam teks BSa dalam hal makna dan baru kemudian gayanya. Dengan demikian penerjemah seyogyanya "memenangkan" makna atau pesannya. Selain itu perlu pula dipertimbangkan terlebih Ada kalanya penerjemah dihadapkan pada situasi yang sulit, dimana dia harus memilih salah satu antara dua hal yang sama-sama penting yakni makna atau gaya. Kesulitan ini hadir manakala penerjemah harus mencari padanan pasangan kata yang bersajak baik sekali dalam BSu, misalnya hound and wound. Dalam BSa memang ada padanan katanya yakni anjing dan luka, tetapi pasangan ini tidaklah seindah pasangan hound and wound. Ada pasangan yang sejenis dan cukup enak didengar dalam Bahasa Indonesia, misalnya kuda dan luka. Tetapi tentu saja maknanya sudah tidak sama. Dalam situasi sulit semacam ini penerjemah hendaknya ingat batasan terjemahan menurut Nida dan Taber (1982) yang menyatakan bahwa menerjemahan berarti mencari padanan teks asli dalam teks BSa dalam hal makna dan baru kemudian gayanya. Dengan demikian penerjemah seyogyanya "memenangkan" makna atau pesannya. Selain itu perlu pula dipertimbangkan terlebih

9.3.2 Metafora, Ungkapan dan Bunyi dalam Puisi

Di dalam menerjemahkan puisi, ada dua hal yang pantas diperhatikan dengan baik; metafora, ungkapan dan bunyi. Di dalam kehidupan sehari-hari, ada dua macam metafora atau ungkapan, yakni metafora/ungkapan yang bersifat universal dan metafora/ungkapan yang terikat oleh budaya. Seperti yang telah diuraikan di muka, metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagian besar budaya yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, metafora yang tekandung dalam kalimat "Engkaulah matahariku" ini besifat universal karena matahari di mana pun mempunyai sifat yang selalu menyinari. Dan sinar pun juga simbol universal yang menunjukkan semangat, kesenangan, dan sejenisnya. Jadi, seandainya kita harus menerjemahkan baris puisi yang berbunyi seperti di atas ke dalam Bahasa Inggris, dengan cepat kita bisa menerjemahkannya menjadi "You are my sun".

Yang agak merepotkan adalah bila metafora yang harus diterjemahkan itu adalah metafora yang terikat oleh budaya, yakni metafora yang memakai lambang yang maknanya hanya dimengerti oleh satu budaya saja. Lambang ini mungkin juga mempunyai makna yang lain lagi di dalam budaya yang lain. Untuk menghadapi hal ini, penerjemah bisa melihat seberapa pentingkah metafora itu bagi puisi, atau apakah ungkapan itu metafora umum ataukah murni buatan si penyair sendiri. Tentu saja dari kedua hal ini metofora atau ungkapan jenis yang terakhir ini lebih penting untuk dipertahankan.

Menurut Peter Newmark (1981, 1988), kalau metafora atau ungkapan itu bersifat umum, meskipun bersumber dari budaya tertentu, si penerjemah bisa mencari padanan metafora di dalam BSa, atau mengubah atau bahkan menambahkan citraan yang mampu membuat metafora itu bermakna dalam BSa. Sebagai contoh dari ungkapan macam ini adalah ungkapan yang terdapat pada baris berikut:

aku pun bagai makan buah simalakama Akan tetapi bila metafora atau ungkapan itu asli hasil citraan si penyair dan bersifat penting bagi puisi tersebut, maka, menurut Peter

Newmark, penerjemah harus menghadirkan metafora itu apa adanya dalam BSa dan budayanya. Sebagai contoh, simaklah baris-baris puisi Shakespeare berikut:

Shall I compare thee with a summer's day? Thou are more lovely and more temperate Rough winds do shake the darling buds of may, And summer's lease hath all too short a date:

"Summer's day" di Inggris adalah waktu yang betul-betul indah. Matahari bersinar terang dan bunga-bunga bermekaran dimana-mana. Tetapi apakah artinya citraan "musim panas" dalam Bahasa Indonesia? Selokan-selokan kering, sawah-sawah kerontang, tanah retak-retak karena lamanya tak mendapat guyuran air. Dan musim panas adalah kesengsaraan. Alangkah bertolakbelakangnya kedua citraan ini. Dan lagi, kuncup-kuncup bunga mawar di bulan Mei bukanlah hal yang khusus di Indonesia, tetapi hal itu keindahan yang luar biasa di Inggris sana. Tetapi mengingat citraan ini amat penting bagi puisi secara keseluruhan, maka penerjemah harus menghadirkannya utuh di dalam Bahasa Indonesia. Dan biarkan gambaran tentang indahnya musim panas di Inggris ini masuk dalam benak pembaca, meskipun sulit pada awalnya.

