Mujahadah Wahidiyah
1. Mujahadah Wahidiyah
Yang dimaksud dengan mujahadah Wahidiyah adalah ber- sungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu untuk diarahkan pada kesadaran fa firrû ila Allâh wa rasûlih, dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah atau bagian darinya menurut adab, cara, dan tuntunan yang diberikan oleh muallif, KH. Abdoel Madjid Ma’roef, sebagai penghormatan kepada Rasulullah dan sekaligus me- rupakan doa permohonan kepada Allah bagi diri pribadi dan keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, bagi bangsa dan negara, bagi para pemimpin bangsa dan negara, bagi umat di seluruh alam dan para pemimpim mereka, serta bagi seluruh makh- luk Allah.
Bagi semua orang yang akan melakukan mujahadah Wahidiyah maka dia harus memenuhi etika atau adab ber-mujahadah. Adapun adab (etika) ber-mujahadah adalah:
a. Harus dijiwai perasaan lillâh-billâh, lirrasûl-birrasûl, lilghauts- bilghauts.
b. Hatinya hudhûr (berkosentrasi) kepada Allah.
c. Istihdhâr, yakni merasa hadir di hadapan Rasulullah dan ghauts hâdz az-zamân, dengan ketulusan hati, ta’zhîm, dan mahabbah sedalam-dalamnya dan semurni-murninya. 92
91 Al-Qusyairi an-Naysaburi, Risâlah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm at-Tasawwuf, (T.tp.: Dar al-Khair), hlm. 98. 92 Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Sebelum kamu mengucapkan As-Salamu’alika ayyuha an-nabiyyu (pada saat membaca tahiyat) hadirkan pribadi
nabi yang mulia dalam hatimu dan mantapkan harapanmu bahwa salammu sampai pada beliau dan bahwa beliau menjawabnya dengan jawaban yang lebih tepat. Lihat Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain …, hlm. 223.
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural
d. Tadzallul (merasa hina akibat banyaknya dosa yang dilakukan). 93
e. Tazhallum, yakni merasa banyak berbuat zalim dan dosa terhadap Allah, rasul-Nya, ghauts, maupun kepada sesama makhluk Allah. 94
f. Iftiqâr, yakni merasa sangat butuh; butuh terhadap ampunan (maghfirah), perlindungan, dan petunjuk (taufiq-hidayah) Allah, 95 butuh terhadap syafa’at-tarbiyah Rasulullah, butuh terhadap bara- kah, karamah, nadhrah, dan doa restu ghauts hâdza az-zamân, dan para wali Allah yang lain.
g. Di dalam berdoa, di samping berdoa dan memohon untuk diri sendiri dan keluarga, juga hendaknya kita berdoa untuk umat dan masyarakat serta bangsa dan negara; juga mendoakan semua yang ada hubungan hak dengan kita, terlebih lagi mereka yang kita rugikan, baik moral maupun materiil, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Jika kita mau mengasihani dan mendoakan mereka niscaya kita juga akan dikasihani dan didoakan oleh para malaikat. Hal itu seperti disabdakan oleh Rasulullah:
Sementara itu, dalam Kitab Jâmî’ al-Ushûl dijelaskan: “Hatinya orang yang ârif billâh itu merupakan hadhratullah dan inderanya sebagai pintu-pintu hadhrah. Maka barang siapa yang mendekatkan diri kepadanya dengan pendekatan yang serasi (sesuai) dengan kedudukan dia maka akan terbukalah baginya pintu-pintu hadhrah (sadar kepada Allah). Lihat Syaikh an-Nasik Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 48.
