Berhubungan dengan Rasulullah

7. Berhubungan dengan Rasulullah

Di depan sudah dijelaskan bahwa faedah membaca shalawat yang paling besar manfaatnya adalah inthibâ‘u ash-shûrati Rasulillah ‘alâ qalb al-mushalli (tercetaknya pribadi Rasulullah di dalam hati si pembaca shalawat; atau dengan kata lain, selalu terbayang kepada Rasulullah). Dengan demikian, terjalin hubungan jiwa yang sangat erat antara si pembaca shalawat dengan Rasulullah. Eratnya hubungan jiwa dengan Rasulullah merupakan fondasi iman dan takwa, menjadi patri mahabbah kepada Allah dan rasul-Nya. Sementara iman, takwa, dan mahabbah sendiri merupakan benteng keselamatan dan kebahagia- an hidup manusia lahir-batin di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, hubungan umat Islam dengan Rasulullah sebagai pemimpin, pem- bimbing, dan pembela dari kesesatan dan kehancuran harus selalu dipupuk, ditingkatkan, dan disempurnakan dengan sebaik-baiknya. Hubungan yang masih bersifat formalitas ‘ala syari’ah harus ditingkat- kan menjadi hubungan jiwa yang lebih akrab, mesra, dan terpadu sehingga menjadi semacam hubungan molekuler yang lebih kokoh lahir-batin. Sebab, Rasulullah sendiri menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil‘âlamîn) dan selalu menyayangi dan memaafkan setiap mukmin telah meletakkan dan meratakan “lem perekat” hu- bungan terhadap sekalian para umat? Hal tersebut sesuai dengan firman Allah: “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan- mu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat mengingin- kan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. 46

Begitu mendalam dan akrab hubungan batin Rasulullah dengan umatnya sampai-samapi rasul memanggil umatnya dengan sebutan ikhwân, yang berarti “kawan” dan bahkan beliau juga menganggap umatnya sebagai “saudara”. Hal ini terungkap dalam salah satu hadits: “Betapa rinduku kepada saudara-saudaraku, yaitu mereka yang datang

sesudahku”. 47 Dengan demikian, umat Islam seharusnya melakukan

46 QS. At-Taubah [9]: 128. 47 Abdul Karim Jilli, Al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifah al-Awâkhir wa al­Awâ’il, jld II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 88.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural koreksi diri tentang keadaan hubungan kita selama ini dengan rasul,

sang pemimpin, pembimbing, dan pembela yang sangat menyayangi umatnya.

D alam upaya memperbaiki hubungan yang akrab dengan Rasulullah, atau yang biasa disebut dengan at-ta’alluq bi janâbihi, hal itu paling tidak dapat dilakukan dengan dua jalan: (a) ta’alluq shûrî dan (b) ta’alluq maknawî. 48

a. Ta’alluq shûrî atau hubungan secara formal. Hubungan ini dapat ditempuh melalui dua jalan:

Pertama, menjalankan segala apa yang diperintahkan dan menjauhi atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah serta menjalankan syari’at Islam secara baik, lahir dan batin, baik yang berhubungan dengan Allah dan rasul-Nya mau- pun yang berhubungan dengan masyarakat, keluarga, tetangga, bangsa dan negara, sesama umat manusia, dan terhadap sesama makhluk pada umumnya.

Kedua, fanâ’ atau lebur di dalam lautan mahabbah kepada Rasulullah. Hal itu bisa dilakukan, antara lain, dengan memper- banyak membaca shalawat, memperbanyak ingat dan mengangan- angan dengan penuh rasa rindu (syauq) kepada rasul, memper- banyak membaca atau mendengarkan uraian-uraian atau hikayat- hikayat yang mengandung pujian dan sanjungan terhadap ke- besaran dan kemuliaannya sehingga tumbuh rasa mahabbah dan rindu yang mendalam; juga dengan senantiasa berangan-angan dan berpikir tentang jasa-jasa, pengorbanan, serta perjuangan rasul di dalam membela umatnya.

b. Ta’alluq ma’nawî atau hubungan secara maknawî. Hubungan ini juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yakni:

Pertama, melatih hati membayangkan atau istihdhâr kepada pribadi Nabi Muhamamd yang mulia dan agung dengan disertai