Masalah kedua adalah penerjemahan bunyi. Dalam menulis puisi, seorang penyair memilih kata-kata tidak hanya dengan pertimbangan makna saja, tetapi juga dengan pertimbangan bunyi sehingga tercipta aliterasi, sajak akhir baris, nuansa suasana, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri, inilah salah satu faktor yang menyebabkan puisi itu indah. Sementara itu padanan kata di dalam bahasa sasaran jarang sekali mempunyai bunyi yang sama. Oleh karena itu, menurut Theodore Savory (1969), dalam terjemahan puisi bunyi-bunyi itu sering sekali berubah dari aslinya. Maka pola sajak pun ikut berubah pula.

Tidak hanya itu, pasangan kata yang indah karena adanya aliterasi, bisa saja menjadi tidak indah dalam bahasa yang lain. Sebagai contoh, pasangan kata "horse and hound" dalam bahasa Inggris terdengar cukup indah. Tetapi begitu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "kuda dan anjing", maka sirnalah keindahan aliterasi dalam baris aslinya. Adakah penerjemah yang mempu mempertahankan keindahan bunyi ini dalam situasi seperti di atas? Oleh karena itu, masalah bunyi dalam Tidak hanya itu, pasangan kata yang indah karena adanya aliterasi, bisa saja menjadi tidak indah dalam bahasa yang lain. Sebagai contoh, pasangan kata "horse and hound" dalam bahasa Inggris terdengar cukup indah. Tetapi begitu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "kuda dan anjing", maka sirnalah keindahan aliterasi dalam baris aslinya. Adakah penerjemah yang mempu mempertahankan keindahan bunyi ini dalam situasi seperti di atas? Oleh karena itu, masalah bunyi dalam

9.3.4 Rambu-rambu dalam Menerjemahkan Puisi

Secara umum ada dua kegiatan pokok yang dilakukan penerjemah dalam menerjemahkan puisi: membaca dan menulis. Penerjemah membaca dahulu puisi yang ingin diterjemahkan untuk menangkap makna atau pesan yang ingin dikatakan oleh si penyair dalam bahasa sumbernya. Dalam tahap ini si penerjemah harus berusaha sedapat-dapatnya untuk menangkap makna puisi aslinya dengan segala strategi yang ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil akhir pemahaman ini nanti akan beragam dari seorang penerjemah ke penerjemah yang lain. Tetapi, inilah bahan yang harus ada untuk ditulis kembali nanti ke dalam bahasa sasaran.

Setelah makna berhasil ditangkap dan segala elemen-elemennya dipahami, maka penerjemah bisa memulai kerja menuliskan kembali pesan yang berhasil ditangkap tadi menjadi sebuah puisi berbahasa Indonesia. Dan memang, kualitas puisi hasil terjemahan ini tak bisa lepas dari kualitas penerjemah untuk merasakan keindahan dan mengungkapkan keindahan dengan sarana bahasa. Dari uraian di atas, jelas bahwa seorang penerjemah puisi harus lebih dahulu mampu menangkap pesan penyair dalam bahasa sumber, baru kemudian menuliskan kembali pesan itu dalam bahasa sasaran.

Dalam tahap membaca, penerjemah tentunya juga memahami elemen-elemen dasar puisinya seperti ungkapan, metafora, rima, struktur, dan lain-lain yang merupakan gaya khas penyairnya. Maka, kalau penerjemah mengikuti pemahaman Nida dan Taber bahwa dalam terjemahan kita harus memperhatikan makna dan kemudian gaya, maka penerjemah harus berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan gaya penyair aslinya juga. Oleh karena itu, menurut Suryawinata, penerjemah puisi paling tidak akan menemui problema-problema dalam hal: (1) faktor Dalam tahap membaca, penerjemah tentunya juga memahami elemen-elemen dasar puisinya seperti ungkapan, metafora, rima, struktur, dan lain-lain yang merupakan gaya khas penyairnya. Maka, kalau penerjemah mengikuti pemahaman Nida dan Taber bahwa dalam terjemahan kita harus memperhatikan makna dan kemudian gaya, maka penerjemah harus berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan gaya penyair aslinya juga. Oleh karena itu, menurut Suryawinata, penerjemah puisi paling tidak akan menemui problema-problema dalam hal: (1) faktor

Di dalam puisi itu tentu saja ada makna yang menyiratkan budaya puisi asli, ada ungkapan dan metafora yang berakar pada budaya penyair asli. Nah, dalam faktor sosial budaya, penerjemah akan dipaksa menjawab, mampukah dia memindahkan semua ini ke dalam bahasa sasaran sehingga pesan dan keindahan yang dikirim penyair asli bisa sampai pada pembaca dalam bahasa sasaran dengan selamat. Di sinilah kepiawaian seorang penerjemah benar-benar diuji.

