Organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah

B. Organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah

1. Pembentukan Organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah

Pada pertengahan tahun 1964, sesudah peringatan ulang tahun Wahidiyah yang pertama, yang disebut Eka Warsa, KH. Abdoel Madjid Ma'roef sebagai muallif Shalawat Wahidiyah mengundang tokoh-

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tokoh masyarakat dari berbagai daerah yang sudah mengamalkan

Shalawat Wahidiyah. Mereka yang hadir, antara lain: KH. Yassir, KH.

A. Karim Hasyim, KH. Dimyati, Kiai Abdul Jalil, H. Zainuri, dan Abdur Rahman Mukani. Undangan tersebut dimaksudkan untuk mem- bahas penyiaran Shalawat Wahidiyah. Dari pertemuan itulah kemu- dian disepakati perlunya membentuk organisasi penyiar Shalawat Wahidiyah. Organisasi itu sendiri kemudian diberi nama Pusat Penyiar- an Shalawat Wahidiyah. Organisasi ini diketuai oleh KH. Yassir dari Jamsaren Kediri. Organisasi ini diberi tugas mengatur kebijaksanaan dan bertanggung jawab memimpin pelaksanaan pengamalan, penyiar- an, dan pembinaan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya. Saat itu, langkah yang ditempuh untuk menyiarkan Shalawat Wahidiyah, antara lain, adalah menyediakan lembaran stensilan Shalawat Wahidiyah dan mengatur pelaksanaan pengajian Al-Hikam pada setiap hari Minggu pagi dan menyelenggarakan Mujahadah Kubro.

Beberapa saat kemudian, nama organisasi yang baru dibentuk ini diubah namanya menjadi Panitia Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat. Perubahan nama organisasi dan dipakainya kata “panitia” dimaksud- kan agar organisasi yang baru dibentuk tersebut tidak disalahartikan oleh masyarakat bahwa Wahidiyah akan menjadi organisasi politik yang akan ikut PEMILU. Kemudian, sesudah Musyawarah Kubro ke-1, pada bulan Desember 1985, kata “panitia” dihilangkan.

2. Manajemen dalam Penyiaran Shalawat Wahidiyah

Sejak organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW) dibentuk pada 1964 sampai keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah ini belum mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga seperti lazimnya sebuah organisasi. Manajemen dan kepemimpinan PSW semenjak organisasi ini didirikan hingga se- karang adalah menerapkan konsep yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Adapun konsepsi Al-Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah berikut ini:

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah “Maka dengan sebab rahmat Allahlah engkau berlaku lemah

lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau bersikap lagi berhati kasar niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan ber- musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad (mengambil keputusan) maka ber- tawakallah kepada Allah! Sesungguhnya Allah menyukai orang-or- ang yang bertawakal kepada-Nya. 5

Dari ayat di atas, dan juga beberapa ayat lain serta hadits-hadits Rasulullah yang relevan, KH. Ma'roef membuat enam asas yang harus dijadikan pedoman dan diterapkan dalam organisasi Wahidiyah. Keenam asas tersebut adalah:

a. Asas pengabdian (dedikasi; ikhlas lillâhi ta’ala, tanpa pamrih);

b. Asas musyawarah dan istikhârah;

c. Asas mengutamakan kewajiban daripada hak;

d. Asas taqdîm al-ahamm tsumma al-anfa’ (mengutamakan yang lebih penting, kemudian yang lebih bermanfaat);

e. Asas ta’âwun (saling menolong), dan

f. Asas tawakkul (tawakal, berserah diri kepada Allah). Pada 12–14 Desember 1985, Pengurus Wahidiyah melaksana-

kan Musyawarah Kubro I. Musyawarah ini diikuti oleh seluruh fungsionaris PSW Pusat, PSW Daerah Propinsi, PSW Daerah Kabu- paten/Kota se-Indonesia, dan undangan tokoh-tokoh pengamal Wahi- diyah dari berbagai daerah, serta Banu Ma’roef (keluarga muallif ).