48 Dua jalan (cara) ini adalah sesuai dengan yang diterangkan oleh Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani dalam kitabnya, Sa’âdah ad-Dârain.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah rasa ta’zhîm, ta’jûb (kagum), dan mahabbah (cinta). Cara ini diper-

untukkan bagi mereka yang sudah pernah bertemu nabi, baik dalam keadaan bermimpi maupun dalam keadaan terjaga (tidak tidur). Adapun bagi mereka yang belum pernah bertemu dengan nabi dapat melakukannya dengan cara membayangkan sifat-sifat dan juga akhlaknya yang luhur. Bagi mereka yang sudah pernah ziarah ke Makah dan Madinah dapat membayangkan Ka’bah, maqâm nabi, masjid nabawi, atau membayangkan tempat-tempat bersejarah lainnya yang dipergunakan oleh nabi dalam memper- juangkan agama Islam dan di dalam memberikan tuntunan dan bimbingan kepada para sahabatnya. Semua itu harus kita lakukan dengan adab (tata krama), ta’zhîm (memuliakan), dan tawâdhu’ (sopan-santun).

Mimpi bertemu Nabi Muhammad adalah mimpi baik, mimpi yang benar (haqq). Siapa pun orangnya yang bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan bagaimanapun keadaan mimpinya maka sesunguhnya mimpi itu adalah benar adanya sebab setan tidak dapat menyerupakan diri (tamâtsul; Jawa: mendho-mendho) dengan nabi. Dalam suatu hadits dinyatakan: “Barang siapa yang melihat aku di dalam mimpi maka sungguh ia melihat kebenaran (melihat Rasulullah dengan sebenarnya), oleh karena setan tidak dapat menyerupakan diri sebagai aku” (HR. Imam Muslim dan lain- nya).

Di dalam kitab Ta‘thîr al-Anâm, kata man raânî (barang siapa yang melihat aku) diberi tafsir walaw ‘alâ ayyi shûratin wa hâlatin (sekalipun dalam rupa dan dalam keadaan yang bagaimanapun juga). Sebab, boleh jadi hasil mimpi seorang dan yang lainnya adalah tidak sama. Ada orang yang bermimpi bertemu Rasulullah persis seperti apa yang disifatkan dan diterangkan dalam kitab- kitab sejarah, namun ada juga yang tidak demikian. Akan tetapi, keduanya sama-sama benar menurut hadits tersebut. Perbedaan itu disebabkan, antara lain, karena situasi dan kondisi batiniah orang yang bermimpi. Pada umumnya, semakin jernih hati orang yang bermimpi, semakin dekat kepada keadaan yang sebenarnya.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Ibarat kaca cermin, semakin bersih dan tinggi mutu kaca cermin,

semakin jelas dan sempurna hasil pencerminan yang diperoleh.

Kedua, melalui ta‘alluq ma’nawi, yakni menerapkan al-haqî- qah al-Muhammadiyyah dalam hati; hati senantiasa sadar (syuhûd al-qalb) dan merasa bahwa asal kejadian segala makhluk (termasuk diri kita) adalah dari Nur Muhammad. Hati senantiasa merasa dan menyadari apa yang disabdakan dalam hadits qudsi: “Aku (Allah) menciptakan engkau (Muhammad) dari nur-Ku dan Aku menciptakan makhluk dari nur-mu.” 49

Dengan demikian, hakikat asal kejadian segala makhluk adalah Nur Muhammad. Ini berarti semua makhluk di alam raya ini tidak terpisah sedikit pun dari Nur Muhammad.

Adapun mengenai bagaimana wujud Nur Muhammad, kita tidak mampu mengindera dengan daya khayal, lebih-lebih dengan rasio. Dalam hal ini, yang penting dan harus kita yakini bahwa segala hakikat wujud adalah benar. Dengan demikian, ketika kita berpikir, berangan-angan, kita merasa sesuatu (merasa gembira atau merasa bersedih), begitu juga penglihatan, pendengaran, peciuman, dan perasaan, semua itu berasal dari Nur Muhammad. Hal tersebut harus senantiasa dirasa dan dilatih dalam hati, tidak cukup hanya dengan penelitian ilmiah saja. Sebab, masalah ini adalah masalah dzauq (rasa/ feeling).