Karena peran penerjemah adalah sebagai perantara antara penyair dan pembaca agar pembaca bisa menikmati karya penyair, maka penerjemah perlu juga memperhatikan kepentingan pembaca dalam porsi yang cukup. Meskipun begitu, dia juga tidak boleh terlalu longgar dalam menerjemahkan sehingga ada hal-hal yang penting dari puisi asli yang tercecer. Dalam hal ini ada seorang ahli penerjemahan mengajukan satu rambu saja dalam penerjemahan puisi, hormatilah teks aslinya.

Kalau penerjemah menghormati teks asli berarti dia akan betul- betul memperhatikan isi puisi asli dan keinginan penyair meskipun gaya puisi terjemahan mungkin bisa beragam menurut penerjemahnya. Inilah pokok pertama yang harus diperhatikan dalam terjemhan menurut Nida dan Taber, makna.

Kalau begitu, bagaimana dengan elemen-elemen puisi yang lain seperti rima, nada, bunyi, dan lain-lain, yang dapat pula disebut gaya? Rambu "hormatilah teks aslinya" mengisyaratkan bahwa penerjemah harus mencari padanannya di dalam bahasa sasaran sebisa mungkin. Kata sebisa mungkin dalam hal ini berarti "tidak harus" tetapi selayaknya diusahakan seoptimal mungkin, terutama kalau itu menyangkut bunyi. Bukankah bunyi dalam sebuah puisi sangat mempengaruhi nada dan suasana puisi yang bersangkutan? Meskipun begitu penerjemah juga harus mengakui bahwa efek bunyi dalam BSu tidak sama dengan efek bunyi yang sama dalam BSa. Dalam hal ini Peter

Newmark (1988) menganjurkan bahwa penerjemah memindahkan tempat kata-kata tertentu untuk mencapai efek bunyi yang sama, atau bahkan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain di dalam BSa. Dan hal ini merupakan kesulitan yang yang tidak remeh.

Oleh karena itu, penerjemah sebaiknya tidak memaksakan mencari padanan bunyi atau mengejar rima di akhir baris saja. Kalau hal ini yang dilakukan, ada kemungkinan penerjemah terpaksa menambah beberapa kata baru yang berrima dengan kata-kata sebelumnya, agar menjadi persis puisi aslinya. Dengan demikian berarti penerjemah menambah citraan-citraan baru yang tak perlu dalam karya terjemahannya. Dan ini tentunya tidak seperti puisi aslinya. Tentu saja keadaan yang demikian tidak menghormati teks asli.

Berikut ini adalah bait pertama sajak W.S. Rendra yang berjudul Kepada M.G. dan terjemahannya yang dikerjakan oleh John McGlynn. BSu:

Engkau masuk ke dalam hidupku di saat yang rawan Aku masuk ke dalam hidupmu di saat engkau bagai kuda beringas butuhkan padang

(McGlynn, 1990: 44)

BSa:

You came into my life at a critical time.

I came into your life when you were like a wild horse in need of a plain.

(McGlynn, 1990: 45)

Di dalam contoh di atas kita melihat bahwa McGlynn berusaha untuk mempertahankan rima di akhir baris. Usaha ini cukup berhasil dengan terciptanya pola sajak aaaaba di dalam teks BSa meskipun pola aslinya adalah ababbb.

Dari perbandingan antara puisi alsi dan terjemahannya di atas, Dari perbandingan antara puisi alsi dan terjemahannya di atas,

9.3.4 Bunyi dan Pilihan Kata dalam Terjemahan Puisi

Pentingnya unsur bunyi dalam suatu puisi bukan hanya untuk mencipta rima. Bunyi-bunyi tertentu membawa nada tertentu pula. Misalnya, bunyi "i" dalam bahasa Indonesia terasa lincah, bunyi "u" dan "e" (pepet) terasa berat dan serius, dan lain sebagainya. Untuk bisa menghormati puisi asli, hal-hal yang menyangkut nada, suasana jiwa dari puisi asli ini juga harus dipertahankan, sekali lagi "sebisa mungkin". Prosa liris hendaknya diterjemahkan menjadi prosa liris juga. Puisi yang lincah dan ringan janganlah diterjemahkan menjadi puisi yang berat dan serius. Dan bagi penerjemah yang menggunakan bahasa sasaran bahasa Indonesia, mungkin penggunaan bahasa daerah akan bisa menolong manakala kosa kata bahasa Indonesia tidak mampu lagi.