Musyawarah Kubro Wahidiyah I ini menghasilkan beberapa ke- putusan penting, di antaranya:

a. Menetapkan “Garis-Garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah” (GPAPW). Sistematikanya hampir menyerupai lazimnya AD & ART.

b. Memilih dan menetapkan “Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah” (DPPW), yang beranggotakan 17 orang dan diketuai

5 QS. Ali Imran [3]: 159.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural oleh Agus Abdul Latif Madjid (putera KH. Ma'roef ). Tugas

DPPW adalah memberikan pertimbangan (saran dan nasihat) kepada PSW Pusat. Nama “Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah” ini di kemudian hari diubah menjadi “Majelis Pertimbangan Wahidiyah” (MPW), disesuaikan dengan PD & PRT PSW tahun 1987.

c. Memilih dan mengangkat Pengurus PSW Pusat, yang terdiri dari: Ketua

: Mohammad Ruhan Sanusi (Tulungagung) Wakil Ketua

: Kiai Mohammad Jazuli Yusuf (Malang) Sekretaris I

: Agus Imam Yahya Malik (Kediri) Sekretaris II

: Drs. Mahrus Effendi (Kediri) Sebagai catatan historis, para senior pengamal Shalawat Wahi-

diyah juga ada yang masuk sebagai anggota DPPW. Mereka adalah KH. Zaenal Fanani (Tulungagung), KH. Ihsan Mahin (Jombang),

A.F. Badri (Kediri), Drs. Syamsul Huda (Kediri), Agus Abdul Jamil Yasin (Kediri), dan Agus Abdul Hamid Madjid (putera muallif, Kediri).

3. Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah

Pada suatu saat, oleh karena tidak tercapai keserasian kerja antara DPPW dan PSW Pusat maka pihak DPPW yang diketuai oleh Agus Abdul Latif Madjid cenderung kurang menghargai urusan teknis operasional yang menjadi hak manajerial PSW Pusat sehingga muncul berbagai persoalan di antara DPPW dan PSW Pusat. Di sisi lain, di Pondok Kedunglo muncul permasalahan-permasalahan yang melibat- kan sebagian oknum dari keluarga.

Sebagai langkah penyikapan terhadap hal itu, dengan arif dan bijaksana, KH. Ma'roef, sebagai muallif Shalawat Wahidiyah mem- bentuk tim yang disebut “Tim-3”. Tim-3 ini terdiri dari Kiai Ihsan Mahin, Kiai Mohammad Jazuli Yusuf, dan H. Mohammad Syifa. “Tim-3” ini ditugasi langsung oleh KH. Ma'roef untuk mencari penyelesaian atas berbagai kasus dan permasalahan yang terjadi, baik

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah di lingkungan PSW Pusat dan DPPW maupun yang berhubungan

dengan Pondok Kedunglo. Untuk kelancaran tugas tim tersebut, Syamsul Huda ditunjuk

sebagai Pejabat Sementara Wakil Ketua PSW Pusat, menggantikan Kiai Mohammad Jazuli Yusuf.

Pada 7 Mei 1986, muallif memberikan petunjuk kepada Tim-3 yang sowan (berkunjung) ke kediamannya guna melaporkan hasil kerjanya. Pada kesempatan itu, Tim-3 menyempatkan untuk mohon petunjuk lebih lanjut kepada muallif. Ikut dalam pertemuan tersebut adalah Mohammad Ruhan Sanusi, Ketua PSW Pusat waktu itu.

Pada 9 Mei 1986, muallif menyampaikan wasiat di hadapan 115 audiens dari pengurus PSW Pusat serta para anggota DPPW dan sebagian pengurus PSW Kabupaten/Kota serta para pengamal yang terkait dengan berbagai kasus. Mereka hadir atas undangan “Tim-3” dalam rangka persidangan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul waktu itu. Inti wasiat tersebut mencakup tiga hal, yakni:

a. Tentang Pondok Kedunglo: Pondok Kedunglo adalah Hak Waris.

b. Tentang SMP dan SMA Wahidiyah: SMP dan SMA Wahidiyah diizinkan asal keberadaannya tidak memengaruhi kehidupan pondok dan masjid Kedunglo serta tidak mengganggu perjuangan Wahidiyah.

c. Tentang Wahidiyah Perjuangan Wahidiyah adalah seperti perjuangan Islam pada umumnya. Ia bukan hak waris. Para penyiar dan para pengamal Shalawat Wahidiyah adalah “wakil saya”: Al-wakil âtsir al- muwakkil (muwakkil berkuasa penuh).

Muallif menunjuk A.F. Baderi supaya duduk menjadi Wakil Ketua II sehingga pimpinan PSW Pusat menjadi 3 (tiga) or- ang, yaitu: Moh. Ruhan Sanusi, K. Jazuli Yusuf, dan A.F. Baderi.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Menunjuk Imam Mahrus menjadi Seketaris I PSW Pusat dan

Agus Imam Yahya Malik menjadi Sekretaris II.

