Syafa’at Rasulullah

8. Syafa’at Rasulullah

Istilah syafâ’at secara bahasa berarti “pertolongan.” Dalam Syarah Sullam at-Taufîq dijelaskan bahwa yang dimaksud syafa’at adalah “memohon kebaikan kepada seseorang untuk orang lain”. 53 Dengan kata lain, syafa’at adalah mengusahakan kebaikan bagi orang lain atau memberikan jasa-jasa baik kepada orang lain tanpa mengharap upah atau imbalan jasa; atau memberi jasa, baik diminta maupun tidak, tanpa pamrih.

Pada umumnya, sebutan syafa’at dipakai untuk pertolongan yang khusus berasal dari Nabi Muhammad. Sedangkan pertolongan yang diberikan oleh selain nabi, umpamanya pertolongan dari para wali Allâh, ulama, shâlihîn, atau orang-orang yang lebih tua umurnya disebut berkah, doa restu, bantuan, dukungan, atau jangkungan. Semua itu pada dasarnya juga syafa’at, yakni syafa’at dalam arti per- tolongan.

Syafa’at Rasulullah terjadi di dunia dan akhirat. Syafa’at rasul di dunia yang paling berharga dan tidak ternilai adalah iman dan Islam di dada setiap mukmin dan muslim. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa syari‘at dan tuntunan Rasulullah adalah wujud dari syafa‘atnya. Selain itu, seperti kita sadari dari kenyataan yang ada

52 QS. At-Taubah [9]: 128. 53 Asy-Syaikh Muhammad Nawawi, Syarh Sullam at-Taufiq ila Mahabbah Allah ‘ala at-Tahqîq, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 7.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah bahwa tuntunan Rasulullah tersebut disalurkan dan disampaikan

kepada umat manusia melalui proses yang panjang: melalui para sahabat kepada tâbi‘în, tâbi‘at-tâbi‘în, ulama salaf, awliyâ, shâlihîn, ulama khalaf, kiai, cendekiawan, para ustadz, para guru, dan akhirnya sampai kepada kita. Ini berarti bahwa generasi setelah rasul adalah generasi perantara yang menyampaikan ajaran rasul kedapa kita. Mereka itu adalah penyalur syafa’at rasul kepada umatnya.

Adapun syafa’at Rasulullah di akhirat kelak, atau yang biasa disebut asy-syafâ’ah al-‘uzhma, adalah pertolongan agung yang sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia di padang mahsyar kelak. Pada saat itu, seluruh umat manusia sejak dari zaman Nabi Adam sampai manusia yang terakhir akan dikumpulkan. Pada saat itulah terjadi suatu peristiwa yang mahadahsyat, suatu tragedi kebingungan umat manusia yang sangat memuncak dan belum pernah dialami sebelumnya di dunia. Semua manusia berada di bawah terik panas matahari yang pada saat itu diturunkan oleh Allah sampai hanya tinggal setinggi galah. Pada hari itu, atau yang biasa disebut yaum al-hasyr, setiap manusia mengalami problemnya sendiri sebagai akibat dari perbuatannya ketika hidup di dunia. Mereka saling berkon- frontasi, saling menuduh satu sama lain, dan mereka saling melarikan diri karena takut terkena tuntutan. Hal ini ditegaskan oleh Allah:

“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu seseorang melarikan diri (karena takut dituntut) dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkannya.” 54

Di dalam peristiwa dahsyat di padang mahsyar tersebut, timbul kepanikan yang sangat memuncak. Semua manusia sibuk mencari pertolongan kepada para nabi, mulai dari Nabi Adam hingga nabi terakhir sebelum Nabi Muhammad. Akan tetapi, mereka semua tidak bisa memberi pertolongan. Pada saat itulah Rasulullah Muhammad

54 QS. Abas [80]: 33–37.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tampil memberikan pembelaan dan pertolongan kepada umat manu-

sia dengan bersujud memohon ampunan dan kasih sayang Allah. Dan, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang pun akhirnya berkenan mengabulkan munajat nabi dan kekasih-Nya, Muhammad Rasulullah. Inilah yang dimaksud dengan asy-syafâ’ah al-‘uzhma’ (syafa’at yang paling agung).