Mengenai matra atau irama, yang di dalam puisi Bahasa Inggris di dominasi oleh matra iambic, memang sulit dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia. Puisi-puisi Inggris, terutama puisi-puisi lama, memang mempunyai matra yang kental karena pada dasarnya kata-kata Bahasa Inggris mempunyai sistem penekanan yang hampir konsisten. Sedangkan kata-kata Bahasa Indonesia tidaklah begitu. Oleh karena itu, amatlah sulit bila penerjemah harus mengalihkan matra puisi Bahasa Inggris ke dalam puisi Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seandainya penerjemah memaksakan diri untuk mengalihkan matra itu, bahan apa yang mau dipakai?

Bagaimana tentang pilihan kata? Yang dimaksud pilihan kata (ragam bahasa) di sini adalah seperti yang terkandung dalam kasus berikut ini. Haruskah puisi Bahasa Inggris dari abad IX diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu abad IX? Menurut Barnstone (dalam Basnett- McGuire, 1980), hal demikian tidaklah perlu. Mungkin lebih baik Bahasa Inggris abad IX itu diterjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia jaman sekarang, sehingga para pembaca tidak akan kesulitan memahaminya. Sebagai contoh, puisi karya Shakespeare yang berbahasa Inggris modern awal, yang notabene berbeda dari Bahasa Inggris yang dipakai sekarang, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jaman sekarang, bukan bahasa Melayu tempo doeloe. Memang, ada sedikit yang hilang dari puisi Bagaimana tentang pilihan kata? Yang dimaksud pilihan kata (ragam bahasa) di sini adalah seperti yang terkandung dalam kasus berikut ini. Haruskah puisi Bahasa Inggris dari abad IX diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu abad IX? Menurut Barnstone (dalam Basnett- McGuire, 1980), hal demikian tidaklah perlu. Mungkin lebih baik Bahasa Inggris abad IX itu diterjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia jaman sekarang, sehingga para pembaca tidak akan kesulitan memahaminya. Sebagai contoh, puisi karya Shakespeare yang berbahasa Inggris modern awal, yang notabene berbeda dari Bahasa Inggris yang dipakai sekarang, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jaman sekarang, bukan bahasa Melayu tempo doeloe. Memang, ada sedikit yang hilang dari puisi

Demikianlah rambu-rambu penerjemahan puisi yang perlu diperhatikan. Tentu saja secara operasional setiap penerjemah mempunyai kecenderungan masing-masing. Hasil terjemahan satu puisi oleh beberapa penerjemah yang berbeda sering kali berbeda pula. Sebagai penutup. Perhatikan fenomena ini dalam contoh penerjemahan puisi Chairil Anwar berikut ini. BSu (Puisi asli):

BSu:

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali, kapal, perahu tidak berlaut, menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Hasil terjemahan berikut adalah karya Burton Raffel:

BSa-1:

Twilight at a Little Harbor

This time no one's looking for love between the sheds, the old jouse, in the make-believe of poles and ropes. A boat, a prau without water This time no one's looking for love between the sheds, the old jouse, in the make-believe of poles and ropes. A boat, a prau without water

The drizzle comes harder and darkens. There's an eagle flapping, pushing silkily off, and the day swimming silkily to meet temptations yet come. Nothing moves. And now the sand and the sea are asleep, the waves are gone.

There's no one else. I'm alone. Walking combing the cape, still drowning the hope of just once getting to the end of it and saying goodbye to everything from the fourth beach, where the last sob could be hugged tightly by me

Berikut ini juga terjemahan dari puisi Chairil Anwar di atas. Terjemahan berikut adalah karya orang Indonesia sendiri, Boen S. Oemarjati. Kalau dalam uraian di muka dikatakan bahwa satu karya yang sama tetapi bila dikerjakan oleh dua orang yang berbeda, hasilnya akan berbeda juga, maka simaklah hasil terjemahan berikut. Apa bedanya dengan karya Burton Raffel?

BSa-2:

Twilight at a Little Harbour

This time there's no one looking for love among the sheds, old houses, near the tale of the masts and riggings. Ships (and) boats (that) have not gone to sea are puffing themselves (out) in the belief (they) will be united

The drizzle speeds the darkness. There is still the flapping of an eagle flicking the gloom, the rustling (of the) day glides away to meet the lures of a future harbour. Motionless and Now the land and water are asleep, the waves vanished.

Nothing is left. I'm alone. Walking (I) comb the peninsula, still with a stifled hope of some time reaching the tip (of the peninsula) as (saying) goodbye to everyone from the four beaches, the last sob can be embraced (by me).

Sekarang jelas bahwa sebenarnya tidak ada prosedur baku untuk menerjemahkan sebuah karya sastra, terutama sekali puisi. Sekali lagi cara Sekarang jelas bahwa sebenarnya tidak ada prosedur baku untuk menerjemahkan sebuah karya sastra, terutama sekali puisi. Sekali lagi cara

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22