Pemaknaan Tasawuf

A. Pemaknaan Tasawuf

Dari hari ke hari, perhatian berbagai lapisan masyarakat ter- hadap tasawuf semakin berkembang. Tasawuf yang semula merupa- kan bentuk pemaknaan terhadap hadits Rasulullah tentang al-ihsân, 1 dalam perkembangan selanjutnya mengalami perluasan penafsiran. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang memenga- ruhi perspektif penafsiran dan beberapa indikasi yang paling menon- jol dalam praktik-praktiknya.

Dalam kenyataannya, tasawuf sering dipahami sebagai prak- tik zuhud, yaitu sikap hidup asketis. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang sufi adalah seorang zâhid, namun demikian, seorang zâhid tidak secara otomatis adalah seorang sufi. Sebab, zuhud hanya merupakan wasîlah atau bentuk upaya pen- jernihan jiwa dari godaan dunia sehingga mampu melakukan musyâhadah kepada Allah. Dengan demikian, orang yang berpakaian sederhana, makan sederhana, atau bertempat tinggal di rumah

1 Setelah menjawab pertanyaan tentang imân dan Islâm, Rasulullah kembali ditanya oleh Malaikat Jibril a.s. tentang ihsân, kemudian rasul menjawab,

“Hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”. Lihat Imam Muslim , Shahih Muslîm, hadits no. 10, bab (kitab) “al-Imân”.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah sederhana tidaklah selalu membuktikan dirinya seorang sufi karena

masih ada indikator-indikator lain yang lebih kompleks. 2

Selain itu, tasawuf juga tidak jarang diartikan sebagai ajaran budi pekerti sehingga seorang sufi dianggap orang yang banyak melakukan ibadah, upacara-upacara ritual. Abu Muhammad al- Jariri, misalnya, menjelaskan bahwa tasawuf adalah hal memasuki atau menghiasi diri dengan akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah. Sedangkan Abu Husein an-Nuri menjelaskan bahwa tasawuf adalah kebebasan, kemuliaan, meninggalkan perasaan terbebani dalam setiap perbuatan melaksanakan perintah syara’, dermawan, dan murah hati. O leh karena itu, tidaklah meng- herankan jika Hasan al-Basri dikenal sebagai seorang sufi karena ia

memiliki akhlak yang terpuji. 3 Begitu juga orang yang banyak melakukan ibadah dan upacara-upacara ritual keagamaan, seperti puasa sunnah, shalat malam, zikir, dan berbagai ibadah lainnya sering kali disebut sebagai seorang sufi. Bahkan, secara implisit, Ibn Sina memaknai tasawuf sebagai orang yang zuhud dan ahli ibadah. 4

Hal lain yang cukup aneh adalah bahwa tasawuf justru sering dikaitkan dengan kekeramatan, hal-hal aneh, atau perilaku tidak lumrah yang dimiliki oleh seseorang. Kekeramatan atau hal-hal yang bersifat supranatural ini, seperti kemampuan terbang tanpa sayap, berjalan di atas air, memperpendek jarak dengan melipat bumi, atau mengetahui hal-hal gaib yang memang terkadang terjadi dalam kehidupan sehari-hari juga sering dijadikan indikasi untuk menilai kesufian seseorang. Artinya, orang yang mampu melakukan hal-hal aneh yang tidak mampu dilakukan oleh orang kebanyakan sering disebut sebagai orang sufi. Padahal indikator-indikator itu tidak selalu merupakan cerminan seorang sufi. Bahkan sebaliknya, jika

2 Abd al-Halim Mahmud, Qadhiyah fî at-Tashawuf, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, t.t.), hlm. 170. 3 Ibid., hlm. 168–169. 4 Ibid., hlm. 170–172.