4. Pembuatan PD & PRT dan Pendaftaran PSW Pusat ke Pemerintah

Pada 16 Juni 1987, muallif mengamanatkan kepada ketua PSW Pusat supaya minta penjelasan kepada Dirjen Sospol Depdagri di Jakarta mengenai UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Ke- masyarakatan. Setelah ketua PSW meminta penjelasan kepada Dirjen Sospol Depdagri didapatlah kesimpulan bahwa PSW perlu didaftar- kan. Dalam menyikapi hal ini, muallif menjelaskan bahwa di dalam ajaran Wahidiyah terdapat ungkapan yu’thî kulla dzî haqqin haqqah. Oleh karena itu, jika memang ada manfaatnya dan membawa ke- lancaran perjuangan Wahidiyah maka ada baiknya PSW ini didaftar- kan. “Coba musyawarhkan”, tegas muallif.

Pada 1 Juli 1987, diadakan musyawarah para ketua PSW Pusat dan pimpinan MPW, serta 4 orang undangan, yaitu KH. Ihsan Mahin (Jombang), KH. Ahmad Zainuddin (Ngawi), H. Mohammad Syifa (Jombang), dan H. Affandi AB (Jombang), yang khusus membahas hal teknis tentang pendaftaran PSW ke pemerintah seperti yang diamanatkan oleh muallif.

Di sisi lain, pihak pimpinan MPW dengan Agus Abdul Latif Madjid sebagai ketuanya, tidak menyetujui PSW didaftarkan ke pemerintah, dengan alasan PSW menjadi tidak bebas. Perdebatan ketika itu cukup tegang sehingga musyawarah mengalami jalan buntu, tidak menghasilkan suatu keputusan. Setelah itu, para peserta sepakat bahwa masalah tersebut harus dimohonkan petunjuk kepada muallif. Adapun yang bertugas menghadap muallif adalah ketua I dan sekre- taris I PSW Pusat, ketua I dan ketua II MPW, ditambah KH. Ihsan Mahin.

Pada 3 Juli 1987, (Jum’at Pagi, Pukul 08.30 WIB), kelima orang tersebut menghadap muallif untuk melaporkan kebuntuan dalam musyawarah pada 2 Juli 1987. Muallif kemudian mengamanatkan agar diadakan istikharah. Semua peserta musyawarah diamanati supaya

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ikut istikharah, ditambah para unsur pembantu pimpinan PSW Pusat

dan para ahli istikharah. 6

Pada 12 Juli 1987 (Hari Minggu Pagi), hasil istikharah di- laporkan kepada muallif oleh 4 orang: Agus Abdul Latif Madjid, AF Badri, Mohammad Ruhan Sanusi, dan H. Oemar Badjuri (Kediri).

Meskipun Agus Latif sendiri ikut dalam shalat istikharah dan bahkan juga ikut melaporkan hasilnya, ia justru mempersoalkan banyaknya peserta istikharah yang tidak mendapat alamat (petun- juk), yaitu tujuh orang. Atas protes Agus Latif tersebut, muallif kemu- dian mengamanatkan supaya diadakan istikharah ulang. “Yang tidak memeroleh alamat (petunjuk) tidak usah dihitung”, tegasnya.

Pada 18 Juli 1987, (Hari Minggu Pagi) diperoleh hasil istikharah tahap kedua, yakni 4 orang mendapat petunjuk agar PSW didaftarkan ke Depdagri, sementara dua yang lainnya mendapat alamat agar PSW tidak didaftarkan. Berdasarkah hasil istikharah tersebut, PSW akhir- nya didaftarkan ke pemerintah guna memenuhi UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam kaitan ini, muallif kemudian menunjuk PSW Pusat supaya menangani pendaftaran dan mempersiapkan penyusunan PD

6 Yang dimohon dalam istikharah tersebut adalah petunjuk tentang perlu atau tidaknya PSW “didaftarkan” ke pemerintah. Adapun yang dipakai sebagai dasar

keputusan adalah jumlah terbanyak dari hasil istikharah. Hasil istikharah dari masing-masing peserta kemudian dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan dimasukkan ke dalam kotak terkunciData lengkap tentang hal ini terekam dalam dokumen “Risalah transkrip dan kaset rekaman Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah, tanggal 7 dan 9 Mei 1986”.