Akan tetapi, dalam kehidupan ini, ada sebagian umat Islam yang ingkar terhadap adanya syafa’at. Mereka biasanya mendasarkan keyakinannya itu pada firman Allah: “Maka tidak berguna lagi bagi

mereka syafa’at dari orang-orang yang memberi syafa’at”. 55 Pendapat ini perlu ditinjau kembali karena yang dimaksud “mereka” dalam ayat tersebut adalah kuffâr min al-mujrimîn (orang-orang kafir yang mendustakan atau tidak mempercayai adanya hari pembalasan (yaum ad-dîn). Hal ini sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya: “Dan

adalah kami mendustakan hari pembalasan. 56 Sedangkan syafa’at yang dimaksudkan di sini adalah yang diberikan oleh Rasulullah kepada orang-orang yang beriman. Sebab, syafa’at seperti ini dijamin oleh Allah dalam firman-Nya: “Pada hari itu tidaklah berguna suatu syafa’at, kecuali (syafa’at-nya) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” 57

Dari ayat tersebut maka jelaslah bahwa ada di antara hamba Allah yang diizinkan dan diridhai untuk memberikan syafa’at; dan kita berkeyakinan bahwa Muhammad Saw. adalah hamba Allah yang diberi mandat penuh oleh Allah untuk memberikan syafa’at kepada umatnya. Sebab, beliau adalah nabi, utusan, dan kekasih Allah yang diberi predikat Sayyid al-anbiyâ’ wa al-mursalîn dan yang menjalankan fungsi rahmatan li al- âlamîn.

Dalam kaitannya dengan syafa’at (pemberian pertolongan rasul kepada umatnya), Rasulullah menegaskan:

55 QS.Al-Muddatsir [74]: 48. 56 QS. Al-Muddatstsir [74]: 46. 57 QS. Thaha [20]: 109.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Aku adalah sayyid dari anak cucu Adam pada hari kiamat,

dan tidak membanggakan diri. Di tanganku terdapat “bendera pujian”, dan tidak membanggakan diri. Tiada dari seorang nabi pun ketika itu (maksudnya Adam), dan orang selainnya, kecuali bernaung di bawah benderaku. Aku adalah orang yang pertama memberi syafa’at dan orang pertama yang diterima syafa’at-nya, tidak membanggakan diri”. 58

Pada saat yang lain Rasulullah juga menegaskan: “Yang dapat memberi syafa‘at besok pada hari kiamat ada tiga golongan; yaitu para nabi, ulama, kemudian syuhada (HR. Ibn Majah dari Utsman). 59 Kemudian, dalam kesempatan yang lain rasul juga bersabda:

Hidupku adalah kebaikan bagimu sekalian dan kematianku pun merupakan kebaikan bagimu sekalian. Adapun masa hidup- ku aku memberikan tuntunan berbagai sunnah kepadamu sekalian dan mengajarkan berbagai macam syari’at kepadamu sekalian. Sedangkan kematianku juga suatu kebaikan bagimu sekalian. Karena sesungguhnya amal-amalmu sekalian diperlihatkan ke- padaku. Maka apa saja yang aku lihat daripadanya suatu kebaikan, aku memuji kepada Allah atas kebaikan itu, dan apa saja yang aku melihatnya suatu keburukan maka aku memohonkan ampun- an kepada Allah bagimu sekalian (HR. Bazzar dari Abdullah bin Mas‘ud dengan sanad yang shahih).

Dengan demikian, jelaslah bahwa syafa’at Rasulullah berlaku di dunia dan di akhirat kelak. Mengenai adanya syafa’at Nabi Muham- mad kepada umat manusia, kita bisa merenungkan firman Allah berikut ini: “Dan kamu sekalian sudah berada di tebing jurang neraka, kemudian Allah menyelamatkan kamu sekalian daripadanya. Demi- kianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian agar kamu sekalian mendapat petunjuk”. 60

58 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahamad dan At-Tirmidzi dan Ibn Majah dari Abu Sa’id al-Khudri; diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dari Jabir dengan sanad yang

shahih. Lihat Sayyid Syaikh Yusuf, Syawâhid al-Haqq, hlm. 132. 59 Jalaluddin Abd ar-Rahman bin Abî Bakr as-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr fi Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, juz II, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 106. 60 QS. Ali ’Imran [3]: 103.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Pada saat itu, yakni pada zaman Jahiliah, manusia sudah berada

di tebing jurang dan nyaris terjerumus pada kehancurannya akibat ulah manusia itu sendiri yang semakin jauh dari Tuhan. Perbuatannya sudah menyerupai perilaku binatang, dan bahkan terkadang lebih buas daripada binantang buas. Kemudian Allah menyelamatkan manusia dengan mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi juru penerang dalam kegelapan dan juru selamat dari kesengsaraan dan kehancuran, sebagai perwujudan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada seluruh

alam, 61 dan bahwa Muhammad adalah rasul yang diutus untuk manusia di seluruh alam. 62

Demikianlah fungsi kenabian Muhammad. Dia menjadi pe- mimpin seluruh bangsa dan bahkan menjadi pemimpin seluruh umat manusia. D ia telah membebaskan manusia dari belenggu nafsu angkara murka dan menyelamatkannya dari sikap amoral. Oleh karena itu, sudah selayaknya umat manusia menyadari hal tersebut dan semestinya bersikap baik (beradab) secara lahir-batin kepada Nabi Muhammad di mana pun dan kapan pun serta dalam kondisi apa pun, terlebih lagi pada saat membaca shalawat.