Macam-Macam Shalawat

5. Macam-Macam Shalawat

Shalawat kepada Nabi Muhammad memiliki beraneka macam bentuk atau redaksi dan dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu: shalawât ma’tsûrah dan shalawat ghairu ma’tsûrah.

a. Shalawat Ma’tsûrah

Shalawat ma’tsûrah adalah shalawat yang redaksinya langsung diajarkan oleh Rasulullah Saw. Salah satu contohnya ialah shalawat

39 Lihat Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl …, hlm. 55 dan Sayyid Syaikh Yusuf an- Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain…, hlm. 440.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Ibrahimiyah, seperti yang dibaca dalam tasyahaud akhir dalam shalat.

Adapun redaksi shalawat Ibrahimiyah yang masyhur adalah:

Shalawat ini tidak memakai kata sayyidinâ. Memang semua shala- wat ma’tsûrah tidak ada yang memakai kata tersebut. Ini menunjuk- kan keluhuran budi Rasulullah yang tidak mau menonjolkan diri. Rasul selalu ber-tawadhu’ (sopan-santun dan lemah lembut) kepada

siapa pun; suatu sikap budi luhur yang seharusnya ditiru oleh umat- nya.

Kaum Sunni sering membaca shalawat dengan tambahan kata sayyidina. Kata tersebut merupakan tambahan dari para sahabat nabi dan para ulama salaf sebagai cetusan rasa ta’zhîm dan mahabbah. Sudah

sewajarnya kita menyebut Nabi Muhammad dengan sayyidina, 40 atau kata lain yang maksudnya sama, seperti kanjeng, gusti, bendara, dan baginda. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah dan beliau merupa- kan sayyid al-anbiyâ’ wa al-mursalîn (pemimpin para nabi dan para utusan Allah), bahkan sayyid al-khalqi ajma’în (pemimpin seluruh makhluk). Oleh karena itu, bukanlah suatu yang aneh dan bahkan merupakan suatu bentuk atau wujud rasa ta’zhim kita kepada nabi jika kita menambahkan kata sayyidina di depan nama beliau yang nota bene adalah pemimpin para nabi dan utusan Allah serta pemim-

pin seluruh makhluk di alam raya ini. 41 Dengan demikian, peng- gunaan kata sayyidina terhadap Nabi Muhammad, baik di dalam bacaan shalawat maupun di luarnya merupakan cetusan rasa ta’zhîm (memuliakan) dan rasa mahabbah (cinta) kepadanya.

40 Secara bahasa, sayyid berarti tuan, orang yang terhormat (Jawa: gusti), atau orang yang tinggi derajatnya di kalangan kaumnya. Orang yang tertinggi kedudukannya

di suatu desa ( qaryah), misalnya, disebut sayyid al-qaryah (pemimpin desa). 41 Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah bersabda: “Aku adalah sayyid bagi anak cucu Adam dan tidak membanggakan diri …” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibn Majah). Sayyid Syaikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawâhid al-Haqq, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, t.t.), hlm. 132.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Dalam Al-Qur’an Allah melarang memanggil Nabi Muhammad

hanya dengan menyebut Yâ Muhammad atau Yâ Abal Qâsim dan panggilan lain yang tidak mengandung nilai ta’zhîm (mengagungkan/ memuliakan), sebagaimana firman-Nya: “Janganlah kamu jadikan panggilan rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) … ” 42

Di dalam ayat lain, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu me-

ninggikan suara kamu melebihi suara nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amal-amal kamu sekalian dan kamu sekalian tidak menyadari. ”43

Kedua ayat tersebut menekankan adab (sopan santun) terhadap Rasulullah. Memanggil nama beliau tanpa penghormatan dan ber- bicara keras terhadapnya adalah tidak sopan dan merupakan sû’ al- adab (perilaku buruk) yang dapat mengakibatkan terhapusnya amal kebaikan.

Syaikh Abu al-Abbas at-Tijani berpendapat bahwa siyâdah (se- butan yâ sayyidî atau sayyidinâ) adalah termasuk ibadah. Sebab, maksud pokok dari bacaan shalawat adalah menghormati, meng- agungkan Nabi Muhammad. Dengan demikian, dapat dipahami apa- bila ada pembaca shalawat yang meninggalkan kata siyâdah di dalam bacaan shalawatnya maka dia dianggap kurang menghormat atau kurang memuliakan nabi. 44

b. Shalawat Ghairu Ma’tsûrah

Shalawat ghairu ma’tsûrah adalah shalawat yang disusun oleh selain Nabi Muhammad sendiri. Ia bisa disusun oleh para sahabat,

42 QS. an-Nur [24]: 63. 43 QS. al-Hujurat [49]: 2. 44 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain ..., hlm. 11.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tâbi’în, shâlihîn, auliyâ’, para ulama, atau yang lainnya dari kalangan

umat Islam. Pada umumnya, redaksi shalawat ghairu ma’tsûrah ini panjang, susunan bahasanya disertai dengan kata-kata indah yang mengekspresikan penghormatan, pujian, dan sanjungan yang roman- tis sebagai cetusan dari getaran jiwa mahabbah (cinta) dan syauq (rindu) yang mendalam. Bahkan tidak sedikit shalawat yang disusun dengan menggunakan kesusasteraan yang tinggi, menggunakan kalimat-kalimat yang bâligh dalam bentuk nazham atau syi’ir, sajak, dan puisi. Selain itu, dalam shalawat ghairu ma’tsûrah juga banyak disertakan doa-doa munajat (mengadu) kepada Allah dan kalimat- kalimat tasyâfu’an (memohon syafa’at) kepada Rasulullah. Hal ter- sebut menambah ikrâman (skap memuliakan), ta’zhîman (sikap meng- agungkan), dan rasa mahabbah yang semakin mendalam.