Pada 10 Juli 1987 (hari Jum’at), kotak hasil istikharah dibuka secara bersama- sama oleh Agus Abdul Latif Madjid, A.F. Badri, Drs. Syamsul Huda, Kiai Baidlowi, Mohammad Ruhan Sanusi, dan H. Oemar Badjuri. Dari 31 orang yang mengikuti shalat istikharah, hanya ada 19 orang yang memasukkan amplop hasil istikharah ke dalam kotak. Hasilnya adalah:

(a) 1 amplop menyatakan “tidak dapat ditakwilkan” – dinyatakan batal, (b) 1 amplop merupakan hasil undian sendiri – dinyatakan batal, (c) 4 amplop menyatakan “PSW tidak didaftarkan”, (d) 6 amplop menyatakan “PSW didaftarkan”, dan (e) 7 amplop kosong, tidak memeroleh petunjuk.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural & PRT PSW dan program kerja. Untuk hal ini, tanggung jawab

diserahkan kepada ketiga ketua PSW Pusat. Pada 21 Juli 1987, ketua PSW Pusat mengeluarkan SK Nomor

04/SW-XXIV/A/SK/1987 tentang Pengangkatan Tim Penyusun Ran- cangan PD & PRT PSW, yang terdiri dari 3 (tiga) orang. Mereka adalah H. Mohammad Syifa (Jombang), H.A. Affandi AB (Jombang), dan H. Oemar Badjuri (Kediri). Kemudian, pada 28 Juli 1987, tim penyusun rancangan PD & PRT PSW menyampaikan hasil kerjanya kepada ketua PSW Pusat.

Pada 1 Agustus 1987, naskah Rancangan PD & PRT PSW yang sudah diteliti oleh ketiga ketua PSW Pusat disampaikan kepada muallif untuk dikoreksi dan memohon restunya. Kemudian, pada 6 Agustus 1987, ketiga Ketua PSW Pusat dipanggil oleh muallif. Muallif langsung memberikan koreksi (ralat) terhadap hal-hal yang dipandang perlu. Muallif menetapkan supaya PD & PRT PSW ditetapkan dengan surat keputusan PSW Pusat dan berlaku surut mulai 1 Agustus 1987. “Saya insya Allah ikut tanda tangan menge- tahui”, demikian ungkapnya.

Pada 14 Agustus 1987, naskah PD & PRT PSW ditetapkan dengan SK PSW Pusat Nomor: 05/SW-XXIV/A/SK/1987 tanggal 1 Agustus 1987 dengan dibubuhi tapak asto (tanda tangan) muallif. Kemudian pada 22 Agustus 1987, SK PSW Pusat dengan lampiran PD & PRT PSW tersebut diperbanyak dan dibagikan kepada seluruh Personel PSW Pusat, termasuk semua anggota MPW.

Dari sini mulai muncul lagi pro dan kontra mengenai pen- daftaran PSW kepada pemerintah. Ketua MPW Agus Abdul Latif melancarkan kritik di luar jalur konstitusi untuk tidak mengakui PD & PRT PSW yang sudah ditandatangani (direstui) oleh muallif dan menolak pendaftaran PSW ke pemerintah. Selain itu, muncul juga isu bahwa muallif sudah diplekoto (dipaksa) oleh ketua I PSW Pusat (Mohammad Ruhan Sanusi) untuk menandatangani PD & PRT PSW. Para pengamal Shalawat Wahidiyah dari DKI Jakarta dan Bogor ternyata terhasut oleh isu tersebut. Sebagai akibatnya, para

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah pengamal tersebut satu per satu menandatangani selebaran semacam

mosi tidak setuju PSW didaftarkan kepada pemerintah. Selebaran tersebut dibendel dan dikirimkan kepada muallif dan kepada ketua I PSW Pusat dengan disertai surat pengantar dari Bagian Penyiaran Shalawat Wahidiyah DKI Jakarta No. 036/BPSW DKI/IX/1987.

Atas beredarnya isu dan surat tersebut, ketua PSW Pusat akhir- nya memohon petunjuk kepada muallif. Dalam menyikapi hal ter- sebut, muallif berkata singkat: Tidak usah ditanggapi.

Pada 8 September 1987, PSW Pusat secara resmi didaftarkan kepada Ditsospol Jawa Timur dengan surat pengantar No. 292/SW- XXIX/A/Um/1987 tanggal 7 September 1987. Kemudian, pada 13 September 1987, saat dilakukan Mujahadah Kubro, muallif meminta supaya diumumkan bahwa PSW Pusat sudah resmi didaftarkan ke pemerintah. Pengumuman tersebut dilaksanakan oleh Kiai Moham- mad Jazuli Yusuf, ketua II PSW Pusat waktu itu.