Sedangkan hakikat wujud Nur Muhammad adalah Nur Allah. Begitu juga hakikat wujud makhluk adalah Nur Allah. Makhluk sendiri tidak mempunyai sifat wujud sebab yang memiliki sifat wujud hanyalah Allah. Makhluk mewujud karena diwujudkan oleh Allah. Makhluk itu tidak wujud jika tidak diwujudkan oleh Allah. Ini berarti bahwa keberadaan wujud makhluk adalah karena Allah. Dalam istilah Wahidiyah, maujudnya makhluk adalah billâh. Lâ haula walâ quw- wata illâ billâh (tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Allah, sebab Allah–billâh).

49 Sayyid Abu Bakr Bakr al-Maliki bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhaj al-Asyfiyâ’ (T.tp.: Dar Akhyar, t.t.), hlm. 6.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Kesadaran akan billâh dan bi al-haqîqah al-Muhammadiyyah

semestinya sungguh-sungguh meresap ke dalam hati dan diterapkan dengan rasa dan i’tikad baik, tidak cukup hanya menjadi pemahaman ilmiah saja. Pemahaman itu harus diteruskan menjadi penerapan dzauqiyyah. Lebih-lebih pemahaman itu tidak boleh hanya diper- gunakan sebagai bahan percakapan dan diskusi atau perdebatan saja, tetapi harus disertai penerapan dalam hati. Hati harus terus-menerus dilatih merasakannya.

Dalam hal at-ta’aluq bi janâbihi, KH. Abdoel Madjid Ma’roef, senantiasa menganjurkan dan mengamanatkan agar pengamal Wahidiyah tidak hanya melakukan mujahadah, tetapi juga hendaknya memperbanyak membaca Ya sayyidi ya Rasulallah di mana saja dan kapan saja, baik dibaca dengan lisan maupun hanya dalam batin, sesuai dengan situasi dan kondisi. Kalimat tersebut juga baik di- amalkan secara khusus, seperti halnya mujahadah Wahidiyah dengan hitungan yang sebanyak-banyaknya. Semakin banyak bacaannya, semakin baik nilainya, terlebih lagi jika ada kepentingan atau mem- punyai hajat tertentu, asalkan tidak disalahgunakan dan harus dijiwai oleh kesadaran lillâh-billâh dan lirrasûl-birrasûl.

Memperbanyak bacaan Yâ sayyidî yâ Rasûlallâh merupakan cara at-ta’alluq bi janâbihi yang paling mudah dilakukan. 50 Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh KH. Mohammad Ruhan Sanusi, 51 Yâ sayyidî yâ Rasûlallâh adalah nida’ (panggilan) langsung kepada Rasulullah, yang mengandung makna tasyaffu’an (memohon syafa’at) yang dijiwai dengan semangat tazh’îm (memuliakan), mahabbah (cinta), tazhallum (pernyataan berdosa), dan iftiqâr (cetusan rasa butuh). Sedangkan Nabi Muhammad sendiri bersifat kasih sayang

50 Penjelasan ilmiah tentang hal ini tidaklah mudah, namun keimananlah yang akan percaya dan yakin akan kebenaran fakta pengalaman nyata tersebut. 51 KH. Mohammad Ruhan Sanusi adalah Ketua Umum DPP PSW. Dia terpilih lagi sebagai Ketua Umum PSW masa khidmah 2005–2011, berdasarkan hasil Muskub

(Musyawarah Kubro) Wahidiyah ke-5 tahun 2006, (26–28 Mei 2006), yang diselenggarakan di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang, Jawa Timur.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural (ra’ûf ar-rahîm) dan banyak memberikan pengorbanan bagi umatnya.

Dalam hal ini, Allah menegaskan: “Sungguh telah datang kepada kamu sekalian seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat terasa olehnya penderitaanmu sekalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu sekalian, amat belas kasihan lagi menyayangi

orang-orang mukmin.” 52 Oleh karena itu, menurut ajaran Wahidiyah, secara imaniah dapat diyaki ni bahwa dengan membiasakan membaca Yâ sayyidî yâ Rasûlallâh maka nabi niscaya akan memberikan syafa’at- nya kepada umat yang selalu memanggilnya.