Tangis dalam Mujahadah

2. Tangis dalam Mujahadah

Tangis dalam pelaksanaan mujahadah termasuk sebagian dari hal-hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat umum. Sebenarnya, tangis itu sendiri termasuk sunnah dan kebiasaan para rasul, para nabi, dan para sahabat serta orang-orang yang dekat kepada Allah. Terkait dengan hal ini, ada banyak dalil, baik dari Al-Qur’an, al-hadits, mau- pun pendapat para ulama:

Dalil dari Al-Qur’an

a. Firman Allah yang menerangkan tangisnya para nabi dan rasul

“Mereka itu adalah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari para nabi dari keturunan Adam dan orang orang yang Kami muat (dalam perahu) bersama Nabi Nuh, dan dari keturunan Nabi Ibrahim dan Israil, dari orang-orang yang Kami beri petunjuk.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Dan Kami pilih, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Maha Pengasih, mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. Maryam [19]: ayat 58).

b. Firman Allah yang menerangkan tentang tangisnya para sahabat

“Dan mereka menyungkurkan muka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’” (QS. al-Isra’ (17): ayat 109).

c. Firman Allah yang berisi kecaman bagi orang yang tidak menangis

“Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu menertawakan dan tidak menangis, sedangkan kamu melengahkan” (QS. an-Najm [53]: 59-61).

Dalil dari al-Hadits

a. Sabda Nabi Saw.:

“Tidak akan masuk neraka seorang laki-laki (juga perempuan) yang menangis karena takut kepada Allah sehingga ada air susu masuk kembali pada kantongnya” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

b. Sabda Nabi Saw.:

“Kuasailah (jagalah) lisanmu, luaskan rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu” (H.R. at-Turmudzi dari Uqbah bin Amir).

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

c. Sabda Nabi Saw.:

Dua mata yang tidak terkena api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang semalaman tidak tidur karena berjaga dalam perjuangan Allah” (HR. at-Turmudzi dari Ibn Abas).

d. Sabda Nabi Saw.:

“Hai manusia, menangislah, apabila kamu tidak bisa menangis berusahalah untuk bisa menangis” (HR. Abu Daud).

Pendapat para ulama

a. Syaikh Dhiyauddin Ahmad Musthafa menjelaskan:

Katakanlah bahwa menangis karena takut Allah adalah suatu pertanda kuat yang menunjukkan takutnya kepada Allah dan con- dongnya terhadap kehidupan akhirat. Sedang yang mendorong timbulnya tangis ada dua; takut kepada Allah dan menyesali atas perbuatan yang berlebihan dan penyalahgunaan yang telah dilakukan. Namun sebab yang paling kuat menimbulkan tangis adalah mahabbah (cinta) (kepada Allah dan rasul-Nya-pen.). 99

99 Syekh an-Nasik Dhiyauddin, Jamî‘ al-Ushûl…, hlm. 264.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

b. Syaikh Fudhail ibn Iyadh berkata:

Celaka kamu! Saat ini bukan saatnya berbicara, melainkan saat ini adalah saatnya menangis, ber- depe-depe (menunduk, mencari ketenangan dan berdoa seperti doanya orang yang teng- gelam (dalam air). 100

c. Syaikh Ishaq at-Tujibi berkata:

Para sahabat Nabi Saw setelah mereka wafat, mereka tiada menyebut (mengingat) melainkan mereka ber- khusyu’, berkerut (gemetar) kulitnya dan menangis. Begitu juga sebagian besar tabi’in. 101

Pada dasarnya, tangis merupakan fenomena psikologis, baik ketika masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, ketika menjadi orang tua, atau bahkan ketika sudah berusia tua, seseorang dapat menangis.

Motifasi (dorongan) menangis itu dapat terjadi karena beberapa sebab. Tangisnya bayi merupakan bahasa untuk memberitahukan keadaan dirinya dan apa yang dibutuhkan: lapar, haus, badan terasa kotor, terkena pipis, atau karena badan tidak enak (sakit). Dalam salah satu hadits, Rasulullah menyatakan bahwa tangis bayi sampai umur empat tahun merupakan istighfar (permohonan ampunan) atas dosa kedua orang tuanya.

100 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, Juz III, hlm. 183. 101 Abu al-Fadhl Ayyadh al-Yahshubi, Asy-Syifâ’, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1988

M./1409 H.), hlm. 20.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Orang yang susah karena mengalami musibah atau penderitaan

yang berat, atau karena sakit, kematian sanak famili, kehilangan kekasih, kehilangan harta benda dan sebagainya juga dapat menangis. Begitu juga orang yang terlalu senang dan gembira, ia dapat me- nangis. Terlalu takut juga dapat menangis. Dengan demikian, me- nangis dapat terjadi dalam situasi dan kondisi yang bermacam-macam, selama pikiran masih normal.

Denga demikian jelaslah bahwa dorongan menangis datang dari dalam diri orang yang menangis karena adanya sentuhan jiwa atau ransangan batin. Tangis tidak dapat dipaksakan dari luar tanpa ada- nya sesuatu yang menyentuh ke dalam jiwa. Begitu juga kita tidak dapat memaksa orang yang sedang menangis untuk berhenti begitu saja. Bagaimanapun usaha kita, dengan kekerasan sekalipun, kita tidak dapat menahan orang agar tidak menangis atau supaya berhenti me- nangis. Tangis itu akan berhenti dengan sendirinya jika telah datang “sesuatu” yang merangsang jiwanya, yang meredakan kegoncangan batinnya. Usaha menahan tangis dari luar diri hanya sekadar mem- bantu proses datangnya “sesuatu” yang menenteramkan jiwa.

Dalam mujahadah Wahidiyah sering dijumpai pengalaman orang menangis. Banyak di antara para jamaah yang tidak dapat me- nguasai diri dari keadaan menangis, tidak mampu mengendalikan tangis sampai terdengar suara jeritan yang keras. Akan tetapi harus diketahui bahwa tangis yang terjadi dalam mujahadah Wahidiyah adalah tangis yang berorientasi (berhubungan atau berkaitan) dengan Allah dan rasul-Nya. Tangis dalam Wahidiyah tidak menangisi soal harta atau apa saja yang bersifat kebendaan (materiil). Motivasi tangis tersebut, antara lain, disebabkan oleh tiga hal: pertama, tangis karena adanya sentuhan jiwa yang halus sehingga merasa penuh berlumuran dosa, sering berbuat kezaliman, atau karena merasa sering merugikan orang lain dan masyarakat. Kedua, tangis karena merasa berdosa: ber- dosa kepada Allah, kepada Rasulullah, terhadap orang tua, anak dan keluarga, terhadap guru, dan terhadap perjuangan kesadaran akan seruan Fa firrû ila Allâh wa Rasûlih. Selain itu juga bisa disebabkan

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah karena sentuhan batin berupa syauq (rindu) dan mahabbah (cinta)

yang mendalam kepada Allah dan Rasulullah. Ketiga, tangis karena kagum melihat keagungan Allah, sifat jamal (keindahan) dan kamal (kesempurnaan) Allah, dan mungkin juga karena hatinya tersentuh melihat kasih sayang dan jasa serta pengorbanan Rasulullah kepada umatnya.

Tangis yang ada hubungannya dengan Allah adalah tangis yang banyak dilakukan oleh para nabi, mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw. Nabi Adam setelah dikeluarkan dari surga, terus menangis meratapi dosanya kepada Allah, menangis karena ingin bertobat untuk memohon ampunan kepada Allah.