Memahami Dunia Tasawuf seseorang merasa puas atau bangga dengan semua anugerah tersebut

berarti ia adalah orang yang tertipu dan terjebak dalam permainan setan dan jelas bahwa dia bukanlah seorang sufi. 5

Keramat (karamah) di mata seorang sufi hanyalah hiburan atau hiasan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ia bukanlah sesuatu yang esensial. Hal yang hakiki dalam tasawuf ialah kemampuan mengendalikan nafsu agar mampu ber-musyâhadah dengan Allah. Oleh karena itu, tidak aneh jika Ibn Athaillah as-Sakandari me- ngatakan: “Pengetahuanmu tentang aib-aib yang tersembunyi dalam jiwamu adalah lebih baik daripada pengetahuanmu tentang hal- hal gaib yang tertutupi dari alam inderamu.” 6

Model-model pemaknaan tasawuf sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya lebih didasarkan pada bentuk-bentuk atau indikasi yang mencuat dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai sufi. Dalam hal ini, barangkali kita patut mencermati definisi tentang tasawuf yang dirumuskan oleh Abu Bakar al-Kattani. Menurutnya, tasawuf adalah shafa (kejernihan hati) dan musyâhadah (menyaksi-

kan Allah). 7 Dengan demikian, tasawuf dalam pandangan al-Kattani memiliki dua aspek utama, yakni shafâ (kejernihan hati) dan musyâ- hadah (menyaksikan Allah). Shafâ dalam tasawuf diposisikan sebagai wasîlah (sarana atau jalan yang mengantarkan pada suatu tujuan). Jika arti ini dipahami dalam perspektif tasawuf maka maknanya adalah sarana, teknik, cara, dan upaya penyucian jiwa menuju Allah. 8

5 Ibn Ataillah as-Sakandari, Al-Hikam al-‘Ataiyyah, ed. Mahmud Abd al-Wahab Abd al-Mun’im, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1969), hlm. 41. 6 Ibid. 7 Lihat Abd al-Halim Mahmud, Qadhîyah fi at-Tasawwuf, hlm. 173–175. Lihat juga Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, juz iv, (T.tp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub

al-Arabiyyah, t.t.), hlm. 2930. 8 Imam al-Ghazali, dengan redaksi yang berbeda mengartikan wasîlah dengan tharîq, yaitu jalan mujâhadah dalam membersihkan sifat-sifat buruk dari hati, memutus semua kabel yang mengarah pada sifat-sifat jelek, dan menghadapkan semua kekuatan jiwa ke hadirat Allah. Jika tharîq ini berhasil dilalui sehingga hati menjadi jernih dan mendapatkan pancaran cahaya Ilahi maka ia memasuki maqâm musyâhadah. Lihat al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz 4, hlm. 293.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Sedangkan musyâhadah adalah ghâyah (tujuan) tasawuf, yakni

menyaksikan Allah atau selalu merasa disaksikan oleh Allah. Itulah makna lain dari hadits Rasulullah tentang al-ihsân. Akan tetapi, term musyâhadah juga sering dimaknai sebagai al-liqâ’, yaitu bertemu Allah. 9

Di antara fenomena-fenomena religius-sufistik, ada satu feno- mena ritual yang cukup menarik dan hingga kini masih banyak ditemukan di tengah masyarakat dan sering diartikan sebagai bentuk praktis pengamalan tasawuf. Fenomena itu adalah upacara zikir, yang biasanya dilakukan dalam berbagai ritus tarekat dengan tata cara yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, seperti ritus zikir dalam tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, dan beberapa ritus dalam tarekat lainnya.

Dalam hal ini harus diakui bahwa ada banyak jenis zikir yang dilakukan dalam praktik ritual tarekat, namun amalan zikir yang paling utama, dan bahkan menjadi “kewajiban harian” bagi pengamal tarekat adalah mengucapkan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. Zikir ini menjadi konsumsi khusus dan memiliki nilai tersendiri. Setiap pengamal tarekat berbeda-beda (dari sisi jumlah) dalam mengamalkan zikir ini. Semakin tinggi tingkat spiritual seseorang maka semakin banyak pula zikirnya. Hal ini terkait erat dengan tingkatan makna-makna spiritual atau maqâm-maqâm tasawuf. 10

Di sisi lain, Seyyed Hossein Nasr, salah seorang cendekiawan muslim asal Iran, mengatakan: “Tasawuf serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Ia telah memberikan semangatnya pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual.” 11 Sedangkan Ibrahim Madkur mendudukkan tasawuf dalam per-

9 Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah fi at-Tasawuf, hlm. 173–177. Lihat pula Al- Qusyairi, Ar-Risâlah al-Qusyairîyah fî ‘Ilm at-Tashawwuf, (Beirut: Dair al-Khair,

t.t.), hlm. 75. 10 Amin Alauddin an-Naqsyabandi, Mâ Huwa at-Tashawwuf wa mâ Hiya at- Tharîqah an-Naqsyabandîyah (T.tp: t.p, t.t.), hlm. 196–202. 11 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 11.

Memahami Dunia Tasawuf imbangan hubungan antara kecenderungan duniawi dan ukhrawi.

Menurutnya, Islam tidak melapangkan dada bagi kependetaan Masehi dan kesederhanaan Hindu. Islam selalu mengajak berkarya demi meraih dunia dan menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan. 12

Di tempat lain, Abul Wafa at-Taftazani berpendapat bahwa tasawuf merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniah dan sekaligus menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialis. Selain itu, tasawuf juga dimaksudkan untuk merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga mampu menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidup lainnya. 13

At-Taftazani menjelaskan bahwa dalam tasawuf terdapat prin- sip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakat, antara lain: hendaklah manusia selalu mawas diri demi meluruskan kesalahan-kesalahan serta menyempurnakan keutamaan-keutamaannya. Bahkan tasawuf mendorong wawasan hidup menjadi moderat. Tasawuf juga membuat manusia tidak lagi terjerat hawa nafsunya, ia tidak lupa pada diri dan Tuhannya. Dalam tasawuf diajarkan bahwa kehidupan ini hanyalah sarana, bukan tujuan. Oleh karena itu, di dalam kehidupan di dunia ini, seseorang hendaknya sekadar mengambil apa yang diperlukannya saja dan jangan sampai terperangkap dalam perbudakan cinta harta ataupun pangkat; dan tidak juga menyombongkan diri pada orang lain. Dengan melakukan semua itu, manusia dapat sepenuhnya bebas dari nafsu dan syahwatnya. 14

Sementara itu, Ibrahim Basyuni, sebagaimana dikutip oleh Asmaran, 15 menyatakan telah memilih empat puluh definisi tentang

12 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmîyah Manhaj wa Tatbiquh, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), hlm. 66. 13 Abu al-Wafa at-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf al-Islâmî, (Kairo: Dar ats- Tsaqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr , 1979), hlm. j. 14 Ibid. 15 Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf …, hlm. 51–53.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah tasawuf yang diambil dari rumusan-rumusan ahli sufi yang hidup

pada abad III (200–334 H.). Meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum didapati sebuah definisi yang mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini, kata Basyuni, disebabkan oleh karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambar- kan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhani- nya pada waktu tertentu. Menurutnya, untuk bisa mendapatkan suatu definisi yang universal haruslah bertolak dari definisi yang banyak itu sehingga terdapat pengertian yang saling melengkapi. Menurut Basyuni, definisi-definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap.

Pertama, tahap al-bidâyah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap awal. Manusia merasakan dengan fitrahnya bahwa yang wujud tidak terbatas hanya pada yang di- lihat, tetapi di balik itu masih ada wujud yang lebih sempurna dan itu akan selalu dirindukan oleh nurani manusia, dan hatinya akan mendapat ketenangan sesudah mengenal-Nya. Ia berusaha untuk mendekatkan diri dan ingat kepada-Nya. D alam waktu yang bersamaan, ia merasakan adanya tabir yang memisahkan antara dirinya dengan wujud yang sempurna itu. Tabir pemisah itu sedikit demi sedikit akan hilang setiap ia tekun berpikir mendalami dirinya dan mengurangi keinginan memenuhi nafsu jasmaniahnya. Pada saat itu, penuhlah hatinya dengan limpahan cahaya (nûr) yang mem- bangkitkan perasaan dan kesungguhan serta membawanya pada ketenangan jiwa yang sempurna. Perasaan fitrah ini telah ada sebelum lahirnya agama-agama karena ia berasal dari fitrah yang sehat yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu, hampir tidak terdapat perbedaan antara pengalaman dan keadaan yang dialami oleh seorang penganut Hindu, Budha, Islam, ataupun yang lainnya.

Di antara definisi tasawuf yang mengungkapkan pengalaman pada tahap pertama ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi, Abu Turab an-Nakhsabi, dan Zunnun al-Mishri. Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H.) mendefinisikan tasawuf sebagai mengambil

Memahami Dunia Tasawuf hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk.

Dengan demikian, siapa yang tidak benar-benar fakir maka dia tidak benar-benar bertasawuf. Sementara itu, Abu Turab an-Nakhsabi (w. 245 H.) mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak ada sesuatu pun yang mengotori dirinya dan dia dapat membersihkan segala sesuatu. Di sisi lain, Zunnun al-Misri (w. 254 H.) mengatakan bahawa sufi ialah orang yang tidak suka meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan.

Kedua, tahap al-mujâhadah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman ruhani yang menyangkut kesungguhan dan kegiatan. Hal ini dilihat dari segi amaliah yang dilaksanakan ahli sufi, yang dimulai dengan menghiasi diri dengan suatu perbuatan yang diajarkan agama dan akhlak yang mulia. D efinisi-definisi tasawuf yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain, adalah yang dikemukakan oleh Abu al-Husain an-Nuri dan Sahl bin Abdullah at-Tustari.

Abul Husain an-Nuri (w. 295 H.) mengatakan bahwa tasawuf bukanlah wawasan atau ilmu, melainkan ia adalah akhlak. Sebab, seandainya tasawuf adalah wawasan maka ia dapat dicapai hanya dengan kesungguhan, dan seandainya tasawuf adalah ilmu maka ia akan dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi, kenyataannya, tasawuf hanya dapat dicapai dengan berakhlak dengan akhlak Al- lah dan engkau tidak mampu menerima akhlak ketuhanan hanya dengan wawasan dan ilmu. Sedangkan Sahl bin Abdullah at-Tustari mengatakan bahwa tasawuf ialah sedikit makan, tenang dengan Allah, dan menjauhi manusia.

Ketiga, tahap al-mazaqah, yaitu definisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan. Dalam melaksanakan kehidupan beragama sebagaimana biasa, hubungan antara seseorang dengan Tuhannya tidak lebih dari hubungan seorang hamba yang menyembah dengan Tuhan yang disembah, seorang hamba harus tunduk dan taat kepada perintah dan larangan Tuhan yang diyakininya sebagai Pencipta. Dalam kehidupan tasawuf, segala

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah kemauan dilebur untuk larut dalam kehendak Tuhan. Umur,

kegiatan, dan seluruh perhatian dikerahkan sehingga hubungan itu lebih kuat dan murni. Definisi-definisi yang termasuk dalam kategori ini disumbangkan, antara lain, oleh Al-Junaid al-Baghdadi dan Abu Muhammad Ruwaim. Terkait dengan masalah ini, al-Baghdadi (w. 297 H.) mengatakan, tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa ada penghubung. Sedangkan Abu Muhammad Ruwaim mengatakan bahwa tasawuf ialah membiarkan diri dengan Allah menurut kehendak-Nya.

D engan definisi-definisi seperti dikutip di atas, menurut Basyuni, dapatlah diambil suatu pengertian bahwa tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya. 16

Jika dilihat dari sisi asas, tasawuf merupakan bagian sistemik Islam, dan ia melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi itu terkandung berbagai pengertian dari sejumlah aspek yang sesuai. Meskipun demikian, ada satu asas tasawuf yang tidak diperdebatkan, yakni bahwa tasawuf ialah moralitas berdasarkan Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Qayyim bahwa “tasawuf adalah moral”. Senada dengan Ibn al-Qayyim, al-Kattani juga mengemukakan bahwa “tasawuf adalah moral. Siapa di antara kamu yang semakin bermoral, tentulah jiwanya pun semakin bening.” 17

Atas dasar uraian di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya tasawuf berarti moral. Dengan pemaknaan seperti ini, tasawuf juga berarti

16 Ibrahim Basyuni, Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), hlm. 17–24. Lihat juga Team Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan:

Proyek Ditbinperta IAIN Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 15; Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 51–53. 17 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf al-Islâmî, hlm. 11.

Memahami Dunia Tasawuf semangat atau nilai Islam sebab semua ajaran Islam dikonstruksi di

atas landasan moral. Al-Qur’an sendiri jika dikaji secara mendalam maka di dalamnya terdapat berbagai bentuk hukum syar’i yang secara global dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) bagian yang berkaitan dengan akidah, (2) bagian yang berkaitan dengan masalah cabang (furû’), baik ibadah maupun muamalah, dan (3) bagian yang berkaitan dengan moral (akhlak). 18

Sebenarnya, moral adalah landasan syari’at Islam sehingga ke- tiadaan moral dalam hukum-hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum dalam bidang akidah maupun fiqh, akan membuat hukum tersebut menjadi semacam bentuk tanpa jiwa, atau wadah tanpa isi. Rasa keagamaan bukan perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama yang tanpa substansi, atau sekadar penunaian seruan agama yang dimanfaatkan untuk menyatakan ke- pentingan diri sendiri. Sebaliknya, rasa keagamaan merupakan pema- haman dan pengamalan terhadap agama sehingga terjadi keselarasan antara hidup mengabdi kepada Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan demikian, agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan. Di antara hal-hal penting yang perlu di- pahami dalam konteks ini ialah bahwa pada esensinya, agama adalah moral, yakni moral antara seorang hamba dan Tuhannya, antara dia dan dirinya sendiri, antara dia dan keluarganya, dan antara dia dan anggota masyarakatnya. Dengan kesadaran akan pentingnya lan- dasan moral dari agama inilah para sufi menaruh perhatian besar terhadapnya dan membuat mereka berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak dibarengi dengan rasa takwa kepada Allah dan penge- tahuan tentang Dia, tidak akan berarti dan bermanfaat.

Di sini harus diakui bahwa tidaklah sukar menimba banyak ilmu lewat buku, tetapi untuk memiliki moral yang baik memerlukan perjuangan yang sulit. Hal ini disebabkan oleh karena moral yang baik adalah hasil dari praktik-praktik berat dan perjuangan setiap manusia terhadap hawa nafsunya sendiri. Jika dia lulus, hal itu akan membuatnya selalu konsisten pada kebenaran. Oleh karena itu, dalam pembahasan tentang moral yang merupakan

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah substansi agama, para sufi kemudian mengembangkan ilmu yang

mandiri, yakni ilmu tasawuf, yang merupakan pendukung ilmu kalam dan ilmu fiqh. Terkait dengan masalah pengertian tasawuf dan juga asal-usulnya, ada baiknya kita memperhatikan pernyataan Ibn Khaldun. Dalam kaitan ini dia mengatakan:

Ilmu tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam Islam. Cikal bakalnya bermula dari generasi pertama umat Islam, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sedangkan asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, pengharapan diri sepenuhnya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta, dan pangkat yang dikejar-kejar oleh orang banyak, dan pemisahan diri dari orang lain untuk ber- khalwat dan beribadah. Hal seperti ini adalah biasa di kalangan para sahabat dan generasi sesudahnya. Kemudian pada abad II H., ketika penghidupan semakin semarak dengan hal-hal keduniawian, orang-orang yang lebih mengonsentrasikan diri dalam ibadah digelari sufi. 19

Selanjutnya, sebagai pengayaan bagi pemaknaan tasawuf secara komprehensif, ada sisi yang menarik dan penting diperhatikan dalam pendapat Ibn Taimiyah tentang ihsân. 20 Menurutnya, ihsân merupakan indikator derajat tertinggi keterlibatan seorang muslim dalam sistem Islam. 21 Urutan tingkatan ini adalah Islâm, Imân, dan Ihsân.

Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an melukiskan bagai- mana orang-orang Arab Baduwi mengaku telah beriman, namun nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belum beriman, melainkan baru ber-Islam sebab iman belum masuk

ke dalam hati mereka. 22 Dengan demikian, iman lebih mendalam

18 Asmaran AS., Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 54–56. 19 Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 370. 20 Sebagaimana dijelaskan di bagian paling awal tentang pemaknaan tasawuf, ihsân dalam hadits nabi merupakan permulaan bentuk pemaknaan tasawuf. 21 Ibn Taimiyah, Al-Îmân, (Kairo: ath-Thiba’at al-Muhammadiyah, t.t.), hlm. 11. 22 Q.S. al-Hujurat [49]: 14.

Memahami Dunia Tasawuf daripada Islam. Sebab dalam konteks firman Allah tersebut kaum

Arab Baduwi baru tunduk kepada nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan “Islam”, yaitu “tunduk” dan “menyerah”. Lebih lanjut Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama terdiri dari tiga unsur, yakni Islam, Iman, dan Ihsan. Dalam tiga unsur ini terdapat derajat keagamaan seorang muslim, yakni Islam, kemudian berkembang ke arah Iman, dan memuncak dalam Ihsan. Demikian ini merupakan penjelasan tentang hadits yang meng- gambarkan pengertian masing-masing tentang Islam, Iman, dan Ihsan. 23

Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian tentang ketiga unsur tersebut dengan firman Allah: “Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci kepada kalangan para hamba yang Kami pilih maka dari mereka yang (masih) berbuat zalim ada yang tingkat pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada juga yang bergegas dengan ber-

bagai kebajikan dengan izin Allah”. 24 Menurut Ibn Taimiyah, or- ang yang menerima warisan Kitab Suci, yakni mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya, namun masih berbuat zalim maka dia tergolong orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang muslim, suatu tingkatan permulaan pelibatan diri dalam kebenaran. Ia dapat berkembang menjadi seorang mu’min, yakni tingkat menengah (muq- tashid). Mereka adalah orang yang terbebas dari perbuatan zalim namun kabajikannya masih sedang-sedang saja. Kemudian, dalam tingkatan yang lebih tinggi, keterlibatan seseorang dalam kebenaran membuat- nya tidak saja terbebas dari perbuatan zalim dan mau berbuat baik, tetapi lebih jauh ia “bergegas” dan menjadi “pemuka” (sâbiq) dalam berbagai kebajikan. Mereka itulah yang disebut sebagai muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan iman-nya dan tingkat sâbiq dengan ihsân-nya, menurut Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dahulu mengalami azab. Sedangkan orang yang keterlibatannya dalam kebaikan dan kebenaran baru mencapai tingkat pertama (tingkat muslim), ia akan masuk surga setelah

23 Lihat foot note nomor 1 pada bab ini. 24 Q.S. alFathir [35]: 32.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah terlebih dahulu merasakan azab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia

tidak bertobat maka ia tidak diampuni oleh Allah. Dalam konteks makna komprehensif tasawuf, aspek moral

berupa ihsân dalam sistem ajaran Islam— dalam hal ini Islam tidak dimaksudkan sebagai tingkatan sebagaimana penjelasan di atas— tampil dengan segenap ketergegasan dalam berbagai kebaikan dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas akhlak sebagai dimensi moral Islam. Ihsân menjadi landasan moral yang membentuk peri- laku sufi, dan di sinilah tercermin semangat atau nilai Islam karena semua ajaran Islam dikonstruksi di atas landasan moral.