Syaikh Ibrahim at-Tajibi berkata: “Setiap orang yang beriman ketika menyebut nabi atau ketika namanya disebut, diwajibkan menunduk, memuliakan, dan diam (tidak bergerak) serta berusaha mengagungkan dan memuliakan sebagaimana berhadapan langsung serta membayangkan seakan-akan berada di hadapannya, dan beradab dengan tata krama yang telah diajarkan oleh Allah, yaitu ta’zhîm (mengagungkan), takrîm (memuliakan), dan seterusnya. Lihat Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl…, hlm. 156. 93 Dalam kitab Taqrîb al-Ushûl disebutkan: “Menghadap kepada Allah dan rasul- Nya dengan sungguh-sungguh seraya merasa hina dan meratapi dosa-dosa serta merasa tidak mempunyai daya dan kekuatan adalah pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat.” Lihat ibid. 94 Dalam QS. Ibrahim [14]: 34 ditegaskan: “Sesungguhnya manusia itu selalu berbuat zalim dan kufur”. 95 Dalam QS. Muhmmad [47]: 38 ditegaskan: “Allah Mahakaya sedangkan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya. Dan jika kamu berpaling niscaya Dia mengganti (kamu) dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan seperti kamu ...”
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah “Kasihanilah orang-orang yang ada di bumi maka engkau akan
dikasihi malaikat yang ada di langit” (HR. Thabrani dan al-Hakim). 96
h. Berkeyakinan bahwa mujahadah/doanya akan dikabulkan. Sebab doa dari orang yang tidak yakin tidak akan dikabulkan oleh Allah, seperti disabdakan oleh nabi: “Berdoalah kepada Allah dengan berkeyakinan bahwa (doamu) akan dikabulkan; dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati orang yang lupa dan lalai” (HR. At-Turmudzi dan al-Hakim dari Abu Hurairah). 97
i. Bacaan shalawat dan doa hendaknya tartil (berurutan) sesuai dengan makhraj, tajwid, dan madd (panjang-pendeknya) serta tanda baca yang tepat.
j. Gaya, lagu, sikap, dan cara melaksanakan mujahadah supaya sesuai dengan tuntunan dari muallif. Dalam kaitan ini, ada bimbingan khusus berupa lembaran tanda bacaan yang biasanya disampaikan dalam kegiatan pembinaan kewahidiyahan.
Selain itu, ada perhatian khusus tentang gaya, lagu, sikap, dan cara melaksanakan mujahadah. Bagi para penyiar, pembina, dan terlebih lagi para imam mujahadah dianjurkan supaya memer- hatikan hal-hal tersebut. 98
k. Jika mendapati suatu pengalaman batin, seperti tangis dan jeritan, apabila masih bisa dikuasai, supaya dimanfaatkan sekuat mungkin untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan rasul-Nya. Peng- alaman batin itu tidak boleh diluapkan begitu saja sehingga meng- ganggu orang-orang yang ada di sekitarnya, terlebih lagi ketika
96 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr ..., juz I, hlm. 38. 97 Ibid., hlm. 83. 98 Sepeninggal muallif, para pengamal, khususnya para imam jama’ah, dianjurkan dan diajarkan oleh DPP PSW agar berlatih dan membiasakan diri meniru gaya
bacaan muallif, sekalipun kemampuannya masih belum bisa persis, namun setidak- nya tidak terlalu menyimpang jauh dari standar lagu yang diajarkan olehnya. Anjuran dan ajaran ini dimaksudkan untuk menjaga orisinalitas ajaran Wahidiyah. Sepengetahuan penulis, dalam nada mujahadah yang diajarkan oleh muallif, khususnya pada bait tasyâffu’an dan istighâtsah, terkandung energi psikologis khas Wahidiyah yang dapat menimbulkan suasana khusyu’ dan tawaddu’. Hal ini terkait dengan adab bermujahadah yang diajarkan oleh muallif.
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural mujahadah dilakukan secara berjamaah atau mendengarkan kuliah-
kuliah Wahidiyah secara bersama-sama. l. Ketika mujahadah dilakukan secara berjamaah, suara makmum
tidak boleh mendahului suara imam dan juga tidak boleh terlalu jauh tertinggal. Bacaan dan suara harus seragam. Tidak boleh ter- lalu tinggi dari suara imam! Minimal sama atau lebih rendah.
m. Bagi pengamal yang terpaksa tidak dapat mengendalikan kerasnya suara, supaya mengambil tempat duduk yang jauh dari mikropon supaya tidak mengganggu/memengaruhi orang lain.
n. Ketika melagukan tasyaffu’an, nada, gaya, dan lagu harus seragam. Apabila menggunakan pengeras suara maka mikropon tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa suara saja. Semua suara harus terdengar seragam, kecuali untuk memberikan aba-aba.