5 . Pembubaran MPW oleh Muallif Shalawat Wahidiyah

Usaha Majelis Penyiar Wahidiyah (MPW) pimpinan Agus Abdul Latif Madjid untuk menggagalkan pendaftaran PSW ke pemerintah dan menolak PD & PRT PSW terus dilancarkan dengan berbagai cara yang bukan saja tidak konstitusional dan melanggar etika organisasi, melainkan MPW juga mengirim surat edaran kepada PSW-PSW daerah propinsi dan kodya/kabupaten seluruh Indonesia bernomor 15/MPW/P& H/9/1987, tanggal 27 September 1987. Isinya adalah menghimbau seluruh jajaran PSW di daerah agar tidak membicarakan masalah pendaftaran PSW dan PD & PRT PSW sebab menurut Gus Latif, panggilan Agus Abdul Latif Madjid, hal itu masih belum tuntas dibicarakan di pusat. Akibatnya, timbul keguncangan dan disharmoni sosial di kalangan masyarakat pengamal Wahidiyah sehingga mengganggu stabilitas perjuangan Wahidiyah.

Sikap Abdul Latif yang coba memengaruhi para pengamal Shalawat Wahidiyah di daerah agar tidak menerima pendaftaran PSW dan PD & PRT PSW ke Depdagri ditanggapi secara seius oleh KH.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Ma'roef (muallif Shalawat Wahidiyah). Dalam ahl ini, muallif akhir-

nya mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: MSW/003/1987, tang- gal 27 September 1987, tentang Pembubaran MPW.

Diktum keputusan dalam SK muallif tersebut adalah:

a. Membubarkan MPW.

b. PSW Pusat dinyatakan demisioner.

c. Mantan pimpinan MPW dan mantan ketua PSW Pusat supaya mengadakan musyawarah bersama menyusun personalia pengurus PSW Pusat baru.

Kemudian, pada 24 Oktober 1987 diterbitkan SK muallif No. MSW/004/1987, yang isinya mengesahkan terbentuknya PSW Pusat masa bakti 1987–1992, dengan struktur organisasi sebagai berikut:

Ketua I : AF Badri Ketau II

: Drs. Syamsul Huda (Kediri) Ketua III

: Agus Abdul Hamid Madjid (Kediri) Ketua IV

: Agus Abdul Latif Madjid (Kediri)

Ketau V : Kiai Ihsan Mahin (Jombang) Ketua VI

: Kiai Mahfudz Siddiq (Ngawi) Dalam struktur PSW Pusat yang baru, Mohammad Ruhan

Sanusi, KH. Zaenal Fanani, dan Kiai Mohammad Jazuli Yusuf tidak lagi masuk dalam jajaran pengurus. Hal itu karena dalam musyawarah penyusunannya, mereka memang tidak terpilih.

6. Langkah-Langkah Strategis PSW Pusat Pascapembubaran MPW

Pascapembubaran MPW, PSW Pusat masa bakti 1987–1992, yang terbentuk pada 24 Oktober 1987 segera melakukan beberapa langkah strategis.

Pada 23 Oktober 1987, PSW Pusat memanggil PSW Daerah Propinsi Jawa Timur dengan suratnya Nomor: 357/SW-XXV/A/Und/

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah 1987. Dalam pertemuan antara PSW Pusat dan PSW Propinsi Jawa

Timur diberitahukan bahwa PSW Pusat akan mengambil langkah- langkah kebijaksanaan meskipun menyimpang dari PD & PRT PSW. Akan tetapi, PSW Propinsi Jawa Timur menentang langkah tersebut, dan minta supaya masalah ini dimohonkan petunjuk kepada muallif.

Pada 14 Desember 1987, PSW Pusat menjawab permintaan PSW Daerah Propinsi Jawa Timur dengan suratnya No. 376/SW-XXIV/ A/Um/1987. Dalam surat tersebut dijelaskan oleh muallif bahwa segala langkah yang diambil oleh PSW Pusat yang tidak senafas dengan PD & PRT PSW, tidak dibenarkan.

Pada 21 Juli 1987, muallif mengeluarkan SK Nomor: MSW/006/ 1988, tentang Penyempurnaan Kepengurusan PSW Pusat yang terdiri dari:

Ketua I : AF Badri Ketau II

: Drs Syamsul Huda (Kediri) Ketua III

: Agus Abdul Hamid Madjid (Kediri) Ketua IV

: Agus Abdul Latif Madjid (Kediri)

Ketau V

: Moh. Ruhan Sanusi (Tulungagung)

Ketua VI : Kiai Mahfudz Siddiq (Ngawi) Ketua Bidang Khusus : KH. Zaenal Fanani (Tulungagung) Ketua Bidang Khusus : Kiai Ihsan Mahin (Jombang) Ketua Bidang Khusus : Kiai Mohammad Jazuli Yusuf (Malang)