Ada begitu banyak ragam shalawât ghairu ma’tsûrah dengan nama-nama yang bermacam-macam. Jumlah shalawât ghairu ma’tsû- rah bisa mencapai puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan. Dalam hal penamaannya, ada shalawat yang menggunakan nama muallif-nya, ada shalawat yang diberi nama menurut faedah yang terkandung di dalamnya, ada juga shalawat yang namanya diambil dari salah satu kalimat yang ada di dalamnya. Di antara contoh shalawat ghairu ma’tsurah adalah: shalawat munjiyat, shalawat nariyyah, shalawat burdah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Shalawât Wahidiyah termasuk ke dalam shalawât ghairu ma’tsûrah tersebut.

Sebagian besar shalawat ghairu ma’tsûrah mengandung berbagai macam ajaran dan bimbingan. Ada yang mengandung ajaran bidang akhlak, bidang adab (etika), ajaran tauhid, ajaran haqîqat, ajaran ma’rifat, dan ada juga yang mengandung ajaran syari’at. Sebagai contoh adalah shalawat masyisyiyah yang disusun oleh Syaikh Abdussalam bin Masyisy. Salawat ini berisi ajaran tauhid. Shalawat lainnya adalah shalawat burdah yang disusun oleh Syaikh Muhammad Bushairi. Shalawat ini mengandung dorongan batin yang menggugah serta menumbuhkan rasa mahabbah (cinta) dan syauq (rindu) kepada Rasulullah.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Shalawat Wahidiyah— sebagaimana dijelaskan dalam pedoman

kewahidiyahan— juga mengandung ajaran yang meliputi bidang- bidang haqîqat, syari’at, akhlak (adab), tauhid, iman, islam, dan ihsan. Shalawat Wahidiyah mengandung dan memberikan bimbingan praktis di dalam merealisasi pelaksanaan hablun min Allâh wa hablun min an-nâs, yakni membimbing pelaksanaan dan realisasi kewajiban serta rasa tanggung jawab kepada Allah dan rasul-Nya, kewajiban pada agama, keluarga, bangsa, negara, sesama manusia, dan bahkan ter- hadap sesama makhluk pada umumnya.

Bimbingan praktis tersebut dituangkan dengan kalimat-kalimat yang baligh, simpel, singkat-padat, serta mudah dipahami dan di- terapkan, seperti yang dapat dibuktikan di dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah yang disampaikan kepada masyarakat luas. Titik fokus yang menjadi tujuan dari bimbingan praktis tersebut adalah bidang wushûl ilâ Allâh atau bidang ma’rifat kepada Allah dan rasul-Nya. Begitu baligh-nya susunan bahasanya sehingga untuk mendalaminya perlu dibeberkan dengan bahasa yang praktis dan dengan penjelasan-pen- jelasan yang luas agar lebih mudah diamalkan.

Baik shalawat ma’tsûrah maupun shalawat ghairu ma’tsûrah, keduanya dimaksudkan untuk memenuhi firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab [33]:56. Dengan demikian, pada dasarnya semua shalawat adalah baik dan dikaruniai manfaat kebaikan yang tidak sedikit.

Ditinjau dari segi redaksi atau susunan tata bahasanya, shalawat ghairu ma’tsûrah ada yang berbentuk permohonan kepada Allah, seperti kalimat Allâhumma … yang umumnya berada di awal shalawat dan ada juga yang secara langsung menyampaikan shalawat itu kepada Rasulullah, seperti:

Kedua bentuk redaksi shalawat tersebut terdapat dalam Sha- lawat Wahidiyah. Di dalam Shalawat Wahidiyah, misalnya, ada bentuk redaksi shalawat dengan Allâhumma shalli … dan ada pula

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural yang berupa penyampaian langsung kepada nabi, seperti ungkapan

Ya Syâfi’al-khalqi ash-shalâtu wa as-salâm ... dan Ya Syâfi’al-khalqi habîba Allâhi …

Selain itu, dalam shalawat wahidiyah juga disertakan doa-doa pemohonan kepada Allah terkait dengan hal-hal yang sangat di- butuhkan oleh setiap orang. Misalnya dalam shalawat kedua terdapat redaksi kalimat Allâhumma kamâ anta ahluh ... Ini ditambah lagi dengan permohonan kebaikan bagi pribadi, keluarga, bangsa, dan negara, bahkan bagi seluruh masyarakat, manusia seluruh dunia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Nenek moyang (leluhur) kita dan saudara-saudara kita yang berada di alam kubur juga tidak ketinggalan menjadi sasaran penting yang dimohon- kan di dalam shalawat ini. Kesejahteraan dan berkah (bertambahnya kebaikan) bagi bangsa dan negara, bahkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah termasuk objek yang dimohonkan di dalam mujahadah Shalawat Wahidiyah. Shalawat ini diakhiri dengan getaran jiwa yang kuat untuk mengetuk hati seluruh masyarakat agar segera kembali kepada Allah (fa firrû ilâ Allâh).

Yang lebih penting lagi, di dalam Shalawat Wahidiyah, pengamal dibimbing oleh muallif di dalam setiap berdoa untuk memiliki sikap batin husn al-yaqîn (berbaik keyakinan) bahwa permohonan kita dikabulkan oleh Allah. Hal ini didasarkan pada hadits yang me- nyatakan: “Apabila kamu sekalian berdoa maka yakinilah bahwa (doamu) dikabulkan oleh Allah” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurai- rah).

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa kita juga harus senantiasa berdoa sebagai salah satu wujud taat kepada Allah. Hal tersebut karena Allah sendiri menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah (memohonlah) kamu sekalian kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan doamu.’” 45

45 QS. al-Mukmin [40]: 60.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah