Dasar-Hukum dan Tatakrama Membaca Shalawat
1. Dasar-Hukum dan Tatakrama Membaca Shalawat
Dasar yuridis membaca shalawat kepada Nabi Muhammad adalah firman Allah: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya membaca shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bacalah shalawat dan sampaikan salam sebaik-baiknya kepadanya”. 23
Dalam pustaka ajaran Wahidiyah, shalawat dari Allah kepada Nabi Muhammad adalah dalam rangka menambah rahmat dan ta’zhîm (kasih sayang dan sikap memuliakan), sedangkan kepada selain Nabi Muhammad adalah dalam upaya menambah rahmat dan maghfirah (kasih sayang dan ampunan). Demikian juga shalawat para malaikat kepada Nabi Muhammad adalah dalam rangka memohon kepada Allah agar memberikan tambahan rahmat dan kemuliaan kepada Nabi Muhammad sementara shalawat kepada selain Nabi Muhammad merupakan permohonan rahmat dan maghfirah.
Adapun hukum membaca shalawat, terdapat beberapa pendapat para ulama. Ada ulama yang mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya wajib bi al-ijmâl, ada yang mengatakan wajib satu kali
23 QS. al-Ahzab [33]: 56.
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural semasa hidup, dan ada yang berpendapat sunnah. Akan tetapi, pen-
dapat tentang hukum membaca shalawat yang paling populer adalah sunnah mu’akkadah, kecuali membaca shalawat pada tahiyyat akhir dalam shalat. Sebab sudah disepakati bahwa membaca shalawat pada tahiyyat akhir dalam shalat adalah wajib hukumnya karena ia me- rupakan rukun shalat.
Bagi kaum mukmin, khususnya dalam tradisi para pengamal Shalawat Wahidiyah, di samping penting diperhatikan pendapat para ulama tentang kedudukan hukum membaca shalawat seperti di atas, hal yang lebih penting adalah kesadaran bahwa membaca shalawat kepada nabi merupakan kewajiban moral dan keharusan nurani. Hal ini paling tidak karena tiga hal: Pertama, kaum mukmin diperintah membaca shalawat, seperti dinyatakan dalam QS. al-Ahzab [33]: 56 di depan. Kedua, semua kaum mukmin berhutang budi kepada Nabi Muhammad yang tidak terhitung banyak dan besarnya: zhâhiran wa bâthinan (lahir-batin) dan syar’an wa haqîqatan (secara syari’at maupun hakikat). Ketiga, keutamaan dan manfaat membaca shalawat akan kembali kepada orang yang membacanya dan juga bermanfaat bagi keluarga dan masyarakatnya, serta makhluk-makhluk yang lain. Nabi Muhammad sendiri tidak berkepentingan dan tergantung pada bacaan shalawat dari umatnya.
Adapun dasar-dasar membaca shalawat yang bersumber dari hadits nabi, di antaranya, adalah:
Pertama, perintah memperbanyak bacaan shalawat:
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Rasulullah Saw. bersabda: Perbanyaklah membaca shalawat
kepadaku, sesungguhnya Allah menugaskan malaikat untukku di kuburku; Apabila seseorang dari umatku membaca shalawat ke- padaku, malaikat tersebut berkata kepadaku: “Ya Muhammad, sesungguhnya fulan bin fulan membaca shalawat kepadamu” (Diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Abu Bakar ash-Shiddiq dan oleh an-Numairi dari Hammad al-Kufi).
Kedua, malaikat menyampaikan salam kepada Nabi Saw:
Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala me- miliki malaikat-malaikat yang bertebaran (di muka bumi) yang bertugas menyampaikan salam dari umatku kepadaku (HR. Imam Ahmad dan al-Hakim dari Ibn Mas’ud). 24
Ketiga, perintah memperbaiki bacaan shalawat:
Rasulullah Saw. bersabda: Ketika kamu sekalian membaca shalawat kepadaku maka perbaikilah bacaan shalawatmu itu, se- sungguhnya kamu sekalian tidak mengetahui sekiranya shalawat- mu itu diperlihatkan kepadaku (HR. ad-Dailami dari Ibn Mas’ud).
24 Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Sahabat Ali, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang
bertebaran di muka bumi yang ditugasi untuk menyampaikan shalawat yang dibaca seseorang dari umatku kepadaku.”
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural KH. Abdoel Madjid Ma’roef (mua’llif Shalawat Wahidiyah),
menganjurkan kepada kita agar senantiasa menerapkan istihdhâr di dalam membaca shalawat, yakni merasa seperti benar-benar berada di hadapan Rasulullah. Istihdhâr ini termasuk adab membaca shalawat. Bersikap istihdhar akan menjadikan hati kita lebih tawadhu’ di dalam membaca shalawat dan akan semakin tertanam lebih mendalam rasa mahabbah (cinta) kepada Rasulullah.
KH. Ma’roef dalam suatu kuliahnya juga menerangkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fadhilah (keutama- an) dan kebaikan suatu shalawat. Selain keutamaan dari Allah dan syafa’at Rasulullah, fadhilah membaca shalawat minimal ada hubung- annya dengan enam hal, yakni: (1) Kondisi muallif shalawat, terutama kondisi batiniah; (2) susunan redaksi shalawat; (3) situasi dan kondisi masyarakat ketika shalawat itu (disusun); (4) tujuan shalawat itu di- susun; (5) situasi dan kondisi pembaca shalawat, dan (6) adab (tata krama) lahir dan batin ketika membaca shalawat.
Bagi pengamal Wahidiyah, hal yang paling penting adalah mem- perhatikan adab ketika membaca shalawat, yang meliputi: (1) niat dengan ikhlas beribadah kepada Allah, tanpa pamrih; (2) ta’zhîm (mengagungkan) dan mahabbah (mencintai) Rasulullah; (3) hati hudhûr kepada Allah dan istihdhâr (merasa berada di hadapan Rasu- lullah, dan (4) tawadhu’ (merendahkan diri), iftiqâr (merasa butuh sekali) kepada pertolongan Allah, butuh sekali terhadap syafa’at atau bantuan (moril) dari Rasulullah.