Penggantian ketua V dari Kiai Ihsan Mahin kepada Mohammad Ruhan Sanusi dan penetapan 3 orang ketua bidang khusus, sepenuh- nya atas penunjukan langsung oleh muallif tanpa melibatkan PSW Pusat, bahkan tanpa pemberitahuan lebih dulu. Jadi, hal itu adalah murni dari muallif sendiri. Setelah itu, muallif menentukan tugas- tugas ketua bidang khusus, yaitu menangani soal-soal khusus atau soal-soal yang belum tuntas ditangani oleh ketua bidang umum (ketua I–VI). Ketua bidang khusus dapat mengadakan rapat sendiri tanpa mengundang ketua bidang umum, namun ia boleh meng-

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural undang ketua bidang umum dan juga mempunyai hak menghadiri

rapat-rapat yang diadakan oleh ketua bidang umum. Menurut KH. Mohammad Ruhan Sanusi, ketua bidang khusus

merupakan pengganti MPW yang sudah dibubarkan oleh muallif karena dipandang melakukan kesalahan besar dalam menjalankan fungsinya. Kesalahan yang dimaksud adalah sikap tidak mengakui PD & PRT PSW dan menolak pendaftaran PSW kepada pemerintah dan membuat fitnah-fitnah dan hasutan. 7

7. Penyempurnaan AD & ART PSW Hasil Musyawarah Kubro

Wahidiyah (Juli 2001)

AD & ART PSW Hasil Musyawarah Kubro Wahidiyah pada bulan Juli 2001 disempurnakan oleh Musyawarah Kubro Luar Biasa Wahidiyah yang diselenggarakan pada 30 Maret 2002. AD & ART PSW bersumber dari PD & PRT PSW–1987 yang ditandatangani oleh muallif. Hal-hal prinsip dan mendasar yang ada dalam PD & PRT PSW tidak mengalami perubahan di AD & ART PSW. Adapun yang mengalami perubahan hanyalah istilah-istilah dan hal-hal yang berkaitan dengan teknis operasional dan pengaturan mekanisme kerja disesuaikan dengan kebutuhan perjuangan Wahidiyah.

Anggaran Dasar (AD) PSW memuat hal-hal yang bersifat prinsip dan ia menjadi dasar hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh organisasi. Sementara Anggaran Rumah Tangga (ART ) mengatur mengenai struktur, fungsi, tugas, dan tanggung jawab, mengenai tatanan kerja atau mekanisme kerja dan petunjuk teknis operasional organisasi. Pelaksanaan aturan-aturan tersebut dituangkan dalam peraturan organisasi.

Pada bagian muqaddimah dari AD/ART tersebut disinggung betapa pentingnya memanfaatkan pendayagunaan sumber daya ruhani (spiritual) dalam bentuk berdoa kepada Allah bagi keselamat-

7 KH. Muhammad Ruhan Sanusi adalah Ketua Umum DPP PSW dan pelaku sejarah yang memeroleh bimbingan langsung dari muallif Shalawat Wahidiyah.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah an, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup lahir dan batin, jasmani

dan ruhani, materiil dan spiritual, di dunia dan akhirat. Selain itu juga diingatkan tentang pentingnya keimanan dan ketakwaan masya- rakat kepada Allah dan rasul-Nya sebagai konsekuensi kewajiban selaku anak cucu Adam yang menjadi khalifah Allah di bumi, dan sebagai bentuk pengamalan Pancasila yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia, dan lebih-lebih selaku pengamal dan pejuang ke- sadaran fa firrû ila Allâh wa rasûlih.

8 Struktur Kepengurusan PSW

Kepengurusan PSW tingkat pusat sampai tingkat cabang ter- diri dari “Dewan Pimpinan PSW dan Majelis Tahkim PSW”. Dewan pimpinan PSW menjalankan tugas-tugas operasional perjuangan Wahidiyah. Istilah “Dewan” menunjukkan bahwa pengambilan ke- putusan dijalankan secara kolektif bersama-sama para ketua di dalam suatu rapat kerja dewan pimpinan PSW. Dengan demikian, tradisi pengambilan keputusan dalam Wahidiyah selalu mengutamakan asas musyawarah, menghindari praktik kerja otoriter. Dalam hal ini, Majelis Tahkim PSW bertugas memberikan arahan dan nasihat kepada Dewan Pimpinan (DP) PSW, baik diminta maupun tidak diminta. Majelis Tahkim PSW juga memegang wewenang kontrol pengawasan terhadap DP PSW, namun bukan sebagai oposisi. Sesuai dengan wewenangnya, Majelis Tahkim PSW dapat menjatuhkan putusan sangsi kepada personil Dewan Pimpinan PSW juga anggota Majelis Tahkim yang dipandang membahayakan kelangsungan perjuangan Wahidiyah.

Hubungan kerja antara Majelis Tahkim dan Dewan Pimpinan PSW diatur di dalam mekanisme kerja yang dibuat bersama oleh Majelis Tahkim PSW dan DP PSW.

9. Badan Hukum PSW

Pada saat ini, PSW telah menjadi organisasi sosial yang berbadan hukum, dengan Akta Notaris Khusnul Hadi, SH, Jombang, nomor:

10, tanggal 26 Januari 2007. Langkah pengurusan badan hukum

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tersebut ditempuh oleh PSW untuk menindaklanjuti hasil penye-

lesaian masalah legalitas PSW di kantor Jawatan Penerangan Ditsospol Propinsi Jawa Timur, pada 29 September 1992 dan pendaftaran PSW pada Direktorat Sosial dan Politik Propinsi Jawa Timur pada 7 Sep- tember 1987.

10. Munculnya Aliran-Aliran Keorganisasian dalam Wahidiyah dan Problem Legalitas Hukum

Sepeninggal muallif, KH. Abdoel Madjid Ma’roef, 8 organisasi Shalawat Wahidiyah mengalami dinamika kesejarahan di lingkungan internal. Di antaranya adalah munculnya tiga aliran keorganisasian Shalawat Wahidiyah, yakni: (1) Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW), (2) Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah (PUPW), dan (3) Jama’ah Perjuangan Wahidiyah “Miladiyah” (JPWM).

Pertama, Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW). PSW merupakan organisasi yang dibentuk oleh muallif sendiri semasa masih hidup dan dia juga yang memimpin langsung perjuangan dan penyiaran Wahidiyah. Dalam masa tersebut, PSW berpusat di Kedunglo Kediri, dan sempat didaftarkan sebagai organisasi kemasyarakatan yang ber- badan hukum di Indonesia. Dalam kaitan ini, kunci historisnya ada pada wasiat muallif (7 dan 9 Mei 1986) dan proses pembuatan PD & PRT serta pendaftaran PSW Pusat ke pemerintah untuk memenuhi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai- mana penjelasan di depan.

Pada perkembangannya, pusat organisasi tersebut pindah ke Rejoagung, Ngoro, Jombang, tepatnya di lingkungan Pesantren At- Tahdzib. Perpindahan pusat organisasi ini terjadi setelah munculnya organisasi baru, yakni Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah (PUPW) yang diwadahi oleh Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kediri.

8 KH. Abdoel Madjid Ma’roef, lahir pada 1920 dan wafat pada hari Selasa Wage, 29 Rajab 1409 H./7 Maret 1989 M.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Kedua, Yayasan Perjuangan Wahidiyah. Yayasan ini berpusat di

Kedunglo, Kediri, dan dipimpin oleh KH. Agus Abdul Latif, salah se- orang putera muallif. Organisasi ini muncul dan berkembang dengan semangat baru. Di dalamnya terdapat beberapa hal yang secara prinsip berbeda dengan ruh dan otentisitas (keaslian) ajaran Wahidiyah yang diajarkan oleh muallif. Sebagaimana PSW, Yayasan Perjuangan Wahi- diyah ini juga mempunyai massa pengikut yang tidak sedikit. Hal ini secara sosial dapat dipahami karena adanya dua faktor penting, yakni: (1) faktor genetik (silsilah) tokohnya sebagai putera muallif, dan (2) faktor teritorial Kedunglo, Kediri, sebagai pusat organisasinya, tempat kelahiran dan pusat awal pengembangan Wahidiyah, serta tempat pesarehan (makam) muallif.

Ketiga, Jama’ah Perjuangan Wahidiyah “Miladiyah”(JPWM). Organisasi ini juga berpusat di Kedunglo, Kediri, dan dipimpin oleh Kiai Abdul Hamid yang juga merupakan salah seorang putera muallif. Organisasi ini muncul dengan ide dasar sebagai penengah antara PSW dan PUPW. Bahkan pada masa-masa awal kelahirannya, organisasi ini merelakan diri dijadikan sasaran kritik untuk menetralisir ke- tidakharmonisan antara PSW dan PUPW. 9

JPWM ini memiliki massa pengikut tersendiri, meskipun jumlahnya tidak sebanyak massa pengikut PSW dan juga PUPW. Interes massa pengikut JPWM dapat dibilang karena faktor-faktor yang sama dengan interes massa pengikut aliran PUPW sebagaimana penjelasan di atas.

Dalam perkembangannya, Wahidiyah berhadapan dengan aspek legalitas hukum sebagai organisasi sosial di Indonesia. Dinamika his- toris ini sejak awal sebenarnya sudah diperhitungkan dan diantisipasi oleh muallif, sebagaimana penjelasan di muka. Masing-masing aliran cenderung bertahan pada argumentasi normatif ajarannya. Akan tetapi, aliran-aliran itu nyatanya berhadapan dengan aspek legalitas hukum. Problem ini terjadi ketika aliran-aliran tersebut berkembang

9 Hasil wawancara dengan Kiai Abdul Hamid, tokoh sentral Yayasan Miladiyah, di Kedunglo Kediri, (Rabu, 8 Februari 2006).

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural dengan sayapnya masing-masing di tengah-tengah masyarakat. Hal

ini mencapai puncaknya ketika terjadi perbedaan corak ajaran karena adanya perbedaan aliran Wahidiyah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itulah, pemerintah mengambil tindakan penyelesaian masalah organisasi ini berkenaan dengan keabsahan dan legalitas hukumnya.

Untuk mengatasi problem keabsahan dan legalitas hukum dari masing-masing organisasi Wahidiyah, masalah tersebut akhirnya di- bawa ke Kantor Jawatan Penerangan Ditsospol Propinsi Jawa Timur, di Jalan Pemuda No. 5 Surabaya, pada 29 September 1992. 10

Materi penyelesaian dalam forum tersebut adalah masalah ke- absahan (legalitas hukum) organisasi Wahidiyah sebagai organisasi sosial keagamaan. Pada forum inilah wasiat muallif pada 7 dan 9 Mei 1986 dan pendaftaran PSW Pusat pada Ditsospol Jawa Timur pada

7 September 1987 menjadi kunci utama pemecahan masalah. Akhir- nya, Ditsospol Jawa Timur hanya mengakui PSW sebagai organisasi Wahidiyah yang sah.

Forum penyelesaian masalah itu sebenarnya merupakan sebagian dari realitas Wahidiyah. Sebab, dalam perkembangannya, setelah adanya forum itu, PUPW memeroleh perhatian massa yang semakin banyak jumlahnya. Oleh karena itu, muncul wacana bahwa secara

de facto PUPW merupakan organisasi Wahidiyah yang sah meski secara de jure hal ini menjadi hak PSW. Hal ini terbukti saat PUPW mengadakan acara haul 11 pada 1993 di Pesantren Kedunglo, Kediri. Massa yang hadir pada acara itu mencapai sekitar 20 ribu orang. Sedangkan pada saat yang sama, Mujahadah Kubro I yang diadakan

10 Informasi tentang peristiwa penyelesaian hukum ini merupakan hasil wawancara dengan Abdul Wahid Suwoto (pelaku sejarah) pada hari Rabu, 21 Februari 2007,

di rumahnya, di Maesan Sooko Kediri. Informan adalah pengamal Wahidiyah, mantan penginjil. Kisahnya secara lebih detil penulis paparkan pada Bab IV, sub bahasan “Fenomena Keterbukaan Ideologis dalam Dinamika Historis Wahidiyah.” 11 Haul merupakan acara tahunan memperingati hari wafat seseorang, pada umumnya tokoh agama yang berpengaruh. Sedangkan Mujahadah Kubro merupakan kegiatan reguler Wahidiyah sebagaimana diajarkan oleh muallif-nya.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah PSW di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang hanya

dihadiri oleh massa sekitar 300 orang. Masih pada tahun yang sama, Mujahadah Kubro II 12 yang yang diselenggarakan PSW hanya di- hadiri oleh sekitar 1.200 orang. Jumlah ini bahkan surut menjadi sekitar 800 orang pada saat Mujahadah Kubro III (1994) karena pada tahun ini Kiai Abdul Hamid (putera muallif ) mendirikan Organisasi Miladiyah.

Pada saat ini, PSW ternyata mengalami perkembangan pesat. Oraganisasi ini memiliki massa yang sangat banyak dan tersebar di mana-mana. Pada saat PSW mengadakan Mujahadah Wahidiyah, misalnya, yang diselenggarakan pada 2007, acara tersebut dihadiri oleh massa sekitar 70.000 orang untuk empat gelombang/hari ke- giatannya. Dengan keadaan ini, PSW meraih posisi sebagai de jure dan de facto sekaligus.